"Itu mobil untuk Dipta. Kasihan dia kalau kemana-mana harus naik angkot atau motor. Jadi aku bermaksud memberikan mobil itu.""Untuk Dipta?!""Iya.""Dipta aja terus.""Ta.""Mas pikir aku ikut kerja agar anak dan mantan istrimu itu makmur? Jangan merasa karena aku juga mempunyai gaji, lalu mas bisa seenaknya memberi pada mereka.""Aku tidak pernah berpikiran seperti itu, Ta. Kalau kau ingin berhenti bekerja, silakan. Aku tidak pernah melarang. Gajiku lebih dari cukup untuk membiayai hidup kita." Dimas meletakkan laptopnya."Terserah mas saja.""Kau memutus kontrak katering Hanin?""O~ Ow~, jadi wanita pengganggu itu mengadu padamu?" Sita menggerakkan badannya sedemikian rupa. Membuat gerakan untuk menahan rasa gemas di hatinya. Apa maksud Hanin mengadu pada Dimas?"Duduklah, Ta. Kita bicara." Dimas beringsut mendekati Sita. Menggandeng tangan istrinya agar duduk di kasur."Bagaimana? Bagaimana? Apa kata benalu itu?" Sita berbicara dengan nada suara yang dibuat seantusias mungkin. "B
Wajah Dimas memerah. Dia kesulitan mengambil napas. Sekuat tenaga dia menggulingkan Sita. Dimas cepat berdiri menjauhi Sita. Napasnya terengah.Sita bangkit dengan cepat. Bergegas mengejar Dimas."JANGAN MENDEKAT! SEKALI KAU MENYAKITI TUBUHKU DAN SEKALI LAGI KAU MENINGGIKAN SUARA PADAKU, KUHARAMKAN RAGAKU MENYENTUH TUBUHMU!"Sita menghentikan gerakannya. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Wanita itu jatuh tersungkur. Bahunya naik turun dengan cepat. Tangisannya terdengar sangat pilu."Mengapa, mengapa kita tidak bisa bahagia seperti dulu?" Dimas memejamkan mata. Tubuhnya merosot. Lelaki itu terduduk dengan wajah menunduk.Dimas pun bingung, rumah tangga mereka Beberapa tahun ini terasa hambar. Bahkan mereka sering cek cok karena hal-hal sepele. Perasaannya pada Sita masih sama, dia masih sangat mencintai istrinya itu. Tetapi kenapa pernikahan mereks yang kedua ini terasa berbeda? Apa yang salah?Dering ponsel Dimas dan Sita terdengar bersamaan. Mereka saling berpandangan. Dimas mengamb
"Pulanglah, Ta. Mulai detik ini kubebaskan dirimu dari pernikahan kita. Aku melepaskan diri dari ikatan yang bisa menjadikan kita halal."Sita terpana. Tubuhnya bergetar hebat. Napasnya terdengar sangat cepat. "Maksudmu?" Suara Sita mendesis, matanya tajam menatap Dimas."Pergilah. Mulai saat ini kau bukan lagi istriku. Kujatuhkan talak dua kepadamu."Sita menatap Dimas dengan mulut setengah terbuka. Tidak menyangka lelaki di hadapannya akan menjatuhkan talak yang kedua. Bukankah Dimas sangat mencintainya? Dia tahu persis lelaki itu tergila-gila padanya. Lalu kenapa kata pisah seolah ringan saja keluar dari mulutnya?Wanita cantik itu memejamkan mata. Berusaha mengatur dentum di dadanya. Jauh di dalam sana, hatinya terluka. Apakah sikapnya sudah diluar batas? Sehingga Dimas akhirnya ringan melepas?Ah … rasanya tidak. Selama ini pria berwajah tampan dan sangat pengertian itu mencintai lebih dan kurangnya. Pasti ada pihak lain yang mempengaruhi, sehingga gampang saja bagi Dimas untuk
Dimas mengusap wajah. Lelaki itu memaksakan diri untuk bangun dari duduknya. Dengan langkah gontai dia membuka pintu kamar. Tujuannya adalah kamar Rindu."Rindu?" Dimas mengerutkan kening saat melihat kamar itu kosong."Rindu!" Bergegas Dimas masuk dan menuju kamar mandi.Kosong!"Sita!" Dimas mengepalkan tangan. Lelaki itu sedikit berlari mengambil kunci mobil di kamar. Setelah mengunci pintu rumah, Dimas langsung menyalakan mobil dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Dimas yakin, tujuan Sita pasti rumah ibu mertuanya. Saat Dimas sedang kalut karena terjebak macet, detik itu juga Sita tengah melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah Hanin.Sesampainya dia di rumah ibunya tadi, Sita mengatakan titip Rindu. Tanpa banyak penjelasan, wanita itu langsung balik badan lagi menuju mobil. Malam ini juga, dia harus memberi pelajaran pada wanita pengganggu itu."Tunggulah kau, Hanin! Aku tidak akan hancur sendirian, mari kita hancur bersama." Sita mencengkeram erat kemudi mobilnya. Wajah c
"Memang benar, kan? Kakakmu itu hanya benalu yang mengemis perhatian pada Mas Dimas dengan alasan Dipt …""KELUAR!!"Saldi melepaskan Hanin. Anak lelaki yang baru menginjak pendidikan di bangku kuliah itu maju ke arah Sita."SALDI! Istighfar, Dek, Istighfar. Jangan sampai amarah menguasaimu." Hanin langsung memegang tangan Saldi kencang."Kita keluar, Ta." Sementara Hadyan berusaha membujuk Sita agar mau keluar dari rumah Hanin."Kenapa aku harus keluar, Mas?! Wanita tidak tahu diri ini harus diberi pelajaran agar tidak semakin menyusahkan hidupku ke depan. Keluarga ini memang pembawa sial!""KAU! JANGAN HINA KELUARGAKU!" Saldi berontak berusaha melepaskan diri dari Hanin yang telah memeluknya dengan erat."Ada apa ini?" Beberapa tetangga datang saat mendengar ada keributan, di belakang mereka terlihat Mbok Ti berdiri gemetar sambil menggandeng Dipta.Tadi Mbok Ti mengintip ke ruang tamu saat mendengar ada keributan. Begitu melihat Sita yang mengamuk menarik jilbab Hanin, Mbok Ti memu
"Tadi dia datang sebentar. Hanya meletakkan koper di kamar dan menitipkan Rindu pada ibu. Setelah itu dia bergegas pergi lagi. Sita terlihat sangat kacau. Kalian sedang ada masalah?" Bu Rita bertanya dengan nada khawatir. Dimas memejamkan mata. Kemana wanita cantik itu pergi?"Kami sedang ada masalah sedikit, Bu. Tetapi …." Kesadaran Dimas tiba-tiba datang. Pasti Sita mendatangi Hanin. Ya, bisa dia pastikan ibu dari anaknya itu pergi menemui Hanin."Bu, Dimas pergi dulu. Assalamualaikum." Dimas bergegas menaiki mobilnya. Dia harus cepat, sebelum Sita membuat masalah."Dim, Dimas. Sebenarnya kalian ada masalah apa?" Bu Rita berteriak.Sementara mobil Dimas sudah melaju kencang. Lelaki itu menginjak pedal gas dalam-dalam saat keluar dari halaman rumah Bu Rita. Dia harus segera menghentikan Sita.Lelaki itu memukul kemudi dengan gemas. Macet. Kemacetan jalan raya membuat laju mobilnya terlambat. Dering ponsel Dimas kembali terdengar. Lelaki itu memilih mengabaikannya. Entah sudah berap
"Mbak Sita ada bukti?" Pak RT kembali bertanya."Selain itu, wanita tidak tahu diri ini juga berusaha menghancurkan karir saya." Sita melanjutkan omongannya. Memilih mengabaikan pertanyaan Pak RT karena dia memang tidak memiliki bukti bahwa Hanin menggoda Dimas."Dulu kantor saya memiliki kerjasama katering dengan warung kecil Hanin ini. Tetapi karena kualitas masakannya buruk, dua hari yang lalu saya memutuskan kerjasama." Sita mengangkat dagu, menatap Hanin merendahkan. "Merasa sakit hati karena sumber rezekinya terhenti, malam ini wanita dengan wajah pura-pura polos itu menyebarkan video tidak penting yang sengaja dia rekam diam-diam tiga tahun lalu, yang sengaja dia buat untuk menjatuhkan saya!"Hanin tercengang. Dia tidak mengerti sedikitpun dengan apa yang Sita katakan. Video apa? Jadi Dimas sudah mentalak Sita?"Oooh ini Mbak Sita istrinya Dimas Abimana? General Manager Perusahaan Bakti Nusa?" Bu Rati, istri Pak Rizal bertanya."Betul!" Sita menjawab mantap sambil sedikit men
"Pergi! Pergi! Pergi!" kompak suara ibu-ibu terdengar. Dimas yang baru saja memarkirkan mobil terpana. Ada keributan apa di rumah Hanin? Kenapa malam-malam warga ramai berkumpul? mendadak hatinya merasa tidak enak. Pikiran buruk mulai membayangi otaknya.Lelaki itu bergegas berlari, berusaha menembus kerumunan ibu-ibu. Gagal. Tubuhnya terpental."Ibu-ibu! Sabar! Jangan main hakim sendiri!" Pak RT berusaha melindungi Sita.Wanita cantik itu terlihat kacau. Sita bersembunyi di belakang Hadyan, berusaha melindungi tubuhnya dari jangkauan ibu-ibu. Tadi salah satu sendal berhasil mengenai kepalanya. Membuat rambutnya menjadi berantakan. "YANG HARUS KALIAN HAKIMI ITU HANIN, BUKAN AKU!" Sita berteriak kencang. Berusaha mengalahkan suara ibu-ibu yang terus meneriakkan pergi padanya."Pergi! Pergi! Pergi!""HANIN BERZINA!!" Lengkingan suara Sita membuat suara yang tadinya ramai menjadi hening seketika.Semua mata saling berpandangan. Hanin berzina?"Fitnah!" Bu Rati berteriak. "Seret wanita