"Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Mang Selly.
"Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit melamun," jawab Gung Yoga sambil tersenyum kecil. Lalu, pria itu mengambil sepotong roti bakar, mengoleskannya dengan selai, lalu mulai menikmatinya.
Mang Selly melakukan hal yang sama dan mulai menikmati sarapannya. Namun, gadis itu mengunyah lebih cepat daripada pria di depannya.
Baru beberapa menit saja, ia sudah menghabiskan dua potong roti dan akan mengambil yang ketiga.
Gung Yoga memelototi gadis itu. Dengan segera, ia meraih tangan Mang Selly untuk mencegahnya mengambil sepotong roti.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Mang Selly dengan wajah heran.
"Ini roti panggang! Kalau kamu mau lagi, buat sendiri sana!" gertaknya.
"Aih… kamu pelit sekali! Lagi pula, ini kan rotiku yang kamu ambil dari kulkas?" tanya Mang Selly tak mau mengalah.
"Eh, aku membuat sarapan ini susah payah, ya! Asal kamu tahu saja, aku terbiasa dilayani. Ini pertama kali aku membuat sarapanku sendiri. Jadi, jangan sentuh roti ini," kata Gung Yoga sambil terus mencengkeram tangan gadis itu.
"Ah, sudahlah! Aku buat sendiri saja!" Dengan kesal, Mang Selly bangkit dan memanggang roti sebanyak yang ia mau.
Lalu, ia kembali lagi ke meja makan dan mengunyah makanannya sambil menatap Gung Yoga dengan mata berang.
"Kau menyeramkan sekali," kata Gung Yoga.
"Tutup mulutmu dan makanlah sebanyak yang kau mau," jawab Mang Selly cuek.
Angin pantai mendesir perlahan. Seorang pria tampan berdiri mengamati lautan lepas di sebuah pelabuhan yang hiruk-pikuk.
Sesekali, ia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Dari wajahnya, ia tampak begitu cemas.
Seorang wanita setengah tua mendekatinya dan mencolek lengannya.
"Sudah waktunya berangkat. Ayo, bawa mobilmu ke kapal feri," ujar Nyonya Rai.
De Arya, yang sedari tadi sibuk mengamati keadaan, segera bergegas menuju mobil Mercedes yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.
Keduanya bergegas masuk dan perlahan menggerakkan mobil mewah itu menuju badan kapal.
Terlihat orang-orang sibuk memasukkan sepeda motor mereka, sementara petugas kapal sibuk mengarahkan posisi parkir mobil dan motor.
De Arya dan Nyonya Rai kemudian duduk di atas dek kapal sambil menikmati pemandangan lautan yang luas.
Tempat duduk mereka bergetar karena kapal sudah mulai melaju ke Pulau Lombok.
"Apakah Paman akan baik-baik saja?" tanya De Arya dengan wajah cemas.
"Mari kita berdoa saja supaya dia bisa disembuhkan. Entah mengapa mereka memberikan kabar buruk ini begitu lambat. Aku juga tidak mengerti mengapa mereka tidak bercerita sejak awal ia mendapatkan diagnosis kanker hati," keluh Nyonya Rai dengan pelupuk mata yang dipenuhi air mata.
Setelah bulir air itu jatuh, ia menyekanya dengan tisu.
Kabar buruk mengguncang seluruh keluarga De Arya. Kakak dari Nyonya Rai, yang merupakan seorang pemangku, ternyata menderita kanker hati stadium akhir.
Keluarga di Lombok baru mengabarkan setelah kakek tua itu meminta mereka menghubungi keluarga di Bali.
"Mungkin mereka tidak ingin merepotkan Meme secara finansial. Kita semua tahu kalau biaya pengobatan kanker hati sangatlah mahal," ucap De Arya sambil menoleh ke arah ibunya.
"Walaupun kita tidak kaya raya, mungkin kita bisa membantu proses pengobatannya. Tapi sekarang sudah terlambat," isak wanita itu.
Pemuda berambut cepak itu merangkul ibunya.
Beberapa jam setelah kapal bergerak perlahan menuju pelabuhan Lombok, akhirnya ia bersandar di Pelabuhan Lembar.
Ibu dan anak itu bergegas menuju bagian bawah kapal dan mengemudikannya keluar.
Mobil mewah itu menarik perhatian banyak orang di pintu keluar pelabuhan yang ramai. Beberapa pengemudi memilih menjauh karena takut menggores kendaraan mahal itu.
Tak lama kemudian, mobil itu melaju kencang di jalanan Pulau Lombok yang lengang. Kehadiran mereka disambut oleh nyiur kelapa yang melambai-lambai di kanan kiri serta deburan ombak di pesisir pantai.
Setelah 30 menit berkendara di jalan pantai barat Lombok, mereka tiba di sebuah desa yang tampaknya banyak dihuni oleh orang Bali.
Rumah-rumah adat berjejer rapi. Beberapa orang yang menyaksikan kehadiran mobil itu terlihat heran dan menatapnya dengan rasa ingin tahu.
Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di sebuah rumah sederhana.
"Selamat datang di gubuk kami. Sudah lama sekali tidak bertemu," ucap wanita itu sambil memeluk Nyonya Rai.
Kedua wanita itu berpelukan erat, sesekali terdengar isak tangis dari Nyonya Rai.
Setelah beberapa saat, wanita itu mendekati De Arya.
"Iya, Bibi. Aku tidak cuma tumbuh besar, tetapi juga menjelang tua," seloroh pemuda itu.
Seketika, kedua wanita itu tertawa.
Wanita yang menyambut mereka adalah Ibu Sudi, istri dari Pak Komang Artha, kakak Nyonya Rai.
Keluarga itu sangat dekat, tetapi mereka jarang bertemu karena perbedaan pulau.
Ketiga orang itu bergegas menuju ruang tamu yang cukup luas. Setelah duduk di kursi ukir dengan sofa empuk, De Arya berdiri menatap banyaknya lukisan yang tergantung di dinding.
Ada lukisan bunga, pantai, serta berbagai foto keluarga. Sesaat, De Arya mengamati fotonya bersama kakaknya yang terpajang di pojok ruangan. Ia tak menyangka foto itu tergantung di rumah ini, berjejer dengan foto para sepupunya.
"De Arya, kemarilah!" ucap Nyonya Rai dari sebuah kamar.
Pemuda itu segera menuju sumber suara. Setelah menyibakkan tirai kain, ia melihat seorang pria terbaring lemah. De Arya segera mendekati saudara ibunya yang sudah lama tidak ia temui.
"Paman, apakah sudah sehat?" tanya De Arya sambil menggenggam tangan pria itu yang begitu lemah.
"Beginilah… kalau sudah tua renta," jawab pria itu dengan suara agak serak.
"Paman pasti akan baik-baik saja. Nanti kita pulang sebentar ke Bali, ya?" kata De Arya membujuk.
Pria itu hanya tersenyum tipis, lalu melirik ke arah lemari di depan tempat tidurnya.
"De Arya, tolong ambil lukisan kecil itu…" pintanya dengan tangan bergetar.
De Arya sekolah melihat ke arah lemari kaca itu dan mendekatinya. Lalu, ia melihat di rak paling atas sebuah lukisan berukuran kecil—sebuah gambar yang sangat aneh. Ia meraih benda itu dan menunjukkannya kepada pamannya.
"Apakah yang ini?" tanyanya.
Pria tua itu hanya mengangguk lemah. Lalu, De Arya kembali mendekati pria itu dan duduk di sampingnya sambil menyerahkan lukisan kecil tersebut.
Pria itu mengamati gambar itu dan merabanya. Lalu, ia menyerahkan kembali benda itu kepada De Arya.
"Carilah benda ini. Setelah kau menemukannya, kau akan memahami siapa dirimu yang sebenarnya," kata pria tua itu.
"Apa maksud Bli? Dia adalah anakku," Nyonya Rai menyela dengan lembut.
Pria itu hanya menatap adiknya dengan lembut. Mereka berdua sudah sama-sama berusia tua. Sekilas, ia teringat bagaimana mereka hidup dalam kemiskinan saat masih kecil. Walaupun hidup serba kekurangan, mereka dibesarkan dalam keluarga yang harmonis dan saling menyayangi.
"Aku belum pikun. Walaupun aku jarang melihatnya, aku tahu dia adalah anakmu, he... he..." katanya sambil terkekeh.
Nyonya Rai menjadi tersipu malu, tetapi ia bahagia bisa melihat kakaknya yang begitu lemah dapat tersenyum kembali.
"Lalu, apa maksud kata-katamu tadi?" tanya Nyonya Rai lembut.
"Dia itu kuat sekali, seperti seorang ksatria. Dia bukan titisan orang biasa..."
Mendengar hal itu, Nyonya Rai mengernyitkan alisnya sambil menatap De Arya. Pria itu membalas tatapan ibunya dengan isyarat agar ibunya keluar dari ruangan.
Meskipun Nyonya Rai tidak sepenuhnya paham, ia menuruti permintaan anaknya untuk keluar dari ruangan.
Tinggallah kedua pria itu di dalam ruangan tersebut. Setelah diam sejenak, De Arya membuka percakapan kembali.
"Bisakah Paman menceritakan kepadaku tentang benda yang digambar ini?"
"Itu adalah gelang Air Mata Peri. Aku dengar gelang itu dibuat oleh seorang Rsi yang menyelamatkan seorang peri yang tersesat di hutan. Sebagai tanda terima kasih, peri itu menangis, dan air matanya berubah menjadi mutiara.
Sejak ratusan tahun yang lalu, gelang ini menjadi rebutan para ksatria karena mereka percaya bahwa gelang ini akan mengabulkan satu permintaan mereka," jelas pria itu.
"Tapi, Paman, untuk apa aku menemukan gelang ini? Aku tidak memerlukan benda seperti ini. Aku sudah puas dengan apa yang aku miliki," jawab De Arya.
"Bukan kamu yang menginginkannya, melainkan gelang itu yang ingin menggenapi permintaan kalian."
"Kalian? Kalian siapa?" tanya De Arya heran.
"Dirimu di masa lalu dan kekasih hatimu. Gelang itu terikat perjanjian dengan kalian berdua. Ruh peri yang berdiam di dalam gelang itu sudah harus menemukan pemilik barunya, tetapi dia tidak bisa menemukannya karena masih terikat perjanjian dengan kalian."
Mendengar penjelasan itu, De Arya makin merasa bingung. Tetapi, dia memilih untuk tidak membahasnya lebih lanjut.
"Baiklah, sekarang beri tahu aku ke mana aku harus pergi supaya dapat bertemu dengan gelang ini."
"Aku tidak tahu, Nak. Yang jelas, sebelum gelang itu menemukan kalian, kau tidak akan bisa menikah dengan siapa pun..."
"Luh…." rintihan pedih seorang pemuda.Tubuhnya penuh penuh luka, Ia merangkak mendekati seorang gadis yang terkapar bersimbah darah. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, pemuda itu menggenggam tangan gadis itu dan berkata;"L-Luh…. j-jangan lupakan j-janjimu, a-ayo… kita bertemu di dunia tanpa kasta… "“Aaaah!” jerit Dayu terbangun dari tidurnya.Gadis yang tersengal-sengal itu, segera meraih gelas berisi air yang ada di sebelah tempat tidurnya. Setelah meneguk beberapa kali, ia menghembuskan nafasnya.Lalu, ia membaringkan kembali tubuhnya diatas tempat tidur untuk menenangkan diri.
Pentas di Art Center. Suara gamelan terdengar sangat indah membahana, Dayu terlihat sedang mengikuti gladi resik pentas tari di sebuah panggung terbuka. Tempat itu terlihat sangat sibuk. Adanya kunjungan beberapa pejabat penting pada sore itu, membuat pengamanan di tempat itu dilipat gandakan. Terlihat ada banyak aparat polisi yang berjaga di pintu masuk. Ketika matahari sudah terbenam, Dayu dan Gek Trisha sedang bersolek bersama beberapa penari lain di ruang rias. Mereka sedang bersiap untuk menarikan Tari Pendet, tarian pembuka pada pentas malam itu. Gek Trisha adalah sahabat karib Dayu sejak SMA. Ia adalah seor
Keesokan harinya, di sebuah pantai berpasir putih yang terletak di bawah sebuah tebing,terlihat 2 orang pria duduk diatas bebatuan berwarna coklat.Mereka berdua sedang memancing ikan."Entah kenapa, setiap kali aku duduk disini, aku merasa sedih," ucap De Arya."Memangnya kenapa komandan?" tanya Parto."Mungkin karena cerita sedih dipantai ini.Konon katanya, ada sepasang kekasih yang meninggal di sini setelah mengikat sumpah setia satu sama lain.Karena cerita itu, penduduk disini menamai tempat ini Pantai Tebing Perjanjian."
Malam harinya di kantor polisi."komandan, lihat!" Parto tergopoh gopoh sambil menunjukkan layar ponselnya."Ada yang menemukan dompet komandan, lihat ini nomor whatsapp nya," sambungnya.Kapten muda itu memeriksa postingan itu dengan cermat. Lalu ia mencatat nomor orang yang memasang pengumuman itu, dan menulis pesan kepadanya.Selamat malam, saya Made Aryajaya, apakah benar bapak/ibu menemukan dompet saya?Tak lama kemudian terlihat ada jawaban.Iya, saya memang menemukan dompet bapak, tapi untuk memastikan bahwa dompet ini milik bapa
Bab 5. Deja Vu, Penglihatan masa lalu.Waktu menunjukkan jam 4 sore. Tak sabar lagi, De Arya segera keluar dari kantornya dengan mengendarai mobilnya.Sesaat kemudian, mobil kecil itu memasuki gerbang sebuah rumah megah. Lalu ia memarkirkannya diantara beberapa mobil mewah yang lain.Setelah keluar dari pintu kendaraan itu, Ia terburu-buru menuju biliknya.Ia tidak sadar bahwa ada sepasang mata yang telah memperhatikan kehadirannya.Ia adalah Nyonya Rai, Ibu kandung De Arya yang sedang menyiram bunga. Seorang wanita berumur sekitar 60 tahun, yang masih terlihat cantik dan terawat untuk wanita seusianya.
“Ayo Dayu, sedikit lagi!” kata De Arya melenyapkan lamunan Dayu.Gadis itu menatap pria yang berjalan di depannya. Namun, bayangan matahari yang sebentar lagi terbenam itu menyilaukan matanya. Ia tak dapat melihat wajah pria itu.Sesampainya di atas batu yang paling atas, De Arya membantu gadis itu berdiri, dan mereka berdua menatap matahari yang sedang terbenam.Lalu mereka berdua duduk diatas batu itu."Entah mengapa, setiap kali aku berada disini, aku merasa seperti sudah berdiri disini lama sekali…Dan setiap kali aku duduk disini, aku merasa kesepian, aku seperti menunggu sese
De Arya yang mendapatkan panggilan mendesak dari Dayu, segera memutar arah mobilnya, untuk menemukan gadis itu. Tak lama kemudian, ia sampai pada minimarket yang dituju. Setelah keluar dari mobil, De Arya segera menuju ke dalam minimarket dan mencari Dayu yang bersembunyi di balik rak. "Yang mana mobilnya?" "Mobil offroad berwarna hitam di seberang jalan," jawab Dayu dengan sedikit berbisik. De Arya berpura-pura melihat barang yang di dekat kaca, lalu melihat ke arah seberang jalan. Dan benar saja, mobil yang dimaksud gadis itu masih berada disana. Polisi itu melihat ada beberapa pria didalam mobil itu.
"Dayu, bersiaplah, siang ini jam 11 kita akan kedatangan tamu istimewa, "ucap seorang pria yang sangat berwibawa.Pria berumur 60 tahun, berbadan tegak, dan masih terlihat gagah itu adalah Pak Bagus. ayah dari Dayu."Siapa tamunya?" tanya Dayu penasaran."Kamu akan lihat sendiri, pokoknya, nanti berpakaianlah yang sopan, kalau perlu, pakailah kebaya yang mama belikan kemarin." sahut nyonya Amara, wanita yang telah melahirkan dan membesarkan gadis itu.Mendengar perkataan ibundanya, Dayu hanya menganggukan kepalanya sambil menikmati sarapan yang dihidangkan oleh ibunya.Tepat jam 11 siang, sebuah mobil sport mewah&
"Mengapa kau menatapku seperti itu?" tanya Mang Selly."Ah… tidak apa-apa, aku hanya sedikit melamun," jawab Gung Yoga sambil tersenyum kecil. Lalu, pria itu mengambil sepotong roti bakar, mengoleskannya dengan selai, lalu mulai menikmatinya.Mang Selly melakukan hal yang sama dan mulai menikmati sarapannya. Namun, gadis itu mengunyah lebih cepat daripada pria di depannya.Baru beberapa menit saja, ia sudah menghabiskan dua potong roti dan akan mengambil yang ketiga.Gung Yoga memelototi gadis itu. Dengan segera, ia meraih tangan Mang Selly untuk mencegahnya mengambil sepotong roti."Apa yang kau lakukan?" tanya Mang Selly dengan wajah heran."Ini roti panggang! Kalau kamu mau lagi, buat sendiri sana!" gertaknya."Aih… kamu pelit sekali! Lagi pula, ini kan rotiku yang kamu ambil dari kulkas?" tanya Mang Selly tak mau mengalah."Eh, aku membuat sarapan ini susah payah, ya! Asal kamu tahu saja, aku terbiasa dilayani. Ini pertama kali aku membuat sarapanku sendiri. Jadi, jangan sentuh rot
Melihat tubuh yang molek, ranum, lekuk yang indah dan tak mengenakan sehelai benang pun bergerak condong ke arahnya dan mulai membuka kancing baju yang ia kenakan satu per satu. Gung Yoga segera merengkuh tubuh gadis itu dan mencium bibirnya dan tangannya membelai kulit halusnya. Wanita yang sudah dibutakan nafsu itu membalas ciuman itu dengan semangat. "Ayo, kita bersenang-senang malam ini, sebagai pembalasan atas perbuatan mereka, puaskanlah aku Gung Yoga, malam ini aku milikmu… " kata Mang Selly dengan nafasnya yang memburu.Tanpa pikir panjang lagi, Gung Yoga segera melucuti pakaiannya dengan dibantu oleh gadis itu. Setelahnya, keduanya berciuman, berpelukan sambil berbansa menikmati musik romantis yang mengalun pelan bagaikan dua insan yang jatuh cinta. Ruangan gelap yang dihiasi kelap kelip lampu diskotik, membuat suasana tempat itu menjadi tempat yang sempurna untuk bercinta. Setelah puas berdansa, Gung Yoga mengangkat tubuh wanita itu, dan membaringkannya di sofa. Mang Sel
Melihat kemesraan De Arya dan Dayu, hati pria yang duduk di bangku taman yang gelap di kebun hotel King Lotus bergejolak penuh amarah.Setelah yakin bahwa kedua orang yang diamati nya tidak menyadari kehadirannya. Pria itu pergi meninggalkan tempat itu.Dengan mobil mewahnya, ia keluar dari parkiran hotel King Lotus dengan ugal-ugalan.Mobil sport berkecepatan tinggi itu melaju kencang.Gung Yoga duduk di balik kursi kemudian itu marah, dan air mata yang berderai.Tak sanggup mengendalikan amarah.Pria itu menepi dan menendang ban mobilnya.
Malam itu, De Arya dan Dayu terlihat duduk berdua diatas tempat tidur hotel King Lotus. Sesaat keduanya terlihat saling memandang mesra. Kedua tangan mereka saling bergenggaman. Kemudian mereka saling berpelukan. "Dayu, aku bahagia sekali bisa kembali padamu," kata De Arya. "Aku juga De Arya, aku sangat sedih ketika kau meninggalkan aku seperti itu. Tolong… jangan pernah lagi, percayalah, hatiku sepenuhnya milikmu," kata Dayu dengan memeluk pria itu erat. Setelah puas saling melepas rindu. Dayu meraih beberapa benda dari tasnya. Benda benda kecil itu dibungkus dengan kertas tissue. Lalu ia membukanya satu persatu dan menaruhnya di atas tempat tidur. De Arya menatap deretan koin dan cincin itu dengan heran. Benda-benda itu tampak kusam dan kuno. "Coba lihat dan pegang benda ini, katakanlah padaku kalau kau ingat sesuatu," kata Dayu. De Arya meraih satu per satu benda itu, tetapi dia tidak menunjukkan expresi apapun. "Jujur Dayu… aku tidak mengenali benda- benda ini, maaf… ," k
"Om Swastiastu! benarkan ini rumah De Raga?" terdengar suara pak Bagus."Ayah! mengapa dia kemari?" sahut Dayu panik."Akulah yang menghubungi bos, anak gadis satu-satunya pingsan di rumah orang, tentu saja aku hari memberi kabar kan?" jawab Robertus.Dayu bergegas bangkit dari kamar itu dan keluar untuk menyambut ayahnya yang sudah bersama De Raga."Ayah… !" serunya."Dayu! apakah kamu tidak apa-apa?" sahut pria itu sambil memeluk putri satu-satunya.Pria tua itu mengelus pundak Dayu dengan penuh kasih sayang. Namun ketika tatapan matanya menangkap sosok
Mang Selly membiarkan dirinya sekali lagi didalam pelukan Gung Yoga. Entah mengapa ia juga tidak ingin menolak pria itu yang sepertinya sangat peduli dengan perasaannya. Setelah puas menangis, perlahan gadis itu melepaskan diri dan menyeka air matanya. "Aku mau pulang dulu Gung Yoga, aku harus mengurus usaha ku. Sampai ketemu lagi.""Berhati-hatilah, bila kau perlu teman bercerita hubungi saja aku. Aku berjanji hal seperti semalam tidak akan terjadi lagi," kata pria itu sambil memasukkan tangan kedalam saku baju tidur nya. Mang selly mengangguk, lalu kemudian berlalu dari tempat itu. ***Ditempat yang jauh, tampak Dayu yang berdiri disamping De Raga sedang menyaksikan upacara Ngaben kakek dari Mang Arini. Suasana upacara yang terjadi di kuburan yang sama sejak ratusan tahun lalu itu, telah membuatnya teringat akan beberapa kejadian yang telah terjadi dimasa lampau. Ia masih ingat ketika neneknya, pamannya, dan beberapa orang lain yang telah lebih dahulu meninggal daripada dia, s
Dipeluk oleh gadis yang setengah telanjang. Itulah yang dialami Gung Yoga. Alam bawah sadarnya masih bekerja, sehingga dengan ragu ia berusaha melepaskan diri dari pelukan gadis itu. “ Mang Selly, apa yang kau lakukan? Kau akan menyesali ini…”“ Apa kau memang tidak menganggapku menarik juga Gung Yoga? Jadi tidak ada lagi yang tertarik denganku? Sungguh malang nasibku…hu..hu..hu…” tangis Mang Selly menjadi pecah lagi dengan keras.“Bukan itu Mang Selly,...kamu cantik dan menarik, tetapi kita berteman, tidak selayaknya kita berbuat hal seperti ini…aku yakin kau akan menyesal…” kata Gung Yoga dengan berusaha menenangkan gadis itu. Sungguh hal yang ironis, selama ini dia dengan mudahnya meniduri gadis-gadis, namun entah mengapa, dengan Mang Selly, ia sedikit lebih berhati-hati.Apabila perempuan itu adalah wanita malam, mungkin tanpa ragu lagi ia akan menggilasnya habis-habisan diatas ranjanganya. Namun gadis ini bukanlah wanita seperti itu. Jadi ia berusaha keras agar tidak terjadi s
De Arya hanya bisa memandang Mang Selly dengan tatapan aneh. Ia tidak benar-benar memahami maksud gadis itu yang telah meninggalkannya lima tahun yang lalu. Sekilas masih diingatnya ketika ia mengejarnya dan Mang Selly tampak tidak peduli dengan perasaannya, dan sekarang ia bilang masih mencintainya? sungguh tidak masuk di akal! Sesaat De Arya tampak tersenyum mengejek pada gadis cantik itu. "Mengapa kau tersenyum seperti itu?" "Omong kosong apa yang kau punya Mang Selly? Aku masih ingat bagaimana aku mengejarmu lima tahun yang lalu namun kau sama sekali tidak peduli. Sekarang kau menyerahkan dirimu kepadaku? aneh sekali!" jawab De Arya sambil meneguk whisky di tangannya.
Dayu tertegun melihat pria itu, dengan busana yang mirip dan sapu tangan yang mirip. Sungguh sebuah kejadian yang terulang kembali. Untuk beberapa detik, gadis itu hanya terdiam bengong, sementara Pak Ardi dan Bu Werni tersenyum mendengar ucapan De Raga, yang terdengar sedikit berselorohTersadar, Dayu segera mengambil sapu tangan milik De Raga. Sungguh unik dan jarang. Orang jaman sekarang lebih sering membawa tisu ke mana-mana, tetapi pria ini malah membawa sapu tangan.Setelah menyeka air matanya, Dayu duduk di sebuah sudut ruangan jauh dari Penduduk desa yang lain. Sesaat dipandanginya sapu tangan yang ada di tangannya.Sepotong kain dengan rajutan mawar merah itu mirip sekali dengan yang ia buat untuk De Raga dua ratus tahun yang la