Share

BAB 3

"Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. 

 

Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. 

 

Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. 

 

"Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. 

 

Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. 

 

"Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-"

 

"Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. 

 

Ayah bergeming. 

 

"Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih dapat kudengar. 

 

Cih, lagi-lagi dia menghasut Ayah. 

 

Tak ada respon apapun dari Ayah, yang ada ia malah melepaskan tangan Dela dari lengannya.

 

"Kamu jangan terlalu jauh ikut campur, Dela! Selama ini aku diam, mengikuti ucapanmu tapi ternyata semuanya tak ada yang benar!" ucap Ayah geram, seraya menatap Dela sinis. 

 

___

 

"Za ... Ayah minta maaf," ucap Ayah lagi, kini hanya tinggal kami berdua. 

 

Dela memilih pulang ke hotel sendirian, setelah tak berhasil membujuk Ayah untuk pergi. Entah kenapa aku merasa perempuan itu tak baik, mana ada perempuan baik-baik ingin memisahkan seorang ayah dari anak-anaknya. 

 

"Kenapa Ayah gak pernah mengunjungi kami?" tanyaku. 

 

Ayah menghela napas kasar. "Setelah risegn, Ayah langsung menikah dengan Dela, wanita pilihan Omamu." 

 

Kali ini Ayah menyebut Dela tanpa embel-embel Mami. 

 

"Lalu?"

 

Ayah menunduk sebentar. 

 

"Dela melarang Ayah menemui kamu dan Nara, karena takut Ayah kembali dengan Ibu kalian. Omamu juga berpikiran begitu." Ayah menyugar rambutnya kebelakang, wajahnya tampak penuh tekanan. 

 

Oma ... wanita bau tanah itu, ah kasar sekali. wanita paruh baya gila hormat itu, sejak perpisahan Ayah dan Ibu ia semakin membenci kami. Menganggap Nara pembawa sial, dalam kehidupan putranya, Ayah kami. 

 

Memang kelahiran Nara, bertepatan dengan kepergian Opa. Bagiku itu bukan kesalahan Nara, sudah takdirnya Opa meninggal bertepatan dengan kelahiran Nara. Tak ada yang bisa mengatur kapan datangnya maut, bukan? 

 

Pernikahan Ibu dan Ayah memang terhalang restu kedua orang tua mereka, sehingga sejak kecil aku tak pernah merasakan kasih sayang keluarga orang tuaku.

 

"Apa Ayah lupa, jika kami masih tanggung jawab Ayah?" tanyaku. 

 

Ayah menatapku bingung. "Ayah 'kan selalu kirimin kamu uang," ucapnya. 

 

Aku tergelak. "Tanggung jawab bukan hanya materi, Ayah! Apa orang tua Ayah, tak pernah mengajarkan tentang tanggung jawab? Bukankah dalam pelajaran agama islam saat sekolah, sudah ada pelajaran tentang tanggung jawab orang tua terhadap anaknya?" cecarku. 

 

Ayah terdiam, dengan wajah sendu. Aku menghela napas kasar. "Maaf jika Zahira kelewatan, tapi menyadarkan orang tua seperti Ayah dan Ibu rasanya tak cukup jika hanya dengan cara lembut!" sinisku. 

 

Ayah mengusap wajahnya, lalu menatapku. "Za, Ayah benar-benar minta maaf, kali ini Ayah akan lebih perhatian dengan kalian!" ucap beliau. 

 

Aku bergeming, enggan menanggapi. Rasanya sudah muak diberi janji-janji manis, tapi tak kunjung ada bukti. 

 

Ponsel Ayah berbunyi, lelaki itu segera beranjak meninggalkanku. Pasti istrinya itu merengek memintanya pulang. 

 

Kurang lebih limabelas menit, ayah kembali lagi dengan wajah gusar. 

 

"Kenapa? Dela lagi?" tanyaku. 

 

Ayah mengangguk. 

 

"Pergilah, dia lebih membutuhkan Ayah dibanding kami! Nara sudah biasa tak ada orang tua disisinya," sahutku. 

 

 Belum sempat Ayah menyahuti ucapanku, ponselnya kembali berdering. Ia mengangkatnya dengan wajah kesal. 

 

"Iya-iya, aku ke sana!" bentaknya. 

 

Setelah panggilan terputus. Ayah kembali menatapku. 

 

"Za, besok ayah ba-" 

 

Aku mengibaskan tangan, memintanya untuk pergi. Tak sopan memang, tapi rasanya muak mendengar janji-janjinya. Dulu juga begitu, tapi buktinya tak satupun janjinya ia tepati. 

 

___

 

"Sendirian aja?"

 

Aku terperanjat, seraya menatap seorang dokter muda berdiri di hadapanku. 

 

Aku mengangguk, lalu menegakkan tubuhku. "Mau visit ya, Dok?" tanyaku. 

 

Dokter itu menggeleng. "Sudah selesai, Kakaknya Naraya, ya?" tanyanya. 

 

"Iya," jawabku singkat. 

 

Lelaki bertubuh jangkung itu mengambil duduk tak jauh dariku, hanya berjarak satu kursi. 

 

"Jangan kebanyakan melamun, saya tahu ini berat, pasti sulit rasanya untuk menerima kenyataan pahit ini," ucap dokter muda itu. 

 

Aku melirik sekilas, ke arah name tagnya. Muhammad Tsabit Azzam, nama yang bagus. 

 

"Bagaimana Nara, Dok?" tanyaku. 

 

Lelaki itu menatapku. "Alhamdulillah kondisinya membaik, besok hasil labnya akan keluar. Semoga hasilnya juga baik ya, banyak berdoa untuk Naraya!" ucapnya seraya tersenyum membuat matanya menyipit melengkung seperti bulan sabit. 

 

Aku mengangguk mengerti. "Visitnya kok tengah malam, Dok?" tanyaku lagi, takut saja jika lelaki dihadapanku ini bukanlah manusia. 

 

Ia tergelak. "Tenang saja, saya manusia. Kebetulan saya jaga malam, tadi suster jaga kasih tahu ada perkembangan pada Naraya, makanya saya langsung bergegas ke ruang NICU," jelasnya panjang lebar. 

 

Aku menghela napas lega. "Kayaknya pas dokter masuk saya ketiduran," lirihku. 

 

"Kalian cuma berdua?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk. "Orang tua kami antara ada dan tiada, jadi tak perlu ditanya!" sahutku, membuatnya membisu. 

 

___

 

Siang ini aku dipanggil ke ruangan dokter anak yang menangani Naraya. Jantungku berdebar, takut ada sesuatu yang buruk. Walaupun Naraya sudah melewati masa kritisnya, hanya saja ada rasa yang mengganjal di hati ini.

 

"Selamat siang, Ibu dari ananda Naraya?" tanya dokter muda, berhijab warna peach. 

 

"Kakaknya," jawabku. 

 

Beliau mengangguk. Lalu menghela napas perlahan, sebelum menjelaskan apa isi di dalam kertas-kertas di tangannya. 

 

"Apa ini pertama kalinya Naraya kejang?" tanyanya. 

 

Aku menggeleng. "Dulu pernah kejang, tapi enggak separah ini," lirihku. 

 

Dokter muda bernama Yuna itu, menatapku sendu. Sepertinya akan ada kabar buruk yang akan ia sampaikan. 

 

"Lebih dari lima menit?" tanyanya. 

 

"Enggak, tapi cukup sering. Dulu setiap kali demam, pasti kejang tapi sebentar. Selama hampir dua tahun belakangan ini, Nara jarang sakit, baru minggu ini demam sampai kejang," jelasku panjang lebar. 

 

Dokter Yuna mengangguk. "Nara mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen, karena kejang yang terlalu lama hingga berakhir menjadi epilepsi. Apa saat kejang terjadi, tak ada yang mendampingi?" tanyanya. 

 

"Ada ART di rumah, saya kerja," jelasku. 

 

"Kejangnya Nara sudah terjadi secara berulang dalam waktu hampir duapuluh empat jam, sehingga menyebabkan kerusakan otak yang cukup fatal," 

 

Tubuhku terasa lemas mendengar penjelasan Dokter Yuna. Apa saat aku tidur, Nara kejang? Ya Allah, lalainya aku menjaga Naraya. 

 

"Apa epilepsi bisa disembuhkan, Dok?" 

 

Dokter Yuna mengangguk. "Bisa, asal ditangani dengan tepat," jawabnya. 

 

Aku bernapas lega, akan kuperjuangkan kesembuhan untuk Nara. 

 

Setelah mendapatkan penjelasan dokter, aku memutuskan menghubungi orang tuaku, bagaimanapun mereka berhak tahu kondisi Nara. 

 

Hampir limabelas menit menunggu jawaban, pesanku hanya dibaca. Tak ada respon apapun dari mereka, terutama Ibu. Ia seolah tutup mata atas apa yang terjadi pada Naraya. 

 

Entah pura-pura tak peduli, atau hatinya memang sudah mati sehingga tak sedikitpun ada nurani di sana. 

 

Belum sempat kumasukan ponselku ke dalam tas, ada pesan masuk membuat bola mataku nyaris keluar. 

 

[JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status