"Oke deh, Mas Halim." Rani tersenyum lebar."Siang, Bu Sita." Halim menyapa Sita yang berpapasan dengannya saat balik badan dari meja kerja Rani."Siang, Mas Halim." Sita mengangguk ramah.Wanita yang selalu terlihat cantik itu berjalan dengan anggun. Tidak bisa dipungkiri, fisik Sita memang luar biasa. Siapapun yang melihat penampilannya, pasti akan langsung tertarik."Mbak Rani.""Iya, Bu?"Sita dan Rani memang bersahabat dekat. Namun dalam pekerjaan, mereka bersikap sangat profesional. "Tiket keberangkatan lusa sudah dicetak?""Sudah, Bu. Mau dibawa hasil cetak atau saya kirim email saja tiket elektroniknya?""Dua-duanya saja."Rani mengangguk. "Terima kasih ya, Mbak Rani." Sita berjalan meninggalkan meja Rani.Rani bergegas menyusul langkah sahabatnya. Saat di tempat sepi dia menarik Sita ke dalam salah satu ruangan rapat yang kosong."Kamu itu membuat kaget saja, Ran!""Kenapa jadi kamu yang berangkat, Ta?" Rani langsung mendudukkan Sita ke kursi. Dia harus menginterogasi sahab
"Lulus, Bu. Lulus, Kak." Saldi langsung menoleh pada Mbok Ti dan Hanin yang menunggu harap-harap cemas di hadapan Saldi."Masya Allah. Alhamdulillah." Mbok Ti langsung mengusap wajah menunjukkan tandanya bersyukur."Barokallah, Dek. Semoga berkah." Hanin menghapus air matanya yang tiba-tiba saja mengalir. Rasa haru menyeruak dalam dadanya.Saldi langsung bersujud syukur. Kemudian ketiga orang itu berpelukan sambil menangis. Rasa haru memenuhi ruangan itu."Saldi lulus jalur beasiswa. Jadi Kak Hanin tidak usah lagi pusing memikirkan biaya kuliah. Nanti untuk uang jajan dan bensin Saldi bisa kerja bantu-bantu Kakak kalau sedang tidak ada jam kuliah.""Loh? Beasiswa apa, Sal?""Prestasi.""Gayamuuuu." Hanin menoyor kepala Saldi pelan."Loh beneran, Kak. Iniloh, begini-begini ini Saldi atlet silat." Saldi menunjukkan sertifikatnya."Oooh.""Biar tidak menyusahkan Kakak lagi. Bagaimanalah Saldi membayar semuanya nanti ke Kakak?""Kok bayar sih, Sal. Kamu itu adik kakak. Memangnya kamu piki
Terdengar suara mobil memasuki halaman."Assalamualaikum. Umiii." Suara Dipta riang berteriak. Anak laki-laki berusia empat tahun itu baru saja pulang dari jalan-jalan dengan ayahnya, Dimas."Waalaikumussalam." Mereka menjawab berbarengan. "Intinya begini. Kalian berempat, kalau ada keinginan untuk pulang kampung atau mau mencoba kerja di tempat lain, jangan sungkan untuk bicara ke Mbak."Ke empat gadis itu mengangguk bersamaan."Mbak ke depan dulu ya." Pamit Hanin sambil merapikan gamis dan jilbabnya."Umiiiii." Dipta mengulurkan tangan begitu melihat Hanin datang. Minta digendong. "Jalan kemana saja tadi anak umi?" tanya Hanin sambil menghujani wajah anak itu dengan ciuman. Membuatnya tertawa kegelian."Keliling-keliling kota sama abi dan Kak Rindu." Ceritanya riang.Hanin mengangguk. Ini jadwal kunjungan rutin Dimas. Sudah selama empat tahun ini mantan suaminya itu datang setiap jum'at sore. Karena memang di kantor Dimas, setiap hari itu hanya bekerja sampai waktu shalat jum'at.
"Umiiiii." Dipta mengulurkan tangan begitu melihat Hanin datang. Minta digendong. "Jalan kemana saja tadi anak umi?" tanya Hanin sambil menghujani wajah anak itu dengan ciuman. Membuatnya tertawa kegelian."Keliling-keliling kota sama abi dan Kak Rindu." Ceritanya riang.Hanin mengangguk. Ini jadwal kunjungan rutin Dimas. Sudah selama empat tahun ini mantan suaminya itu datang setiap jum'at sore. Karena memang setiap hari itu di kantor Dimas hanya bekerja sampai waktu shalat jum'at."Tante Hanin." Rindu mengulurkan tangan.Hanin tersenyum, segera menyambut tangan Rindu yang ingin salim. Gadis kecil itu benar-benar mewarisi wajah ibunya. Cantik. Sempurna keindahan wajah Sita terpahat di wajah anaknya, Rindu."Ndu, ajak dek Dipta main di dalam. Minta mandi sama Eyang Ti. Biar pulang sudah wangi."Hanin mengerutkan kening. Tidak biasanya laki-laki itu meminta Rindu mandi di sini. Ada apakah?"Ih, Ayah. Rindu kan sudah pintar mandi sendiri kali." Gadis berusia sebelas tahun itu mencibir
"Assalamualaikum." Suara salam dan gedoran di pintu memecah keheningan di antara mereka. "Waalaikumussalam." Hanin dan Dimas menjawab berbarengan. "Mas Halim? Sama Mbak Arni?" Hanin menatap tamunya sedikit kebingungan. Tumben lelaki itu datang sore begini."Sendiri, Mbak.""Ayo, masuk.""Mbak saya langsung saja, karena masih banyak pekerjaan di kantor." Halim langsung menyampaikan maksud kedatangannya begitu dia duduk di sofa."General Manager perusahaan yang baru, Bu Sita, memutuskan untuk menghentikan kerjasama katering. Kami sudah berusaha agar kerjasama yang telah terjalin selama tiga tahun lebih ini bisa terus berlanjut, tetapi Bu Sita berkeras. Kami bisa apa." Halim menghela napas panjang.Dimas memejamkan mata. Istrinya itu mulai berulah lagi."Pak Hadyan sudah mengundurkan diri, dua hari yang lalu terakhir dia masuk kantor sekaligus serah terima jabatan dengan Bu Sita.""Aku tahu Pak Hadyan sudah mengundurkan diri. Tidak masalah, Mas Halim. Seharusnya Mas Halim bisa mengabar
"Eh, maaf ya, Mas. Aku jadi cerita panjang lebar." Hanin membenarkan jilbabnya. Wanita itu tiba-tiba menjadi salah tingkah saat melirik sekilas wajah Dimas.Dimas tertawa kecil. Melambaikan tangan, tidak masalah, maksudnya. Ini pertama kalinya Hanin berbicara panjang lebar padanya. Hanin memang suka bercerita dari dulu. Apa saja bisa dia jadikan bahan obrolan. Namun, semenjak mereka bercerai, wanita itu menjadi sangat irit berbicara dengannya."Ayaaaaaah." Rindu menghampiri Dimas dengan wajah segar dan tubuh yang wangi."Waaah sudah wangi anak gadis ayah, dedek Dipta mana?" Dimas mengacak rambut Rindu. Membuat gadis kecil itu mengernyit dan memilih pindah duduk di dekat Hanin. Enak saja, rambutnya kan sudah rapi.Hanin tertawa melihat Rindu yang sedikit sebal dengan Dimas. Dia ikut merapikan rambut anak sambungnya yang sedikit acak-acakan."Dedek tidur. Kecapean.""Oh ya sudah. Nin, kami pulang dulu ya. Takut keburu maghrib sampai rumah." Dimas berdiri."Sebentar, Mas. Tadi sudah Hani
"DUDUK!! Jangan buat aku bertindak kasar, Ta." Dimas berbicara dengan napas naik turun di depan wajah Sita.Air mata Sita mengalir. Dia tidak menyangka lelaki yang sangat tergila-gila padanya bisa bertindak sekasar itu. Dimas memejamkan mata. Dia harus menguatkan hati melihat wajah Sita bersimbah air mata.Lelaki itu menarik napas panjang. Sita harus bisa dia kendalikan. "Kemana kau pergi selama tiga hari ini?" "Tempat Rani."Dimas mengangguk. Benar dugaannya, pasti Sita pergi ke rumah sahabatnya. Melihat dari spontanitas jawaban dan nada suara Sita yang tenang membuat Dimas yakin istrinya tidak berbohong."Kau menggoda Hadyan?"Mata Sita terbelalak. Bagaimana Dimas bisa tahu?"JAWAB!"Sita membisu. Hatinya bimbang. Dia bisa membaca situasi, Dimas sedang dalam posisi emosi tertinggi. Tidak ada guna baginya untuk membela diri. Salah bertindak, lelaki yang tengah menatapnya dengan napas memburu itu bisa bertindak nekat."Iya.""ARGH!!" Dimas melepaskan Sita. Lelaki itu mengacak rambu
"Ini sudah berapa kali revisi, Bel? Saya bingung, kok bisa, sih, kamu direkomendasikan jadi Section Manager oleh GM yang lama?!" Sita menatap Bella tajam. Wanita itu kemudian menghempaskan dokumen yang diserahkan Bella yang baru dibacanya beberapa halaman saja."Maaf, Bu." Bella menunduk."Jangan cuma maaf maaf saja terus. Perbaiki! Saya itu baru dua hari jadi GM, tetapi kamu sudah lebih dari tiga kali revisi. Jangan buat saya pusing, Bel! Banyak pekerjaan lain yang masih harus saya pelajari dan selesaikan!"Bella menunduk. Sita, saingan terberatnya dalam menaiki jenjang karir, kini adalah atasannya.Wanita yang sedang mengomel di hadapannya itu malah sudah menganggapnya saingan bahkan sejak hari pertama dia memulai kerja.Bella memejamkan mata. Ingatannya tiba-tiba melayang pada hari pertama dia masuk kerja di kantor ini."Anggarannya terlalu besar, Pak. Investor pasti kurang berminat jika angkanya sebesar itu." Sita, bintang terang di perusahaan mengemukakan pendapat dalam agenda r