Share

PART 4

Penulis: Reinee
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku sudah tidak heran ketika mobil yang dikendarai Mas Adjie ternyata berhenti di depan sebuah hotel. Seorang petugas valet segera menyambut kami dan menggantikan posisi Mas Adjie yang segera turun, lalu mengulurkan tangannya ke arahku yang juga sudah keluar dari mobil beberapa saat sebelumnya. 

 

"Kita ketemu klien di sini, Pak?" tanyaku basa-basi.

 

"Iya, Livia. Aku sudah siapkan ruangan untuk meeting kita. Ayo!" ajaknya kemudian. Lalu kami pun beriringan menuju lobby hotel. 

 

Saat aku dan Mas Adjie sampai di depan counter receptionist, seorang petugas cantik segera menyambut suamiku dengan ramah. Dan ternyata benar, Mas Adjie segera menerima kartu akses yang disodorkan petugas itu padanya. 

 

Tak berapa lama kemudian, kami pun telah berada di sebuah ruangan kamar presiden suite di hotel tersebut. Aku sedikit ragu ketika tadinya Mas Adjie membuka kamar dan mengajakku masuk. Tapi sepertinya mungkin aku salah. Ada ruang tamu kecil di ruangan itu yang kupikir memang dipesannya untuk menerima seorang tamu. 

 

"Duduklah, Livia. Mau minum apa?" tawarnya. Dan tentu saja aku harus berpura-pura sangat kikuk dengan tawaran itu.

 

"Tidak, Pak. Tidak perlu. Bapak yang butuh apa, biar saya ambilkan," kataku.

 

"Kamu tidak hanya cerdas, tapi ternyata juga manis sekali, Livia. Dan sepertinya aku mulai menyukaimu," komentarnya menggoda.

 

"Biasa saja, Pak. Saya bawahan anda. Jadi sudah seharusnya begitu." Aku pun berpura-pura tersenyum malu-malu. 

 

"Baiklah, tolong ambil dua botol minuman di mini bar. Kalau kamu mau snack ambil sekalian juga," ujarnya sambil melonggarkan sedikit dasinya dan mulai mendudukkan diri di sofa.

 

Tak banyak bertanya, aku pun menuruti kata-katanya. Lalu kembali dengan membawa dua botol minuman yang dipesannya. 

 

"Maaf, kalau boleh tau jam berapa kliennya datang, Pak?" 

 

"Duduklah dulu. Kita ngobrol-ngobrol dulu. Sebentar lagi dia datang. Dia masih di perjalanan."

 

"Ooh begitu. Baiklah." 

 

Aku pun segera mengambil tempat duduk di seberang suamiku dan mulai menyesap minumanku, sementara dia mulai membuka laptop yang tadi dibawanya di dalam tas kerja.

 

"Kamu tau, Afika dulu adalah mantan sekretarisku."

 

"Istri anda, Pak?" Aku hampir tersedak saat dia tiba-tiba menceritakan soal istri barunya di tengah-tengah dia mengamati layar benda pipih di depannya. 

 

"Iya, istriku."

 

"Oh, benar-benar wanita yang sangat beruntung,"  pujiku setengah bergumam. 

 

"Menurutmu begitu? Dia beruntung memiliki aku?" Dahinya mengernyit padaku.

 

"Saya rasa begitu."

 

"Kamu salah, Liv. Aku bukan orang yang sempurna. Jadi sebenarnya Afika tidak seberuntung itu. Justru dia yang banyak mendukungku selama ini sampai aku bisa sukses seperti sekarang." Dia menjelaskan dengan panjang lebar tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Matanya terus saja menatap benda di depannya, sementara bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. 

 

Sebenarnya aku sangat kaget mendengar pernyataan Mas Adjie barusan. Dia ternyata begitu memuja Afika. Bahkan mengklaim bahwa kesuksesannya sekarang adalah buah dari usaha Afika.

 

"Berarti anda yang beruntung memiliki Bu Afika, Pak." Aku terus saja mengikuti ritme pembicaraan itu. Entah apa sebenarnya yang kucari. Tapi aku mulai mengendus bahwa peran Afika begitu besar dalam usaha menyingkirkanku setahun yang lalu. 

 

"Yaa, bisa dibilang begitu. Meskipun tidak seluruhnya benar. Sebagai lelaki aku punya keinginan yang tak bisa dia berikan."

 

"Maksud, Bapak?" Aku menjeda kalimatku saat melihat sorot matanya mulai serius saat menoleh menatapku. "Emm maaf, Pak. Seharusnya saya tidak bertanya seperti itu. Maafkan saya."

 

"Tidak apa-apa. Kamu boleh bertanya. Sebagai istri, Afika itu terlalu dominan untukku. Dia terkadang sulit untuk dikendalikan. Tapi hal yang paling menyedihkan dari semua itu adalah," Mas Adjie berhenti dari kalimatnya. Menatapku sekilas untuk kemudian seperti membuang muka ke arah lain. "Dia tidak bisa memberikanku keturunan," lanjutnya dengan nada getir. 

 

"Oh, maaf Pak. Saya tidak bermaksud ...," kataku berpura-pura menyesal. Walaupun sebenarnya aku pun kaget dengan pernyataan terakhirnya itu.

 

"Tidak perlu minta maaf, itu kenyataan."

 

"Tapi bukankah anda dan ibu sudah memiliki seorang putra?" Tiba-tiba aku teringat Joe. Mungkin ini bahan obrolan yang bagus untuk sedikit mengorek informasi.

 

"Joe?" tanyanya. 

 

"Iya, yang tadi siang datang ke kantor bersama ibu." Aku mengangguk membenarkan. 

 

"Dia anakku dengan mantan istriku terdahulu." 

 

"Oh."

 

"Sebelum Afika, aku sudah memilki istri, namanya Ana. Tapi dia meninggal dalam  sebuah kecelakaan. Itu sebenarnya yang dimaksud Joe tadi. Dia menyangka kamu adalah Ana. Padahal kalian berdua jauh berbeda."

 

"Benarkah?" 

 

"Tidak. Itu tidak benar. Joe hanya ngawur. Ana tidak ada apa-apanya dibanding kamu. Kamu jauh lebih cantik. Kamu bahkan melebihi Afika."

 

Aku menahan nafas. Dia mulai membual dengan kata-kata rayuan. Bahkan dia mengungkapkan rahasia kelemahan istrinya padaku yang notebene baru sehari bekerja sebagai sekretarisnya. Apakah begitu tidak bahagianya kehidupannya dengan Afika sehingga Mas Adjie berbuat seperti ini? Atau ini memang sudah jadi sifatnya? Merayu seorang wanita dengan menjelekkan wanita lainnya.

 

"Jujur Livia, seandainya aku belum punya istri. Kamu pasti yang akan kupilih untuk mendampingiku. Kamu tidak hanya cantik, tapi pandai dan ..."

 

"Dan apa, Pak?" tanyaku malu-malu melihatnya menghentikan kalimatnya dan justru memandangi wajahku penuh sorot kekaguman. 

 

"Dan kamu wanita yang penurut, kurasa. Bukan seorang pembangkang."

 

Aku yakin mulutku membulat sekarang. Tapi aku harus tetap bersikap wajar. Aku baru menyadari bahwa kemungkinan besar yang dia sebut pembangkang itu adalah Afika. Aku yang dulu saat menjadi Ana juga adalah wanita yang penurut. Bahkan terlqlu penurut. Seorang wanita rumahan yang hanya bisa berkata 'iya' pada setiap perlakuannya. Bahkan dengan bodohnya bisa ditipu, dibuang, dan diperdaya.

 

"Ana dulu juga penurut. Tapi sayang, dia tidak pintar dan tidak cantik sepertimu. Kamu sempurna, Liv." 

 

Tak kusadari dalam keterjutanku tadi, Mas Adjie saat ini ternyata sudah duduk disampingku. Entah kapan dia berpindah tempat. Tapi aku sangat gugup. Jantungku berdebaran tak karuan. Lelaki ini, yang sekarang begitu dekat denganku dan hanya berjarak beberapa inch saja ini, meskipun orang yang sangat jahat, bagaimanapun pernah menjadi seseorang yang paling kupuja. 

 

"Tidak Livia, kamu harus kuat. Jangan lemah." Suara bisik hatiku mulai memberontak. Itu juga doktrin yang selalu diberikan Mas Bondan padaku. 

 

"Kalau sedikit saja kamu menyerah pada Adjie. Maka rencana kita akan gagal. Berhati-hatilah, Ana." Terngiang kata-kata Mas Bondan yang selalu diulangnya padaku.

 

Aku menahan nafas saat perlahan wajah Mas Adjie mendekat. Namun aku tahu bahwa aku harus menghindar. Bukan untuk membuatnya tersinggung, tapi untuk membuatnya semakin penasaran dan tergila gila. 

 

Dia sedikit memiringkan wajah saat melihat tubuhku sedikit condong ke belakang. Sepertinya dia ingin marah, tapi mulutnya menyinggingkan senyum nakal. Hingga beberapa menit kemudian bel pintu kamar berbunyi dan menyelamatkanku. Aku menarik nafas lega.

 

"S*al!" umpat Mas Adjie lemah. Lalu membenarkan letak dasi yang tadi sempat dilonggarkannya. Sementara aku kembali ke posisi semula dengan deheman kecil yang kukeluarkan untuk kembali menata suasana. 

 

"Tolong bukakan pintunya, Livia," perintahnya. 

 

"Baik, Pak," sigapku seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami sebelumnya. 

 

Aku berjalan menuju pintu kemudian mulai membukanya perlahan. Tapi mataku segera membulat saat kulihat siapa yang sedang berdiri di depanku saat ini. 

 

"Mas Bondan?" 

Bab terkait

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 5

    "Mas Bondan?"Lelaki bertubuh atletis di depanku itu tersenyum sedikit aneh."Kamu di sini rupanya, Liv?" tanyanya seperti sedang berpura-pura, karena kulihat kedua matanya seperti mengisyaratkan sesuatu padaku. "Apa memangnya yang dilakukan bos kamu tengah malam gini di kamar hotel?" tanyanya lagi sambil terkekeh pelan dan berjalan memasuki ruangan."Jangan bikin gosip. Kemarilah, Dan!" ujar Mas Adjie dari sofanya. Perlahan akupun menutup pintu kamar dan bergabung bersama mereka."Kupikir penyakitmu udah sembuh, Ji. Ternyata belum." Mas Bondan nampak kembali terkekeh. Kini lebih keras."Ngomong apa sih kamu?" Wajah Mas Adjie kulihat bersemu merah. Aku tahu kelakar apa yang sedang diucapkan Mas Bondan itu. Dia pasti sedang menyindir Mas Adjie karena ternyata sampai sekarang masih saja bermain-main dengan para sekretaris di bel

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 6 (AUTHOR'S P.O.V)

    "Kok baru pulang sih jam segini, Pa?" Afika menyambut suaminya dengan wajah cemberut di pintu kamar tamu. Hampir semalaman dia tidak bisa tidur menunggu suaminya itu pulang. "Kan sudah kubilang aku lagi sama Bondan bahas proyek baru, Ma." "Iya, tapi apa nggak bisa siang aja. Kenapa mesti malem-malem gini sih meeting? Sampai hampir pagi." Afika makin cemberut. "Jangan curigaan terus dong, Sayang. Aku jadi nggak nyaman kerja kalau terus dicurigai seperti ini." Adjie mulai protes. Kebiasaan Afika jika dia pulang telat memang seperti itu, curiga dan selalu mengomel. "Bukan sama sekretaris baru kamu itu kan?" sindir Afika. "Siapa? Livia?" "Nggak tau lah siapa namanya itu." Afika melengos. Lalu mengikuti suaminya berjalan menuju kamar mereka.

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 7 (AUTHOR'S P.O.V)

    Lega akhirnya ketika Ana berhasil mengembalikan kembali rekaman CCTV kantor itu ke tempat penyimpanannya. Dengan langkah pasti wanita itu pun kembali ke ruangannya.Beberapa staf yang menempati satu ruangan dengannya nampak menyapanya ramah saat dia datang. Itu pemandangan yang sudah biasa di kantor itu. Sekretaris pribadi direktur, apalagi dengan status masih single dan memiliki paras cantik akan jadi sasaran karyawan lain untuk berlomba mendekati. Dekat dengan sekretaris kesayangan bos, artinya punya akses lebih ke atasan mereka. Setidaknya mereka bisa mengandalkannya untuk menyampaikan segala keinginan lewat wanita kesayangan itu.Tapi ini baru hari kedua Ana memulai pekerjaannya. Sepertinya masih terlalu dini bagi mereka untuk mengatakan bahwa dia akan menjadi kesayangan seperti desas-desus yang beredar."Livia, pulang kerja kita mau hangout di White Park Cafe. Kamu mau gab

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 8 (AUTHOR'S P.O.V)

    Afika memasuki ruang kerja Bondan dengan langkah cepat. Bahkan sekretaris lelaki itu pun dengan sangat tak enak hati harus mengejarnya sampai ke depan meja kerja atasannya.Bondan yang sedang sibuk dengan layar laptop di depannya terlihat begitu kaget melihat kedatangan Afika. Dengan refleks di tutupnya benda pipih di depannya seolah takut sesuatu akan diketahui oleh wanita cantik istri dari sahabatnya itu."Maaf, Pak Bondan. Saya sudah mencegah ibu ini masuk, tapi dia memaksa," kata sang sekretaris dengan rasa bersalahnya."It's okay. Kamu boleh kembali," ucap Bondan tenang. Andai saja dia tidak ingin membuat Afika tidak bertambah curiga dengan sikap paniknya atas kehadirannya, mungkin Bondan akan benar-benar sangat marah dengan sekretaris cantiknya itu."Silakan duduk, Afika. Ada apa? Tumben?" kata lelaki itu mempersilakan istri sahabatnya saat di

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 9 (AUTHOR'S P.O.V)

    Malam sudah kian larut saat Livia memasuki ruang apartemennya. Tubuhnya lelah, tapi ketiga teman barunya tadi lumayan menghiburnya. Mereka tidak begitu buruk, mungkin hanya sedikit kekanakan. Livia yakin diantara ketiganya belum ada yang pernah mengalami nasib tragis seperti yang dialaminya. Hidup mereka terlihat sangat baik-baik saja.Sejenak bersama ketiganya tadi, nyaris membuat Livia lupa bahwa dia memiliki tujuan berada di tempat ini. Dia tidak sedang bekerja untuk sekedar bertahan hidup atau hanya mencari pengalaman seperti apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Bahkan hidup dan matinya sekarang dipertaruhkan di sini. Di perusahaan yang dulunya merupakan peninggalan orang tuanya untuknya, namun dengan mudahnya sekarang beralih ke tangan orang lain.Di bawah guyuran air hangat dari shower di kamar mandinya, Livia bisa sedikit rileks. Selepas mandi dia masih punya waktu beberapa jam untuk beristirahat, sebelum ke

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 10

    "Kenapa?" Mas Bondan langsung bisa membaca kebingunganku."Mas Adjie ingin aku ke sana. Katanya ada file yang harus kubawa ke kantor."Tapi aku keheranan mendengar lelaki itu justru terkekeh aneh."Kenapa tertawa, Mas?""Aku antar kamu.""Harus diantar?" tanyaku keheranan."Iya, kecuali kamu yakin tidak akan terjadi drama di rumah kamu itu.""Mas khawatir aku tidak akan kuat berada di sana?" Aku menatapnya dengan sedikit tak suka."Tentu saja. Kamu belum pernah kembali ke rumah itu lagi sejak kamu dinyatakan mati, An. Ingat?" Dia balas menatapku tajam."Jadi Mas Bondan masih meragukan kemampuanku? Aku berhasil melakukannya dengan baik di kantor kan, Mas?""Itu beda, An. Seumur hidup k

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 11

    "Mama ..."Dia menatapku sambil tersenyum dengan sangat manis. Panggilannya kali ini entah kenapa kurasakan begitu lain dari ketika kami bertemu di kantor waktu itu. Mungkin saja aku memang benar-benar tengah terbawa perasaan karena saat ini kami sedang berada di rumah.Dalam kebingunganku bagaimana menanggapi Joe, tiba-tiba anak itu menoleh ke arah Mas Adjie."Ini mama yang di kantor papa kan?" tanyanya tiba-tiba. Dan seketika berubahlah ketegangan jadi gelak tawa Mas Adjie dan Mas Bondan."Hei, Jagoan! Kamu kangen ya sama mama?" Mas Bondan meraih pundak kurus anakku lalu diangkatnya ke pangkuan. Joe mengangguk pasti lalu menundukkan kepalanya dengan sedih. Aku menatapnya dengan senyum yang coba kupaksakan. Ingin rasanya kudekap puyra semata wayangku itu dalam pelukan."Kamu bisa main sebentar sama Tante Livia, Jo

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 12

    Kepergian Afika untuk berlibur bersama teman-teman sosialitanya ke Eropa ternyata dimanfaatkan Mas Adjie dengan baik untuk mendekatiku.Entah apakah dia benar-benar sudah jatuh hati pada istri pertama yang sekarang menjadi sekretarisnya ini, atau hanya ingin bersenang-senang saja denganku , aku masih belum terlalu paham."Kamu tidak perlu pedulikan perasaan Adjie padamu. Yang jelas ini kesempatan kamu untuk membuatnya bertekuk lutut, An. Jangan sia-siakan itu!" kata Mas Bondan berapi-api."Iya, Mas." Seperti biasa aku hanya mengangguk mengiyakan yang dia perintahkan. Diam-diam kupandangi wajah lelaki yang saat ini sedang duduk di depanku itu dengan seksama. Ada sedikit perasaan aneh di dalam dadaku.Campuran antara rasa kagum dan perasaan semacam ngeri. Dulu setahuku Mas Bondan sudah seperti saudara dengan suamiku itu. Namun ternyata setelah a

Bab terbaru

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 25

    Aku baru saja turun dari mobil yang membawaku pulang malam itu. Seperti biasa, sopir pribadiku, pak Hilman, langsung kusuruh membawa mobil itu pulang ke rumahnya."Besok jangan lupa ke sini pagi-pagi ya, Pak. Saya ada meeting lebih awal," ujarku mengingatkannya. Lelaki paruh baya itu pun mengangguk paham."Baik, Bu Ana. Siap," katanya patuh.Hari ini adalah tepat satu tahun setelah putusan hukuman 18 tahun penjara untuk mas Adjie dan Afika. Sebulan setelah sidang keputusan itu, mas Bondan pun seperti hilang ditelan bumi.Terakhir kami bertemu saat Joe berulang berulang tahun ke 7. Waktu itu dia datang dengan setelan celana abu dan kemeja linen warna putih yang membuatnya terlihat begitu gagah. Dia menghadiahi Joe sebuah jam tangan branded dengan harga fantastis.Berbulan-bulan kemudian Joe bahkan tak pernah m

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 24

    Beberapa hari setelah penangkapan mas Adjie dan Afika, mas Bondan membuktikan janjinya. Dia datang ke apartemen siang itu menemuiku dan anakku dengan membawa banyak kabar baik, tentang perusahaan dan juga tentang kabar terbaru kasus mas Adjie dan Afika."Aku sudah menunjuk pengacara untuk mengurus pemindahtanganan kekayaanmu dari suamimu, An. Juga masalah perceraian kalian.""Perceraian?" Aku mengerutkam dahi mendengar kata perceraian. Aku ingat, sebagai istri mas Adjie, statusku memang bukan janda, tapi meninggal."Iya, karena identitas kamu nantinya akan kembali ke identitasmu yang dulu. Bagaimanapun kamu tetap masih istri dari Adjie. Surat kematianmu waktu itu juga akan dihapuskan. Tapi kamu tenang saja, semua sudah ada yang mengurusnya. Aku sudah menunjuk beberapa orang untuk mengurus semuanya.""Terima kasih, Mas. Maaf aku selalu merepotkanmu."

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 23 (AUTHOR'S P.O.V)

    "Bu, Pak Adjie dan Bu Afika dibawa polisi," suara wanita di seberang sana dengan nada tergesa. Bondan yang menerima panggilan telepon itu pun menghela nafas lega."Ini aku, Bondan. Sebentar lagi aku dan Ana akan ke sana, Bi," kata lelaki itu pada wanita di seberang telepon."Oh Pak Bondan, maaf pak saya kira bu Ana, eh maksud saya bu Livia," wanita itu mendadak gugup saat menyadari salah menyebutkan nama.Bondan pun terkekeh kecil mendengarnya."It's okay. Nggak apa-apa, Bi. Ana atau Livia sama saja," kata lelaki itu, masih dengan kekehannya yang khas."Jadi pak Bondan juga sudah tau kalau bu Livia itu ..." Murni tak segera melanjutkan kalimatnya."Tentu saja aku tau. Ya sudah, tunggu ya, kami segera datang.""Baik, terima kasih, Pak." 

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 22 (AUTHOR'S P.O.V)

    "Semua bukti sudah lengkap, Pak Bondan. Para tersangka juga sudah mengakui siapa dalang dibalik semua ini. Kita akan segera limpahkan ke pengadilan setelah kita memeriksa Pak Adjie dan Istrinya."Itu kalimat terakhir yang terus terngiang di telinga Livia. Bahkan sampai dia kembali ke apartemen lagi setelah menyelesaikan semua urusannya di kantor polisi.Merebahkan tubuh lelahnya di sofa usai menyelesaikan rutinitas mandi malamnya, Livia dikejutkan dengan ketukan di pintu apartemen. Dengan gerakan refleks, wanita itu bangkit dengan kewaspadaan tinggi. Nampaknya rasa takutnya dengan peristiwa yang baru saja dialaminya bersama bondan beberapa jam yang lalu masih begitu membekas dalam dirinya.Masih dengan sikap waspada, Livia mendekat ke arah pintu, mengintip sebentar dari layar kamera, dan segera bernafas lega saat dilihatnya wajah lelaki yang sangat dikenalnya itu ternyata yang

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 21 (AUTHOR'S P.O.V)

    Entah kenapa Livia merasa dirinya sedang diawasi malam itu. Di pusat perbelanjaan dimana dia berencana membeli beberapa potong pakaian, sedari tadi gerakannya terlihat tidak tenang. Ada beberapa orang yang seperti mengikutinya terus kemana pun dia melangkah.Berhenti sejenak di salah satu stand pakaian dalam, diliriknya arloji mungil di pergelangan tangannya. Tepat jam 9 malam. Dia menarik nafas sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk menghubungi seseorang di ponselnya."Mas Bondan dimana?" ucapnya lirih di telepon."Ada apa?" Suara berat Bondan dari seberang nampak sedikit khawatir."Bisa jemput aku di mall nggak? Aku agak takut, kayak ada yang ngikutin aku dari tadi, Mas," ucapnya lirih sambil menutup mulutnya yang menempel di ponselnya."Oke, kalau gitu kamu tetap di dalam mall saja, An. Jangan keluar dulu, aku dat

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 20 ( AUTHOR'S P.O.V )

    Dengan bantuan salah satu orang kepercayaannya, Adjie berhasil membuat kesepakatan dengan orang bayaran yang lumayan bernama besar di kota itu."Serahkan semuanya pada kami, anda tidak perlu khawatir, Pak Adjie. Semua perkembangan akan Kami laporkan sesegera mungkin pada anda," kata lelaki tinggi besar yang baru saja menerima sejumlah uang dengan nominal tak main-main dari Adjie itu."Oke, tapi jangan terlalu sering menghubungiku jika itu bukan kabar yang terlalu penting. Kamu tahu kan maksudku?" ujar Adjie."Tentu, Pak. Anda jangan ragukan kerja kami. Semuanya akan beres tanpa jejak," ujar lelaki itu dengan sombongnya."Oke kalau begitu aku tunggu kabar baik dari kalian secepatnya."Usai berkata seperti itu, Adjie pun segera meninggalkan tempat bertemunya dia dengan orang bayarannya itu. Kini dia bisa sedikit bernafas lega te

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 19 (AUTHOR'S P.O.V)

    Mobil mewah Adjie melaju menembus jalanan malam yang sudah mulai agak lengang. Sedari sore sejak Livia pulang dari rumahnya, dia sudah menunggu Afika di rumah mereka. Namun istrinya itu tak kunjung datang. Entah dimana dia sekarang. Mungkin sedang berada di rumah salah satu teman sosialitanya atau di hotel untuk bersenang-senang dengan siapa, entahlah, Adjie sudah tak begitu peduli lagi.Adjie menghentikan mobilnya tepat di sebuah bangunan rumah yang tentu masih sangat dia ingat. Afika mengenalkan seorang lelaki bernama Dito itu padanya kira kira setahun yang lalu. Dialah yang akhirnya menghabisi nyawa istrinya, Ana, waktu itu."Apa kabar, Pak Adjie?" Dito ternyata menyambutnya dengan baik dan masih sangat mengingatnya. Mereka berdua memang sudah lost contact sejak rencanyanya menyingkirkan Ana berhasil. Keduanya tak lagi saling berhubungan setelah Adjie menyelesaikan pembayarannya untuk tugas lelaki itu. "Tumben Anda

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 18 (AUTHOR'S P.O.V)

    Livia turun dengan percaya diri dari taksi online yang membawanya menuju rumah Adjie. Kali ini tidak ada alasan dia untuk berpura-pura takut pada wanita bernama Afika itu."Eh, Bu Livia. Silakan masuk," Murni menyambutnya di teras bersama Joe yang langsung saja menggandeng tangan Livia akrab.Hari minggu ini Livia memang sengaja berkunjung ke rumah keluarga itu. Sebenarnya Adjie semalam sudah berkata akan menjemputnya, namun Livia lebih memilih untuk datang sendiri.Sampai di ruang tamu, Adjie sudah menyambutnya dengan semangat. Wajahnya nampak sumringah melihat wanita yang dinantinya datang. Sementara itu dari tangga lantai atas, Afika memperhatikan adegan dibawahnya dengan senyum kecut."Sudah datang, Sayang?" Tangan kokoh itu segera merengkuh tubuh langsing Livia, membuat wanita itu sedikit risih karena matanya segera tahu ada sosok yang me

  • KEMBALINYA ISTRI YANG TERBUANG   PART 17 (AUTHOR'S P.O.V)

    Pagi itu saat mobil sang majikan sudah meninggalkan halaman rumah untuk berangkat ke kantor, disusul si nyonya rumah yang terburu-buru pergi dengan sopir pribadi keluarga itu, Murni bergegas memasuki kamar utama rumah tersebut dengan membawa alat kebersihannya seperti biasa.Namun saat berada di dalam kamar, bukannya membersihkan ruangan yang dia lakukan, namun justru mengambil benda kecil yang dia letakkan hari sebelumnya di sebuah sudut yang diq yakin tak akan pernah disadari oleh pemilik kamar.Buru-buru disimpannya benda kecil yang rupanya adalah alat perekam itu ke dalam saku seragam kerjanya. Lalu dia baru mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya untuk membersihkan kamar majikannya itu....Hari sudah menjelang siang saat Murni telah bersiap pergi dengan membawa kertas berisi daftar belanjaan yang panjang.Hari ini haru

DMCA.com Protection Status