"Aruna! Chto sluchilos' s toboy, Milyy?" Teriakan Alexei membuat seorang laki-laki berbadan kekar membuka pintu. Alexei mendongak menatap laki-laki berambut pirang itu dengan tatapan dingin. Dia mengeratkan kepalan tangannya yang menyatu di belakang tubuh. Alexei tidak menghiraukan rasa perih di kulit pergelangan tangannya akibat gesekan dengan tali pengikat berulang kali."Chto sluchilos' s toboy, Gospodin?" (Apa yang terjadi, Tuan?) tanya pengawal itu mendekat.Alexei tidak menjawab. Dia melirik sekilas laki-laki itu, kemudian beralih ke arah nampan berisi makan malam di atas meja kecil di pojok ruangan."Tolong bawa keluar makanan itu!" perintah Alexei dengan nada dingin. "Aku mual mencium baunya!" lanjutnya lagi.Pengawal itu tampak berpikir sejenak, lalu melangkah mendekat. "Tapi Anda belum makan, Tuan. Saya bisa mendapatkan hukuman dari jenderal jika Anda sakit!" jawab laki-laki tersebut ragu.Alexei tersenyum miring sekilas. "Kalian menyediakan makanan untukku, tetapi selalu me
Bagaskara meraih bahu Pak Amir yang hendak menghindarinya. "Kenapa kamu nggak jawab aku, Pak Amir? Kamu tahu, kan, di mana Bayu selama ini? Lalu, di mana Kinasih?" tanyanya dengan tatapan memohon.Pak Amir menggeleng pelan. Dia menantang tatapan mata bosnya itu sembari tersenyum penuh arti. "Anda tidak perlu mencari keberadaan Nyonya Kinasih lagi, Tuan. Bukankah itu yang Anda inginkan dari dulu?" tanyanya mengejek.Kedua mata Bagaskara terbelalak mendengar ucapan pedas itu. Meskipun apa yang dikatakan Pak Amir benar adanya. Dia yang menginginkan Kinasih pergi, membuangnya seperti sampah demi bunglon berwujud manusia, bernama Belinda.Kini, penyesalan itu rupanya belum beranjak dari sudut hati Bagaskara. Bahkan, niatnya bertemu dengan wanita yang dia cintai itu masih begitu kuat. Jika ada kesempatan kedua, Bagaskara ingin memulai segalanya dari awal bersama Kinasih meskipun terlebih dahulu dia harus bersujud di kaki wanita itu."Terserah Pak Amir bilang apa, aku ingin bertemu Kinasih, d
Bagaskara terus melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Laki-laki itu mencengkeram setir mobil dengan kuat. Rasanya, ingin sekali meremukkan benda itu. Tidak kurang dari tiga puluh menit, mobil berhenti kasar di pekarangan sebuah rumah megah.Bagaskara mengerutkan kening melihat sebuah sedan mewah terparkir gagah di garasi yang pintunya terbuka lebar. Dengan sikap tak acuh, Bagaskara menggedor pintu depan."Belinda, buka pintunya!" perintahnya geram.Rumah megah itu terlihat sepi. Sekali lagi, Bagaskara melirik ke arah garasi. Dalam kepalanya sempat terlintas pemilik mobil itu, namun sebelum pertanyaan itu mendapatkan jawaban, pintu keburu dibuka dari dalam.Senyum Belinda memudar melihat kehadiran mantan suaminya. Dia hendak kembali menutup pintu, tetapi Bagaskara segera mendorongnya dengan kuat sehingga pintu terbuka lebar.Brak!Bunyi daun pintu membentur dinding dalam rumah. Bagaskara memindai penjuru ruangan yang sepi. Rumah megah yang diberikan pada Belinda ketika mereka masih s
"Kenapa Papa masih mendatangi perempuan itu? Bukankah Papa sudah bercerai dan Kak Gerald nggak tinggal di rumah itu lagi?" "Ya, pastinya ingin melakukan sesuatu. Iya, kali, ke sana mau kembali selingkuh dengan mantan istrinya, Run!" sahut Elang seenaknya.Bagaskara langsung menatap tajam pada Elang yang menunjukkan sikap tidak peduli. Laki-laki muda itu menyilangkan kedua lengan di depan dada dengan tatapan mengejek."Memang, Papa ingin memberikan pelajaran pada Belinda supaya mengaku, siapa yang sudah membayarnya. Tapi ternyata, di sana ada pacarnya Belinda. Laki-laki itu menusuk Belinda dengan pisau, niatnya pisau itu ditusukkan ke Papa. Tapi, Papa menghindar!""Dari dulu, aku sudah bilang ke Papa supaya menjauhi Whu Li. Tapi, Papa nggak pernah menghiraukan peringatanku dan Alexei. Bagaimana kalau laki-laki itu mengatakan Papa terlibat pembunuhan Belinda?""Kamu jangan khawatir, Papa datang hanya sebagai saksi. Sidik jari laki-laki itu ada di pisau.""Baguslah. Karena urusan kita be
"Podnimite ruki, Alexei!" ulang laki-laki di belakangnya sembari menodongkan senjata pada Alexei.Alexei mengumpat lirih, "Govno!!" Lalu, dengan malas dia berbalik. Alexei memandang dua orang di depannya dengan tatapan tanpa ekspresi. Mereka lantas mendekat dengan waspada. Meskipun Alexei tidak bersenjata, mereka tahu, laki-laki di depannya ini sangatlah cerdik."Jongkok dan jangan melawan, Alex!" perintah salah satu dari mereka.Terpaksa Alexei menurut meskipun dia tahu akan kembali masuk ke "kandang beruang". Namun, seandainya dia memaksa tetap kabur, sudah pasti dia akan menghadapi masalah lebih besar. Alexei hanya pasrah ketika kedua tangannya kembali disatukan di belakang tubuh menggunakan borgol. Diperlakukan layaknya penjahat sangatlah memalukan! Hal inilah yang dialami Alexei ketika baru saja mendarat di Bandara Domodedovo hampir tiga bulan yang lalu. Dia langsung disambut anggota militer Russia dan mengawalnya dengan sigap seperti halnya penjahat negara. Memang, Ruslanov Ye
Dor!"Jatuhkan senjatamu!" Laki-laki yang tadi berada di belakang kemudi, tersenyum mengejek mendengar perintah konyol itu. Dia tidak menghiraukan peringatan Elang, tetapi justru turun dari mobil dan mengarahkan senjata pada Elang."Bayu!" ucap Bagaskara tanpa sadar.Senyum laki-laki itu mengembang melihat kehadiran Elang. Ternyata "anak ingusan bermulut judes" itu masih peduli padanya. Sementara itu, Elang, seperti biasa menunjukkan sikap datar tanpa ekspresi.Namun, senyum Bagaskara pudar ketika melihat siapa yang berada di samping Elang. Julio. Iya, laki-laki muda yang menjadi kepercayaan Bagaskara selama lebih dari tiga tahun. Kini, Julio bersama Elang? Bagaskara terdiam, otaknya mendadak kosong seolah tidak berfungsi. Bagaskara tidak habis mengerti, permainan apa yang tengah dijalankan oleh mantan anak sambungnya itu.Dor!Sebuah tembakan kembali meletus. Kali ini tidak mengenai sasaran. Bagaskara yang masih fokus dengan lamunan, tersentak ketika tubuhnya didorong kuat Julio seh
Bodyguard itu kembali meminta Aruna segera memasuki mobil, ketika ada mobil lain melaju ke arah mereka dan berhenti tepat di samping mobil Alphard hitam itu.Seketika, wajah Aruna berubah pucat ketakutan. Dia menunduk sambil menutup wajah dengan telapak tangan. Di luar mobil, dua orang bodyguard menodongkan senjata ke arah mobil SUV berwarna navy itu. Namun, sesaat kemudian, mereka kompak menyimpan kembali senjatanya.Kedua bodyguard itu mengangguk hormat pada Elang dan dua orang pengawalnya yang turun dari mobil. Elang segera membuka pintu mobil di samping Aruna."Aarrgh! Jangan mendekat!" pekik Aruna tanpa membuka matanya."Runa, turun! Kamu ikut Kakak!" perintah Elang sambil menarik telapak tangan adiknya yang masih menutup wajah.Aruna mengerjapkan mata. Raut ketakutan berubah menjadi kebingungan. "Ke mana, Kak?" tanyanya."Ke bandara!" jawab Elang singkat."Ban-bandara, Kak?" ulang Aruna bingung.Elang mengangguk. Lalu, pandangan laki-laki berusia 30 tahun itu, tertuju pada Isma
Bagaskara terus menggerakkan tubuh supaya menimbulkan suara. Tatapannya bergantian menatap benda yang berada di dekat tumpukan batu bata di bawah sana. Lalu, beralih pada kedua anak buahnya yang masih mondar-mandir mencarinya."Hmmmph--" Bagaskara menoleh kanan kiri, berusaha melepaskan ikatan di mulutnya."Tuan, apa Anda dengar kami?" Kedua anak buah Bagaskara berpencar. Salah satu dari mereka berlari menjauh, lalu melambaikan tangan ke arah satu mobil kepolisian yang melaju mengejar mobil Whu."Tolong, Pak! Berhenti!" teriak pengawal Bagaskara dengan tangan terentang."Tunggu, siapa dia?""Di mana Pak Bagaskara? Bukankah dia melaporkan malam ini mereka diculik dan dibawa ke tempat ini?" tanya balik satu anggota kepolisian."Pak, cepat! Ada bom di dalam, tapi kami tidak bisa menemukan Tuan Bagaskara. Kami tidak tahu, Tuan Bagaskara dan Mbak Aruna disekap di sebelah mana. Tolong, Pak, waktunya sudah mau habis!" ucap laki-laki itu dengan ketakutan.Polisi dari pasukan Gegana itu, denga