"DUDUK!! Jangan buat aku bertindak kasar, Ta." Dimas berbicara dengan napas naik turun di depan wajah Sita.Air mata Sita mengalir. Dia tidak menyangka lelaki yang sangat tergila-gila padanya bisa bertindak sekasar itu. Dimas memejamkan mata. Dia harus menguatkan hati melihat wajah Sita bersimbah air mata.Lelaki itu menarik napas panjang. Sita harus bisa dia kendalikan. "Kemana kau pergi selama tiga hari ini?" "Tempat Rani."Dimas mengangguk. Benar dugaannya, pasti Sita pergi ke rumah sahabatnya. Melihat dari spontanitas jawaban dan nada suara Sita yang tenang membuat Dimas yakin istrinya tidak berbohong."Kau menggoda Hadyan?"Mata Sita terbelalak. Bagaimana Dimas bisa tahu?"JAWAB!"Sita membisu. Hatinya bimbang. Dia bisa membaca situasi, Dimas sedang dalam posisi emosi tertinggi. Tidak ada guna baginya untuk membela diri. Salah bertindak, lelaki yang tengah menatapnya dengan napas memburu itu bisa bertindak nekat."Iya.""ARGH!!" Dimas melepaskan Sita. Lelaki itu mengacak rambu
"Ini sudah berapa kali revisi, Bel? Saya bingung, kok bisa, sih, kamu direkomendasikan jadi Section Manager oleh GM yang lama?!" Sita menatap Bella tajam. Wanita itu kemudian menghempaskan dokumen yang diserahkan Bella yang baru dibacanya beberapa halaman saja."Maaf, Bu." Bella menunduk."Jangan cuma maaf maaf saja terus. Perbaiki! Saya itu baru dua hari jadi GM, tetapi kamu sudah lebih dari tiga kali revisi. Jangan buat saya pusing, Bel! Banyak pekerjaan lain yang masih harus saya pelajari dan selesaikan!"Bella menunduk. Sita, saingan terberatnya dalam menaiki jenjang karir, kini adalah atasannya.Wanita yang sedang mengomel di hadapannya itu malah sudah menganggapnya saingan bahkan sejak hari pertama dia memulai kerja.Bella memejamkan mata. Ingatannya tiba-tiba melayang pada hari pertama dia masuk kerja di kantor ini."Anggarannya terlalu besar, Pak. Investor pasti kurang berminat jika angkanya sebesar itu." Sita, bintang terang di perusahaan mengemukakan pendapat dalam agenda r
"Baik, Bu." Bella mengambil dokumen yang terjatuh karena dilempar Sita. Wanita berwajah manis itu pamit keluar dengan menahan pedih di dada.Bella menghempaskan tubuh di kursinya. Meletakkan dokumen yang harus direvisi lagi. Kepalanya pusing. Dia tidak tahu dimana salahnya. Wanita itu tahu, Sita bahkan tidak membacanya sama sekali. GM baru itu hanya senang saja membuatnya kesulitan. "Revisi lagi, Bel?" Levy, teman satu divisi Bella bertanya.Bella mengangguk lemah."Gila! Wanita s*nting itu sengaja melakukannya untuk mengerjaimu, Bel." Levy berdiri di samping meja Bella sambil berkacak pinggang. Wajahnya terlihat sangat kesal."Baru dua hari jadi GM sudah semena-mena! Benar-benar ibl*s betina itu si Sita." Reni yang duduk bersebelahan dengan Bella ikut menimpali."Lawanlah, Bel! Ajukan argumentasi. Bila perlu lakukan presentasi kalau ini sudah layak dan tidak butuh direvisi lagi." Levy berkata geram."Dia mengancam akan mengusulkan penurunan jabatanku kalau aku berani berulah." Bell
"Itu mobil untuk Dipta. Kasihan dia kalau kemana-mana harus naik angkot atau motor. Jadi aku bermaksud memberikan mobil itu.""Untuk Dipta?!""Iya.""Dipta aja terus.""Ta.""Mas pikir aku ikut kerja agar anak dan mantan istrimu itu makmur? Jangan merasa karena aku juga mempunyai gaji, lalu mas bisa seenaknya memberi pada mereka.""Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, Ta. Kalau kau ingin berhenti bekerja, silakan. Aku tidak pernah melarang. Gajiku lebih dari cukup untuk membiayai hidup kita." Dimas meletakkan laptopnya."Terserah mas saja.""Kau memutus kontrak katering Hanin?""O~ Ow~, jadi wanita pengganggu itu mengadu padamu?" Sita menggerakkan badannya sedemikian rupa. Membuat gerakan untuk menahan rasa gemas di hatinya. Apa maksud Hanin mengadu pada Dimas?"Duduklah, Ta. Kita bicara." Dimas beringsut mendekati Sita. Menggandeng tangan istrinya agar duduk di kasur."Bagaimana? Bagaimana? Apa kata benalu itu?" Sita berbicara dengan nada suara yang dibuat seantusias mungkin. "B
Wajah Dimas memerah. Dia kesulitan mengambil napas. Sekuat tenaga dia menggulingkan Sita. Dimas cepat berdiri menjauhi Sita. Napasnya terengah.Sita bangkit dengan cepat. Bergegas mengejar Dimas."JANGAN MENDEKAT! SEKALI KAU MENYAKITI TUBUHKU DAN SEKALI LAGI KAU MENINGGIKAN SUARA PADAKU, KUHARAMKAN RAGAKU MENYENTUH TUBUHMU!"Sita menghentikan gerakannya. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Wanita itu jatuh tersungkur. Bahunya naik turun dengan cepat. Tangisannya terdengar sangat pilu."Mengapa, mengapa kita tidak bisa bahagia seperti dulu?" Dimas memejamkan mata. Tubuhnya merosot. Lelaki itu terduduk dengan wajah menunduk.Dimas pun bingung, rumah tangga mereka Beberapa tahun ini terasa hambar. Bahkan mereka sering cek cok karena hal-hal sepele. Perasaannya pada Sita masih sama, dia masih sangat mencintai istrinya itu. Tetapi kenapa pernikahan mereks yang kedua ini terasa berbeda? Apa yang salah?Dering ponsel Dimas dan Sita terdengar bersamaan. Mereka saling berpandangan. Dimas mengamb
"Pulanglah, Ta. Mulai detik ini kubebaskan dirimu dari pernikahan kita. Aku melepaskan diri dari ikatan yang bisa menjadikan kita halal."Sita terpana. Tubuhnya bergetar hebat. Napasnya terdengar sangat cepat. "Maksudmu?" Suara Sita mendesis, matanya tajam menatap Dimas."Pergilah. Mulai saat ini kau bukan lagi istriku. Kujatuhkan talak dua kepadamu."Sita menatap Dimas dengan mulut setengah terbuka. Tidak menyangka lelaki di hadapannya akan menjatuhkan talak yang kedua. Bukankah Dimas sangat mencintainya? Dia tahu persis lelaki itu tergila-gila padanya. Lalu kenapa kata pisah seolah ringan saja keluar dari mulutnya?Wanita cantik itu memejamkan mata. Berusaha mengatur dentum di dadanya. Jauh di dalam sana, hatinya terluka. Apakah sikapnya sudah diluar batas? Sehingga Dimas akhirnya ringan melepas?Ah … rasanya tidak. Selama ini pria berwajah tampan dan sangat pengertian itu mencintai lebih dan kurangnya. Pasti ada pihak lain yang mempengaruhi, sehingga gampang saja bagi Dimas untuk
Dimas mengusap wajah. Lelaki itu memaksakan diri untuk bangun dari duduknya. Dengan langkah gontai dia membuka pintu kamar. Tujuannya adalah kamar Rindu."Rindu?" Dimas mengerutkan kening saat melihat kamar itu kosong."Rindu!" Bergegas Dimas masuk dan menuju kamar mandi.Kosong!"Sita!" Dimas mengepalkan tangan. Lelaki itu sedikit berlari mengambil kunci mobil di kamar. Setelah mengunci pintu rumah, Dimas langsung menyalakan mobil dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Dimas yakin, tujuan Sita pasti rumah ibu mertuanya. Saat Dimas sedang kalut karena terjebak macet, detik itu juga Sita tengah melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah Hanin.Sesampainya dia di rumah ibunya tadi, Sita mengatakan titip Rindu. Tanpa banyak penjelasan, wanita itu langsung balik badan lagi menuju mobil. Malam ini juga, dia harus memberi pelajaran pada wanita pengganggu itu."Tunggulah kau, Hanin! Aku tidak akan hancur sendirian, mari kita hancur bersama." Sita mencengkeram erat kemudi mobilnya. Wajah c
"Memang benar, kan? Kakakmu itu hanya benalu yang mengemis perhatian pada Mas Dimas dengan alasan Dipt …""KELUAR!!"Saldi melepaskan Hanin. Anak lelaki yang baru menginjak pendidikan di bangku kuliah itu maju ke arah Sita."SALDI! Istighfar, Dek, Istighfar. Jangan sampai amarah menguasaimu." Hanin langsung memegang tangan Saldi kencang."Kita keluar, Ta." Sementara Hadyan berusaha membujuk Sita agar mau keluar dari rumah Hanin."Kenapa aku harus keluar, Mas?! Wanita tidak tahu diri ini harus diberi pelajaran agar tidak semakin menyusahkan hidupku ke depan. Keluarga ini memang pembawa sial!""KAU! JANGAN HINA KELUARGAKU!" Saldi berontak berusaha melepaskan diri dari Hanin yang telah memeluknya dengan erat."Ada apa ini?" Beberapa tetangga datang saat mendengar ada keributan, di belakang mereka terlihat Mbok Ti berdiri gemetar sambil menggandeng Dipta.Tadi Mbok Ti mengintip ke ruang tamu saat mendengar ada keributan. Begitu melihat Sita yang mengamuk menarik jilbab Hanin, Mbok Ti memu
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"