Elang dan Alexei terkejut. Kedua laki-laki itu menatap Aruna tak percaya. Aruna mengangguk sekali lagi, lalu memegang telapak tangan Elang dengan erat. Hatinya teramat sakit, sekuat tenaga Aruna menahan emosi di dadanya."Kak Bayu, aku nggak pantas masuk dalam kehidupan Alex, lagi. Aku sudah mengecewakan dia berkali-kali. Kumohon bantu kami, Kak!" pinta wanita itu lagi sambil berusaha untuk tidak menangis.Dada Aruna terasa nyeri, lebih nyeri ketika berpisah dengan Alexei dulu. Aruna tahu, dalam waktu tujuh bulan ke depan, akan berjuang sendiri dengan tidak mudah. Aruna menunduk, menatap miris ke arah perutnya. Janin yang baru memasuki usia dua bulan itu harus menerima takdir apes. Perpisahan orang tuanya, seperti yang Aruna rasakan dulu.Di depannya, Alexei menggeleng pelan, mendengar ucapan Aruna meskipun dia tidak paham sepenuhnya. Alexei menatap tanpa ekspresi pada sang istri. Memang, apa yang diucapkan Aruna mengenai kata perpisahan akan kembali menyakitinya.Namun, Alexei juga t
"Jawab aku, Julio! Kenapa diam?" Aruna merangsek dan mendorong tubuh besar Julio. Tangisnya kembali tumpah.Elang segera memeluk adiknya, tetapi Aruna juga mendorong tubuh sang kakak dengan kasar. Melihat keadaan Aruna yang seperti itu, Alexei tak tega. Laki-laki itu segera memeluk erat sang istri untuk menenangkan."Kalian semua pembohong! Kalian semua penipu! Apa aku memang sengaja dibuang dan dititipkan pada ayah angkatku yang nggak punya hati itu?" teriak Aruna histeris."Milyy, Milyy! Tenang, kamu tengah hamil, Milyy!" Alexei mengusap kepala Aruna dengan tangan bergetar."Apa pedulimu juga, Alex? Kamu hanya mempedulikan kehamilanku! Kamu nggak peduli akan perasaanku, Alex!" sergah Aruna. Dia terus memberontak berusaha melepaskan diri dari pelukan Alexei."Aku bilang diam, apa kamu tidak dengar? Kenapa kamu tetap keras kepala, seolah kamu yang paling terluka?" bentak Alexei emosi.Aruna termangu di pelukan laki-laki itu. Dia mendongak menatap nanar pada Alexei dan mengusap air mat
"Alex, jangan siksa aku dengan sikapmu ini. Aku ingin kamu pergi dari sini demi kebaikan kita. Pergilah!" tegas Aruna lagi."Milyy, maafkan kata-kataku. Aku tidak bermaksud membuatmu menjadi orang kedua di hatiku. Kamu dan Alenadra memiliki tempat berbeda, tapi sama-sama istimewa. Setelah pembunuh Alenadra masuk penjara, kami baru bisa tenang. Kita bisa fokus pada masa depan kita bertiga," ucap Alexei sambil mengusap perut Aruna.Aruna menatap manik indah suaminya, lalu mengangguk. "Aku sudah memaafkannya. Kamu nggak salah, Alex. Maafkan Papa. Aku berharap, Papa benar-benar nggak tahu soal Alenadra, Alex!" ucapnya kemudian menunduk dalam.Alexei kembali memeluk istrinya. Mendekap erat tubuh Aruna yang kembali berguncang karena tangis. Berkali-kali, Alexei menciumi kepala Aruna sembari meminta maaf. "Sakit sekali rasanya, Milyy. Sakit sekali, bahkan lebih sakit ketika kamu mengusirku waktu itu," bisik laki-laki jangkung itu dengan suara bergetar. "Tapi aku juga tidak bisa membawamu se
Coky menggaruk pelipis dan justru bingung mendengar jawaban tegas Elang. Dia menatap laki-laki muda berwibawa itu, memastikan sekali lagi. Namun, semenjak Elang menjadi bosnya, tidak sekalipun dia membohongi Coky. Elang juga selalu membayar jasa Coky dengan jumlah besar tepat waktu, bahkan memberinya bonus besar.Merasa diperhatikan, Elang menaikkan sebelah alis. "Kenapa, Coky? Kamu masih berpikir soal rencana pembunuhan pada Bagaskara?" tebaknya telak.Coky mengangguk gugup. "Be-benar, Tuan. Kalau begitu, siapa kira-kira yang melakukannya? Apa mungkin Alexei, Tuan?" Coky berusaha menebak.Elang menaikkan bahu tak acuh. Dia memang tidak ada kepentingan dengan orang yang akan membunuh Bagaskara. Jika orang itu adalah Mr. Whu maka Elang akan melawannya. Namun jika orang itu adalah Alexei? Tanpa terasa, Elang menggeleng tegas. Tidak mungkin Alexei melakukan hal itu sebelum Bagaskara benar-benar terbukti terlibat kematian Alenadra."Aku tidak tahu, sebaiknya kamu cari tahu. Paksa Belinda
"Iya, suamimu itu yang meminta kami menghabisimu dan papamu!" sahut salah satu dari kelima laki-laki itu.Aruna termangu mendengarnya. "Alexei?" ulangnya tak percaya. Dia melirik ke arah Pak Amir yang masih beradu pukul dengan orang-orang suruhan "Alexei" itu. Isma segera menarik Aruna untuk menyingkir supaya tidak melanjutkan perkelahian, mengingat wanita itu tengah hamil."Mbak, sudah! Ayo, masuk mobil!" ajak Isma sambil menarik tangan Aruna.Aruna melepaskan pegangan tangan Isma dan kembali berkelahi. Aruna lumayan mahir berkelahi, bahkan dia melumpuhkan salah satu dari mereka."Arrrgh, sialan kamu!" maki laki-laki itu.Aruna menginjak kuat bahu laki-laki yang telah tengkurap di aspal itu. "Apa kamu pikir aku percaya dengan bualanmu? Katakan dengan jujur, siapa sebenarnya yang menyuruh kalian terus menterorku!" sentak Aruna sambil memelintir kuat lengan laki-laki yang langsung mengerang kesakitan merasakan ngilu."Aku, ak-ku, nggak bohong, Aruna!" jawabnya.Aruna mengikat kedua tan
"Aruna! Chto sluchilos' s toboy, Milyy?" Teriakan Alexei membuat seorang laki-laki berbadan kekar membuka pintu. Alexei mendongak menatap laki-laki berambut pirang itu dengan tatapan dingin. Dia mengeratkan kepalan tangannya yang menyatu di belakang tubuh. Alexei tidak menghiraukan rasa perih di kulit pergelangan tangannya akibat gesekan dengan tali pengikat berulang kali."Chto sluchilos' s toboy, Gospodin?" (Apa yang terjadi, Tuan?) tanya pengawal itu mendekat.Alexei tidak menjawab. Dia melirik sekilas laki-laki itu, kemudian beralih ke arah nampan berisi makan malam di atas meja kecil di pojok ruangan."Tolong bawa keluar makanan itu!" perintah Alexei dengan nada dingin. "Aku mual mencium baunya!" lanjutnya lagi.Pengawal itu tampak berpikir sejenak, lalu melangkah mendekat. "Tapi Anda belum makan, Tuan. Saya bisa mendapatkan hukuman dari jenderal jika Anda sakit!" jawab laki-laki tersebut ragu.Alexei tersenyum miring sekilas. "Kalian menyediakan makanan untukku, tetapi selalu me
Bagaskara meraih bahu Pak Amir yang hendak menghindarinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku, Pak Amir? Kamu tahu, kan, di mana Bayu selama ini? Lalu, di mana Kinasih?" tanyanya dengan tatapan memohon.Pak Amir menggeleng pelan. Dia menantang tatapan mata bosnya itu sembari tersenyum penuh arti. "Anda tidak perlu mencari keberadaan Nyonya Kinasih lagi, Tuan. Bukankah itu yang Anda inginkan dari dulu?" tanyanya mengejek.Kedua mata Bagaskara terbelalak mendengar ucapan pedas itu. Meskipun apa yang dikatakan Pak Amir benar adanya. Dia yang menginginkan Kinasih pergi, membuangnya seperti sampah demi bunglon berwujud manusia, bernama Belinda.Kini, penyesalan itu rupanya belum beranjak dari sudut hati Bagaskara. Bahkan, niatnya bertemu dengan wanita yang dia cintai itu masih begitu kuat. Jika ada kesempatan kedua, Bagaskara ingin memulai segalanya dari awal bersama Kinasih meskipun terlebih dahulu dia harus bersujud di kaki wanita itu."Terserah Pak Amir bilang apa, aku ingin bertemu Kinasih, d
Bagaskara terus melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Laki-laki itu mencengkeram setir mobil dengan kuat. Rasanya, ingin sekali meremukkan benda itu. Tidak kurang dari tiga puluh menit, mobil berhenti kasar di pekarangan sebuah rumah megah.Bagaskara mengerutkan kening melihat sebuah sedan mewah terparkir gagah di garasi yang pintunya terbuka lebar. Dengan sikap tak acuh, Bagaskara menggedor pintu depan."Belinda, buka pintunya!" perintahnya geram.Rumah megah itu terlihat sepi. Sekali lagi, Bagaskara melirik ke arah garasi. Dalam kepalanya sempat terlintas pemilik mobil itu, namun sebelum pertanyaan itu mendapatkan jawaban, pintu keburu dibuka dari dalam.Senyum Belinda memudar melihat kehadiran mantan suaminya. Dia hendak kembali menutup pintu, tetapi Bagaskara segera mendorongnya dengan kuat sehingga pintu terbuka lebar.Brak!Bunyi daun pintu membentur dinding dalam rumah. Bagaskara memindai penjuru ruangan yang sepi. Rumah megah yang diberikan pada Belinda ketika mereka masih s