Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me
KAMI JUGA ANAKMU, BU! ___[Bangun-bangun minta makan ....] Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status whatsapp Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya. Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. [Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. [Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dal
Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut
"Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da
[JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!
Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba
Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan
"DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y