Share

BAB 3

Penulis: calsava
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. 

 

Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. 

 

Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. 

 

"Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. 

 

Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. 

 

"Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-"

 

"Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. 

 

Ayah bergeming. 

 

"Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih dapat kudengar. 

 

Cih, lagi-lagi dia menghasut Ayah. 

 

Tak ada respon apapun dari Ayah, yang ada ia malah melepaskan tangan Dela dari lengannya.

 

"Kamu jangan terlalu jauh ikut campur, Dela! Selama ini aku diam, mengikuti ucapanmu tapi ternyata semuanya tak ada yang benar!" ucap Ayah geram, seraya menatap Dela sinis. 

 

___

 

"Za ... Ayah minta maaf," ucap Ayah lagi, kini hanya tinggal kami berdua. 

 

Dela memilih pulang ke hotel sendirian, setelah tak berhasil membujuk Ayah untuk pergi. Entah kenapa aku merasa perempuan itu tak baik, mana ada perempuan baik-baik ingin memisahkan seorang ayah dari anak-anaknya. 

 

"Kenapa Ayah gak pernah mengunjungi kami?" tanyaku. 

 

Ayah menghela napas kasar. "Setelah risegn, Ayah langsung menikah dengan Dela, wanita pilihan Omamu." 

 

Kali ini Ayah menyebut Dela tanpa embel-embel Mami. 

 

"Lalu?"

 

Ayah menunduk sebentar. 

 

"Dela melarang Ayah menemui kamu dan Nara, karena takut Ayah kembali dengan Ibu kalian. Omamu juga berpikiran begitu." Ayah menyugar rambutnya kebelakang, wajahnya tampak penuh tekanan. 

 

Oma ... wanita bau tanah itu, ah kasar sekali. wanita paruh baya gila hormat itu, sejak perpisahan Ayah dan Ibu ia semakin membenci kami. Menganggap Nara pembawa sial, dalam kehidupan putranya, Ayah kami. 

 

Memang kelahiran Nara, bertepatan dengan kepergian Opa. Bagiku itu bukan kesalahan Nara, sudah takdirnya Opa meninggal bertepatan dengan kelahiran Nara. Tak ada yang bisa mengatur kapan datangnya maut, bukan? 

 

Pernikahan Ibu dan Ayah memang terhalang restu kedua orang tua mereka, sehingga sejak kecil aku tak pernah merasakan kasih sayang keluarga orang tuaku.

 

"Apa Ayah lupa, jika kami masih tanggung jawab Ayah?" tanyaku. 

 

Ayah menatapku bingung. "Ayah 'kan selalu kirimin kamu uang," ucapnya. 

 

Aku tergelak. "Tanggung jawab bukan hanya materi, Ayah! Apa orang tua Ayah, tak pernah mengajarkan tentang tanggung jawab? Bukankah dalam pelajaran agama islam saat sekolah, sudah ada pelajaran tentang tanggung jawab orang tua terhadap anaknya?" cecarku. 

 

Ayah terdiam, dengan wajah sendu. Aku menghela napas kasar. "Maaf jika Zahira kelewatan, tapi menyadarkan orang tua seperti Ayah dan Ibu rasanya tak cukup jika hanya dengan cara lembut!" sinisku. 

 

Ayah mengusap wajahnya, lalu menatapku. "Za, Ayah benar-benar minta maaf, kali ini Ayah akan lebih perhatian dengan kalian!" ucap beliau. 

 

Aku bergeming, enggan menanggapi. Rasanya sudah muak diberi janji-janji manis, tapi tak kunjung ada bukti. 

 

Ponsel Ayah berbunyi, lelaki itu segera beranjak meninggalkanku. Pasti istrinya itu merengek memintanya pulang. 

 

Kurang lebih limabelas menit, ayah kembali lagi dengan wajah gusar. 

 

"Kenapa? Dela lagi?" tanyaku. 

 

Ayah mengangguk. 

 

"Pergilah, dia lebih membutuhkan Ayah dibanding kami! Nara sudah biasa tak ada orang tua disisinya," sahutku. 

 

 Belum sempat Ayah menyahuti ucapanku, ponselnya kembali berdering. Ia mengangkatnya dengan wajah kesal. 

 

"Iya-iya, aku ke sana!" bentaknya. 

 

Setelah panggilan terputus. Ayah kembali menatapku. 

 

"Za, besok ayah ba-" 

 

Aku mengibaskan tangan, memintanya untuk pergi. Tak sopan memang, tapi rasanya muak mendengar janji-janjinya. Dulu juga begitu, tapi buktinya tak satupun janjinya ia tepati. 

 

___

 

"Sendirian aja?"

 

Aku terperanjat, seraya menatap seorang dokter muda berdiri di hadapanku. 

 

Aku mengangguk, lalu menegakkan tubuhku. "Mau visit ya, Dok?" tanyaku. 

 

Dokter itu menggeleng. "Sudah selesai, Kakaknya Naraya, ya?" tanyanya. 

 

"Iya," jawabku singkat. 

 

Lelaki bertubuh jangkung itu mengambil duduk tak jauh dariku, hanya berjarak satu kursi. 

 

"Jangan kebanyakan melamun, saya tahu ini berat, pasti sulit rasanya untuk menerima kenyataan pahit ini," ucap dokter muda itu. 

 

Aku melirik sekilas, ke arah name tagnya. Muhammad Tsabit Azzam, nama yang bagus. 

 

"Bagaimana Nara, Dok?" tanyaku. 

 

Lelaki itu menatapku. "Alhamdulillah kondisinya membaik, besok hasil labnya akan keluar. Semoga hasilnya juga baik ya, banyak berdoa untuk Naraya!" ucapnya seraya tersenyum membuat matanya menyipit melengkung seperti bulan sabit. 

 

Aku mengangguk mengerti. "Visitnya kok tengah malam, Dok?" tanyaku lagi, takut saja jika lelaki dihadapanku ini bukanlah manusia. 

 

Ia tergelak. "Tenang saja, saya manusia. Kebetulan saya jaga malam, tadi suster jaga kasih tahu ada perkembangan pada Naraya, makanya saya langsung bergegas ke ruang NICU," jelasnya panjang lebar. 

 

Aku menghela napas lega. "Kayaknya pas dokter masuk saya ketiduran," lirihku. 

 

"Kalian cuma berdua?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk. "Orang tua kami antara ada dan tiada, jadi tak perlu ditanya!" sahutku, membuatnya membisu. 

 

___

 

Siang ini aku dipanggil ke ruangan dokter anak yang menangani Naraya. Jantungku berdebar, takut ada sesuatu yang buruk. Walaupun Naraya sudah melewati masa kritisnya, hanya saja ada rasa yang mengganjal di hati ini.

 

"Selamat siang, Ibu dari ananda Naraya?" tanya dokter muda, berhijab warna peach. 

 

"Kakaknya," jawabku. 

 

Beliau mengangguk. Lalu menghela napas perlahan, sebelum menjelaskan apa isi di dalam kertas-kertas di tangannya. 

 

"Apa ini pertama kalinya Naraya kejang?" tanyanya. 

 

Aku menggeleng. "Dulu pernah kejang, tapi enggak separah ini," lirihku. 

 

Dokter muda bernama Yuna itu, menatapku sendu. Sepertinya akan ada kabar buruk yang akan ia sampaikan. 

 

"Lebih dari lima menit?" tanyanya. 

 

"Enggak, tapi cukup sering. Dulu setiap kali demam, pasti kejang tapi sebentar. Selama hampir dua tahun belakangan ini, Nara jarang sakit, baru minggu ini demam sampai kejang," jelasku panjang lebar. 

 

Dokter Yuna mengangguk. "Nara mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen, karena kejang yang terlalu lama hingga berakhir menjadi epilepsi. Apa saat kejang terjadi, tak ada yang mendampingi?" tanyanya. 

 

"Ada ART di rumah, saya kerja," jelasku. 

 

"Kejangnya Nara sudah terjadi secara berulang dalam waktu hampir duapuluh empat jam, sehingga menyebabkan kerusakan otak yang cukup fatal," 

 

Tubuhku terasa lemas mendengar penjelasan Dokter Yuna. Apa saat aku tidur, Nara kejang? Ya Allah, lalainya aku menjaga Naraya. 

 

"Apa epilepsi bisa disembuhkan, Dok?" 

 

Dokter Yuna mengangguk. "Bisa, asal ditangani dengan tepat," jawabnya. 

 

Aku bernapas lega, akan kuperjuangkan kesembuhan untuk Nara. 

 

Setelah mendapatkan penjelasan dokter, aku memutuskan menghubungi orang tuaku, bagaimanapun mereka berhak tahu kondisi Nara. 

 

Hampir limabelas menit menunggu jawaban, pesanku hanya dibaca. Tak ada respon apapun dari mereka, terutama Ibu. Ia seolah tutup mata atas apa yang terjadi pada Naraya. 

 

Entah pura-pura tak peduli, atau hatinya memang sudah mati sehingga tak sedikitpun ada nurani di sana. 

 

Belum sempat kumasukan ponselku ke dalam tas, ada pesan masuk membuat bola mataku nyaris keluar. 

 

[JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 1

    KAMI JUGA ANAKMU, BU! ___[Bangun-bangun minta makan ....] Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status whatsapp Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya. Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. [Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. [Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dal

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

DMCA.com Protection Status