"Mama," katanya tiba tiba. Seketika jantungku seperti berhenti berdetak. Anakku mengenaliku? Bagaimana ini? Padahal ini baru permulaanku melancarkan aksiku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang?...Suasana mendadak tegang. Dibalik meja kerjanya kulihat Mas Adjie memperhatikanku tak berkedip, sementara wanita licik di sebelahnya mengerutkan dahinya, menatap bergantian ke arahku dan Mas Adjie.Sejenak kupejamkan mata untuk menata hatiku. Kutahan untuk tak menghela nafas berat agar tak terlihat gurat frustasi di wajahku. Senyum tetap kupasang dengan sempurna."Tante mirip sama Mamanya Joe ya?" tanyaku sedikit berani sambil balik mengusap pipi halusnya. "Terima kasih ya, Sayang, pujiannya untuk Tante. Tapi kan ... Mama Joe jauuuh lebih cantik dari Tante. Itu!" Aku membalikkan badan bocah kecil itu menghadap ke arah Afika. "Cantik kan Mamanya Joe?" k
Sepulang dari kantor, aku langsung menuju ke rumah Mas Bondan. Dia adalah sahabat suamiku. Tapi entah kenapa, justru dia lah yang waktu itu menyelamatkanku dari kecelakaan yang telah direncanakan oleh Afika dan Mas Adjie itu.Turun dari taksi online, aku bergegas masuk ke dalam rumah seperti biasa. Aku tak perlu khawatir jika ada orang yang melihatku di rumah ini, bahkan jika itu Mas Adjie sekalipun. Karena setahu orang-orang di kompleks ini, aku adalah saudara jauh Mas Bondan yang datang dari luar kota.Saat mobilku disabotase waktu itu dan aku mengalami kecelakaan dalam perjalananku menuju tempat Mas Adjie mengajakku untuk bertemu, Mas Bondan yang pernah secara tidak sengaja mendengar percakapan rahasia antara suamiku dan Afika pun ternyata membuntutiku.Tepat saat mobilku hilang kendali di jalanan pegunungan lalu jatuh ke jurang hingga membuatku terluka parah, Mas Bondan yang tela
Aku sudah tidak heran ketika mobil yang dikendarai Mas Adjie ternyata berhenti di depan sebuah hotel. Seorang petugas valet segera menyambut kami dan menggantikan posisi Mas Adjie yang segera turun, lalu mengulurkan tangannya ke arahku yang juga sudah keluar dari mobil beberapa saat sebelumnya."Kita ketemu klien di sini, Pak?" tanyaku basa-basi."Iya, Livia. Aku sudah siapkan ruangan untuk meeting kita. Ayo!" ajaknya kemudian. Lalu kami pun beriringan menuju lobby hotel.Saat aku dan Mas Adjie sampai di depan counter receptionist, seorang petugas cantik segera menyambut suamiku dengan ramah. Dan ternyata benar, Mas Adjie segera menerima kartu akses yang disodorkan petugas itu padanya.Tak berapa lama kemudian, kami pun telah berada di sebuah ruangan kamar presiden suite di hotel tersebut. Aku sedikit ragu ketika tadinya Mas Adjie membuka kamar dan
"Mas Bondan?"Lelaki bertubuh atletis di depanku itu tersenyum sedikit aneh."Kamu di sini rupanya, Liv?" tanyanya seperti sedang berpura-pura, karena kulihat kedua matanya seperti mengisyaratkan sesuatu padaku. "Apa memangnya yang dilakukan bos kamu tengah malam gini di kamar hotel?" tanyanya lagi sambil terkekeh pelan dan berjalan memasuki ruangan."Jangan bikin gosip. Kemarilah, Dan!" ujar Mas Adjie dari sofanya. Perlahan akupun menutup pintu kamar dan bergabung bersama mereka."Kupikir penyakitmu udah sembuh, Ji. Ternyata belum." Mas Bondan nampak kembali terkekeh. Kini lebih keras."Ngomong apa sih kamu?" Wajah Mas Adjie kulihat bersemu merah. Aku tahu kelakar apa yang sedang diucapkan Mas Bondan itu. Dia pasti sedang menyindir Mas Adjie karena ternyata sampai sekarang masih saja bermain-main dengan para sekretaris di bel
"Kok baru pulang sih jam segini, Pa?" Afika menyambut suaminya dengan wajah cemberut di pintu kamar tamu. Hampir semalaman dia tidak bisa tidur menunggu suaminya itu pulang. "Kan sudah kubilang aku lagi sama Bondan bahas proyek baru, Ma." "Iya, tapi apa nggak bisa siang aja. Kenapa mesti malem-malem gini sih meeting? Sampai hampir pagi." Afika makin cemberut. "Jangan curigaan terus dong, Sayang. Aku jadi nggak nyaman kerja kalau terus dicurigai seperti ini." Adjie mulai protes. Kebiasaan Afika jika dia pulang telat memang seperti itu, curiga dan selalu mengomel. "Bukan sama sekretaris baru kamu itu kan?" sindir Afika. "Siapa? Livia?" "Nggak tau lah siapa namanya itu." Afika melengos. Lalu mengikuti suaminya berjalan menuju kamar mereka.
Lega akhirnya ketika Ana berhasil mengembalikan kembali rekaman CCTV kantor itu ke tempat penyimpanannya. Dengan langkah pasti wanita itu pun kembali ke ruangannya.Beberapa staf yang menempati satu ruangan dengannya nampak menyapanya ramah saat dia datang. Itu pemandangan yang sudah biasa di kantor itu. Sekretaris pribadi direktur, apalagi dengan status masih single dan memiliki paras cantik akan jadi sasaran karyawan lain untuk berlomba mendekati. Dekat dengan sekretaris kesayangan bos, artinya punya akses lebih ke atasan mereka. Setidaknya mereka bisa mengandalkannya untuk menyampaikan segala keinginan lewat wanita kesayangan itu.Tapi ini baru hari kedua Ana memulai pekerjaannya. Sepertinya masih terlalu dini bagi mereka untuk mengatakan bahwa dia akan menjadi kesayangan seperti desas-desus yang beredar."Livia, pulang kerja kita mau hangout di White Park Cafe. Kamu mau gab
Afika memasuki ruang kerja Bondan dengan langkah cepat. Bahkan sekretaris lelaki itu pun dengan sangat tak enak hati harus mengejarnya sampai ke depan meja kerja atasannya.Bondan yang sedang sibuk dengan layar laptop di depannya terlihat begitu kaget melihat kedatangan Afika. Dengan refleks di tutupnya benda pipih di depannya seolah takut sesuatu akan diketahui oleh wanita cantik istri dari sahabatnya itu."Maaf, Pak Bondan. Saya sudah mencegah ibu ini masuk, tapi dia memaksa," kata sang sekretaris dengan rasa bersalahnya."It's okay. Kamu boleh kembali," ucap Bondan tenang. Andai saja dia tidak ingin membuat Afika tidak bertambah curiga dengan sikap paniknya atas kehadirannya, mungkin Bondan akan benar-benar sangat marah dengan sekretaris cantiknya itu."Silakan duduk, Afika. Ada apa? Tumben?" kata lelaki itu mempersilakan istri sahabatnya saat di
Malam sudah kian larut saat Livia memasuki ruang apartemennya. Tubuhnya lelah, tapi ketiga teman barunya tadi lumayan menghiburnya. Mereka tidak begitu buruk, mungkin hanya sedikit kekanakan. Livia yakin diantara ketiganya belum ada yang pernah mengalami nasib tragis seperti yang dialaminya. Hidup mereka terlihat sangat baik-baik saja.Sejenak bersama ketiganya tadi, nyaris membuat Livia lupa bahwa dia memiliki tujuan berada di tempat ini. Dia tidak sedang bekerja untuk sekedar bertahan hidup atau hanya mencari pengalaman seperti apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Bahkan hidup dan matinya sekarang dipertaruhkan di sini. Di perusahaan yang dulunya merupakan peninggalan orang tuanya untuknya, namun dengan mudahnya sekarang beralih ke tangan orang lain.Di bawah guyuran air hangat dari shower di kamar mandinya, Livia bisa sedikit rileks. Selepas mandi dia masih punya waktu beberapa jam untuk beristirahat, sebelum ke