Aruna langsung menuju mobil Denis yang memang tidak pulang setelah mengantarnya ke rumah ayah, lelaki itu membawa Dea jalan-jalan lebih dulu saat ia mampir ke rumah orang tuanya. Untung Dea mau diajak meninggalkan rumah Ressa ketika perempuan yang baru saja mengalami keguguran itu tiba-tiba jatuh pingsan. Dan putrinya tidak melakukan protes lagi ketika melihat sang tante pucat seperti tak bernyawa.
***"Perutnya masih sakit, Sayang?" Tian menggenggam tangan istrinya yang terbaring lemah di brankar pasien.Saat bangun dari pingsan tadi Ressa mengeluhkan sakit dibagian perut sehingga ia kembali membawanya ke rumah sakit karena khawatir terjadi sesuatu pada istrinya ini."Sedikit, Dea mana?""Dea dibawa Denis pulang Sayang, kamu jangan pikirin mereka dulu, pikirin kesehatan kamu. Sudah ya, kita hadapi ini sama-sama, jangan minta pergi lagi. Aku yakin Dea pasti mau menerima kamu suatu saat nanti." Tutur Tian panjang lebar agar istrinya iniSetelah dua hari menginap di rumah sakit akhirnya Ressa diperbolehkan pulang. Perempuan itu membongkar habis isi lemari lalu mempackingnya."Honey, kamu benar-benar mau pergi dariku?" tanya Tian pelan, tidak memiliki tenaga lagi. Ressa memang diizinkan keluar dari rumah sakit, namun tubuhnya sekarang yang drop. Tapi dia tidak mau dirawat, kasihan Ressa kalau diajak menginap di rumah sakit lagi."Sebaiknya memang beginikan, Sayang." Jawab Ressa seraya tersenyum manis yang membuat jantung Tian berdebar tidak karuan. Istriya ini sulit untuk ditebak pikirannya apa."Apa aku harus bersujud dan mencium kakimu dulu agar kamu tidak pergi dariku Ressa. Kita bisa menyelesaikan masalah Dea sama-sama. Apalagi sekarang ada Denis yang bisa meluluhkan hatinya." Tian bersimpuh di lantai memeluk kaki Ressa yang masih sibuk mengeluarkan pakaian dari dalam lemari."Bangun Sayang, jangan bersimpuh seperti aku ingin mengutukmu saja." Canda Ressa dengan suara tawa reny
Perempuan itu menggeleng tegas, meskipun sangat menginginkan semua itu, namun ia tidak boleh egois, ada Dea yang sangat menginginkan ayahnya. "Dia yang lebih berhak atas kamu, aku sudah sehat gak papa di rumah sendirian, kamu temani Dea.""Jangan usir aku lagi Sayang, aku mau disini sama kamu.""Enggak, kamu ke rumah Aru, atau kita pisah." Ancam Ressa yang membuat Tian tidak bisa mengelak apa-apa lagi.Seperginya sang suami Ressa membereskan pakaian-pakaiannya sendiri, tidak jadi minta bantuan Tian."Huft, gak papa, aku kuat, tapi capek!!" Gumamnya, membawa pakaian-pakaian itu ke halaman belakang dan membakarnya sedikit demi sedikit sambil melamun.Dulu pikirnya cobaan rumah tangganya hanya dari perempuan lain dan masa lalu suaminya, namun ternyata kakak dan keponakannya sendiri.***"Daddy!" seru Dea menghambur ke pelukan sang ayah. "Daddy tinggal disini kan?" tanya gadis beranjak remaja itu antusias.Tian meng
"Dea, kamu kenapa jahat banget sama Tante Ressa!" sentak Aruna geram pada putrinya yang terlihat sangat santai setelah mematikan telepon."Memangnya kenapa, kan Tante Ressa disana, gak salah dong kalau aku minta Tante yang siapin baju Daddy." Jawab anak itu dengan angkuh.Tian memijat pelipisnya pusing. Ia sudah susah payah membujuk istrinya itu beberapa hari ini. Lalu bagaimana sekarang kalau Ressa nekat pergi meninggalkannya."Tantemu itu juga masih istri Daddy, Dea, kamu harus menghormatinya.""Karena istri Daddy itulah Tante jadi menguasai Daddy sendirian," jawab Dea tak kalah lantang dari mommy-nya."Sudah Ru," Tian mengangkat tangan di depan Aruna. Kepalanya semakin ingin pecah mendengar perdebatan ibu dan anak ini."Sekarang Daddy pilih Tante Ressa atau aku?" Deandra menatap ayahnya sengit."Mana bisa begitu Sayang, Tante Ressa itu istri Daddy juga.""Ceraikan kalau Daddy memilih Dea!""Cukup Dea
Ressa menghela napas pelan, bibirnya tersenyum getir, seolah-olah dirinya yang melakukan kesalahan."Terserah kamu aja mikirnya bagaimana, Tian.""Aku tuh kangen, kamu ngerti gak sih!" Sarkas Tian kesal mendengar kata cerai yang selalu keluar dari mulut istrinya ini."Kamu kesini sebenarnya mau apa?" Ressa lelah kalau bertemu ujung-ujungnya mereka hanya akan berdebat tiada akhir."Aku kangen sama kamu Ressa!" Tegas Tian menekankan, "aku capek nyabar-nyabari kamu, kamu itu gak seperti Aru yang penurut."Ressa melepaskan roti di tangannya, menatap nanar Tian yang baru saja membandingkannya dengan Aruna. Kepalanya mendongak agar air matanya tidak terjatuh. Sakit rasanya dibandingkan seperti ini oleh suami sendiri."Aku gak pernah minta kamu bertahan sama aku Tian, gak pernah. Aku gak pernah minta kamu bertanggung jawab atas janin yang aku kandung dulu, gak pernah. Kalau kamu capek tinggal lepaskan aku, gak usah banding-bandingin aku
Perempuan yang baru saja menutup pintu itu tersandar sambil menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. "Hufh, tidak boleh marah, tidak boleh cemburu Ressa," rapalnya dalam hati, menguatkan dirinya sendiri. Sakit, berat, namun semua harus dilaluinya.***Pagi-pagi sekali Ressa membereskan seluruh rumah. Koper sudah siap untuknya pergi, kali ini ia tidak meminta bantuan pada sahabatnya karena Tian pasti akan memaksa Erfan dan Hira untuk memberitahu keberadaannyaSelama satu minggu ini ia sudah menyiapkan semuanya, dari uang cash, perhiasan sebagai tabungan mendesak dan tempat tinggal. Ia sengaja tidak menggunakan ATM agar Tian tidak bisa melacak keberadaannya. Ponsel lama di tinggalnya di rumah, ia juga sudah membeli ponsel dan simcard baru. Tian mungkin tidak akan menceraikannya, jadi biarkan saja dia yang pergi. Selama ada Aruna dan Dea suaminya itu pasti akan baik-baik saja."Bismillah Ya Allah, maafkan aku yang sudah jadi istri
Pakaian Ressa memang tidak banyak, karena pakaian-pakaian mode jahiliyah yang kekurangan bahan sudah dibakar habis. Tentu saja satu koper cukup untuk menampung pakaiannya. Benar saja, kopernya pun tidak ada."Ressa kamu kemana, Sayang?" panik Tian, menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Peringatan baterai lowbat yang pertama menyapanya saat membuka ponsel tanpa sandi itu. Hanya panggilan dan pesan darinya yang memenuhi notifikasi.Pantas saja pesannya tidak dibalas. Dengan tangan bergetar, Tian men-scroll layar ponsel Ressa yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Matanya mengembun saat mendapati pesan yang dikirimkan oleh Ressa beberapa hari lalu. Wanita kesayangannya itu meminta izin untuk pergi, entah ingin pergi ke mana atau untuk apa.Kening Tian berkerut. Ia tidak pernah merasa mendapatkan notifikasi ini di ponselnya. Namun di ponsel Ressa sudah terlihat centang dua berwarna biru, itu artinya sudah dibaca. Apa mungkin De
Sudah dua hari ini Tian uring-uringan karena tidak menemukan keberadaan Ressa. Bahkan ia tidak pulang ke rumah Aruna, lebih memilih tidur di rumah yang ditempatinya dengan Ressa dulu."Daddy," panggil Dea mencicit, tidak berani dekat-dekat dengan ayahnya itu lagi. Ia nekat datang ke kantor karena Dad Tian tidak ada pulang ke rumah."Hm," sahut Tian malas. Lebih baik menghindari Dea dan Aruna daripada emosi melihat mereka berdua."Daddy kapan pulang?" Tanya gadis remaja itu takut takut."Tidak tahu," jawab Tian malas.Dea mengerjap, matanya sudah mengembun mendapati sikap dingin Dad Tian.Tian menghela napas lelah, meskipun sebab Dea dia ditinggalkan Ressa, namun semua ini bukanlah salah putrinya itu. Dia yang salah, karena semua berawal dari dirinya."Nanti Daddy pulang, kamu pulang lah dulu diantar Om Denis," ujar Tian akhirnya.***"Masih belum ada kabar Ressa, Mas?" Tanya Aruna yang sedang menemani T
Setelahnya pria itu mengelus kepala Ressa yang terus bergumam tidak jelas, sesekali menyebut namanya lagi."Kamu kenapa?" Bisik Tian lembut, "aku ada di sini, ini Tian yang di sini." Gumamnya untuk menenangkan Ressa.Ressa mencari-cari kenyamanan, memeluk pinggang Tian yang duduk disisi tempat tidur. "Aku benci Tian yang suka main perempuan. Aku benci ibu yang selalu maksa nikah. Aku benci mereka. Aku benci." Gumam Ressa yang bisa di dengar Tian dengan jelas. "Aku bencii mereka!" Ulangnya lagi dengan isak tangis."Tidur Ressa, kamu mabuk!" Tegas Tian melepaskan tangan Ressa dari pinggangnya. Tubuhnya jadi panas dingin karena sentuhan perempuan itu. Ia gegas beranjak mengambil kaos di lemari. Tangan Ressa yang menyentuh kulitnya sangat meresahkan."Jangan pergi!" Rengek Ressa ketika Tian melepaskan tangannya.Baru kali ini Tian melihat Ressa yang rapuh. Biasanya perempuan itu selalu ceria dan galak, tak pernah menunjukkan kesedih