Share

BAB 7

Penulis: calsava
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-09 13:43:31

"DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" 

 

Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. 

 

"Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" 

 

PYAR! 

 

"Tante!" 

 

Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. 

 

Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. 

 

Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. 

 

"Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. 

 

Dadaku naik turun mengikuti deru napasku yang tak beraturan. 

 

"Dira kecelakaan itu bukan salahku! Tapi kelalaian kalian!" tegasku.

 

Wajah yang masih terlihat cantik diusianya yang tak lagi muda itu, mendadak pias. 

 

"Jangan kebiasaan mengkambing hitamkan orang lain, untuk melindungi diri sendiri!" ketusku, seraya melepaskan tangan Ibu dengan kasar. 

 

Ibu membuang wajahnya ke arah lain, lalu mendengkus kasar. "Memang ini salah kamu 'kan, pasti kamu yang nyumpahin Dira supaya cacat!" ucapnya tetap menyalahkanku. 

 

Aku tergelak. "Untuk apa aku mendoakan keburukan untuk orang lain? Seharusnya Ibu mikir! Kemarin Ibu ngatain Nara penyakitan 'kan? Bisa jadi ini teguran untuk Ibu!" 

 

Kali ini Ibu benar-benar membisu, tak lagi menyahuti ucapanku. 

 

"Jangan pernah lagi anggap kami anakmu, seperti yang anda bilang, hanya Dira permata hati anda!" ucapku seraya beranjak meninggalkan Ibu. 

 

Tak lama Daren menyusulku kembali ke mobil. 

 

"Kepalamu berdarah!" ucapnya seraya mengusap keningku. 

 

Aku bergeming, rasa sakit ini tak seberapa dengan sakitnya hati ini. Bisa-bisanya kesalahan mereka, dilimpahkan kepadaku. Apa hubungannya Dira diamputasi dengan aku? Kecelakaan itu terjadi kan karena kelalaian mereka, membiarkan Dira bermain dipinggir jalan, hingga terjadi kejadian nahas itu. Kebetulan berita kecelakaan Dira, masuk portal berita di sosial media.  

 

 Kuhela napas kasar. "Ayo pulang, Ren! Aku lelah," lirihku seraya memejamkan mata. 

 

___

 

"Kamu enggak apa-apa 'kan?" tanya Riana ketika aku baru sampai di tempat kerja. 

 

"Maksudmu?" tanyaku.

 

Gadis berperawakan mungil itu menatapku cemas. "Tadi pagi aku lihat di tok tok, i*******m, f******k lagi ramai bahas perkelahian antara Ibu dan anak, ternyata itu kamu. Gila memang Ibumu, bisa-bisanya menyalahkan kamu!" cerocosnya.

 

Zaman sekarang jika terjadi keributan atau apapun itu cepat sekali viral, banyak sekali orang yang lancang merekam kejadian tanpa seizin yang bersangkutan. Tapi, ini juga salah Ibu yang marah-marah di tempat umum. 

 

"Ya begitulah," sahutku. 

 

Riana menepuk bahuku. "Sabar ya!" ucapnya. 

 

"Thanks." 

 

Kepalaku sedikit pusing hari ini, terlebih memikirkan tawaran dari Daren yang mengajakku untuk pindah ke negara tetangga. 

 

"Apa ikut aja ya? Tapi takutnya merepotkan Bunda Rena," gumamku. 

 

Ting! 

 

Ponselku berbunyi, kulihat dari jendela notifikasi ada w******p dari nomor tak dikenal.

 

[Tolong kamu buat klarifikasi tentang keributan tadi malam, sudah cukup istri ....]

 

Aku menaikan alis sebelah, pasti suaminya Ibu. 

 

Kuabaikan saja pesan itu. Sampai kapanpun, aku tak akan pernah menjelaskan tentang apapun ke media. Kita ini siapa memang? Artis? Lagi pula keributan itu Ibu yang memulai, dia saja yang klarifikasi kenapa harus aku? 

 

Ting! 

 

Kembali ponselku berbunyi, kali ini dari Daren. 

 

[Omamu meninggal, tadi Ayahmu nelpon Ayahku, nyuruh kamu untuk datang ke sana,]

 

Tak ada rasa sedih atau rasa yang lain, ketika mengetahui wanita yang menemuiku minggu lalu kini telah tiada. 

 

Lalu, apa urusanku untuk datang ke sana? Bukankah wanita tua itu bilang, ia tak akan pernah menganggapku bagian dari keluarganya?

 

Mungkin Ayah sudah membuka blokirannya padaku, tapi sayang aku sudah memblokir dan menghapus nomornya dari ponselku. 

 

[Aku tak akan datang ke sana, mereka hanya orang lain bagiku!] 

 

Setelah membalas pesan Daren, aku juga memblokir nomor suami Ibu tanpa membaca pesannya. Lalu kuhapus semua nomor keluarga Ayah dan Ibu, aku tak mau lagi ada sangkut paut dengan mereka. 

 

Toh, mereka yang lebih dulu membuangku. Menjadikanku seperti anak yatim piatu. 

 

"Kita lihat saja nanti, anak tak berguna dan anak penyakitan ini, suatu saat akan membuat kalian menyesal telah membuang kami!" gumamku. 

 

___

 

Setelah tak berhasil membujukku untuk klarifikasi, rupanya Ibu akhirnya membuat klarifikasi di f******k dengan air mata buayanya, menangis seolah terzalimi.

 

"Sebenarnya saya tak akan seperti ini jika anak itu tak keras kepala, sejak dulu selalu membangkang dan menyalahkan saya,"

 

Lagi-lagi, pernyataan palsu dia lontarkan. Miris sekali, di saat orang tua di luar sana, melindungi anak-anaknya. Hanya Ibu yang menjatuhkan dan merusak mental anak-anaknya. 

 

Miris sekali. 

 

Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh. Sepintar apapun Ibu menutupi kesalahannya, suatu saat pasti akan terbongkar. Biarlah saat ini ia berusaha menarik simpati para netizen. Orang cerdas pasti tahu mana yang salah dan benar. 

 

Beruntung, aku tak pernah memakai foto atau data asli ketika bermain sosial media. Bahkan selama duapuluh tahun hidup, aku tak pernah mengunggah fotoku di f******k ataupun i*******m.

 

"Zahira!" 

 

Tubuhku mematung kala melihat Ayah dan Dela ada di depan kontrakan, mau apa mereka ke sini? Kenapa mereka bisa tahu alamatku di sini? 

 

Aku berdiri dari dudukku, menatap mereka datar. Terutama si perempuan norak yang bergelayut manja di lengan Ayah. 

 

"Ada apa ke sini?" tanyaku tanpa basa basi. 

 

Ayah menghela napas kasar. "Omamu meninggal, Oma tak bisa dikuburkan kecuali kamu datang ke sana. Sejak tadi ada saja halangannya ketika dikuburkan," ucap beliau dengan wajah muram. 

 

"Apa hubungannya dengan saya?" sahutku cuek. 

 

Dela mendengkus. "B0d0h banget sih!" gumamnya masih bisa kudengar. 

 

Aku menaikan alisku sebelah. "Maaf sampai kapanpun saya tak akan menemui jasad Ibu anda ataupun kuburannya, bukankah dulu dia bilang aku dan Nara bukanlah cucunya?" sinisku. 

 

Ayah mengusap wajahnya kasar. "Kali ini saja Za, maafkan Omamu," ucap beliau memohon. 

 

Aku tergelak. "Giliran salah satu dari kalian mati saja, memohon-mohon ke sini. Kemarin kemana saja? Malah nyumpahin adikku cepat mati!" ucapku seraya menepis tangan Ayah yang hendak menyentuh bahuku. 

 

Ayah tampak keheranan. "Siapa yang nyumpahin, kemarin Dela bilang adikmu sudah sembuh dan kembali normal, bahkan kamu yang meminta Ayah menjual rumah di sana, untuk bayar rumah sakit sama kuliah," ucapnya panjang lebar. 

 

Sementara Dela wajahnya mendadak pucat. "Mas, sudahlah, kalau dia gak mau, kita pulang aja!" rengeknya. 

 

"Tunggu dulu!" ucapku seraya mengeluarkan bukti transferan terakhir Ayah dan pesan yang dikirimkan Ayah terakhir kali, untungnya sudah kuschreenshoot. 

 

"Ini siapa pengirimnya? Lagi pula, bukannya Ayah tahu, kalau aku enggak kuliah. Biaya perawatan Nara di rumah sakit juga sudah dibayar pakai uang tabungan," jelasku. 

 

Ayah menatap Dela nyalang, baru pertama kalinya aku melihat Ayah menatap orang semengerikan itu. 

 

"Ayah sama sekali gak pernah nulis itu, apalagi transfer dengan catatan seperti itu, minggu lalu bahkan Dela mengatakan sudah mengirimkan uang untuk kamu!" ucap Ayah lagi. 

 

Aku mengendikan bahu. "Ya, tanya saja sama j4l4ng Ayah, uangnya dikemanain. Lagian percaya aja sama perempuan kayak dia!" sahutku. 

 

"M-mas, a-ku bisa jelasin!" ucap Dela ketakutan. 

 

PLAK! 

 

Satu tamparan mendarat di wajah mulusnya.

 

"Mas, aku ini lagi hamil!" rengeknya dengan mata berkaca-kaca.

 

Ayah mencengkram wajah Dela. "Bisa-bisanya kamu dan Mama bersekongkol membohongiku!" ucap Ayah geram. 

 

Oh, ternyata Oma juga turut terlibat. 

 

"Makanya Yah, jangan terlalu buta hingga menutup mata dan hati. Sampai enggak bisa membedakan mana yang benar dan salah!" sinisku. 

 

"Oh iya satu lagi, semoga mama kesayangan Ayah dilapangkan kuburnya. Dan orang-orang yang sudah ia sakiti memaafkan kesalahannya, kecuali aku. Sampai kapanpun aku tak akan memaafkannya!" ucapku lalu masuk ke dalam rumah, kututup pintu dengan keras.

 

___

 

 

Bab terkait

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-09
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 1

    KAMI JUGA ANAKMU, BU! ___[Bangun-bangun minta makan ....] Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status whatsapp Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya. Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. [Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. [Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dal

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10

Bab terbaru

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status