Sepulangnya Afika dari luar negeri, Mas Adjie nampak sedikit menjaga jarak denganku. Namun setiap saat aplikasi perpesananku tak pernah absen dari sapaannya. Sepertinya dia memang sudah terpikat dengan wanita bernama Livia ini.Satu hal yang menguntungkanku saat beberapa waktu yang lalu aku berhasil kembali ke rumah itu adalah akhirnya aku tahu bahwa para asisten rumah tanggaku yang dulu ternyata masih sangat setia padaku, terutama Murni. Dan diam-diam aku sudah memberitahukan padanya tentang rahasia terbesarku.Tentu saja waktu kukatakan itu dia begitu shock, karena majikan yang dia kira telah meninggal selama ini ternyata masih hidup dan sudah kembali. Dia langsung memelukku penuh haru saat akhirnya kuceritakan kejadiannya secara garis besar. Wajah bahagia terpancar jelas di wajah wanita setia itu. Dan dia pun berjanji akan membantuku membongkar kejahatan mas Adjie dan Afika...
Pada akhirnya, mas Bondan begitu senang saat aku ternyata telah berhasil mendapatkan beberapa rekaman pembicaraan antara mas Adjie dan Afika dalam kamar mereka melalui Murni. Itu pun dia belum mendengar isi rekaman dari benda yang sebelumnya kusuruh untuk diletakkan oleh Murni di dalam kamar mereka.Wajahnya berubah jadi sangat cerah ketika kemudian dia berhasil mendengarkan semua isi benda yang sudah kuserahkan padanya itu."Perfect! Ini bukti yang bagus," katanya. Aku hanya memutar mata malas melihat reaksinya itu."Lain kali tolong jangan selalu menyalahkan semua yang kulakukan, Mas," protesku."An, aku hanya ingin kamu meminta ijin dulu padaku sebelum bertindak. Itu aja intinya. Jangan bergerak sendirian!""Aku nggak yakin kamu akan mengijinkan kalau aku ngomong dulu sama kamu, Mas."
Adjie mondar mandir tak tenang di depan Afika yang kali ini tak seperti biasanya hanya duduk terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Pandangannya kosong menatap ke lantai kamar mereka.Entah kenapa ada perasaan tak enak di hati wanita itu saat ini. Dan sebenarnya hal itu sudah dia rasakan sejak kedatangannya beberapa hari yang lalu dari berliburnya ke Eropa."Sekretarisnya Pak Adjie menginap di sini waktu Ibu di Eropa," lapor satpam rumahnya, Agus, malam itu saat dia memanggilnya khusus untuk melaporkan apa saja yang terjadi saat dia tidak ada di rumah.Di rumah itu, memang hanya Agus orang yang bisa dia percaya. Pekerja dan asisten rumah tangga lainnya seolah tak pernah tersentuh olehnya walau sudah betapapun kejam dia perlakukan, mereka tetap saja seperti orang-orang asing yang tidak pernah benar-benar menganggapnya sebagai seorang majikan.
Pagi itu saat mobil sang majikan sudah meninggalkan halaman rumah untuk berangkat ke kantor, disusul si nyonya rumah yang terburu-buru pergi dengan sopir pribadi keluarga itu, Murni bergegas memasuki kamar utama rumah tersebut dengan membawa alat kebersihannya seperti biasa.Namun saat berada di dalam kamar, bukannya membersihkan ruangan yang dia lakukan, namun justru mengambil benda kecil yang dia letakkan hari sebelumnya di sebuah sudut yang diq yakin tak akan pernah disadari oleh pemilik kamar.Buru-buru disimpannya benda kecil yang rupanya adalah alat perekam itu ke dalam saku seragam kerjanya. Lalu dia baru mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya untuk membersihkan kamar majikannya itu....Hari sudah menjelang siang saat Murni telah bersiap pergi dengan membawa kertas berisi daftar belanjaan yang panjang.Hari ini haru
Livia turun dengan percaya diri dari taksi online yang membawanya menuju rumah Adjie. Kali ini tidak ada alasan dia untuk berpura-pura takut pada wanita bernama Afika itu."Eh, Bu Livia. Silakan masuk," Murni menyambutnya di teras bersama Joe yang langsung saja menggandeng tangan Livia akrab.Hari minggu ini Livia memang sengaja berkunjung ke rumah keluarga itu. Sebenarnya Adjie semalam sudah berkata akan menjemputnya, namun Livia lebih memilih untuk datang sendiri.Sampai di ruang tamu, Adjie sudah menyambutnya dengan semangat. Wajahnya nampak sumringah melihat wanita yang dinantinya datang. Sementara itu dari tangga lantai atas, Afika memperhatikan adegan dibawahnya dengan senyum kecut."Sudah datang, Sayang?" Tangan kokoh itu segera merengkuh tubuh langsing Livia, membuat wanita itu sedikit risih karena matanya segera tahu ada sosok yang me
Mobil mewah Adjie melaju menembus jalanan malam yang sudah mulai agak lengang. Sedari sore sejak Livia pulang dari rumahnya, dia sudah menunggu Afika di rumah mereka. Namun istrinya itu tak kunjung datang. Entah dimana dia sekarang. Mungkin sedang berada di rumah salah satu teman sosialitanya atau di hotel untuk bersenang-senang dengan siapa, entahlah, Adjie sudah tak begitu peduli lagi.Adjie menghentikan mobilnya tepat di sebuah bangunan rumah yang tentu masih sangat dia ingat. Afika mengenalkan seorang lelaki bernama Dito itu padanya kira kira setahun yang lalu. Dialah yang akhirnya menghabisi nyawa istrinya, Ana, waktu itu."Apa kabar, Pak Adjie?" Dito ternyata menyambutnya dengan baik dan masih sangat mengingatnya. Mereka berdua memang sudah lost contact sejak rencanyanya menyingkirkan Ana berhasil. Keduanya tak lagi saling berhubungan setelah Adjie menyelesaikan pembayarannya untuk tugas lelaki itu. "Tumben Anda
Dengan bantuan salah satu orang kepercayaannya, Adjie berhasil membuat kesepakatan dengan orang bayaran yang lumayan bernama besar di kota itu."Serahkan semuanya pada kami, anda tidak perlu khawatir, Pak Adjie. Semua perkembangan akan Kami laporkan sesegera mungkin pada anda," kata lelaki tinggi besar yang baru saja menerima sejumlah uang dengan nominal tak main-main dari Adjie itu."Oke, tapi jangan terlalu sering menghubungiku jika itu bukan kabar yang terlalu penting. Kamu tahu kan maksudku?" ujar Adjie."Tentu, Pak. Anda jangan ragukan kerja kami. Semuanya akan beres tanpa jejak," ujar lelaki itu dengan sombongnya."Oke kalau begitu aku tunggu kabar baik dari kalian secepatnya."Usai berkata seperti itu, Adjie pun segera meninggalkan tempat bertemunya dia dengan orang bayarannya itu. Kini dia bisa sedikit bernafas lega te
Entah kenapa Livia merasa dirinya sedang diawasi malam itu. Di pusat perbelanjaan dimana dia berencana membeli beberapa potong pakaian, sedari tadi gerakannya terlihat tidak tenang. Ada beberapa orang yang seperti mengikutinya terus kemana pun dia melangkah.Berhenti sejenak di salah satu stand pakaian dalam, diliriknya arloji mungil di pergelangan tangannya. Tepat jam 9 malam. Dia menarik nafas sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk menghubungi seseorang di ponselnya."Mas Bondan dimana?" ucapnya lirih di telepon."Ada apa?" Suara berat Bondan dari seberang nampak sedikit khawatir."Bisa jemput aku di mall nggak? Aku agak takut, kayak ada yang ngikutin aku dari tadi, Mas," ucapnya lirih sambil menutup mulutnya yang menempel di ponselnya."Oke, kalau gitu kamu tetap di dalam mall saja, An. Jangan keluar dulu, aku dat