"Mas, ngotak ngatik apa sih? Asyik bener kayaknya?"
Aku melongokkan kepala dan mencoba melihat apa yang sedang ditonton suamiku di layar ponselnya."Kerjaan. Nih, tim promosi nanyain tentang kerjaan tadi."Dengan terburu-buru, mas Arif menutup layar ponsel. Sekilas aku sempat melihat kalau dia membuka pesan w******p."Yuk, tidur saja." Mas Arif meletakkan ponselnya di atas nakas dan tidur memelukku. Perlahan dia mulai mencium kening dan hidung."Mas pingin, Nas," bisiknya mendayu di telinga.Aku menahan nafas. Biasanya kalau dia menginginkannya, aku akan langsung memberikan respon yang lebih agresif. Tapi begitu ingat perkataan Ana, tanda merah di leher Mbak Sumi, dan kejadian di dapur tadi, rasanya aku tidak bergai rah.Lagipula aku sedang mendapat tamu bulanan. Ah, lebih baik, mas Arif kupermainkan sedikit. Siapa tahu ada jejak petualangan mbak Sumi di tubuhnya."Hm, tentu saja."Aku tersenyum, mengedipkan sebelah mata dan membuka kaosnya. Sejenak berhenti karena mendadak terbayang yang membuka kaos mas Arif bukan hanya aku.Aku memindai setiap inchi kulitnya. Dan ah, di sekitar pusar terdapat tanda merah. Aku yakin ini jejak mereka saat aku dinas malam dua hari lalu. Sekitar ada tiga tanda di tempat yang berdekatan.Hm, ternyata memang mau main aman. Mas Arif tidak mau mengambil resiko dengan tanda merah di bagia tubuh yang mudah diekspos. Tapi di tempat yang tidak terlihat."Mas, ini kok merah-merah?" tanyaku menyentuh perut mas Arif."Ini kena resleting. Mungkin perutku menggendut. Saat menaikkan resleting akhirnya perutku kejepit. Tapi kamu nggak masalah, kan?" tanya Mas Arif seraya memeluk pinggangku."Hm, ada masalah. Aku mens," bisikku tertawa.Mas Arif mengerucutkan bibirnya. "Ya sudah. Kalau begitu, kita tidur aja.""Mas, tadi aku minta dibuatkan jus jeruk oleh Sumi. Dan ternyata aku kenyang sekali. Mas mau nggak minum jus jeruk milikku? Sayang kalau dibuang nih. Ini jus jeruknya."Aku duduk dan meraih gelas berisi cairan kuning di atas nakas, lalu memberikannya pada mas Arif."Oh, iya tentu, Sayang." Mas Arif menerimanya dan meminumnya tanpa rasa curiga hingga licin tandas.Aku menghitung dalam hati saat-saat mas Arif mulai terlelap karena aku telah mencampurkan obat tidur ke dalam jus jeruk tersebut.*Aku menunggu dengan sabar sampai terdengar suara dengkur halus dari mas Arif. Kulirik jam bulat yang menempel di tembok. Masih jam 11 malam.Dengan perlahan aku bangkit dari ranjang mendekati mas Arif. Kukibaskan tangan di depan wajahnya. Aman. Tak ada respon. Dia sudah terbawa mimpi lelap.Aku berjingkat meraih ponselnya di atas nakas. Ah, dikunci! Padahal biasanya tidak dikunci. Kami memang sudah lama tidak saling memperhatikan ponsel. Seakan sudah saling percaya satu sama lain, kami tidak saling kepoin ponsel pasangan.Fokus mencari rejeki dan quality time dengan keluarga saat liburan. Tapi ternyata apa yang kudapat? Aku kecolongan!Untung saja ponsel mas Arif terkunci dengan sensor sidik jari. Dengan membungkuk dan secara perlahan aku meraih jempol tangan kanannya dan menempelkannya ke layar ponsel miliknya.Aku menarik nafas dengan hati-hati. Walaupun aku tahu dia telah tidur lelap, tapi rasanya aku tidak mau ketahuan sedang menyelidikinya.Terbuka!Aku menggulir layar, jantungku berdebar kian kencang saat membuka galeri ponsel nya. Aman. Tidak ada sesuatu yang membahayakan.Jempolku beralih ke pesan w******p. Kubuka perlahan. Ada satu nama yang asing. Nama yang tidak pernah dibicarakan oleh mas Arif sebagai teman kerjanya.Sam office. Sudah bisa kutebak, siapa nama dibalik Sam office itu.[Merindukan saat berselimut denganmu, Mas!]Kubuka perlahan pesan dari Sam office. Hanya ada satu kalimat yang dikirimkan setelah jus jeruk tadi kuberikan. Pasti mas Arif tadi sudah menghapus semua pesan sebelum tidur.Segera kuhapus pesan terakhir dari Sam Office. Dan kukirim nomornya ke ponsel ku. Aku beralih membuka ponselku dan melihat nomor ponsel yang baru kukirim. Kucocokkan dengan nomor Mbak Sumi. Dan ternyata beda.Apa Sumi mempunyai dua nomor hp dalam ponsel yang berbeda? Mungkin juga. Seingatku saat pertama datang kemari, hpnya hp jadul yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan.Kalau benar Sumi mempunyai hp baru dari mas Arif, berarti aku benar-benar teledor menjaga rumah tanggaku. Sampai-sampai suami sendiri selingkuh, tidak ketahuan.Aku membuka w******p web di ponselku. Kuklik titik tiga pada bagian atas w******p web. Dan kupilih dekstop site. Lalu muncullah kode QR, selanjutnya aku membuka kode QR di ponsel mas Arif. Dan kuarahkan kamera ponsel mas Arif ke layar ponsel ku.Selesai. Maaf Mas, aku harus menyadap whatsAppmu. Kuletakkan lagi ponsel mas Arif di tempat semula agar dia tidak curiga saat bangun tidur.Selanjutnya aku mengetik pesan pada Arum, temanku yang besok dinas siang.[Besok aku hutang dines ya. Jadi kamu dinesnya pagi sore. Bisa kan? Aku minta tolong banget. Urgent!]'Baiklah, Mas, kita akan lihat bagaimana aku membongkar perselingkuhan kamu.'Next?[Oke. Nas. Besok aku akan gantiin kamu dinas. Aku kan juga punya hutang dinas ke kamu.]Rupanya belum tidur si Arum ini. Sejenak aku memutar ponsel dalam genggaman tangan. Ragu untuk memutuskan apakah aku akan cerita tentang perselingkuhan suamiku atau tidak. Beberapa saat terdiam. Menimbang dan merenungkan apakah akan menceritakan tentang masalah rumah tangga ku atau tidak padahal masih dalam tahap dugaan. [Rum, kamu belum tidur?][Belum. Ada apa, Nas?][Kalau suami kamu selingkuh, apa yang akan kamu lakukan?][Hm, ya sudah. Aku relain aja buat pelakor. Sampah emang cocok sama lalat. Tapi sepertinya mas Adin lempeng-lempeng saja. Ada apa sih?][Nggak. Nggak apa-apa. Emang menurut kamu, orang selingkuh itu apa karena kekurangan si istri?][Nggak juga. Ada laki-laki yang dianugerahi istri cantik, mandiri, dan sudah punya anak, mahir di ranjang, tapi tetap selingkuh. Itu karena lakinya aja yang matanya kelilipan jambul kalkun! Ada apa sih? Jangan bilang kalau suami kamu ...][Enggak.
"Astaga, Sumi ..!" seru mas Arif berdiri dari kursinya. Lalu beberapa detik kemudian dia menatapku dan Ana bergantian. "Ehem, kamu kenapa sih Sum dari kemarin sembrono dan ceroboh?" tanya mas Arif dengan nada tegas. "Mbak Sumi kenapa?" tanyaku mendekat ke arahnya. Mbak Sumi perlahan berdiri dari jatuh tertelungkupnya. Kening dan lututnya lecet. "Sa-saya tadi terpeleset, Bu," jawabnya lirih tertunduk. Tapi aku bisa dengan jelas kalau ekor matanya menatap ke arah suamiku yang sedang meneruskan makannya. "Lantainya yang licin atau mbak Sumi yang tidak fokus karena memikirkan laki-laki?" sindirku tersenyum. Wajah mbak Sumi langsung memerah. "Dua-duanya. Eh, maksud saya lantainya licin dan saya sedang memikirkan anak saya.""Hm, kalau Mbak Sumi kangen sama kedua anak Mbak, lebih baik mbak ambil libur dulu. Apa tiga hari cukup untuk pulang kampung?""Saya nggak mau pulang kampung, Bu!" cetus mbak Sumi spontan. Tapi selanjutnya dia menutup mulut. "Lha, katanya tadi sedang memikirkan
Aku menggenggam tangan mertuaku. "Mi, maafkan Nastiti yang abai pada kondisi Mami.""Nggak apa-apa. Bocornya nggak terlalu banyak kok."Mami melihat klengkeng yang kubawa. "Kamu repot-repot aja, Nas.""Nggak kok, Mi. Tadi ada teman kerja yang baru panen klengkeng. Jadi Nastiti langsung kemari karena ingat sama mami.""Mami beruntung sekali bertemu dengan menantu seperti kamu.""Nastiti juga bahagia punya mertua seperti mami."Suasana hening sejenak. "Kamu, tidak sedang ada masalah dengan suami kamu kan?"Aku menelan ludah. Mertuaku peka sekali. Mungkin curiga sejak aku datang sendiri kemari. Tapi kalau aku menceritakannya pada beliau sekarang, ada dua kemungkinan yang akan terjadi.Pertama, mertuaku akan membelaku dan membantuku melakukan rencanaku. Kedua, mertuaku akan mengadu pada mas Arif dan justru menyalahkanku. Ah, aku tidak mau mengambil resiko. "Nggak ada, Mi. Semua baik-baik saja."Mertuaku menatapku antusias. "Hm, mami dulu guru lho, Nas. Jadi tahu kalau lawan bicara sedan
"Maaf, Bu. Tadi saya cuma kaget mendengar ucapan Ibu tentang Pak Arif."Aku menatap tajam ke arah Sumi yang sedang berdiri di antara pecahan botol kaca. "Apa kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan suami saya?Mata Sumi membulat. "Apa maksudnya, Bu? Tidak mungkin pak Arif selingkuh. Sepertinya bapak sangat mencintai Bu Nas."Aku menghela nafas panjang. "Aku punya buktinya, Sum.""Ap-pa? Bukti Bu? Bukti apa? Siapa selingkuhan pak Arif, Bu? Dan apa yang akan ibu lakukan pada pak Arif dan selingkuhannya?"Aku pura-pura bingung. "Mbak, awalnya aku hanya ingin curhat alias sharing tentang suami saya pada Mbak Sumi. Tapi sepertinya mbak Sumi justru lebih tertarik dengan berita ini daripada saya," pancingku. "Jangan-jangan, kamu tahu sesuatu tentang selingkuhan Bapak? Mungkin ada yang mencurigakan saat saya sedang dinas dan bapak sendiri di rumah. Mungkin bapak juga tidak pulang ke rumah saat saya sedang dinas di klinik?" cecarku."Saya tidak tahu menahu, Bu. Tapi kalau ibu mengatakan bahwa
"Malah sekarang yang aneh kamu sama Mbak Sumi. Kok bisa sih mbak Sumi ngurusin kamu selingkuh atau nggak? Sebenarnya yang istri mu itu aku apa mbak Sumi?"Mas Arif menelan ludah dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan. "Nas, apa kamu mencintaiku?"Aku semakin heran dan bingung dengan mas Arif. Dia yang selingkuh tapi dia yang meragukan cintaku. Apa semua lelaki yang berselingkuh menjadi aneh seperti ini?"Kok kamu aneh sih, Mas? Kenapa nanyanya kek gitu?""Jawab saja, Nas. Apa kamu mencintaiku?" Aku terdiam dan memalingkan muka."Nas, jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu mencintaiku? Apa kamu memaafkan kalau aku khilaf?"Aku terdiam. Apa mas Arif tahu kalau aku sudah menyadap wanya? Apa dia juga tahu kalau aku memergoki dia selingkuh?"Apa kamu khilaf?! Khilaf yang seperti apa, Mas? Dan dengan siapa?! Sekedar chating, atau sudah tidur bersama?"Mas Arif terdiam. "Kok diam? Apa pertanyaan ku benar? Dengan siapa Mas? Jawab aku? Dengan teman kantormu kah? Atau ada yang lai
Mas Arif berada di kamar Sumi. Mereka berdua di atas ranjang milik perempuan itu dengan baju yang acak-acakan!Kutahan air mata yang hendak keluar. 'Jangan nangis, jangan cengeng, jangan buang air mata untuk laki-laki tidak berperasaan seperti dia. Bukankah aku yang menyelidiki perselingkuhan mereka? Dan kini Tuhan telah menampakkan bukti konkret di hadapanku. Jadi, aku tidak boleh lemah dan buang-buang air mata. Harus kuat dan menjalankan rencana sebagaimana mestinya. Bukankah bukti ini pula yang sudah ku tunggu-tunggu?' batinku. Aku menegarkan hati dan mengamati adegan itu. Mbak Sumi di atas tubuh mas Arif. Kedua tangannya saling menyangga hingga tidak menimpa badan suamiku. Samar-samar terdengar suara percakapan antara keduanya. Aku memang membeli cctv yang lebih mahal. Yang bisa terdengar suaranya. "Rif, kamu jahat! Kamu tega tadi pamer kemesraan dengan istrimu padaku? Memberikan kejutan juga padanya? Kamu pikir hatiku terbuat dari apa? Batu?! Aku cemburu!"Aku menatap tegan
Mas Arif mendelik. "Kamu memasang cctv di kamar Sumi dan menyadap wa ku?" tanya mas Arif kaget. "Dan kamu selingkuh dengan asisten rumah tangga kita karena dia mantan pacar kamu sejak SMA, benar kan?""Jangan bertanya balik kalau suami nanya, Nas!""Aku tidak butuh pertanyaan kamu. Yang kubutuhkan adalah ceraikan aku, Mas.""Ini melanggar hukum. Aku bisa melaporkan kamu ke polisi dengan tuduhan melanggar UU ITE dan melanggar privasi orang lain!" Mas Arif menatapku tajam. Intonasi suaranya tegas tapi lirih. Mengintimidasi.Aku menyeringai. "Oh ya? Kamu juga bisa kulaporkan pada polisi atas tuduhan perzinahan dan kumpul ke bo.""Kamu tidak akan berani, Nas.""Kenapa nggak? Kamu dan mbak Sumi bisa saja masuk penjara berdua. Dan untuk undang-undang ITE, bagaimana mungkin bisa menjeratku? Aku tidak menyebarkannya ke orang lain."Mas Arif menatapku tanpa berkedip. Lalu dia meraih garpu dan pisaunya lagi. "Kita bicarakan nanti, Nas." Mas Arif dengan santainya memotong daging di piringnya.
Terlihat wajah mami terkesiap dan terkejut."Rif, apa benar yang dikatakan oleh istri kamu?" tanya mami.Wajah mas Arif memucat. Dia tertunduk dalam. "Rif! Angkat wajahmu dan pandang mami!!!" suara mami naik satu oktaf. Pandangan nya tajam ke arah Mas Arif. "Ini tidak seperti yang mami dan Nastiti bayangkan. Arif ... Arif ...!"Plaakkk!!! Plakkkk!!!Tanpa kuduga mami maju dan menampar pipi mas Arif. Aku tercengang. "Arif! Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk menjadi lelaki pezina! Kamu belajar dari siapa?!"Mas Arif terdiam. Pipinya memerah karena tamparan mami yang keras. Mendadak mami tersedu. "Apa kamu niru papi?"Mas Arif terdiam. "Jawab, Rif! Mami tidak pernah mengajarkanmu untuk mengkhianati istrimu. Karena kamu tahu dengan pasti luka yang ditimbulkan oleh papi sedalam apa pada mami setelah Papi kamu selingkuh!""Mi, Arif tidak bersalah! Nastiti terlalu sibuk bekerja." Mas Arif mendongak dan menatap wajah maminya. "Astaghfirullah! Sudah salah, masih nggak merasa dan ngga