Pakai bikini? Bukan hanya Aruna yang meradang, tetapi juga Isma. Sekali lagi Isma meneliti penampilan Aruna. Tidak ada yang salah. Aruna sangat anggun dan elegan dengan gaun itu. Menurut Isma, wajar-wajar saja seorang artis ke pesta ulang tahun memakai gaun seperti itu. Bukankah banyak artis yang berpenampilan lebih terbuka?Aruna dan Isma kompak menatap pintu kamar Alexei yang tertutup dari dalam. Mereka tidak menyangka jika bodyguard kaku itu ternyata berpikiran kolot. Tidak ada waktu untuk dandan lagi. Sampai di dalam mobil, Alexei tidak mengucapkan sepatah kata pun. Laki-laki itu_seperti biasa_dingin dan tanpa ekspresi. Di jok belakang, Isma menatap tak enak hati pada Alexei. Sedangkan Aruna, gadis itu memilih ikut diam karena menurutnya, kali ini dia sudah benar."Ehem!" Isma berdehem, berharap Alexei menoleh.Namun, laki-laki itu bergeming dan memilih fokus pada handphone. "Ya uzhe podozreval, oruzhiye bylo ne obychnym oruzhiyem!" (Saya sudah curiga, senjata itu bukan senjata bi
Pesta masih berlangsung sehingga tanpa terasa sudah hampir jam 22.00 WIB. Suara musik yang dibawakan grup band ibukota masih menghentak-hentak memekakkan telinga. Namun, beberapa saat kemudian, suara musik berhenti di tengah jalan.Seorang laki-laki berpakaian hitam tampak berbincang-bincang sejenak dengan vokalis grup band. Semua orang tampak bingung dan menatap ke arah panggung di mana laki-laki yang mengenakan t-shirt lengan pendek berwarna hitam itu berada."Jangan ada yang meninggalkan tempat! Mohon kerjasamanya. Kami dari Satreskoba Polda Metro Jaya. Tempat ini sudah kami amankan!"Suasana mendadak langsung hening. Bianca sebagai pemilik acara dengan koperatif mempersilakan para polisi memeriksa setiap tamu dan tempat acara.Di pintu masuk, dua orang polisi berpakaian preman sedang berjaga. Begitu juga di tempat parkir. Mereka mendapatkan informasi jika di pesta ini juga dilakukan pesta narkoba terselubung. "Kenapa polisi lebih cepat datang?" tanya laki-laki yang berada di dala
Tatapan semua penghuni rumah tertuju pada kedua orang itu. Bagaskara mendekat dan mengeratkan rahangnya."Pergi kalian dari sini! Kemasi barang-barang kalian!" sentaknya sambil menunjuk pintu."Kami tidak bisa membiarkan mereka pergi, Pak. Mereka harus kami bawa ke kantor polisi dan kami proses!" sela salah satu polisi pada Bagaskara. Lalu, tatapannya beralih pada Alexei. "Untuk dugaan pelanggaran yang lain, silakan membuat laporan dan sertakan bukti, Pak!" imbuhnya.Alexei mengangguk. "Baik, terima kasih!" jawab laki-laki itu tenang.Bagaskara mengusap dahinya kasar. Tidak pernah dia duga jika pembantu mereka sendiri adalah seorang pemakai narkoba dan juga bersekongkol untuk membunuh Aruna."Baiklah, kami akan mengikuti prosedur dari kepolisian." Bagaskara berkata lirih kemudian meninggalkan tempat itu. Laki-laki tua itu sangat geram dengan kenyataan yang terjadi. Dia harus melakukan satu hal, sebelum Belinda membuat kekacauan lebih parah lagi!*"Kamu yang gila! Aku nggak sudi meng
"Maaf, Mbak. Aku tadi dapat telepon dari Mas Ery. Dia bilang ada jadwal pemotretan untuk majalah fashion. Terus malam minggu ada acara launching produk kosmetik baru di Bali."Aruna mengangguk tak minat. "Iya, apa kamu sudah bilang ke Alexei soal ini?" tanya Aruna malas."Belum, sih. Kan, Mbak yang jalani pemotretan bukan Alexei!" sahut Isma."Baiklah, tapi kamu harus bicara sama dia dulu, Neng. Jangan terkesan mendadak. Aku nggak mau dia ngamuk!"Mata Isma menyipit. Gadis itu merasa heran, akhir-akhir ini, Aruna lebih peduli dengan Alexei. Padahal, biasanya terkesan tidak peduli. Isma tersenyum, ketika ingat kedua orang itu salah tingkah."Aku heran, kenapa Mbak Runa sekarang lebih peduli dengan Alexei, ya? Sepertinya telah tumbuh dan terjadi sesuatu di antara kalian!" ucap Isma menggoda.Sontak wajah Aruna memerah menahan malu. Buru-buru gadis itu memalingkan wajah. "Eng-nggak, kok, Neng. Nggak!" elaknya gugup.Isma berdecak lirih. "Iya juga nggak apa-apa, Mbak. Alexei cakep, genius,
"Maksudnya Papa, aku bukan anak Papa dan Mama? Apa yang dibicarakan orang-orang tanpa sepengetahuanku, Pa?" tanya Aruna lagi dengan nada meninggi."Bu-bukan begitu, Aruna. Kamu salah paham. Kamu harus tahu satu hal, Aruna. Ayo kita bicara di kamar!" pinta Bagaskara yang merasa tidak nyaman di situ.Aruna mengangguk. Dia mengikuti Bagaskara menuju ke kamar laki-laki itu. Bagaskara mengajak Aruna ke ruang kerja yang menyatu dengan kamarnya. Aruna menatap setiap pergerakan sang ayah.Bagaskara mengambil sebuah album foto lama yang tersimpan di dalam brankas. Lalu, laki-laki itu menghampiri Aruna yang duduk di sofa."Kamu memang sudah waktunya tahu, Sayang. Maaf, Papa sembunyikan ini bertahun-tahun karena Papa ingat pesan Kakek Sasmito.""Kakek? Beliau pesan apa, Pa?" tanya Aruna dengan kening berkerut.Bagaskara mengusap kepala Aruna dengan tatapan sendu. Laki-laki itu menunduk, menyembunyikan mendung di wajahnya.Flashback 24 tahun lalu....Di depan gedung sekolah Taman Kanak-Kanak berta
"Alenadra?" ulang Alexei.Aruna mengangguk pelan. "Iya, maaf. Kalau kamu keberatan nggak usah dijawab! Aku tahu, hal ini sangat menyakitkan untukmu," ucapnya melirih.Alexei mengangguk mengerti. Cukup lama dia memang menyimpan kenangan buruk tentang sang adik. Tidak ada gunanya, Alexei memendam semua seorang diri lagi."Baiklah, aku akan ceritakan!" jawab Alexei pada akhirnya. "Kamu yakin?""Iya, Aruna. Dua tahun aku memendam rasa sakit dan dendam ini. Waktu itu, aku dan Alenadra sama-sama kuliah di Sankt Petersburg. Alenadra kuliah sekaligus menekuni hobi balet. Dia juga melatih balet anak-anak orang asing. Alenadra akrab dengan salah seorang warga Indonesia yang tinggal di Russia cukup lama. Dari keakraban itu, Alenadra berteman dekat dengan laki-laki dari Indonesia juga. Setelah itu entah bagaimana, aku menemukan adikku meninggal dengan luka tembak."Alexei menunduk. Dia mengeratkan genggamannya pada botol air mineral itu. Aruna mengikuti gerakan tangan Alexei dengan pandangannya.
Aruna terkejut. Dia menatap nanar pada Alexei. Jika memang benar senjata itu memiliki kemiripan atau dari orang yang sama, berarti... Aruna menggeleng kuat.Membayangkan dirinya menjadi target serangkaian pembunuhan saja, hidupnya tidak tenang. Apalagi, ditambah informasi baru jika kemungkinan pembunuh itu, bukan orang sembarangan. Lantas, ada kepentingan apa orang-orang itu hendak membunuhnya?Apa ini menyangkut mitra bisnis Bagaskara? Berbagai pertanyaan tanpa bisa dijawab, kembali memenuhi kepala Aruna. Menyadari gadis di sampingnya kembali syok, Alexei merangkul bahu Aruna. "Kamu jangan takut. Kamu tidak berjalan sendiri. Ada aku!" ucapnya pelan."Apa orang itu saingan bisnis Papa?" tanya Aruna lirih.Alexei kembali menggeleng. Laki-laki itu segera mematikan laptop dan menutupnya. Alexei menyandarkan punggung di sofa, sedangkan Aruna masih bersandar di dadanya."Aku terus menyelidiki hal ini, Aruna. Siapa pun orang itu, aku yakin, ini ada akarnya."Aruna langsung mendongak. "Maks
Isma berdecak. "Aku nggak percaya, Gospodin!" sahutnya.Alexei mengangkat bahunya sekilas. "Up to you, Isma!" jawabnya datar.Alexei beralih menatap Aruna dan meminta gadis itu keluar dari kamar. Aruna mengangguk, kemudian mengikuti Isma. Sepeninggal Aruna dan Isma, Alexe kembali menyibukkan diri di depan laptop. Laki-laki itu masih penasaran dengan foto senjata api yang memiliki nomor seri sama tersebut.Selanjutnya, Alexei mengambil handphone yang sejak tadi belum dibuka. Ada sebuah pesan masuk.["Posle nashego issledovaniya gil'zy ot pul' imeyut nechto obshcheye. Shans togo zhe oruzhiya 70%"] Setelah kami teliti, dari selongsong peluru memiliki peluang kesamaan 70%. "Aku harus menemukannya, demi kamu Alenadra. Juga demi kamu, Aruna!"["Spasibo, zhdu dal'neyshikh novostey."] Terima kasih, kutunggu kabar selanjutnya.Setelah membalas pesan itu, Alexei segera mengunci pintu kamar dan merendam tubuhnya dengan air dingin di dalam bathtub. Bayangan kemesraan dengan Aruna tadi kembali m