Afika memasuki ruang kerja Bondan dengan langkah cepat. Bahkan sekretaris lelaki itu pun dengan sangat tak enak hati harus mengejarnya sampai ke depan meja kerja atasannya.Bondan yang sedang sibuk dengan layar laptop di depannya terlihat begitu kaget melihat kedatangan Afika. Dengan refleks di tutupnya benda pipih di depannya seolah takut sesuatu akan diketahui oleh wanita cantik istri dari sahabatnya itu."Maaf, Pak Bondan. Saya sudah mencegah ibu ini masuk, tapi dia memaksa," kata sang sekretaris dengan rasa bersalahnya."It's okay. Kamu boleh kembali," ucap Bondan tenang. Andai saja dia tidak ingin membuat Afika tidak bertambah curiga dengan sikap paniknya atas kehadirannya, mungkin Bondan akan benar-benar sangat marah dengan sekretaris cantiknya itu."Silakan duduk, Afika. Ada apa? Tumben?" kata lelaki itu mempersilakan istri sahabatnya saat di
Malam sudah kian larut saat Livia memasuki ruang apartemennya. Tubuhnya lelah, tapi ketiga teman barunya tadi lumayan menghiburnya. Mereka tidak begitu buruk, mungkin hanya sedikit kekanakan. Livia yakin diantara ketiganya belum ada yang pernah mengalami nasib tragis seperti yang dialaminya. Hidup mereka terlihat sangat baik-baik saja.Sejenak bersama ketiganya tadi, nyaris membuat Livia lupa bahwa dia memiliki tujuan berada di tempat ini. Dia tidak sedang bekerja untuk sekedar bertahan hidup atau hanya mencari pengalaman seperti apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Bahkan hidup dan matinya sekarang dipertaruhkan di sini. Di perusahaan yang dulunya merupakan peninggalan orang tuanya untuknya, namun dengan mudahnya sekarang beralih ke tangan orang lain.Di bawah guyuran air hangat dari shower di kamar mandinya, Livia bisa sedikit rileks. Selepas mandi dia masih punya waktu beberapa jam untuk beristirahat, sebelum ke
"Kenapa?" Mas Bondan langsung bisa membaca kebingunganku."Mas Adjie ingin aku ke sana. Katanya ada file yang harus kubawa ke kantor."Tapi aku keheranan mendengar lelaki itu justru terkekeh aneh."Kenapa tertawa, Mas?""Aku antar kamu.""Harus diantar?" tanyaku keheranan."Iya, kecuali kamu yakin tidak akan terjadi drama di rumah kamu itu.""Mas khawatir aku tidak akan kuat berada di sana?" Aku menatapnya dengan sedikit tak suka."Tentu saja. Kamu belum pernah kembali ke rumah itu lagi sejak kamu dinyatakan mati, An. Ingat?" Dia balas menatapku tajam."Jadi Mas Bondan masih meragukan kemampuanku? Aku berhasil melakukannya dengan baik di kantor kan, Mas?""Itu beda, An. Seumur hidup k
"Mama ..."Dia menatapku sambil tersenyum dengan sangat manis. Panggilannya kali ini entah kenapa kurasakan begitu lain dari ketika kami bertemu di kantor waktu itu. Mungkin saja aku memang benar-benar tengah terbawa perasaan karena saat ini kami sedang berada di rumah.Dalam kebingunganku bagaimana menanggapi Joe, tiba-tiba anak itu menoleh ke arah Mas Adjie."Ini mama yang di kantor papa kan?" tanyanya tiba-tiba. Dan seketika berubahlah ketegangan jadi gelak tawa Mas Adjie dan Mas Bondan."Hei, Jagoan! Kamu kangen ya sama mama?" Mas Bondan meraih pundak kurus anakku lalu diangkatnya ke pangkuan. Joe mengangguk pasti lalu menundukkan kepalanya dengan sedih. Aku menatapnya dengan senyum yang coba kupaksakan. Ingin rasanya kudekap puyra semata wayangku itu dalam pelukan."Kamu bisa main sebentar sama Tante Livia, Jo
Kepergian Afika untuk berlibur bersama teman-teman sosialitanya ke Eropa ternyata dimanfaatkan Mas Adjie dengan baik untuk mendekatiku.Entah apakah dia benar-benar sudah jatuh hati pada istri pertama yang sekarang menjadi sekretarisnya ini, atau hanya ingin bersenang-senang saja denganku , aku masih belum terlalu paham."Kamu tidak perlu pedulikan perasaan Adjie padamu. Yang jelas ini kesempatan kamu untuk membuatnya bertekuk lutut, An. Jangan sia-siakan itu!" kata Mas Bondan berapi-api."Iya, Mas." Seperti biasa aku hanya mengangguk mengiyakan yang dia perintahkan. Diam-diam kupandangi wajah lelaki yang saat ini sedang duduk di depanku itu dengan seksama. Ada sedikit perasaan aneh di dalam dadaku.Campuran antara rasa kagum dan perasaan semacam ngeri. Dulu setahuku Mas Bondan sudah seperti saudara dengan suamiku itu. Namun ternyata setelah a
Hari ke empat kepergian Afika, seperti biasa Mas Adjie sudah memberikan sinyal padaku untuk langsung ke ruang kerjanya selepas jam kerja."Aku antar ke apartemen ya, setelah itu aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk makan malam," katanya saat melihatku datang."Maaf, kita mau kemana ya, Pak?" tanyaku basa-basi."Aku ingin menghabiskan malam ini sama kamu, Liv," jawabnya dengan penuh percaya diri."Apakah ibu belum pulang hari ini?" tanyaku lagi dengan lebih berani."Afika seminggu di luar negeri. Hari Senin besok dia baru pulang."Entah kenapa aku terlonjak mendengar perkataannya itu."Bolehkah kita menghabiskan waktu di rumah anda saja, Pak?" tanyaku buru-buru saat melihat Mas Adjie sudah bangkit dari kursi kerjanya, bersiap mengajakku meninggalka
Sepulangnya Afika dari luar negeri, Mas Adjie nampak sedikit menjaga jarak denganku. Namun setiap saat aplikasi perpesananku tak pernah absen dari sapaannya. Sepertinya dia memang sudah terpikat dengan wanita bernama Livia ini.Satu hal yang menguntungkanku saat beberapa waktu yang lalu aku berhasil kembali ke rumah itu adalah akhirnya aku tahu bahwa para asisten rumah tanggaku yang dulu ternyata masih sangat setia padaku, terutama Murni. Dan diam-diam aku sudah memberitahukan padanya tentang rahasia terbesarku.Tentu saja waktu kukatakan itu dia begitu shock, karena majikan yang dia kira telah meninggal selama ini ternyata masih hidup dan sudah kembali. Dia langsung memelukku penuh haru saat akhirnya kuceritakan kejadiannya secara garis besar. Wajah bahagia terpancar jelas di wajah wanita setia itu. Dan dia pun berjanji akan membantuku membongkar kejahatan mas Adjie dan Afika...
Pada akhirnya, mas Bondan begitu senang saat aku ternyata telah berhasil mendapatkan beberapa rekaman pembicaraan antara mas Adjie dan Afika dalam kamar mereka melalui Murni. Itu pun dia belum mendengar isi rekaman dari benda yang sebelumnya kusuruh untuk diletakkan oleh Murni di dalam kamar mereka.Wajahnya berubah jadi sangat cerah ketika kemudian dia berhasil mendengarkan semua isi benda yang sudah kuserahkan padanya itu."Perfect! Ini bukti yang bagus," katanya. Aku hanya memutar mata malas melihat reaksinya itu."Lain kali tolong jangan selalu menyalahkan semua yang kulakukan, Mas," protesku."An, aku hanya ingin kamu meminta ijin dulu padaku sebelum bertindak. Itu aja intinya. Jangan bergerak sendirian!""Aku nggak yakin kamu akan mengijinkan kalau aku ngomong dulu sama kamu, Mas."