"Assalamualaikum." Suara salam dan gedoran di pintu memecah keheningan di antara mereka. "Waalaikumussalam." Hanin dan Dimas menjawab berbarengan. "Mas Halim? Sama Mbak Arni?" Hanin menatap tamunya sedikit kebingungan. Tumben lelaki itu datang sore begini."Sendiri, Mbak.""Ayo, masuk.""Mbak saya langsung saja, karena masih banyak pekerjaan di kantor." Halim langsung menyampaikan maksud kedatangannya begitu dia duduk di sofa."General Manager perusahaan yang baru, Bu Sita, memutuskan untuk menghentikan kerjasama katering. Kami sudah berusaha agar kerjasama yang telah terjalin selama tiga tahun lebih ini bisa terus berlanjut, tetapi Bu Sita berkeras. Kami bisa apa." Halim menghela napas panjang.Dimas memejamkan mata. Istrinya itu mulai berulah lagi."Pak Hadyan sudah mengundurkan diri, dua hari yang lalu terakhir dia masuk kantor sekaligus serah terima jabatan dengan Bu Sita.""Aku tahu Pak Hadyan sudah mengundurkan diri. Tidak masalah, Mas Halim. Seharusnya Mas Halim bisa mengabar
"Eh, maaf ya, Mas. Aku jadi cerita panjang lebar." Hanin membenarkan jilbabnya. Wanita itu tiba-tiba menjadi salah tingkah saat melirik sekilas wajah Dimas.Dimas tertawa kecil. Melambaikan tangan, tidak masalah, maksudnya. Ini pertama kalinya Hanin berbicara panjang lebar padanya. Hanin memang suka bercerita dari dulu. Apa saja bisa dia jadikan bahan obrolan. Namun, semenjak mereka bercerai, wanita itu menjadi sangat irit berbicara dengannya."Ayaaaaaah." Rindu menghampiri Dimas dengan wajah segar dan tubuh yang wangi."Waaah sudah wangi anak gadis ayah, dedek Dipta mana?" Dimas mengacak rambut Rindu. Membuat gadis kecil itu mengernyit dan memilih pindah duduk di dekat Hanin. Enak saja, rambutnya kan sudah rapi.Hanin tertawa melihat Rindu yang sedikit sebal dengan Dimas. Dia ikut merapikan rambut anak sambungnya yang sedikit acak-acakan."Dedek tidur. Kecapean.""Oh ya sudah. Nin, kami pulang dulu ya. Takut keburu maghrib sampai rumah." Dimas berdiri."Sebentar, Mas. Tadi sudah Hani
"DUDUK!! Jangan buat aku bertindak kasar, Ta." Dimas berbicara dengan napas naik turun di depan wajah Sita.Air mata Sita mengalir. Dia tidak menyangka lelaki yang sangat tergila-gila padanya bisa bertindak sekasar itu. Dimas memejamkan mata. Dia harus menguatkan hati melihat wajah Sita bersimbah air mata.Lelaki itu menarik napas panjang. Sita harus bisa dia kendalikan. "Kemana kau pergi selama tiga hari ini?" "Tempat Rani."Dimas mengangguk. Benar dugaannya, pasti Sita pergi ke rumah sahabatnya. Melihat dari spontanitas jawaban dan nada suara Sita yang tenang membuat Dimas yakin istrinya tidak berbohong."Kau menggoda Hadyan?"Mata Sita terbelalak. Bagaimana Dimas bisa tahu?"JAWAB!"Sita membisu. Hatinya bimbang. Dia bisa membaca situasi, Dimas sedang dalam posisi emosi tertinggi. Tidak ada guna baginya untuk membela diri. Salah bertindak, lelaki yang tengah menatapnya dengan napas memburu itu bisa bertindak nekat."Iya.""ARGH!!" Dimas melepaskan Sita. Lelaki itu mengacak rambu
"Ini sudah berapa kali revisi, Bel? Saya bingung, kok bisa, sih, kamu direkomendasikan jadi Section Manager oleh GM yang lama?!" Sita menatap Bella tajam. Wanita itu kemudian menghempaskan dokumen yang diserahkan Bella yang baru dibacanya beberapa halaman saja."Maaf, Bu." Bella menunduk."Jangan cuma maaf maaf saja terus. Perbaiki! Saya itu baru dua hari jadi GM, tetapi kamu sudah lebih dari tiga kali revisi. Jangan buat saya pusing, Bel! Banyak pekerjaan lain yang masih harus saya pelajari dan selesaikan!"Bella menunduk. Sita, saingan terberatnya dalam menaiki jenjang karir, kini adalah atasannya.Wanita yang sedang mengomel di hadapannya itu malah sudah menganggapnya saingan bahkan sejak hari pertama dia memulai kerja.Bella memejamkan mata. Ingatannya tiba-tiba melayang pada hari pertama dia masuk kerja di kantor ini."Anggarannya terlalu besar, Pak. Investor pasti kurang berminat jika angkanya sebesar itu." Sita, bintang terang di perusahaan mengemukakan pendapat dalam agenda r
"Baik, Bu." Bella mengambil dokumen yang terjatuh karena dilempar Sita. Wanita berwajah manis itu pamit keluar dengan menahan pedih di dada.Bella menghempaskan tubuh di kursinya. Meletakkan dokumen yang harus direvisi lagi. Kepalanya pusing. Dia tidak tahu dimana salahnya. Wanita itu tahu, Sita bahkan tidak membacanya sama sekali. GM baru itu hanya senang saja membuatnya kesulitan. "Revisi lagi, Bel?" Levy, teman satu divisi Bella bertanya.Bella mengangguk lemah."Gila! Wanita s*nting itu sengaja melakukannya untuk mengerjaimu, Bel." Levy berdiri di samping meja Bella sambil berkacak pinggang. Wajahnya terlihat sangat kesal."Baru dua hari jadi GM sudah semena-mena! Benar-benar ibl*s betina itu si Sita." Reni yang duduk bersebelahan dengan Bella ikut menimpali."Lawanlah, Bel! Ajukan argumentasi. Bila perlu lakukan presentasi kalau ini sudah layak dan tidak butuh direvisi lagi." Levy berkata geram."Dia mengancam akan mengusulkan penurunan jabatanku kalau aku berani berulah." Bell
"Itu mobil untuk Dipta. Kasihan dia kalau kemana-mana harus naik angkot atau motor. Jadi aku bermaksud memberikan mobil itu.""Untuk Dipta?!""Iya.""Dipta aja terus.""Ta.""Mas pikir aku ikut kerja agar anak dan mantan istrimu itu makmur? Jangan merasa karena aku juga mempunyai gaji, lalu mas bisa seenaknya memberi pada mereka.""Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, Ta. Kalau kau ingin berhenti bekerja, silakan. Aku tidak pernah melarang. Gajiku lebih dari cukup untuk membiayai hidup kita." Dimas meletakkan laptopnya."Terserah mas saja.""Kau memutus kontrak katering Hanin?""O~ Ow~, jadi wanita pengganggu itu mengadu padamu?" Sita menggerakkan badannya sedemikian rupa. Membuat gerakan untuk menahan rasa gemas di hatinya. Apa maksud Hanin mengadu pada Dimas?"Duduklah, Ta. Kita bicara." Dimas beringsut mendekati Sita. Menggandeng tangan istrinya agar duduk di kasur."Bagaimana? Bagaimana? Apa kata benalu itu?" Sita berbicara dengan nada suara yang dibuat seantusias mungkin. "B
Wajah Dimas memerah. Dia kesulitan mengambil napas. Sekuat tenaga dia menggulingkan Sita. Dimas cepat berdiri menjauhi Sita. Napasnya terengah.Sita bangkit dengan cepat. Bergegas mengejar Dimas."JANGAN MENDEKAT! SEKALI KAU MENYAKITI TUBUHKU DAN SEKALI LAGI KAU MENINGGIKAN SUARA PADAKU, KUHARAMKAN RAGAKU MENYENTUH TUBUHMU!"Sita menghentikan gerakannya. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Wanita itu jatuh tersungkur. Bahunya naik turun dengan cepat. Tangisannya terdengar sangat pilu."Mengapa, mengapa kita tidak bisa bahagia seperti dulu?" Dimas memejamkan mata. Tubuhnya merosot. Lelaki itu terduduk dengan wajah menunduk.Dimas pun bingung, rumah tangga mereka Beberapa tahun ini terasa hambar. Bahkan mereka sering cek cok karena hal-hal sepele. Perasaannya pada Sita masih sama, dia masih sangat mencintai istrinya itu. Tetapi kenapa pernikahan mereks yang kedua ini terasa berbeda? Apa yang salah?Dering ponsel Dimas dan Sita terdengar bersamaan. Mereka saling berpandangan. Dimas mengamb
"Pulanglah, Ta. Mulai detik ini kubebaskan dirimu dari pernikahan kita. Aku melepaskan diri dari ikatan yang bisa menjadikan kita halal."Sita terpana. Tubuhnya bergetar hebat. Napasnya terdengar sangat cepat. "Maksudmu?" Suara Sita mendesis, matanya tajam menatap Dimas."Pergilah. Mulai saat ini kau bukan lagi istriku. Kujatuhkan talak dua kepadamu."Sita menatap Dimas dengan mulut setengah terbuka. Tidak menyangka lelaki di hadapannya akan menjatuhkan talak yang kedua. Bukankah Dimas sangat mencintainya? Dia tahu persis lelaki itu tergila-gila padanya. Lalu kenapa kata pisah seolah ringan saja keluar dari mulutnya?Wanita cantik itu memejamkan mata. Berusaha mengatur dentum di dadanya. Jauh di dalam sana, hatinya terluka. Apakah sikapnya sudah diluar batas? Sehingga Dimas akhirnya ringan melepas?Ah … rasanya tidak. Selama ini pria berwajah tampan dan sangat pengertian itu mencintai lebih dan kurangnya. Pasti ada pihak lain yang mempengaruhi, sehingga gampang saja bagi Dimas untuk