Mayang menelan salivanya dengan wajah yang memucat sedangkan Ibra menarik tangan Ayra dan membuat wanita itu mengikuti kemana kaki Ibra berjalan. Sedangkan Mayang hanya bisa menatap kesal kepada keduanya. Dirinya tak bisa apa pun karena Ibra mempunyai kuasa yang besar. Usahanya bisa sebesar itu juga karena bantuan dan sokongan dana dan promosi dari Ibra selebihnya Mayang hanyalah ceceran kotoran kucing. Untuk itulah Mayang tak bisa mendebat Ibra lebih banyak lagi. Ibra terus saja menggandeng tangan Ayra menuju ke liar butik. Namun, saat keduanya hampir sampai di pintu tiba-tiba saja ada Sifa yang melihat dan menghampiri keduanya. "Lho Pak Bos sama Mbak Bos mau kemana? Kok gandeng-gandengan? Hayoh belum muhrim!" Sontak saja Ibra dan Ayra saling melepaskan tangan. "Nah gitu dong kan belum menikah jadi jangan pegang-pegang." Sifa masih saja terus nyerocos dan tidak melihat perubahan dari raut wajah Aura dan Ibra. Namun, setelah banyolan Sifa tidak ditanggapi Ibra maupun Ayra, Sifa l
"Memangnya kita mau kemana?" "Penghulu!""Hah, Penghulu?" tanya Ayra kaget."Pelankan suaramu, Sayang. Biar aku jelaskan di mobil."Ibra menarik tangan Ayra segera masuk ke dalam mobil. Begitu pula dengan Sifa. Gadis itu duduk di bangku belakang. Sementara Ayra dan Ibra di depan. "Aku sudah mengatur pernikahan kita malam ini, Sayang. Lebih cepat lebih baik," ujar Ibra saat sudah melakukan kendaraannya di jalanan. "Apa, menikah? ya ampun, Pak Bos. Ko, dadakan kaya tahu bulat, sih. Sifa juga ikut menyaksikan pernikahan kalian 'kan? yah, gimana dong, belum persiapan. Bukannya seharusnya acaranya beberapa hari lagi?" tanya Sifa yang lebih dulu mengincar Ibra dengan banyak pertanyaan."Sifa, harusnya aku yang banyak bertanya. Kamu diam dulu," ujar Ayra."Hehehe, maaf, Mbak. Saya syok luar binasa. Jadi, mulutnya nyurucus deh."Ayra tak merespon ucapan Sifa. Perempuan itu ingin menanyakan duluan rasa penasaran di hatinya. Tak mau dipotong, karena Ayra ingin tahu duluan maksud dan tujuan I
Mereka berdua pergi ke ruang makan. Pemilik rumah menyambut hangat keberadaan mereka. Kebetulan, Pak penghulu yang akan menikahkan Ibra, adalah ustadz yang sering ia kunjungi. Seorang guru spritual yang biasa dijadikan Ibra tempat konsultasi terkait urusan agamanya. Maka, ibu pemilik rumah memperlakukan mereka layaknya saudara dekat. Dengan sukarela mau menyiapkan acara pernikahan Ayra dan Ibra. Memanggil RT dan RW setempat sebagai saksi juga."Aduh, aku harus cari tukang rias ke mana?" tanya Sifa pada dirinya sendiri. Sedari tadi, dia tak henti bolak-balik di teras depan."Mbak, makan dulu. Sudah saya siapkan di dalam," ujar Ibu pemilik rumah dengan ramah. "Iya, Bu. Saya sebenarnya lapar, tapi gak bisa fokus makan. Harus memikirkan MUA yang bisa mendandani Mbak Ayra malam ini," ujarnya curhat. "Oalah, saya tahu MUA di desa ini. Saya juga punya nomor teleponnya Mbak. Sebentar coba saya hubungi.""Serius, Bu?" tanya Sifa berbinar."Serius, toh, Mbak. Masa bohong. Sebentar."Ibu pemi
Pukul sepuluh malam, Ibra memutuskan segera pergi ke hotel yang sudah dipesannya. Jarak hotel tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit. Ibra memang sengaja memilih lokasi tempat istirahat terdekat. Agar bisa secepatnya menghabiskan malam berdua saja dengan Sang Istri. "Pak, bos tunggu dulu. Aku tidur di mana? masa bertiga sama kalian," tanya Sifa yang mengekor di belakang Ibra dan Ayra sampai kamar pengantin mereka. Ibra sampai lupa memberi kunci untuk anak buahnya, karena terlalu antusias menuntaskan hasratnya. "Ya ampun kenapa kamu baru bilang? malah ikut ke sini. Cepat ke bagian resepsionis. Ambil kunci yang sudah aku pesan atas namamu. Ingat jangan ganggu kami.""Hehehe, siap, Pak. Mau main kuda-kudaan yah.""Sifa," tegur Ayra dengan mata melotot sambil tersipu malu."Ups, maaf Mbak. Mulutku suka keceplosan. Ya sudah, selamat malam pertama Bosku. Semoga sukses dan punya bos junior.""Sudah, cepat pergi!" usir Ibra kesal.Sifa menunjukkan cengiran kuda. Pikirannya sudah merab
"Istri?!" pekik Fahri dan Fiona dengan kompak."Yah, Papi dan Ayra sudah menikah kemarin, kami sudah sah menjadi suami istri dengan begitu Ayra sekarang adalah Ibu dan juga mertua kalian. Jadi, Papi harap bersikaplah sopan dengan Ayra karena mulai sekarang dia lah yang akan menghandle semua yang berhubungan dengan rumah ini." Fiona dan Fahri semakin melongo dibuat oleh ucapan Ibra. Fiona dan Fahri saling berpandangan dan kembali melihat ke arah Ibra dan saat mata Fiona bersitatap dengan Ayra, Fiona tersadar jika hal itu bukanlah mimpi. "Papi apa-apaan sih! Jangan be4canda, Pi! Ini gak lucu tau!" ketus Fiona dan is berdiri sembari berkacak pinggang. "Lho, memangnya siapa yang bilang kalau Papi sedang bercanda atau sedang melawak?! Gak ada kan? Apa yang Papi katakan adalah serius. Mulai hari ini urusan rumah baik itu masalah makan dan kebersihan dan segala keperluan rumah berdasarkan keputusan Ayra. Karena dia adalah istri Papi jadi semua harus sesuai dengan keputusannya. Hal itu mut
Kini, kedua orang itu saling menyalahkan dan itu membuat Ibra muak mendengarkan perdebatan mereka yang menurutnya tidak ada manfaatnya itu. "Stop! Hentikan omong kosong kalian! Kalian berdua itu sama saja karena sama-sama tidak bisa menahan hawa napsu dan iman kalian lemah. Tapi meskipun begitu aku sangat berterima kasih padamu, Fahri. Dengan kamu yang melepaskan Ayra, aku jadi tidak kesepian lagi. Aku tidak jadi duda lagi dan hidupku sekarang jauh lebih berwarna. Terima Kasih telah melepas wanita sebaik dan sesempurna Ayra. Kamu bodoh telah melepas wanita yang hampir sempurna seperti istriku." Ibra pun pergi meninggalkan Fiona dan Fahri yang melebarkan matanya karena melihat Ibra merangkul pinggang sang istri sembari berjalan beriringan menuju kamar mereka. Namun, langkah Ibra dan Ayra terhenti saat sebuah suara memanggil nama mereka. "Lho kok aku ditinggalin? Terus aku harus gimana ini Pak Bos dan Mbak Bos?" Ayra dan Ibra saling pandang lantas keduanya melihat ke arah Sifa. Kedu
"Heh kamu pikir saya takut apa! Anak kecil berani-beraninya ngancam-ngancam aku. Sini kamu biar aku kasih pelajaran bagaimana caranya menghargai dan menghormati orang yang lebih tua!" Fahri merengsek maju mendekati Sifa. Sifa yang tidak gentar sedikit pun bukannya pergi tapi malah semakin maju mendekati Fahri yang juga masih berjalan ke arahnya. Sedangkan Ibra dan Ayra hanya melihat tontonan gratis di depan matanya. Anggap saja mereka sedang melihat para benalu kena tulah dan malu sendiri. Tangan Fahri sudah mencekal tangan Sifa cukup erat namun hal itu sama sekali tidak membuat Sifa meringis kesakitan, melainkan ia tersenyum sinis sembari memandangi tangannya yang dicekal oleh Fahri. "Ada yang lucu? Kenapa ketawa?" tangan Fahri yang berani melihat Sifa bukannya kesakitan tapi malah menampilkan deretan giginya yang rata. "Segini aja kekuatan Paman? Kalah dong sama anak kecil yang katanya kurang ajar ini?""Oh ini belum seberapa. Kalau aku kuatin takutnya ntar kamu nangis malah a
"Sayang, makasih ya," ucap Ibra sembari memeluk pinggang Ayra yang duduk di depan meja rias dari belakang. Ibra menghirup dalam ceruk leher jenjang Ayra dari belakang yang kebetulan rambutnya tengah ia cepol ke atas. Ayra kegelian dengan perlakuan Ibra itu dan membuatnya menjauhkan sedikit wajah Ibra dari lehernya. "Mas geli ah. Kamu makasih kenapa?" "Ya makasih karena kamu mau mendampingi hidupku. Mau menikah denganku si aki-aki yang selalu puber kedua ini." Ayra tersenyum sangat manis dan ia mengecup sekilas bibir Ibra. Namun, saat Ayra akan menjauhkan wajahnya dari wajah Ibra. Tangan Ibra menahan kepala Ayra dan Ibra kembali merasakan benda kenyal yang membuatnya candu setelah ia merasakan malam pertama bersama Ayra kemarin di hotel. Ayra mendorong tubuh Ibra dengan kedua tangannya karena hampir saja ia kehabisan napas. Wajah Ayra menghangat dan rona kemerahan tercipta di kedua pipinya. Ayra menunduk malu atas perbuatan Ibra barusan saja. Ibra mengangkat wajah cantik itu denga