Share

PART 2

"Mama," katanya tiba tiba. Seketika jantungku seperti berhenti berdetak. Anakku mengenaliku? Bagaimana ini? Padahal ini baru permulaanku melancarkan aksiku. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? 

.

.

.

Suasana mendadak tegang. Dibalik meja kerjanya kulihat Mas Adjie memperhatikanku tak berkedip, sementara wanita licik di sebelahnya mengerutkan dahinya, menatap bergantian ke arahku dan Mas Adjie. 

 

Sejenak kupejamkan mata untuk menata hatiku. Kutahan untuk tak menghela nafas berat agar tak terlihat gurat frustasi di wajahku. Senyum tetap kupasang dengan sempurna. 

 

"Tante mirip sama Mamanya Joe ya?" tanyaku sedikit berani sambil balik mengusap pipi halusnya. "Terima kasih ya, Sayang, pujiannya untuk Tante. Tapi kan ... Mama Joe jauuuh lebih cantik dari Tante. Itu!" Aku membalikkan badan bocah kecil itu menghadap ke arah Afika. "Cantik kan Mamanya Joe?"  kataku sambil terus mengembangkan senyum. 

 

Mungkin karena menyadari ada sesuatu yang salah, Mas Adjie pun segera bangkit dan menghampiri Kami.

 

"Ini Tante Livia namanya. Bukan Mama, Sayang. Ayo, Joe ikut Mama pulang saja sekarang, tunggu Papa di rumah.  Okay?" kata Mas Adjie meyakinkan anaknya. Entah apakah dia sebenarnya curiga dengan peristiwa tadi atau tidak. Tapi menurutku, tidak ada yang bisa membuktikan bahwa aku adalah Ana, istrinya yang telah dibuang setahun yang lalu.

 

Mas Adjie menggandeng tangan Joe menuju Afika, lalu berkata lirih pada wanita itu. 

 

"Ajak Joe pulang. Sebentar lagi aku pulang kok," katanya pada istri barunya itu. Kata-katanya sangat lembut pada Afika sambil menyentuhkan tangannya ke punggung wanita itu. Sangat berbeda sekali saat dia denganku dulu. Bahkan seringnya dia justru menghindar untuk berdekatan denganku. Dan aku tahu kenapa. Karena dia hanya menikahiku karena harta keluargaku. Setelah dia mendapatkan semuanya, maka disingkirkannya aku dari kehidupannya. Benar-benar sangat licik.

 

Afika bergegas meninggalkan ruangan setelah berciuman mesra dengan Mas Adjie, membuat darahku terasa mendidih seketika. Wanita itu lalu menggandeng anakku keluar. 

 

Sambil berjalan mengikuti langkah Afika yang lumayan cepat, Joe tak hentinya terus menoleh ke arahku hingga kulihat wanita itu sedikit menyentakkan tangan anakku.

 

"Ayo Joe, cepat!" katanya sambil menatap ke arahku dengan pandangan sangat tidak bersahabat. 

 

"Selamat jalan, Bu. Sampai jumpa," kataku sambil membungkuk padanya. 

 

Setelah anak dan istri barunya pergi, Mas Adjie mendekatiku. Dia berjalan semakin dekat dan berhenti tepat di hadapanku. Kenapa dia? Apakah dia mencurigai sesuatu?

 

Dengan gerakan refleks, aku sedikit mendongak menjauhkan wajah dari suamiku itu. Dari tempatnya berdiri yang hanya kurang dari setengah meter saja dariku, dia memandangiku dengan sorot mata tajamnya yang seolah ingin menemukan sesuatu. 

 

Jantungku berdegup kencang lagi. Apakah penyamaranku telah diketahui olehnya?

 

"Livia, Maafkan ulah anakku tadi," katanya tiba-tiba sambil mengerjapķan matanya beberapa kali. "Dia hanya ngawur. Biasa kan anak kecil," katanya sambil terkekeh. 

 

Aku sedikit kaget kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu. Tapi sangat lega mengetahui bahwa dia ternyata tidak sedang mencurigaiku.

 

"Ee, tidak apa apa, Pak. Biasa saja. Saya sering menjumpai anak yang seperti itu." 

 

"Ya, Kamu benar. Tidak mungkin juga Kamu mama kandungnya Joe. Kamu jauh lebih cantik dari mamanya Joe," katanya kemudian. Lalu memiringkan senyum ke arahku dan meletakkan dua tangannya di pinggang. Sepertinya sedang ingin membuatku terpesona.

 

"Terima kasih atas pujiannya, Pak. Saya tersanjung." ucapku berpura-pura. 

 

Andai saja Kamu tahu siapa aku, Mas. Mungkinkah kamu akan tetap berkata bahwa aku jauh lebih cantik dari Ana-mu dulu?

 

"Oya, kalau begitu kembalilah ke ruanganmu sekarang. Sebentar lagi aku akan pulang. Hari ini istriku sedang berulang tahun, jadi kami akan bersiap siap merayakannya," jelasnya. "Kamu sudah meninggalkan nomer ponsel dan alamat tinggalmu ke bagian HRD kan?" tanyanya kemudian. 

 

"Sudah, Pak."

 

"Bagus! Siap-siap saja jika sewaktu-waktu aku memanggilmu." 

 

"Baik, Pak." Aku mengangguk saat dia kemudian berlalu pergi meninggalkanku di ruangannya. 

 

Huffft!!! Lega rasanya. Jelas sekali Mas Adjie memang tidak mengenaliku.

 

Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Masih lumayan siang. Dan sekarang saatnya aku akan menjalankan misiku selanjutnya. 

.

.

.

Bergegas aku menuju ruang arsip perusahaan. Seperti yang kutahu, di ruangan itulah tempat menyimpan berbagai dokumen perusahaan yang sudah lampau, termasuk rekaman CCTV yang sudah dijadikan file dari tahun ke tahun. 

 

Seorang petugas bagian arsip menyambutku saat aku datang. 

 

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya. 

 

"Saya Livia, Pak. Sekretaris baru Pak Direktur. Pak Adjie menyuruh saya mengambil dokumen laporan penjualan tahun kemarin. Apa bisa diambilkan?" pintaku dengan sopan.

 

"Oh, ya tentu. Tunggu sebentar, Bu Livia," kata si petugas.

 

Petugas lelaki berusia 30-an tahun itu segera masuk ke dalam ruangan. Saat dia sedang sibuk di dalam, aku berpura-pura menyusulnya.

 

"Pak, bagaimana, apa sudah ketemu? Boleh saya bantu?" Kataku sambil berjalan masuk ke ruangan.

 

"Sebentar, Bu. Saya sedang memeriksanya. Oh ini sudah ketemu kok tinggal diperiksa saja," katanya.

 

"Wah, ruangannya besar juga ya, Pak? Bapak sendirian saja mengerjakan tugas di sini?" tanyaku basa basi.

 

"Ada 2 orang, Bu. Kebetulan teman saya sedang libur." Dia nampak tersenyum ramah. Sepertinya senang dengan gaya ramah dan perhatian yang kutunjukkan.

 

Agar tak menimbulkan kecurigaan, aku terus saja mengajaknya bicara. Sambil berjalan mengitari ruangan itu, mataku tak henti berputar mancari dimana latak arsip rekaman CCTV berada. 

 

Aku terus berkelling sambil tak henti mengajaknya bicara hingga akhirnya, kutemukan juga akhirnya. Dipojok ruangan, arsip itu disimpan. Dengan langkah tak mencurigakan aku bergerak ke arah itu untuk kemudian mengambil kotak kecil dengan tulisan tahun paling akhir, tahun dimana aku dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan.

 

Dengan cepat kumasukkan kotak kecil berisi disk itu ke saku jasku, dan bergegas aku kembali ke tempat si petugas arsip berada. 

 

"Sudah selesai, Bu Livia. Silahkan, ini dokumen yang anda minta," katanya sopan menyerahkan setumpuk laporan yang kuminta.

 

"Baik. Terima kasih, Pak. Saya akan kembalikan segera setelah selesai," kataku. 

 

'Dan saya juga akan kembalikan disk nya setelah selesai meng-copynya,' lanjutku dalam hati. 

 

Dengan lega, akhirnya aku meninggalkan tempat itu. Aku yakin petugas itu tak akan menyadari ada sebuah disk yang hilang dari ruangan yang ditunggunya karena benda ini terlalu kecil untuk bisa menarik perhatian orang yang masuk ke ruangan itu.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status