"Sudahlah, biarkan Rindu ditempat oma opanya. Toh dia lebih aman di sana."Dimas beringsut mendekati istrinya. Mengusap punggung Sita agar bisa lebih tenang."Kau sudah makan, Ta?"Sita membisu. Perasaannya masih tidak rela Rindu dititipkan di rumah mertuanya."Mau ku masakkan sesuatu?"Sita tertawa kecil."Pasti saat ini kau sedang membanding-bandingkan aku dengan Hanin bukan? Wanita itu selalu siap sedia melayanimu sepertinya?" Sita terkekeh."Kenapa kau selalu seperti ketakutan aku ada hubungan khusus dengan Hanin, Ta? Kisah kami sudah usai. Semua selesai saat aku memutuskan bercerai. Kini dia hanya mantan istriku.""Dulu aku juga mantan istrimu." Sita tersenyum sinis."Aku tidak pernah menemuinya seperti aku menemuimu dulu.""Tetapi kau tetap memikirkan dia, kan?""Ketakutanmu tidak beralasan! Atau sebenarnya kau yang berselingkuh?!" Dimas menarik Sita agar menghadap ke arahnya"Lepas!" Sita berusaha melepaskan cengkeraman Dimas di bahunya."Apa maksudmu aku berselingkuh?!" Sita m
"Kenapa, Mas? Lesu banget sepertinya." Arni menepuk bahu Halim yang tampak termenung di meja kerja."Eh, Mbak Arni." Halim tersenyum. Rekan kerjanya yang satu ini memang begitu. Bawaannya yang ramah membuat dia dekat dengan hampir semua karyawan di perusahaan. "Lagi ada masalah? Kerjaan? Pribadi?" Arni meletakkan kotak makan siangnya di meja Halim.Istirahat makan. Tadi dia malas ikut yang lain. Biasanya mereka makan ditempat yang telah disediakan. Tetapi Arni sedang malas kemana-mana.Setelah celingak-celinguk, dia akhirnya melihat Halim yang tertunduk lesu. Tidak biasanya lelaki berwajah sendu itu terlihat tidak bersemangat. Biasanya dia selalu membuat orang tertawa, sifatnya yang menyenangkan membuat orang betah berlama-lama berada di dekatnya."Ceritalah." Arni mulai menyendok makan siangnya.Halim akhirnya mengikuti Arni. Mulai membuka kotak makan siang. Sejenak dia tertegun sebelum menyantap makanan itu."Mbak Hanin ya?" Arni menebak. Halim langsung menoleh pada Arni. Bagaiman
"Oke deh, Mas Halim." Rani tersenyum lebar."Siang, Bu Sita." Halim menyapa Sita yang berpapasan dengannya saat balik badan dari meja kerja Rani."Siang, Mas Halim." Sita mengangguk ramah.Wanita yang selalu terlihat cantik itu berjalan dengan anggun. Tidak bisa dipungkiri, fisik Sita memang luar biasa. Siapapun yang melihat penampilannya, pasti akan langsung tertarik."Mbak Rani.""Iya, Bu?"Sita dan Rani memang bersahabat dekat. Namun dalam pekerjaan, mereka bersikap sangat profesional. "Tiket keberangkatan lusa sudah dicetak?""Sudah, Bu. Mau dibawa hasil cetak atau saya kirim email saja tiket elektroniknya?""Dua-duanya saja."Rani mengangguk. "Terima kasih ya, Mbak Rani." Sita berjalan meninggalkan meja Rani.Rani bergegas menyusul langkah sahabatnya. Saat di tempat sepi dia menarik Sita ke dalam salah satu ruangan rapat yang kosong."Kamu itu membuat kaget saja, Ran!""Kenapa jadi kamu yang berangkat, Ta?" Rani langsung mendudukkan Sita ke kursi. Dia harus menginterogasi sahab
"Lulus, Bu. Lulus, Kak." Saldi langsung menoleh pada Mbok Ti dan Hanin yang menunggu harap-harap cemas di hadapan Saldi."Masya Allah. Alhamdulillah." Mbok Ti langsung mengusap wajah menunjukkan tandanya bersyukur."Barokallah, Dek. Semoga berkah." Hanin menghapus air matanya yang tiba-tiba saja mengalir. Rasa haru menyeruak dalam dadanya.Saldi langsung bersujud syukur. Kemudian ketiga orang itu berpelukan sambil menangis. Rasa haru memenuhi ruangan itu."Saldi lulus jalur beasiswa. Jadi Kak Hanin tidak usah lagi pusing memikirkan biaya kuliah. Nanti untuk uang jajan dan bensin Saldi bisa kerja bantu-bantu Kakak kalau sedang tidak ada jam kuliah.""Loh? Beasiswa apa, Sal?""Prestasi.""Gayamuuuu." Hanin menoyor kepala Saldi pelan."Loh beneran, Kak. Iniloh, begini-begini ini Saldi atlet silat." Saldi menunjukkan sertifikatnya."Oooh.""Biar tidak menyusahkan Kakak lagi. Bagaimanalah Saldi membayar semuanya nanti ke Kakak?""Kok bayar sih, Sal. Kamu itu adik kakak. Memangnya kamu piki
Terdengar suara mobil memasuki halaman."Assalamualaikum. Umiii." Suara Dipta riang berteriak. Anak laki-laki berusia empat tahun itu baru saja pulang dari jalan-jalan dengan ayahnya, Dimas."Waalaikumussalam." Mereka menjawab berbarengan. "Intinya begini. Kalian berempat, kalau ada keinginan untuk pulang kampung atau mau mencoba kerja di tempat lain, jangan sungkan untuk bicara ke Mbak."Ke empat gadis itu mengangguk bersamaan."Mbak ke depan dulu ya." Pamit Hanin sambil merapikan gamis dan jilbabnya."Umiiiii." Dipta mengulurkan tangan begitu melihat Hanin datang. Minta digendong. "Jalan kemana saja tadi anak umi?" tanya Hanin sambil menghujani wajah anak itu dengan ciuman. Membuatnya tertawa kegelian."Keliling-keliling kota sama abi dan Kak Rindu." Ceritanya riang.Hanin mengangguk. Ini jadwal kunjungan rutin Dimas. Sudah selama empat tahun ini mantan suaminya itu datang setiap jum'at sore. Karena memang di kantor Dimas, setiap hari itu hanya bekerja sampai waktu shalat jum'at.
"Umiiiii." Dipta mengulurkan tangan begitu melihat Hanin datang. Minta digendong. "Jalan kemana saja tadi anak umi?" tanya Hanin sambil menghujani wajah anak itu dengan ciuman. Membuatnya tertawa kegelian."Keliling-keliling kota sama abi dan Kak Rindu." Ceritanya riang.Hanin mengangguk. Ini jadwal kunjungan rutin Dimas. Sudah selama empat tahun ini mantan suaminya itu datang setiap jum'at sore. Karena memang setiap hari itu di kantor Dimas hanya bekerja sampai waktu shalat jum'at."Tante Hanin." Rindu mengulurkan tangan.Hanin tersenyum, segera menyambut tangan Rindu yang ingin salim. Gadis kecil itu benar-benar mewarisi wajah ibunya. Cantik. Sempurna keindahan wajah Sita terpahat di wajah anaknya, Rindu."Ndu, ajak dek Dipta main di dalam. Minta mandi sama Eyang Ti. Biar pulang sudah wangi."Hanin mengerutkan kening. Tidak biasanya laki-laki itu meminta Rindu mandi di sini. Ada apakah?"Ih, Ayah. Rindu kan sudah pintar mandi sendiri kali." Gadis berusia sebelas tahun itu mencibir
"Assalamualaikum." Suara salam dan gedoran di pintu memecah keheningan di antara mereka. "Waalaikumussalam." Hanin dan Dimas menjawab berbarengan. "Mas Halim? Sama Mbak Arni?" Hanin menatap tamunya sedikit kebingungan. Tumben lelaki itu datang sore begini."Sendiri, Mbak.""Ayo, masuk.""Mbak saya langsung saja, karena masih banyak pekerjaan di kantor." Halim langsung menyampaikan maksud kedatangannya begitu dia duduk di sofa."General Manager perusahaan yang baru, Bu Sita, memutuskan untuk menghentikan kerjasama katering. Kami sudah berusaha agar kerjasama yang telah terjalin selama tiga tahun lebih ini bisa terus berlanjut, tetapi Bu Sita berkeras. Kami bisa apa." Halim menghela napas panjang.Dimas memejamkan mata. Istrinya itu mulai berulah lagi."Pak Hadyan sudah mengundurkan diri, dua hari yang lalu terakhir dia masuk kantor sekaligus serah terima jabatan dengan Bu Sita.""Aku tahu Pak Hadyan sudah mengundurkan diri. Tidak masalah, Mas Halim. Seharusnya Mas Halim bisa mengabar
"Eh, maaf ya, Mas. Aku jadi cerita panjang lebar." Hanin membenarkan jilbabnya. Wanita itu tiba-tiba menjadi salah tingkah saat melirik sekilas wajah Dimas.Dimas tertawa kecil. Melambaikan tangan, tidak masalah, maksudnya. Ini pertama kalinya Hanin berbicara panjang lebar padanya. Hanin memang suka bercerita dari dulu. Apa saja bisa dia jadikan bahan obrolan. Namun, semenjak mereka bercerai, wanita itu menjadi sangat irit berbicara dengannya."Ayaaaaaah." Rindu menghampiri Dimas dengan wajah segar dan tubuh yang wangi."Waaah sudah wangi anak gadis ayah, dedek Dipta mana?" Dimas mengacak rambut Rindu. Membuat gadis kecil itu mengernyit dan memilih pindah duduk di dekat Hanin. Enak saja, rambutnya kan sudah rapi.Hanin tertawa melihat Rindu yang sedikit sebal dengan Dimas. Dia ikut merapikan rambut anak sambungnya yang sedikit acak-acakan."Dedek tidur. Kecapean.""Oh ya sudah. Nin, kami pulang dulu ya. Takut keburu maghrib sampai rumah." Dimas berdiri."Sebentar, Mas. Tadi sudah Hani
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"