Ikatan hati yang terpaut, seolah memberi sebuah firasat pada Jovan.Vincent telah menghubungi Rey, dia terpaku dengan pandangan kosong. Apa yang telah dia dengar tidak tahu bagaimana caranya mengatakan pada Jovan.Vincent segera memesan helikopter, tanpa bertanya Jovan."Vinc, ada apa?" Mereka masih ada di hotel, dan sedang membahas strategi besok."Kamu kembalilah sekarang. Soal tender, aku yang akan maju sendiri."Jovan memicing dengan dahi berkerut. "Vinc, jangan bercanda!""Aku sudah memesan heli dan akan datang tidak lama lagi.""Vinc!" seru Jovan."Aku akan mengemasi barang-barangmu." Vincent hendak pergi, tapi cekal oleh Jovan. Jovan lantas mencengkeram kerah baju Vincent."Katakan apa yang terjadi!" Suara Jovan parau, dengan mata tajamnya.Vincent menghela nafas, matanya berkaca dan dia membuang muka."Aakkh!" Jovan menghempas Vincent.Vincent luruh di lantai."Kita pergi bersama!" Jovan sudah merasa ada hal besar yang terjadi."Tender ini sangat berarti bagimu, biar aku tin
Ayana tersungkur lemah dalam mobil itu. Siksaan itu membuat dia tak berdaya. Hanya hatinya yang terus menyebut nama Jovan.'Aku harus melakukan sesuatu, aku masih ingin melihat Jovan lagi,' batin Ayana.Ayana teringat, dia telah belajar cara membela diri, tapi apa berguna untuk melawan para pria kekar itu?'Harus dengan cara otak juga, tapi aku sangat bodoh. Bagaimana caranya aku bisa lepas dari mereka?'Ayana terus mencoba berpikir. 'Aku pernah bisa lepas dari Febby dulu, Jovan juga bilang jika aku pintar. Aku pasti bisa,' batinnya, dia meyakinkan diri.Ayana mencoba bangkit ingin duduk, tapi masih sangat susah karena goncangan mobil yang melaju di jalan terjal.'Di mana ini?' Ayana membuat terkaan.Mobil itu telah melewati tengah perkebunan dan hampir sampai di ujung desa. Rencana mereka akan membawa Ayana ke gudang tempat pangkalan para anak buah Febby Ayana kini duduk dan menggedor sekuatnya di bagian depan. Dia berharap mobil itu akan berhenti.Sekian lama berusaha, akhirnya har
"Di mana kamarnya?" Jovan tergesa tidak sabar.Salah satu anak buah Rey sedang bertanya di bagian admin."Tuan Jovan, tidak ada pasien baru yang bernama Ayana. Saya telah menunjukan foto itu dan kata mereka itu Narsih."Jovan dan Vincent saling pandang."Bawa kami ke sana!" ucap Vincent.Anak buah Rey datang hampir bersamaan dengan Jovan. Mereka langsung membuat penjagaan ketat. Direktur rumah sakit itu juga langsung di minta datang.Di kamar yang berisi beberapa pasien. Pintu itu dibuka.Jovan masuk. Dia menatap istrinya yang berbaring di brankar."Ay." Pelan Jovan mendekat, matanya berkaca yang terus dia tahan genangannya.Kini Jovan terduduk lemas di kursi sisi brankar. Dia memegang tangan Ayana. Jovan lihat ditangan istrinya saja sudah banyak luka, apalagi di kujur tubuhnya. "Ay, maafkan aku.""Kek, siapa dia. Kenapa dia nangis di sisi Mbaknya?" bisik remaja itu.Sang kakek mendekat."Mas, boleh kakek tau siapa kamu? Apa hubungan kamu sama wanita ini?""Apa kakek yang membawanya k
"Maaf, Mami. Rumah sakit itu dijaga ketat dan kita tidak mungkin membuat keributan di tempat seperti itu. Sekarang, wanita itu sudah dipindahkan ke ruang sakit kota ini." Alex berdiri, dia berharap bisa terus bergabung sampai dia bisa menjatuhkan Jovan dan Kanigara."Untuk apa aku mendengar kata maafmu. Asal kamu tahu, aku masih punya banyak bawahan dan seribu cara untuk menyerang. Dan aku tidak butuh pecundang sepertimu.""Beri aku kesempatan sekali lagi.""Penjaga, bawa dia keluar. Aku sangat lelah mendengar ocehannya!" teriak Febby.Alex diseret keluar."Mami, aku tidak akan gagal lagi!" teriak Alex, tapi percuma.Alex dihempas begitu saja diluar."Ingat, jika kamu tidak menjaga mulutmu, saat itu juga nyawamu berakhir!" ucap penjaga bengis.Alex mengacak rambutnya. "Haish!" Dia pergi dengan mobil pick up yang selama ini dia taruh di markas Febby."Aku akan cari cara sendiri untuk menghancurkan Jovan dan Kanigara. Memangnya aku tidak mampu?" Alex terus menggerutu kesal. Dia lajukan
Jovan mulai cemas. Kemarin dokter bilang tidak ada luka serius di bagian otak. Namun, reaksi Ayana membuat Jovan bingung."Ay, katakan sesuatu!" Jovan gusar. Dia berbalik hendak memanggil dokter karena dia tidak puas hanya dengan tombol nurse call."Jo!" kata Ayana lirih, tapi masih dengan wajah tanpa ekspresi.Jovan kembali menatap Ayana, senyumnya melebar. Dia langsung menghujani Ayana dengan kecupan."Jo, kenapa kamu menciumiku? Malu kalau dilihat orang. Mana yang lain?" Jovan terperangah, dia mengangkat wajahnya dan menatap Ayana lekat."Ay, aku siapa?""Jovan, masa aku lupa?"Jovan mendesah lega. "Terus siapa aku?""Jelas, kamu yang menyelamatkanku saat di villa itu. Kamu membawaku ke basecamp dan tinggal dengan yang lain. Vincent, Leo, Robin, Brox. Di mana mereka?"Jovan kini memilih menekan tombol nurse, ada yang tidak beres pada Ayana.Sambil menunggu dokter datang, Jovan bertanya kembali."Aku suamimu, Ay. Apa kamu tidak ingat?""Kapan kita menikah, Jo. Aku memang suka padam
"Auw." Ayana mengaduh."Sakit, maaf. Aku akan lebih pelan.Di kamar rawat dengan Jovan kunci pintunya. Kini Jovan sedang mengolesi salep untuk luka di punggung dan lainnya. Bekas sabetan cambuk di punggung Ayana sangat mengilukan. Air mata Jovan merembes begitu saja."Auw!" Ayana masih mengaduh berkali-kali."Maafkan aku, Ay. Kamu jadi seperti ini karena aku ceroboh.""Tidak, jangan salahkan dirimu, Jo."Jovan meniup luka di punggung Ayana."Jo, aku mau pulang hari ini. Aku tidak mau lagi tidur di rumah sakit. Sangat sempit, kita tidak bisa berpelukan."Jovan terkekeh kecil dengan mata berkaca. "Ya, kita harus pulang hari ini. Kamu akan sembuh jika sering aku peluk."-Alex terpaksa pulang saat mendengar ibunya batuk dengan suara serak. Dia sudah tidak memakai mobil pick up lagi. Alex pulang memakai motor."Ma!" Alex masuk begitu saja.Sasmita keluar dari kamarnya. "Akhirnya kamu kembali juga, Lex.""Kita ke dokter, Ma. Maafkan Alex yang pergi terlalu lama." Alex meraih tangan ibunya.
"Papa janji jangan buat Vincent takut. Dia yang dipercaya Jovan buat jagain aku. Dia juga yang selalu ada pas aku celaka." Arabella menemui ayahnya dulu sebelum Vincent masuk."Panggil dia!""Pa, kenapa wajah papa begitu. Jangan galak-galak, nanti dia tidak mau jadi pengawalku lagi.""Ada apa dengan wajah papa?""Pa, ingat kemarin saat aku hampir dibawa musuh. Dia yang datang menyelamatkan anak papa yang cantik ini. Jangan pakai wajah galak dong, Pa!" Arabella sangat kesal. Wajah Kanigara sangat datar dan kaku."Panggil dia cepat!" Nada Kanigara agak meninggi.Arabella keluar kesal. Dia menghampiri Vincent di lantai bawah."Vinc, nanti kalau kamu ketemu papa, jangan lihat wajahnya. Kamu nunduk saja dan dengarkan dia bicara apa." Arabella membuat pesan awal."Kenapa?""Papa kadang bercanda pakai wajahnya. Sok galak, tapi aslinya dia sangat baik kok. Penyayang, dan tidak makan orang."Vincent menahan tawa. "Antarkan aku ke sana!""Janji dulu, jangan takut dan sakit hati. Mau papaku berk
Beberapa anak buah telah menahan warga lain agar tidak mendekat. Rey dan beberapa yang lain membuka paksa pintu kontrakan Alex.Sasmita kaget, matanya membelalak dan gemetar. Sedang Alex menggeram dengan mata merah nyalang."Waktumu sudah habis pecundang!" seru Rey.Alex tertawa. "Akhirnya kalian datang juga.""Siapa kalian, kenapa bertamu tidak sopan?" tanya Sasmita."Maaf, Tante, kami akan membawa anak Anda," jawab Rey."Ma, masuk. Apapun yang terjadi, jangan keluar!" Alex mendorong ibunya masuk kamar."Mama mau tahu siapa mereka, Lex.""Semua uang Alex ada di tas ransel. Mama pakai sampai habis.""Lex!" Sasmita sudah berlinang air mata." Dia mundur tapi tidak masuk kamar."Bisa kita selesaikan di luar?" tanya Alex.Rey menggeleng. "Kita sudahi kebodohanmu sekarang!" Rey mengayunkan tangan agar anak buahnya maju.Terjadi perlawanan pada Alex, tapi aksi mengelak itu tidak buruh waktu lama.Sasmita terus menjerit saat anaknya diserang dan ditangkap."Apa salah anakku, kenapa kalian me