"Aku paling bosan kalau terus di rumah begini. Bisakah kita ke mana gitu, Ayana?" Arabella terus uring-uringan di dalam kamar."Jovan menyuruhku tetap di rumah.""Lalu, kenapa dia menyuruhku datang. Sudah jelas aku tidak suka dikurung begini.""Kalau bergitu kita bilang yang lain dulu, jika mau jalan-jalan."Arabella dan Ayana mencari tiga pria. Brox, Robin, Leo sedang ada di ruang fitnes."Hey semua. Kita jalan, yuk. Ke mana aja, shopping, kulineran, terserah. Aku nggak suka mager begini di rumah "Tiga pria saling pandang. Dari hasil pergerakan mereka, Alex ada di sekitar lingkup mereka saja, tapi tidak tahu titik keberadaannya. Mereka sedang merencanakan untuk memancing dia keluar, tapi tidak sekarang. Harus tunggu Jovan dan Vincent kembali.Jika Arabella dan Ayana keluar, itu hanya akan memancing Alex. Itu praduga mereka."Ayo lah! Kita bawa banyak pengawal. Kita pergi ke tempat ramai. Apa masih akan ada bahaya?" rengek Arabella."Cuma sebentar saja, tidak masalah." Ayana ikut me
Ikatan hati yang terpaut, seolah memberi sebuah firasat pada Jovan.Vincent telah menghubungi Rey, dia terpaku dengan pandangan kosong. Apa yang telah dia dengar tidak tahu bagaimana caranya mengatakan pada Jovan.Vincent segera memesan helikopter, tanpa bertanya Jovan."Vinc, ada apa?" Mereka masih ada di hotel, dan sedang membahas strategi besok."Kamu kembalilah sekarang. Soal tender, aku yang akan maju sendiri."Jovan memicing dengan dahi berkerut. "Vinc, jangan bercanda!""Aku sudah memesan heli dan akan datang tidak lama lagi.""Vinc!" seru Jovan."Aku akan mengemasi barang-barangmu." Vincent hendak pergi, tapi cekal oleh Jovan. Jovan lantas mencengkeram kerah baju Vincent."Katakan apa yang terjadi!" Suara Jovan parau, dengan mata tajamnya.Vincent menghela nafas, matanya berkaca dan dia membuang muka."Aakkh!" Jovan menghempas Vincent.Vincent luruh di lantai."Kita pergi bersama!" Jovan sudah merasa ada hal besar yang terjadi."Tender ini sangat berarti bagimu, biar aku tin
Ayana tersungkur lemah dalam mobil itu. Siksaan itu membuat dia tak berdaya. Hanya hatinya yang terus menyebut nama Jovan.'Aku harus melakukan sesuatu, aku masih ingin melihat Jovan lagi,' batin Ayana.Ayana teringat, dia telah belajar cara membela diri, tapi apa berguna untuk melawan para pria kekar itu?'Harus dengan cara otak juga, tapi aku sangat bodoh. Bagaimana caranya aku bisa lepas dari mereka?'Ayana terus mencoba berpikir. 'Aku pernah bisa lepas dari Febby dulu, Jovan juga bilang jika aku pintar. Aku pasti bisa,' batinnya, dia meyakinkan diri.Ayana mencoba bangkit ingin duduk, tapi masih sangat susah karena goncangan mobil yang melaju di jalan terjal.'Di mana ini?' Ayana membuat terkaan.Mobil itu telah melewati tengah perkebunan dan hampir sampai di ujung desa. Rencana mereka akan membawa Ayana ke gudang tempat pangkalan para anak buah Febby Ayana kini duduk dan menggedor sekuatnya di bagian depan. Dia berharap mobil itu akan berhenti.Sekian lama berusaha, akhirnya har
"Di mana kamarnya?" Jovan tergesa tidak sabar.Salah satu anak buah Rey sedang bertanya di bagian admin."Tuan Jovan, tidak ada pasien baru yang bernama Ayana. Saya telah menunjukan foto itu dan kata mereka itu Narsih."Jovan dan Vincent saling pandang."Bawa kami ke sana!" ucap Vincent.Anak buah Rey datang hampir bersamaan dengan Jovan. Mereka langsung membuat penjagaan ketat. Direktur rumah sakit itu juga langsung di minta datang.Di kamar yang berisi beberapa pasien. Pintu itu dibuka.Jovan masuk. Dia menatap istrinya yang berbaring di brankar."Ay." Pelan Jovan mendekat, matanya berkaca yang terus dia tahan genangannya.Kini Jovan terduduk lemas di kursi sisi brankar. Dia memegang tangan Ayana. Jovan lihat ditangan istrinya saja sudah banyak luka, apalagi di kujur tubuhnya. "Ay, maafkan aku.""Kek, siapa dia. Kenapa dia nangis di sisi Mbaknya?" bisik remaja itu.Sang kakek mendekat."Mas, boleh kakek tau siapa kamu? Apa hubungan kamu sama wanita ini?""Apa kakek yang membawanya k
"Maaf, Mami. Rumah sakit itu dijaga ketat dan kita tidak mungkin membuat keributan di tempat seperti itu. Sekarang, wanita itu sudah dipindahkan ke ruang sakit kota ini." Alex berdiri, dia berharap bisa terus bergabung sampai dia bisa menjatuhkan Jovan dan Kanigara."Untuk apa aku mendengar kata maafmu. Asal kamu tahu, aku masih punya banyak bawahan dan seribu cara untuk menyerang. Dan aku tidak butuh pecundang sepertimu.""Beri aku kesempatan sekali lagi.""Penjaga, bawa dia keluar. Aku sangat lelah mendengar ocehannya!" teriak Febby.Alex diseret keluar."Mami, aku tidak akan gagal lagi!" teriak Alex, tapi percuma.Alex dihempas begitu saja diluar."Ingat, jika kamu tidak menjaga mulutmu, saat itu juga nyawamu berakhir!" ucap penjaga bengis.Alex mengacak rambutnya. "Haish!" Dia pergi dengan mobil pick up yang selama ini dia taruh di markas Febby."Aku akan cari cara sendiri untuk menghancurkan Jovan dan Kanigara. Memangnya aku tidak mampu?" Alex terus menggerutu kesal. Dia lajukan
Jovan mulai cemas. Kemarin dokter bilang tidak ada luka serius di bagian otak. Namun, reaksi Ayana membuat Jovan bingung."Ay, katakan sesuatu!" Jovan gusar. Dia berbalik hendak memanggil dokter karena dia tidak puas hanya dengan tombol nurse call."Jo!" kata Ayana lirih, tapi masih dengan wajah tanpa ekspresi.Jovan kembali menatap Ayana, senyumnya melebar. Dia langsung menghujani Ayana dengan kecupan."Jo, kenapa kamu menciumiku? Malu kalau dilihat orang. Mana yang lain?" Jovan terperangah, dia mengangkat wajahnya dan menatap Ayana lekat."Ay, aku siapa?""Jovan, masa aku lupa?"Jovan mendesah lega. "Terus siapa aku?""Jelas, kamu yang menyelamatkanku saat di villa itu. Kamu membawaku ke basecamp dan tinggal dengan yang lain. Vincent, Leo, Robin, Brox. Di mana mereka?"Jovan kini memilih menekan tombol nurse, ada yang tidak beres pada Ayana.Sambil menunggu dokter datang, Jovan bertanya kembali."Aku suamimu, Ay. Apa kamu tidak ingat?""Kapan kita menikah, Jo. Aku memang suka padam
"Auw." Ayana mengaduh."Sakit, maaf. Aku akan lebih pelan.Di kamar rawat dengan Jovan kunci pintunya. Kini Jovan sedang mengolesi salep untuk luka di punggung dan lainnya. Bekas sabetan cambuk di punggung Ayana sangat mengilukan. Air mata Jovan merembes begitu saja."Auw!" Ayana masih mengaduh berkali-kali."Maafkan aku, Ay. Kamu jadi seperti ini karena aku ceroboh.""Tidak, jangan salahkan dirimu, Jo."Jovan meniup luka di punggung Ayana."Jo, aku mau pulang hari ini. Aku tidak mau lagi tidur di rumah sakit. Sangat sempit, kita tidak bisa berpelukan."Jovan terkekeh kecil dengan mata berkaca. "Ya, kita harus pulang hari ini. Kamu akan sembuh jika sering aku peluk."-Alex terpaksa pulang saat mendengar ibunya batuk dengan suara serak. Dia sudah tidak memakai mobil pick up lagi. Alex pulang memakai motor."Ma!" Alex masuk begitu saja.Sasmita keluar dari kamarnya. "Akhirnya kamu kembali juga, Lex.""Kita ke dokter, Ma. Maafkan Alex yang pergi terlalu lama." Alex meraih tangan ibunya.
"Papa janji jangan buat Vincent takut. Dia yang dipercaya Jovan buat jagain aku. Dia juga yang selalu ada pas aku celaka." Arabella menemui ayahnya dulu sebelum Vincent masuk."Panggil dia!""Pa, kenapa wajah papa begitu. Jangan galak-galak, nanti dia tidak mau jadi pengawalku lagi.""Ada apa dengan wajah papa?""Pa, ingat kemarin saat aku hampir dibawa musuh. Dia yang datang menyelamatkan anak papa yang cantik ini. Jangan pakai wajah galak dong, Pa!" Arabella sangat kesal. Wajah Kanigara sangat datar dan kaku."Panggil dia cepat!" Nada Kanigara agak meninggi.Arabella keluar kesal. Dia menghampiri Vincent di lantai bawah."Vinc, nanti kalau kamu ketemu papa, jangan lihat wajahnya. Kamu nunduk saja dan dengarkan dia bicara apa." Arabella membuat pesan awal."Kenapa?""Papa kadang bercanda pakai wajahnya. Sok galak, tapi aslinya dia sangat baik kok. Penyayang, dan tidak makan orang."Vincent menahan tawa. "Antarkan aku ke sana!""Janji dulu, jangan takut dan sakit hati. Mau papaku berk
Ditinggal hampir satu bulan oleh Jovan. Ayana jadi semakin kurus. Dia susah tidur dan makan, suami hanya vc sehari satu kali."Kamu harus makan, Ayana. Kalau Jovan pulang dan kamu terlihat seperti ini, kami yang akan jadi sasaran utama," ucap Leo."Apa dia sangat sibuk di sana, sampai tidak bisa sering menghubungiku? Kan hanya jaga saja, nggak kerja?""Jovan tidak di sini bukan berarti dia tidak bekerja. Justru dia sangat sibuk di sana," ucap Brox."Benar, jangan sampai saat suamimu di sana sibuk, kamu di sini malah membuat dia cemas," sahut Robin.Ayana diam sejenak, dia lantas mengambil piring itu dan makan banyak.Masih pagi di depan rumah Jovan. Sasmita dan Alex sudah berada di sana."Ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan dan Nyonya," kata penjaga."Siapa?" tanya Ayana."Ibu Sasmita dan Alex."Semua jadi saling pandang."Bawa masuk!" suruh Vincent.Penjaga pergi."Aku takut." Wajah Ayana jadi pucat."Kami pastikan dia tidak akan bisa menyakitimu," ucap Brox.Alex dan Sasmita masu
Vincent hampir terhuyung saat Arabella menelponnya."Ada apa, Vinc?" tanya Jovan."Terjadi sesuatu pada tuan Kanigara."Mata Jovan melebar. "Katakan dengan benar!""Kita ke rumah sakit untuk tahu kebenarannya. Arabella tidak bilang secara detail.""Aku ikut, Jo." Mata berkaca Ayana menatap harap."Aku akan kabari kamu nanti. Ini sudah malam, kamu harus istirahat."Ayana terpaksa menurut, dan para pria lekas pergi ke rumah sakit."Jovan cepat berlari ke ruang penanganan."Vinc!" Arabella menghambur memeluk Vincent sambil terisak. "Papa, Vinc."Vincent membawa duduk dan tetap mendekap."Apa yang terjadi, Rey?" seru Jovan.Rey hanya menggeleng. Dia meremas tangan di depan, dan terus menoleh pada pintu ruang tindakan.Jovan mulai membuat praduga. "Apa yang kamu sembunyikan dariku selama ini, Rey?" Rasa gelisah membuat Jovan menyentak.Rey terdengar menghela nafas. "Dokter yang akan menjelaskan nanti.""Jika nanti kamu terbukti sengaja membuat kekacauan, aku akan membuat perhitungan padamu
Bagaimana tidak kembali terguncang. Sasmita merasa dirinya benar-benar sendiri dan sangat takut."Alex, kamu di mana, Nak!" teriak Sasmita, dia berlari ke tengah jalan raya.Sebuah kendaraan melaju cepat tepat di arah Sasmita."Bu, awas ...!!" teriak anak buah Rey.Sasmita berjongkok saat mobil itu sangat dekat."Aaaa ....." Jantung Sasmita berdetak sangat kencang. Mobil itu berhenti di depan Sasmita, hampir menabrak."Hey, jangan gila dong. Kalau ketabrak kita yang disalahin!" teriak pengemudi itu.Pandangan Sasmita kabur dan pusing, dia pingsan."Bu!" Anak buah Rey mengangkat Sasmita. -"Ibu Sasmita berada di rumah sakit."Kabar itu telah sampai pada Kanigara dan Jovan. Mereka segera melihat kondisi wanita malang itu.Di kamar rawat. Sasmita telah terbaring belum sadar. Kanigara dan Jovan tidak tega melihatnya."Bagaimana Alex?" tanya Kanigara."Aku bisa melepaskannya. Sepertinya dia sudah tidak menjadi ancaman." Jovan menatap brankar Sasmita.Kanigara menoleh pada Rey. "Bawa dia b
"Jadi kamu sudah menikah, anak baik?" tanya Sasmita. Mereka sudah berada di mobil."Istriku sedang mengandung.""Aku berdo'a untuk kalian, semoga selalu diberi kebahagiaan. Anak kalian juga akan sukses seperti kalian. "Terima kasih.""Aku juga berharap bisa mendapat cucu dari Alex, pasti sangat lucu. Ah, aku berpikir terlalu tinggi." Sasmita menyeka buliran yang kembali jatuh dengan kekehan kaku.Jovan menatap arah jalan. Dia mengatur nafasnya dan mengurai rasa yang terus mendesak di dada.Tiba di lapas."Anak naik, Alex?" Mata Sasmita melebar sambil menunjuk arah bangunan itu."Om Gara memilih jalan tengah. Semoga anak Anda dapat mengerti kebaikan hati Om Gara.""Terima kasih anakku telah diberi keringanan." Karena Sasmita paham dunia mereka yang tidak segan akan menggunakan hukum nyawa dibayar nyawa.Mereka masuk. Menunggu beberapa saat."Alex!" seru Samita, dia menghambur pada anaknya."Ma."Dua insan itu berpelukan dengan sahutan tangis.Jovan mendongak, dia teringat kedua orang
Kini semua berpindah dari meja makan. Ayana bersama Arabella sedang para lelaki sebagian bermain catur."Om, papa ingin bertemu dengan Anda dalam waktu dekat ini. Saya ingin membuat janji dengan Anda terkait hal itu," ucap Fabian."Kamu atur saja bersama Rey," jawab Kanigara.Jovan mendoyongkan kepala pada Vincent di sisinya."Jangan sampai kalah sama pria jelek itu. Aku tidak sabar menunggu IQmu jatuh ke dasar jurang," bisik Jovan."Cepat, setelah itu giliranku,' Leo juga menyahut dengan bisikan di sisi Vincent."Diam kalian!" gumam lirih Vincent.Robin dan Brox menendang kaki Leo dan Vincent. Sambil mengedip mata pada mereka."Ada yang ingin kalian katakan?" tanya Kanigara."Vincent mau ngajak Arabella makan malam besok, tapi dia takut tidak dapat izin," sahut Jovan.Vincent menginjak kaki Jovan kuat sambil tersenyum malu pada Kanigara."Bukankah kemarin kamu juga mengajak dia makan?" jawab Kanigara membuat Vincent gugup."Maaf, Tuan. Arabella memaksa." Vincent melipat bibirnya."S
Di dapur masih sepi, Jovan bingung dan tidak tega membangunkan pembantu. Akhirnya dengan modal tutorial vidio medsos Jovan membuat dengan tangannya sendiri.Sekian saat berkutat di dapur, dengan bukti peluh yang terus mengucur. Bibir Jovan juga terus menghembus nafas, yang ternyata kepedesan."Tuan, kenapa masak pagi sekali?" Sudah ada satu pembantu yang bangun karena mencium bau tajam.Jovan terbatuk. "Aku buat seblak, kamu lanjutkan!" Jovan tidak tahan dan mundur.Pembantu itu melihat kondisi dapur. Kerupuk berceceran, mie, sayur, semua berantakan dalam wadah. Berantakan dan salah.Akhirnya pembantu itu mulai dari langkah awal.Jovan kembali ke kamar. "Jo, mana seblaknya?" Ayana sudah wangi.Jovan tersenyum jahil. "Baru disiapkan sama bibi." Dia maju dan mengendus ceruk leher Ayana. "Jo, kamu bau!" Ayana menggeser wajah Jovan."Aku tahu, mandiin aku bentar dong, Ay.""Nggak mau. Mandi sama kamu bakalan lama." Ayana terkekeh geli."Olah raga pagi bagus untuk kesehatan dan ibu hamil
Berangkat dengan beberapa mobil. Mereka menempuh jarak sekitar 1 jam. Hingga tiba di sebuah tempat di tengah bangunan tinggi. Dari depan tidak terlalu ramai dan tidak ada penjaga di pintu depan. Hanya tertulis tempat karaoke biasa. "Anak buahku sudah berjaga mengepung. Kita masuk!" ucap Rey.Mereka memakai pakaian serba hitam tanpa identitas. Masuk pintu utama, baru ada penjaga yang duduk sambil bermain kartu."Siapa kalian!" Para penjaga menghadang.Hanya tiga pria kekar. Adu hantam tidak memakan waktu lama.Masuk ke pintu kedua, melewati lorong gelap."Ini bukan tempat karaoke, jelas perdagangan wanita malam," ucap Robin."Tapi, di mana tempat parkir dan sebelah mana pintu masuk pelanggan?" bingung Brox."Pasti ada dan akan kita cari!" sahut Leo.Tiba di area dalam. Seperti pusat hiburan para sultan. Meja bertender terbentang panjang. Ada yang memandu karaoke di sana, tapi masih ada lorong-lorong di sana."Ada penyusup!" teriak satu penjaga di dalam.Seketika berhambur mereka yan
Memicing dan begidik, Arabella tidak habis pikir dengan ide Vincent untuk makan di tempat seperti itu."Ini bersih?" bisik Arabella memajukan wajah pada Vincent.Vincent menahan nafas sekian detik, karena tersapu nafas Arabella."Kita serius mau makan tempat ini?" Arabella menoleh pada para pengunjung lain.Vincent agak memundurkan kursi plastik tanpa punggung itu. "Kamu boleh tunggu di mobil kalau tidak mau makan," ucap Vincent.Terdengar desahan kesal dari Arabella.Makanan datang. Aneka olahan seafood yang menggunggah selera. Vincent memesan lumayan banyak.Vincent memakai sarung tangan plastik. Dia mengambil lobster dan menyuapi Arabella."Coba dulu baru komentar. Jangan terbiasa membuat kesimpulan tanpa mengetahui isi masalah."Arabella menerima suapan yang agak dipaksa itu. Mengunyah pelan dengan merasakan ...."Lumayan!" Arabella kini memakai sarung tangan plastik dan segera merebut makanan itu.Pedas enak. Arabella dan Vincent menikmati sambil tertawa dan berebut."Vinc!" ser
Anak Tuan Kanigara jadi karyawan biasa? Apa tidak salah? Itu yang ada dalam pikiran para karyawan saat Vincent mengantar Arabella ke meja kerjanya."Pak, Vincent.""Pak, Vinc."Banyak yang menyapa Vincent dengan senyum ramah. Namun, Vincent tetap berwajah datar.Tidak dengan Arabella. Dia mencebik dan mengumpat dalam hati."Ini meja kerjamu, soal tugas pekerjaanmu akan dijelaskan oleh manajer nanti. Aku pergi dulu, di luar sana sudah ada pengawal yang mengawasimu," jelas Vincent."Nanti makan siang aku ke ruanganmu."Vincent mengangguk, dia pergi."Mana manajernya, cepat bilang apa tugasku!" seru Arabella, tetap saja dia tidak bisa melepas identitas anak petinggi perusahaan ini.Yang katanya manajer malah takut dan sungkan pada Arabella. Dia menjelaskan dengan terbata dan gugup.Suasana ruangan menjadi tegang dan Arabella tidak peduli hal itu, dia hanya ingin cepat naik jabatan jadi manajer dalam waktu satu bulan dan membuat Vincent puas. Arabella fokus pada layar komputernya.Di rum