"Pak! Tolong antar aku ke tempat badminton, bisa?"Pak Amir terperanjat. Laki-laki yang tadi fokus pada layar handphone itu sontak memasukkan benda pipih itu ke saku celana. Aruna tersenyum melihat keterkejutan di wajah sopir yang sertia bersamanya semenjak dia kecil itu.Aruna tersenyum canggung. "Maaf, Pak. Aku ngagetin Bapak. Lagi teleponan sama istri, ya?" tebaknya."Ah, eh ... I-iya Non. Ayo. Mister Alexei tidak ikut?" tanya Pak Amir gelagapan.Laki-laki yang dibicarakan ternyata sudah berada di teras. Alexei menatap sekilas pada Pak Amir dan Aruna, kemudian mendekat.Mereka bertiga segera menuju tempat badminton. Olahraga itu sudah menjadi rutinitas mingguan Aruna jika tidak punya kegiatan lain. Maka malam ini, gadis itu mengajak Alexei bermain badminton.Ternyata Alexei tidak sejago Aruna dalam bermain badminton. Karena laki-laki itu lebih menggemari olahraga berkuda dan karate. Akhirnya Alexei menyerah dan memilih duduk menunggu bosnya bermain dengan Isma.Aruna dan Isma memil
Tatapan Aruna belum beralih dari kedua orang di depannya. Aruna memang pernah melihat pemuda itu. Tetapi, entah di mana? Aruna lupa. Aruna semakin merasa aneh setelah menyadari wajah keduanya memiliki garis yang mirip."Bisakah kalian jelaskan sesuatu?" tanya Aruna lirih. Dia menatap ayahnya dan Gerald bergantian. "Papa, dan kamu ... Ada apa sebenarnya antara kamu dan Papa?" ulangnya menuntut jawaban.Gerald menatap datar pada Bagaskara yang masih terlihat gugup. Ingin rasanya Gerald ertawa terbahak melihat wajah kebingungan laki-laki tua di depannya. Bagaskara mengusap dahinya yang berkeringat dingin."Ah, ya, sebaiknya aku pergi sa--""Em, saudara Gerald, nanti kita bicarakan lagi mengenai proyek kita!" Bagaskara memotong cepat ucapan anaknya.Gerald mengangguk dan tersenyum miring sekilas. "Saya rasa tidak ada yang perlu dibahas lagi, Tuan Bagaskara. Saya sudah tidak tertarik la--""Hentikan sandiwara kalian!" sentak Aruna tidak sabar. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca. Aruna menata
Kembali Pak Amir tertegun mendengar pertanyaan yang tidak diduga sebelumnya itu. Laki-laki itu menatap ke arah depan. Kedua tangannya mencengkram handle setir. Laki-laki itu seolah mengumpulkan keberanian untuk jujur pada Aruna. Itu berarti, dia harus menentang peringatan bosnya sendiri!Lalu, Pak Amir sedikit memutar tubuh dan menatap Aruna. Terlihat ketakutan dari sorot matanya. "Me-mereka, ng--" "Mereka istri simpanan Papa dan anaknya, benar, kan?" potong Aruna cepat.Alexei terkejut. Belinda. Alexei memang tidak mengenal wanita itu. Tetapi Alexei bisa menyimpulkan jika orang yang tengah dibicarakan itu, ada kaitannya dengan rencana pembunuhan pada Aruna.Pak Amir mengangguk samar. Dia merasa bersalah pada Aruna karena ikut menyembunyikan rahasia ini selama 24 tahun lamanya. Aruna memejamkan mata dan tersenyum miris.Semua sudah jelas. Ayahnya tidak sebaik yang dia kira. Aruna merasa malu, muak, dan benci. Entah apa yang akan terjadi jika media sampai tahu kehidupan menjijikkan Bag
Pakai bikini? Bukan hanya Aruna yang meradang, tetapi juga Isma. Sekali lagi Isma meneliti penampilan Aruna. Tidak ada yang salah. Aruna sangat anggun dan elegan dengan gaun itu. Menurut Isma, wajar-wajar saja seorang artis ke pesta ulang tahun memakai gaun seperti itu. Bukankah banyak artis yang berpenampilan lebih terbuka?Aruna dan Isma kompak menatap pintu kamar Alexei yang tertutup dari dalam. Mereka tidak menyangka jika bodyguard kaku itu ternyata berpikiran kolot. Tidak ada waktu untuk dandan lagi. Sampai di dalam mobil, Alexei tidak mengucapkan sepatah kata pun. Laki-laki itu_seperti biasa_dingin dan tanpa ekspresi. Di jok belakang, Isma menatap tak enak hati pada Alexei. Sedangkan Aruna, gadis itu memilih ikut diam karena menurutnya, kali ini dia sudah benar."Ehem!" Isma berdehem, berharap Alexei menoleh.Namun, laki-laki itu bergeming dan memilih fokus pada handphone. "Ya uzhe podozreval, oruzhiye bylo ne obychnym oruzhiyem!" (Saya sudah curiga, senjata itu bukan senjata bi
Pesta masih berlangsung sehingga tanpa terasa sudah hampir jam 22.00 WIB. Suara musik yang dibawakan grup band ibukota masih menghentak-hentak memekakkan telinga. Namun, beberapa saat kemudian, suara musik berhenti di tengah jalan.Seorang laki-laki berpakaian hitam tampak berbincang-bincang sejenak dengan vokalis grup band. Semua orang tampak bingung dan menatap ke arah panggung di mana laki-laki yang mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna hitam itu berada."Jangan ada yang meninggalkan tempat! Mohon kerjasamanya. Kami dari Satreskoba Polda Metro Jaya. Tempat ini sudah kami amankan!"Suasana mendadak langsung hening. Bianca sebagai pemilik acara dengan koperatif mempersilakan para polisi memeriksa setiap tamu dan tempat acara.Di pintu masuk, dua orang polisi berpakaian preman sedang berjaga. Begitu juga di tempat parkir. Mereka mendapatkan informasi jika di pesta ini juga dilakukan pesta narkoba terselubung. "Kenapa polisi lebih cepat datang?" tanya laki-laki yang berada di dala
Tatapan semua penghuni rumah tertuju pada kedua orang itu. Bagaskara mendekat dan mengeratkan rahangnya."Pergi kalian dari sini! Kemasi barang-barang kalian!" sentaknya sambil menunjuk pintu."Kami tidak bisa membiarkan mereka pergi, Pak. Mereka harus kami bawa ke kantor polisi dan kami proses!" sela salah satu polisi pada Bagaskara. Lalu, tatapannya beralih pada Alexei. "Untuk dugaan pelanggaran yang lain, silakan membuat laporan dan sertakan bukti, Pak!" imbuhnya.Alexei mengangguk. "Baik, terima kasih!" jawab laki-laki itu tenang.Bagaskara mengusap dahinya kasar. Tidak pernah dia duga jika pembantu mereka sendiri adalah seorang pemakai narkoba dan juga bersekongkol untuk membunuh Aruna."Baiklah, kami akan mengikuti prosedur dari kepolisian." Bagaskara berkata lirih kemudian meninggalkan tempat itu. Laki-laki tua itu sangat geram dengan kenyataan yang terjadi. Dia harus melakukan satu hal, sebelum Belinda membuat kekacauan lebih parah lagi!*"Kamu yang gila! Aku nggak sudi meng
"Maaf, Mbak. Aku tadi dapat telepon dari Mas Ery. Dia bilang ada jadwal pemotretan untuk majalah fashion. Terus malam minggu ada acara launching produk kosmetik baru di Bali."Aruna mengangguk tak minat. "Iya, apa kamu sudah bilang ke Alexei soal ini?" tanya Aruna malas."Belum, sih. Kan, Mbak yang jalani pemotretan bukan Alexei!" sahut Isma."Baiklah, tapi kamu harus bicara sama dia dulu, Neng. Jangan terkesan mendadak. Aku nggak mau dia ngamuk!"Mata Isma menyipit. Gadis itu merasa heran, akhir-akhir ini, Aruna lebih peduli dengan Alexei. Padahal, biasanya terkesan tidak peduli. Isma tersenyum, ketika ingat kedua orang itu salah tingkah."Aku heran, kenapa Mbak Runa sekarang lebih peduli dengan Alexei, ya? Sepertinya telah tumbuh dan terjadi sesuatu di antara kalian!" ucap Isma menggoda.Sontak wajah Aruna memerah menahan malu. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah. "Eng-nggak, kok, Neng. Nggak!" elaknya gugup.Isma berdecak lirih. "Iya juga nggak apa-apa, Mbak. Alexei cakep, genius,
"Maksudnya Papa, aku bukan anak Papa dan Mama? Apa yang dibicarakan orang-orang tanpa sepengetahuanku, Pa?" tanya Aruna lagi dengan nada meninggi."Bu-bukan begitu, Aruna. Kamu salah paham. Kamu harus tahu satu hal, Aruna. Ayo kita bicara di kamar!" pinta Bagaskara yang merasa tidak nyaman di situ.Aruna mengangguk. Dia mengikuti Bagaskara menuju ke kamar laki-laki itu. Bagaskara mengajak Aruna ke ruang kerja yang menyatu dengan kamarnya. Aruna menatap setiap pergerakan sang ayah.Bagaskara mengambil sebuah album foto lama yang tersimpan di dalam brankas. Lalu, laki-laki itu menghampiri Aruna yang duduk di sofa."Kamu memang sudah waktunya tahu, Sayang. Maaf, Papa sembunyikan ini bertahun-tahun karena Papa ingat pesan Kakek Sasmito.""Kakek? Beliau pesan apa, Pa?" tanya Aruna dengan kening berkerut.Bagaskara mengusap kepala Aruna dengan tatapan sendu. Laki-laki itu menunduk, menyembunyikan mendung di wajahnya.Flashback 24 tahun lalu....Di depan gedung sekolah Taman Kanak-Kanak berta
Dor!Bagaskara mengerang kesakitan dan tubuhnya ambruk ke tanah. Semua tersentak. Aruna dan Alexei kompak menatap ke arah Elang yang berdiri di belakang Bagaskara dengan pistol terarah ke laki-laki tua itu."Begini, kan, yang kamu lakukan pada papaku dulu? Kamu ingat Bagaskara? Setelah kamu berhasil menyingkirkan aku dan Mama dari keluarga Sasmito, kamu juga menghabisi Papa Hendra. Apa salahnya Papa padamu? Bukankah Papa sudah mengalah segala-galanya dan membiarkanmu mengambil Mama? Tapi kamu justru mengkhianatinya, Bagaskara!" cecar Elang dengan suara bergetar."Bay ... Bayu ...." Bagaskara mendesis merasakan nyeri luar biasa di bahunya.Aruna tersentak. Dia menatap tubuh Bagaskara yang bersimbah darah. Wanita itu bangkit lalu mendekat. Pistol Bayu masih mengarah pada Bagaskara. Melihat Bagaskara tidak berdaya, hatinya terasa sakit. Kini, dendam itu memang telah terbayar, tetapi dia juga menyesal telah menyakiti orang yang pernah menyayanginya."Kakak, sudah! Jangan bunuh Papa!" teria
Tangan Aruna gemetar memegang benda dengan jenis Glock 17 berwarna hitam itu. Kedua matanya terpejam rapat tidak berani menatap objek yang merupakan boneka di depan sana."Jangan tegang, Aruna. Fokus, konsentrasi pada satu titik yang akan kamu tembak. Kamu harus bisa menentukan waktunya secepat mungkin sebelum musuh menembakmu!" Bagaskara terus menyemangati.Aruna menggeleng pelan. Dia meluruhkan tubuhnya di depan Bagaskara dan mendongak dengan tatapan memohon. Bagaskara masih berusaha bersabar menghadapi sikap Aruna yang dinilai sangat lemah itu."Aku nggak mau, Papa! Aku nggak mau jadi pembunuh!" Bagaskara menarik napas lelah. "Papa nggak memintamu jadi pembunuh, Aruna. Papa hanya ingin kamu bisa membela dirimu sendiri ketika orang-orang yang membenci Papa hendak mencelakaimu. Apa kamu ingin terus dikawal? Nggak, kan?" rayu Bagaskara lagi. "Ayolah, Sayang. Papa menyayangimu dan melindungimu dari bayi dengan segenap cinta Papa, Runa. Lakukan hal ini untuk Papa. Papa nggak ingin jika
"Aruna, ini Papa, Sayang! Kenapa kamu pergi nggak kasih kabar, Aruna?" Aruna mundur selangkah sambil menggeleng pelan. Dia semakin ketakutan ketika dua orang laki-laki itu memepetnya. Di depannya, laki-laki berwujud lain, namun aslinya Bagaskara itu, tersenyum. Bagaskara merentangkan kedua tangan meminta Aruna memeluknya. Akan tetapi, Aruna justru kembali mundur selangkah dan tubuhnya menabrak salah satu pria pengawal Bagaskara."Jangan takut. Kita akan menyelamatkan Anda dari keluarga Yevgeny yang hendak mencelakaimu, Nona!"Aruna menggeleng berkali-kali. Dia benar-benar dalam situasi yang sulit. Aruna ingin mempercayai ucapan Alexei, tetapi pembicaraan dengan kedua orang tuanya, memupus keyakinan Aruna. Sedangkan untuk percaya pada Bagaskara, nyatanya laki-laki itu pimpinan mafia yang tengah diburu Interpol dan kepolisian Indonesia."Nggak, Anda bukan Papa. Anda bukan Bagaskara!" teriak Aruna ragu. Dia menoleh pada laki-laki yang memegang kedua lengannya. "Lepaskan saya! Let's me g
Sepasang mata bulat Aruna semakin terbuka lebar. Perencanaan pembunuhan pada dirinya? Jadi, dia dan Alenadra memang benar diincar orang yang sama?Tatapan mata Alexei berubah sendu. Dalam hati yang terdalam tidak tega mengatakan pada Aruna tentang sepak terjang Bagaskara. Apalagi dalam keadaan Aruna hamil besar. Tangan laki-laki itu bergerak mengusap-usap perut Aruna."Orang yang sama? Jadi, kecurigaanku dari dulu itu benar, Alex?" tanyanya parau.Alexei tidak langsung menjawab. Laki-laki itu justru memeluk istrinya dan mengerjapkan mata menyembunyikan air mata di kepala Aruna."Jangan takut. Aku tidak akan membiarkan dia menyakitimu, Milyy. Ada aku dan Elang. Julio juga membantu kita. Sekarang, laki-laki itu diburu Interpol," jelasnya hati-hati. Aruna langsung mendorong dada Alexei. "Julio? Nggak, nggak!" sahutnya dengan wajah mendadak marah. "Julio itu pengkhianat! Kamu pikir dia setia padamu dan Elang? Dia yang memberikan informasi kedatanganku ke Russia sehingga Tuan Ruslanov tah
"Chto oni s toboy sdelali, Milyy?"Air mata Aruna tiba-tiba mengambang. Dia bangkit perlahan, lalu mengerjap berkali-kali. Aruna menoleh pada sang mama, seolah menyakinkan jika penglihatannya tidak salah. Kinasih tersenyum lalu bangkit dan mengusap-usap bahu Aruna.Alexei menatap nanar pada istrinya, lalu turun ke perut besar wanita itu. Alexei merentangkan kedua tangan menyambut sang istri ke dalam pelukan. "Aku kangen kamu, Alexei. Aku kangen kamu!" ucap Aruna emosional."Me too, Milyy. I am sorry, Milyy!" Alexei menciumi pipi sang istri, lalu mengusap perut wanita itu. "Bagaimana kabarnya?" tanyanya dengan suara bergetar. Manik kebiruan itu berkabut saat menatap perut Aruna. Alexei merasa bersalah karena tidak bisa menemani Aruna menjalani masa-masa kehamilan. "Dia juga merindukanmu, Alex! Apa kabarmu, Milyy?" Alexei melepaskan pelukan, kemudian memindai penampilannya sendiri. "Masih seperti dulu, Alexei mantan bodyguardmu yang kaku dan menyebalkan, Aruna!" kekehnya.Aruna ters
"Pak Bagaskara, kami hitung sampai tiga, mohon kerjasamanya!""Satu ... dua ... tiga!"Tidak ada jawaban dari pemilik rumah. Namun, suara mencurigakan itu masih terdengar dari lantai atas. Dua orang polisi lantas naik ke sana. Mereka menyisir beberapa sudut ruangan. Dua kamar di lantai dua rumah megah itu juga kosong.Masih ada satu kamar dalam keadaan tertutup. Dari dalam kamar itu terdengar asal muasal suara mencurigakan. "Aah! Ouh ... iya, terus! Jangan berhenti, sedikit lagi, Babe!"Dua orang polisi itu pun saling pandang dan menggaruk tengkuk mereka. Suara desahan diiringi suara pekikan kenikmatan masih terdengar cukup menggelitik telinga.Tok ... tok ... tok!Pintu diketuk dari luar, tetapi rupanya mereka yang di dalam tidak menghiraukan suara ketukan pintu. Atau mereka memang enggan mendengarkan karena merasa terganggu dan tanggung? Entahlah!Beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda mereka menyudahi aktivitas panas di siang hari yang terik ini. Suara desahan itu masih sa
Mendengar tembakan itu, Bagaskara tertegun. Laki-laki itu kembali turun dari mobil dan melangkah cepat menuju ke tempat di mana Alenadra merengang nyawa.Di tumpukan kardus itu, Alenadra meringkuk sambil terus memegangi perutnya. "Mne zhal', chto ya ne smog zashchitit' tebya. Pozzhe rasskazhi svoyemu Angelu, kto eto s nami sdelal." (Maafkan aku tidak bisa melindungimu. Kelak katakan pada malaikat, siapa yang melakukan ini pada kita.") Bibir Alenadra bergerak pelan. Suara lirih itu mampu ditangkap telinga Bagaskara."Alenadra!" Bagaskara menatap nanar ke arah gadis di depannya. Alenadra menatapnya sayu, lalu menyunggingkan senyum. "Thanks for loving me!" ucapnya lalu memejamkan mata. "Moy brat podberet menya i spaset nas," (Kakakku akan datang menjemputku, dia akan menyelamatkan kami) lanjutnya sangat lemah.Bagaskara dan anak buahnya kompak saling pandang. "Tuan, ada mobil ke sini. Kita tinggalkan tempat ini. We go now!" seru salah satu dari mereka.Bagaskara menatap sekali lagi pad
"Aku tadinya nggak percaya, Alex. Tapi itulah fakta yang terkuak tentang mertuamu." "Kasihan sekali Elang dan Aruna," sesal Alexei lirih. Julio mengangguk samar, lalu menepuk pelan bahu Alexei. Julio segera membereskan beberapa barangnya ke dalam ransel. Dia kembali membantu Alexei untuk berbaring. "Alex, aku pergi dulu. Aku harus mengurus beberapa dokumenmu. Setelah kamu kuat, cepat kembalilah ke Russia.""Spasibo, Julio."Julio kembali mengangguk dan menoleh sekali lagi pada sahabatnya. Laki-laki itu menggantung ransel ke bahunya kemudian benar-benar pergi dari ruang perawatan Alexei."Kamu harus menerima semua yang kamu perbuat, Bagaskara. Aku tidak menyangka kamu adalah iblis. Alenadra dan Hendra Langit tidak akan tenang selama kamu masih berkeliaran."Alexei mengambil handphone yang sejak tadi dianggurkan di atas nakas. Alexei segera membuka galeri foto. Hal pertama yang dicari adalah foto Aruna. Namun, Alexei tidak punya keberanian untuk menghubungi istrinya itu meskipun rasa
"Hidupnya siapa, Mama? Coba aku lihat, Mama lagi bicara sama siapa?" tanya Aruna dengan tangan terulur.Tatapan mata wanita itu tertuju pada kantong baju Kinasih. Kinasih yang tidak bisa berkelit lagi, menarik napas pelan dan mengambil handphone. Diberikannya benda berwarna hitam itu dengan ragu.Aruna membuka log panggilan. Tidak menemukan hal yang dicari di situ. Lalu, jari telunjuk Aruna membuka room chat. Elang sedang mengetik pesan....Aruna segera membuka pesan singkat dari kakaknya itu. Dua baris kalimat yang mengabarkan Bagaskara dan Alexei sama-sama berada di rumah sakit. Banyak pertanyaan berkecamuk di benak Aruna. "Alexei? Jadi, jadi ... dia ...." Jari-jari Aruna masih mengambang di atas handphone.Aruna menatap Kinasih dengan tatapan menuntut jawaban. Kinasih hanya menggeleng lemah karena memang dirinya tidak tahu menahu tentang kepergian Alexei ke Indonesia. "Mama juga tidak tahu, Sayang. Sepertinya ada sesuatu sehingga Alexei pergi ke sana. Mama juga heran, kenapa dia