Hua Lian terkejut begitu Wu Xubang memeluk dirinya, bahkan dia tidak nampak menua. Bukan cuma Hua Lian yang terkejut, Wu Huang juga ikut terkejut dengan penampilan istrinya yang masih seperti dulu. "Astaga! Anak muda jangan berbuat nggak sopan!" Hua Lian langsung mendorong Wu Xubang dan menatap suaminya dengan haru. Ia lalu mendekat dan mendekap suami yang sudah lama tidak ia temui. Sementara Wu Subang menatap ayahnya dengan tatapan horor. "Sayang, mengapa wajahmu terlihat menua, apa karena aku menghilang?" "Bukan begitu.. sayang, apa yang terjadi, mengapa kamu menghilang?" tanya Wu Huang dengan rasa penasaran yang ia pendam selama 8 tahun. Karena rumor yang beredar, membuat ia membenci istrinya, namun begitu bertemu rasa benci itu musnah. "Aku terlempar ke sebuah tempat, saat itu aku dan anak kita dihadang para perompak, tapi ada ledakan cahaya disaat kami bertarung, kemudian aku terlempar ke sebuah tempat yang bernama alam Fana." jelas Hua Lian, ia kemudian mengusap air matanya
"Wuxu'ku sudah besar, ibu tak menyangka bisa kembali bersama kalian lagi..." Hua Lian menangis haru, ia tak henti-hentinya memegang kedua tangan Wu Xubang. "Anakku, setelah sekian lama nggak bertemu, ibu akan memasak untukmu... Kamu mau ibu masakkan apa?" tanya Hua Lian sembari mengusap air matanya. "Sayang, jangan pikirkan itu... Asal kamu kembali dengan selamat saja, sudah membuat kami senang." Wu Huang memegangi bahu istrinya, rasa bersalah kian membesar kala ia telah salah paham kepada Hua Lian. Dia bahkan percaya ketika beberapa warga menuduh istrinya kawin lari dengan pria lain. Ah... Mengingat itu membuat Wu Huang ingin mengutuk dirinya sendiri. "Ibu jangan merepotkan dirimu, masih ada hari lain untukmu memasak buatku." sahut Wu Xubang, "ibu, aku ingin tau. Kamu bilang, dirimu terlempar ke alam Fana. Tempat seperti apa itu?" Hua Lian menghela napas panjang sebelum benar-benar akan bercerita. "Tempat itu seperti bumi, namun bukan bumi. Sejauh mata memandang hanya ad
"Geledah semua kapal!! Cari pemuda bertopeng dan berambut putih!!" Perintah Erik Chu, semua pasukan yang mereka punya mulai menggeledah 3 kapal yang belum berangkat. "Hei, siapa di dalam ruangan ini? Cepat keluar!" Bahkan mereka memeriksa ke setiap ruangan yang ada di dalam kapal tanpa luput satu sisi pun. Semua ruangan diperiksa, ruang makan, kamar mandi, ruang mesin, ruang kapten, ruang awak kapal, ruang masak, ruang penyimpanan barang, semua riangan diperiksa, semua lemari dibuka namun mereka tidak menemukan Arash. "Siapa yang mereka cari? Apakah seorang penjahat yang kabur?" "Entahlah, sepertinya orang itu harus ditemukan entah bagaimana caranya!" "Kalau begini keberangkatan kita bisa tertunda!" "Benar, keberangkatan tertunda membuat rugi, kita bisa rugi secara waktu!" Mendengar para penumpang kapal mulai protes akhirnya Han Jaeyong meminta pasukannya untuk kembali. Ia juga tidak ingin membuat keributan dengan warga. Terlebih penumpang bukan hanya warga asli Qiantan, a
"Brakh!" Sebuah kursi melayang diantara pelanggan, beberapa pria dengan tubuh besar sedang mengamuk, sebagian karena pengaruh alkohol yang mereka minum. Karena itulah pemilik penginapan mengatakan semua kamar penuh, padahal masih ada beberapa kamar yang kosong. "Heh!! Aku minta kamar, mengapa kamu bilang penuh?" Lei Kuan sedang kesal, ketua perompak itu melampiaskan amarahnya dengan meminum alkohol hari ini. Beberapa hari yang lalu kelompoknya dibuat malu oleh seorang pemuda bertopeng. Beruntung saat mereka tidak bisa bergerak, belum ada satu warga pun yang lewat. Bagaimana kalau ada yang lewat? Sudah tentu nyawa mereka akan melayang mengingat kejahatan mereka selama ini. "Kamu nggak dengar apa kata Ketua kami? Cepat berikan kami kamar!" Bong bai salah satu anak buah terkuat Lei Kuan juga tak kalah kesalnya, ia merasa semua orang meremehkan mereka. Apa ada yang tau soal kekalahan mereka saat itu? "Tuan, aku minta maaf, tapi kamar saat ini benar-benar penuh..." Jaixin, pemilik pe
"Bos, bagaimana ini? Nggak ada penginapan yang mau menerima kita! Di mana kita akan tidur malam ini? Apa kita kembali ke gunung saja?" "Jangan, sementara sangat berbahaya! Kamu nggak dengar rumor? Para pemberontak ada diluar sana, kalau kita nggak segera kabur dari kota ini, nanti kita terkena dampaknya." Para perompak sedang berdiskusi di sebuah rumah makan yang masih buka, tanpa mereka sadari Han Jaeyong dan Erik Chu yang sedang menyamar mendengar percakapan mereka. "Ini semua karena pemuda bertopeng itu, mengapa kita harus bernasib sial seperti ini?" Bong Bai bahkan menggebrak meja saking kesalnya, hari sudah mulai dingin. Tentu akan sulit jika tidur di jalanan. Mendengar kata pemuda bertopeng Han Jaeyong dan Erik Chu jelas bereaksi, namun mereka masih sabar menunggu dan mendengarkan cerita selanjutnya. "Aku rasa kita harus menghindar dari pemuda itu, bukan hanya dia bahkan yang bertubuh besar juga sangat kuat!" "Apa kalian nggak lihat? Dia sepertinya memiliki tim ya
"Tok... Tok... Tok..." "Tuan, maaf mengganggu..." Arash dan Fatta yang kebetulan belum tidur langsung menengok ke arah pintu ketika mendengar suara Jaixin, pemilik penginapan dari luar. (Yang Mulia, pejabat itu menemukanmu) sahut Cacao. (Saat ini ia ada di depan pintu bersama pemilik penginapan, apa aku harus membunuhnya?) tanya Badara dengan dingin. "Nggak perlu, kalian hanya cukup berjaga saja." sahut Arash, mendengar Arash bicara dengan kedua siluman yang tidak nampak itu. Fatta paham, sepertinya ada sesuatu di luar sana yang membuat para siluman itu siaga melindungi Arash. Kebenciannya perlahan menurun karena itu. "Cklek!" "Masuklah Pejabat Han..." kata Arash begitu membuka pintu. Pejabat Han Jaeyong tentu kaget, bagaimana bisa pemuda di depannya ini tau kalau dia yang datang. Begitu Han Jaeyong masuk ke dalam ruangan, Jaixin izin pamit. Meski ia ingin menguping, ia tak melakukan itu. Sangat tidak sopan menguping pembicaraan orang lain. Terlebih sepertinya
"Kamu benar, aku nggak bisa menggunakan kuas ini, jadi saat ini aku hanya bisa berharap kamu menolong kami... Kekaisaran memerlukan pertolonganmu..." Han Jaeyong menangkupkan tangannya begitu memasuki kamar Arash. "Kamu bahkan menghampiriku sepagi ini, paman apa kamu nggak tidur?" tanya Arash dengan wajah kesal. Kali ini ia tidak memakai topeng, jadi Han Jaeyong tau ada perbuatan ekspresi di wajah Arash, lagipula Han Jaeyong sudah pernah melihat wajahnya. Jadi Arash tidak sungkan membuka topengnya. "Aku nggak bisa tidur sebelum tugasku selesai, tolong!! Bantulah kami..." kali ini ia bahkan berlutut. Bagi Han Jaeyong menurunkan harga diri bukanlah hal besar, ia bertanggung jawab kepada tugasnya. "Hoooaaam...." Fatta bahkan menguap karena masih mengantuk. "Arash, bantu saja dia..." kata Fatta dengan sorot mata mengantuk. "Baiklah, aku akan membantu paman, tapi dengan pembayaran yang setimpal." sahut Arash. "Aku akan membayarmu dengan 100 logam emas!" sahut Han Jaeyong berse
Hong Zicai bermimpi indah, ia merasa berada di sebuah padang rumput, dikelilingi para wanita cantik. Wanita-wanita itu berlarian dengan suara yang menggemaskan, Hong Zicai berlari mengejar mereka dan menangkap salah satunya. "Aahhh...!" Hoang Zicai tersenyum dan memeluk wanita itu dengan erat. Tapi kejadian selanjutnya membuatnya begitu tercengang, saat ia membuka mata, ia sedang memeluk seorang pria dengan tubuh keras seperti batu. "Hei, kamu mimpi jorok ya? Kamu memelukku pakai nafsu, hiiii..." Fatta langsung mendorong Hong Zicai yang kini berada di dalam tahanan. "Apa... Apa yang terjadi? Mengapa aku ada di sini?" Hong Zicai tentunya bingung, ia jelas-jelas sedang berpesta tadi malam bersama Chen'eur. Tapi mengapa sekarang ia ada di dalam sel tahanan? "Plak!! Plak!!" Hong Zicai bahkan menepuk pipinya dua kali, berharap apa yang kini ia hadapi hanya mimpi. "Apa yang kamu lakukan? Masih mengira ini mimpi?" Han Jaeyong tersenyum sinis, seolah mengejek kesialan Hong
Semua orang menatap Rama secara bergantian dengan Arash, Kedua ayah dan anak itu memiliki wajah yang begitu tampan. Hanya saja Arash memiliki mata dan rambut berwarna putih. Itu membuatnya terlihat berbeda. "Arash, ternyata kamu tampan karena ayahmu," kata Jatiagung. "Nggak juga, ibunya juga cantik," sahut Rama dengan senyum ramah. Arash senang begitu mendengar ayahnya memuji ibunya, meski ia tidak bersama mereka. "Jadi bagaimana bisa kalian ada di sini?" tanya Rama akhirnya. Arash nampak kebingungan, apa ia harus bercerita dengan jujur kepada ayahnya itu? Jadi Arash menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Uhm, aku ke sini untuk mengendalikan Raja Iblis yang ada di dalam tubuhku," jelas Arash. Perkataan itu jelas mengubah ekspresi Rama, ia terlihat sedih. "Tapi ayah, aku sudah nggak marah kepadamu," kata Arash buru-buru. Rama kembali tersenyum, 'sudah nggak marah? Rupanya anakku sempat sakit hati atas keputusanku, maafkan aku Arash! Aku nggak layak menjadi ayahm
Setelah Arash mengatakan itu, Fatta dan Jatiagung berlari dengan cepat untuk menghadang Ketua Yohan dan Ketua Agung. "Arash, jangan tawar menawar dengan mereka. Mereka dari sekte kegelapan nggak bisa dipercaya," kata Jatiagung. "Arash, lukis ayahmu sekarang, biar paman yang hadapi mereka!" seru Fatta pula. "Cih, kalian pikir kalian mampu!" sahut Ketua Yohan. "Kita coba saja, jangan terlalu banyak omong!" sahut Jatiagung. Setelah itu keempat pria dewasa itu saling bertarung, Arash tidak boleh melewatkan kesempatan itu. Itu karena Raja Iblislah yang memintanya untuk segera melukis ayahnya Rama. (Arash, aku nggak suka ayahmu, tetapi saranku, hanya ayahmu yang bisa menghadapi manusia-manusia ini) Memangnya ayahku sehebat itu? Raja Iblis terkekeh saat itu, (kamu pikir siapa lagi yang punya ide untuk menyegel ku bahkan di tubuh anaknya sendiri, hanya ayahmu saja yang dengan cepat berpikir seperti itu) Karena itulah Arash mengambil keputusan itu, Arash mengeluarkan
"Masuklah gadis-gadis cantik!" seorang pria penjaga membuka pintu yang merupakan ruangan khusus ketua sekte kegelapan. Ruangan itu begitu besar dengan beragam sajian menarik dari surga dunia. Begitu memasuki ruangan itu, awalnya Arash mengira mereka akan menemui para pria tua, nyatanya mereka adalah pria yang nampak masih berumur sekitar diawal 40an. "Plak!" seseorang bahkan memukul pantat Arash, membuat Arash tersenyum mengerikan. Ia bahkan ingin segera melayangkan tinjunya saat ini juga, tetapi Anastasya segera memegang tangan Arash. Begitu pula dengan Mei Xue, ia juga menahan tangan Arash. Sudut bibir Arash terasa berkedut karena memaksakan senyum di wajahnya. "Wah para gadis telah datang," pria-pria itu bersorak dan meminta penjaga pintu untuk menutup pintu."Cepat menari sayang!""Goyangkan pantatmu cantik!" "Tap!" setelah pintu tertutup, Arash berjalan perlahan ke pintu. Disana penjaga pintu mengira Arash mencoba menggodanya, ia tersenyum dengan lidah menyapu bibirnya. Te
Arash menatap foto itu dan mulai menggambar, "Nona, dari mana kamu mendapatkan benda seperti ini? Bukankah ini foto?" tanya Arash. "Aku punya seorang teman wanita, dia melakukan perjalanan sendirian, ia sampai di tempat ini, kamu lihat pria ini? Dia adalah kakaknya," jelas Imelda. Arash mengangguk paham, "aku tanya satu hal lagi, apa dia mendapatkan ini dari masa depan?" tanya Arash. Karena benda berupa foto itu hanya bisa di dapatkan dengan kamera saja. "Kamu benar, darimana kamu tahu? Aku nggak tahu lebih tepatnya seperti apa, yang jelas temanku menggunakan barang yang belum pernah aku lihat," Imelda nampak bersemangat. Baju pengantin yang Imelda minta telah selesai dibuat, setelah Imelda mencobanya semua orang terpana melihat baju pengantin itu. Baju pengantin tradisional yang nampak indah di tubuh Imelda. "Nona Imelda, kamu cantik sekali." Perkataan Arash itu disetujui oleh semua orang, begitu pula dengan Norman. Setelah giliran Imelda, sekarang Arash juga menggambar b
Arash segera mengikuti Anastasya, ia begitu khawatir dengan keadaan teman-temannya. Jika apa yang Anastasya katakan benar, maka kemungkinan saat ini keadaan teman-temannya akan sulit. Mengingat begitu sulit mencari makanan di tempat ini. Arash dengan langkah yang terburu-buru mengikuti Anastasya dari belakang, tetapi betapa bingungnya Arash begitu mendapati teman-temannya malah makan dengan nikmat. Bahkan tidak terlihat kesulitan. "Ha! Apa yang baru saja aku khawatirkan?" gumam Arash kesal. "Arash! Akhirnya kamu keluar juga!" Fatta segera menghampiri Arash, begitu pula dengan Jatiagung dan Norman. Sedang Mei Xue segera berlari dan memeluk Arash, perasaan baru seminggu Arash berada di dalam gua. Mengapa mereka memperlakukan Arash seolah lama tak berjumpa. "Haish! Jangan memeluk seperti ini, sungguh memalukan." Arash berusaha melepaskan pelukan Mei Xue darinya, tetapi gadis muda itu masih mempererat pelukannya, ia menangis terisak di dalam pelukan Arash. Arash menatap F
Arash mengepalkan tangannya, ia merasa tak kuat dan ingin membuka matanya, ia ingin bertemu kedua orangtuanya. Hal yang wajar bukan? "Arash, mengapa kamu nggak membuka mata nak?" suara Rama lagi-lagi terdengar di telinga Arash. "Arash, maafkan ayah! Arash ...." Ketika Arash ingin membuka mata, kali ini suara Rama menghilang. Berganti dengan suara Fatta. "Arash, kamu mengapa ada di sini? Lama sekali paman menunggumu di luar!" "Arash apa yang kamu lakukan? Buka matamu, tempat ini aneh sekali! Arash!" "Astaga, ini yang nggak paman suka darimu! Kamu berbuat sesuka hatimu Arash!" "Arash, apa yang kamu tunggu, cepatlah kita pergi!" Kali ini Arash ingin membuka matanya, ingin memukul suara yang meniru suara Fatta. Haish! Arash benar-benar kesal, bahkan ketika ia mengomel seperti itu sangat mirip dengan pamannya. "Arash, cepatlah! Haish, karena inilah kedua orangtuamu meninggalkan kamu Arash, karena kamu sulit diatur!" Arash mengepalkan tangannya, saat ini rasanya ada kedut
"Yah, hanya itu keinginan kami, makanan lezat, seperti yang aku lihat, kamu menggunakan kuas ajaib milik Raja Iblies, jadi aku juga tahu kalau benda itu nggak bisa digunakan oleh orang lain dan hanya bisa digunakan olehmu, benar bukan!" Anastasya duduk sembari menyilangkan kaki. Ia memakan buah di atas meja. Buah yang nampak bening, tidak seperti buah lainnya, lebih seperti agar-agar. "Katakan lebih dulu apa yang harus aku lakukan?" tanya Arash. "Kamu hanya perlu menahan makan dan minum, bukan hanya itu, setelah itu kamu nggak boleh bicara, meski kamu ingin bicara, bahkan di dalam hatimu." Anastasya melirik Arash, ia tahu kalau cara ini akan berhasil. "Dari mana aku tahu kalau cara itu berhasil? Kamu bisa saja membunuhku," tuduh Arash. Anastasya tergelak, "membunuhmu? Apa itu mungkin sedangkan di dalam tubuhmu sedang bersemayam Raja Iblies, anak muda aku nggak senekat itu ingin membunuhmu! Apa kamu nggak sadar kalau selama ini kedua siluman itu juga sedang mengikuti mu?" tanya Ana
Arash menahan kedutan di wajahnya, kalau bukan karena Fatta adalah pamannya, sudah pasti pukulan ini akan melayang kepadanya. "Paman!" protes Arash dengan mata mendelik. Fatta menahan tawanya, ia bahkan sedikit menjauh karena tak kuasa menahan tawa. Astaga! Arash sungguh menggemaskan di mata Fatta. "Mengapa Kakak jadi terlihat lebih cantik dariku?" protes Mei Xue. Bukannya senang, Arash malah memberi Mei Xue jitakan di kepala. "Aduh!" Mei Xue hanya bisa mengelus kepalanya kemudian mengikuti Arash tanpa berani mengejeknya lagi. Tidak berapa lama akhirnya mereka sampai di depan halaman sekte bunga beracun. Seperti namanya bunga beracun tersebar di mana-mana, dengan keindahan yang mampu menggoda siapa pun yang melihatnya. Ketika terhisap aromanya, seseorang bisa saja mati. Karena itulah Norman, Jatiagung dan Fatta hanya bisa melihat dari kejauhan. Hal tepat ketika mengirim Mei Xue yang merupakan siluman ular, sedangkan Arash, ia memiliki Elixir healing potion yang bisa ia m
Mereka keluar dari rumah Norman ketika keadaan telah lebih baik, para warga di kota pertengahan beraktivitas seperti biasa dan tidak begitu peduli dengan keberadaan mereka. Kota ini nampak cantik, rumah-rumah di sini memang berukuran kecil. Dibuat dari bahan yang bukan kayu biasa. Kalau menatap ke arah selatan dan utara mereka bisa lihat kalau ada bangunan-bangunan megah yang menjulang tinggi. Bukan hanya itu, pemandangan pagi ini memang menggambarkan tempat ini seolah surga dunia. Karena ada bunga-bunga indah yang menghiasinya, ada pula batu-batu indah dengan nilai tinggi. Air yang mengalir deras seperti sungai-sungai kecil dengan aneka ikan hias di dalamnya. "Guru, batu apa ini?" tanya Arash, ia belum pernah melihat batuan indah yang ada di kota pertengahan. "Batu merah delima, jantung sang Naga." ketika Norman mengatakan itu Naga muda bereaksi. "Heh?!" "Hanya perumpamaan saja," Norman tertawa. Setelah itu Naga muda kembali berkamuflase dan bertengger di bahu Arash.