Share

BAB 6

Penulis: calsava
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-10 21:11:52

Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. 

 

[Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]

 

Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.

 

Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. 

 

"Kakak kenapa?" tanya Nara. 

 

Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. 

 

"Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. 

 

Aku tersenyum tipis. 

 

Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. 

 

Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yang terpenting sekarang Kakak akan terus membahagiakanmu. Suatu saat mereka akan menyesal telah menelantarkan kamu seperti ini. 

 

Terdengar suara ketukan di depan pintu, sepertinya Daren dan Bunda Rena sudah datang. Aku beranjak ke depan, aku mengernyit saat melihat dari jendela, yang terparkir di depan kontrakan bukan mobil Daren atau pun Bunda Rena. 

 

Saat kubuka pintu, tubuhku mematung menatap seorang wanita paruh baya dengan wajah angkuh menatapku. 

 

Dia, Oma. Wanita yang telah melahirkan Ayah, diusianya yang ke enampuluh tahun masih tetap segar dan kuat meski tak lagi muda. 

 

"Di sini ternyata kalian tinggal," ucapnya meremehkan, dengan tatapan yang begitu menghina. 

 

Ia juga menatap penampilanku dari atas sampai bawah, lalu tersenyum sinis. Senyuman yang kubenci.

 

"Ah, saya gak mau berlama-lama di rumah kumuh ini. Saya cuma mau memberi sebagian penjualan rumah anak saya, setelah ini jangan lagi ganggu kehidupan anak saya. Sampai kapanpun, saya tak akan pernah menganggap kalian cucu!" ucapnya panjang lebar seraya melemparkan amplop cokelat ke dadaku. 

 

Bahkan tanpa sempat kuraih, amplop itu terjatuh ke lantai. 

 

"Baik, akan saya anggap Ayah saya sudah mati, kami ini anak yatim piatu!" ucapku seraya mengambil kembali amplop cokelat itu, lalu menarik tangan beliau dan mengembalikan amplop berisi uang itu. 

 

"Kami masih bisa hidup, meskipun tanpa uang dan bantuan dari kalian!" tegasku. 

 

Harga diriku begitu tercoreng dengan perlakuannya, kami dianggap seperti pengemis. 

 

Oma tergelak, lalu melipat tangan di depan dada. "Paling juga sebentar lagi ngemis-ngemis ke anak saya, minta uang!" ucapnya seraya berlalu. 

 

Dadaku bergemuruh, kupejamkan mata lalu menghela napas kasar. Jantungku berdebar kencang, tubuhku bergetar. Kenapa mereka semua begitu jahat?! 

 

"Jangan menangis Zahira!" lirihku seraya menatap kepergian mobil sedan mewah itu. 

 

Aku kembali masuk ke dalam rumah, tangisku tumpah setelah pintu tertutup. Dulu, aku berharap Ayah tak mengabaikan kami seperti Ibu, tapi kenyataannya sama saja. Ayah lebih menuruti permintaan Oma dan istri barunya untuk meninggalkan kami. 

 

Apakah tak ada sedikitpun kasih sayang di hati mereka untuk kami? 

 

"Za!" 

 

Buru-buru kuhapus air mataku ketika mendengar suara Daren. Setelah memastikan, tak ada lagi bekas air mata di wajah ini aku kembali membuka pintu. 

 

Daren menatapku tajam. "Habis nangis?" tanyanya. 

 

Aku menggeleng, "kelilipan tadi."

 

Tentu saja itu hanya alasan, jika ia tahu Oma baru saja datang untuk menghina kami mungkin ia akan marah besar. 

 

"Nara mana?" tanyanya. 

 

"Ada di dalam, masuk aja. Tadi dia asik main boneka, oh iya, Bunda mana?" tanyaku. 

 

"Ke Indomaret katanya, nanti balik lagi," ucapnya seraya masuk ke dalam rumah. 

 

Aku membuka pintu dengan lebar, agar tak ada yang berpikiran buruk dengan kedatangan Daren. Terdengar gelak tawa Nara bermain bersama Daren. 

 

"Kamu gak bisa izin hari ini?" tanya Daren, ketika aku ikut bergabung dengan mereka. 

 

"Sudah kebanyakan izin, Ren. Nanti aku dipecat, emang kamu mau nafkahin aku kalau aku gak kerja?" gurauku. 

 

Daren menatapku serius. "Kalau kamu mau, yuk kita nikah! Aku sih siap aja nafkahin kamu lahir batin!" sahutnya. 

 

Aku tergelak. "Mana ada sahabat jadi manten!" 

 

"Eh, di perusahaan Ayahmu belum ada lowongan ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan, aku tak mau terjebak perasaan dengan sahabatku sendiri. 

 

Daren menghela napas. 

 

"Belum ada," jawabnya singkat, lalu kembali bermain dengan Nara. 

 

___

 

Nara seminggu ini diajak orang tua Daren berobat ke Malaysia, entah dengan cara apa aku membalas kebaikan mereka pada Nara. Hampir setiap hari juga Daren datang mengantarkan makanan atau sekedar antar jemput aku ke tempat kerja. 

 

"Za, kemarin ada Ibu-Ibu nyari kamu!" ucap Riana, rekan kerjaku. 

 

"Siapa?" tanyaku. 

 

"Gak tahu, dia cuma tanya jam kerjamu. Katanya sih hari ini bakal datang ke sini lagi," ucapnya. 

 

Apa mungkin Ibu? Untuk apa dia mencariku? 

 

Kemarin Ibumemang menelponku menggunakan nomor Nenek, ketika ia selesai mengucapkan salam telpon kumatikan secara sepihak. 

 

"Kalau orang itu datang lagi, bilang aja aku gak ada ya! Takutnya orang jahat!" ucapku seraya pamit untuk melaksanakan salat zuhur. 

 

Usai melaksanakan kewajibanku sebagai umat muslim, aku mengecek akun facebookku, Ibu baru saja memposting foto Dira tengah terbaring di rumah sakit, tapi seperti ada yang janggal. Kemana tangan kiri, Dira? 

 

Begitu banyak komentar di postingan Ibu, mereka turut prihatin atas apa yang menimpa Dira. Ada juga yang mengingatkan bahwa mungkin ini karena perbuatan Ibu, yang menelantarkan aku dan Nara. 

 

Sejak video aku dan Ibu ribut viral di tok tok, akun f******k Ibu memang jadi ramai. Bahkan Ibu sempat membuat klarifikasi palsu, dengan mengatakan bahwa semua ini hanya kesalahpahaman, tapi tak ada yang percaya.

 

Aku kembali menutup sosial mediaku dan kembali ke tempat kerja. 

 

"Kenapa?" tanyaku pada Riana yang wajahnya tengah menekuk. 

 

"Ibu itu tadi datang lagi, kali ini dia ngehina kamu di depan manager. Untungnya Pak Manager gak percaya begitu saja, bahkan mengusir Ibu itu karena mengganggu kenyamanan pengunjung," ucapnya. 

 

Aku mengernyit. "Orangnya bagaimana?" tanyaku. 

 

Kukeluarkan ponsel, lalu menunjukan foto Ibu pada Riana. "Apa wajahnya seperti di foto ini?" tanyaku.

 

"Mirip sih, tapi yang ini lebih tua." 

 

Apa Nenek yang datang ke sini? 

 

"Ibu itu ngehina aku gimana?" tanyaku. 

 

"Katanya sih, gara-gara kamu cucunya jadi kecelakaan. Kamu gak mau nolongin, dan malah nyumpahin cucunya mati." Mendengar cerita Riana, mendadak emosiku kembali naik. Rupanya Nenek yang datang ke sini, bahkan memfitnahku seperti itu. 

 

Apa hubungannya kecelakaan Dira denganku? Padahal saat kecelakaan terjadi, mereka tengah liburan tanpa adanya aku di sana. 

 

Lagipula, untuk apa aku membuang-buang waktu menyumpahi Dira? 

 

Dasar keluarga aneh! 

 

___

 

Daren menjemputku seperti biasa, sebelum pulang ia membawaku makan malam. "Eh, tadi aku ketemu Ibumu di pegadaian," ucapnya. 

 

"Biarlah, aku gak peduli. Tadi juga Nenek datang ke tempat kerjaku, fitnah aku sebagai penyebab kecelakaan Dira," ucapku menceritakan kejadian tadi siang. 

 

Daren geleng-geleng kepala, mungkin tak menyangka ada orang yang begitu gila seperti keluargaku. Aku pun juga tak menyangka, bisa terlahir dari rahim wanita yang tak punya hati nurani. 

 

"Oh iya, Ayah sama Bunda mau ajak kamu juga pindah ke Malaysia. Apa kamu mau?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. 

 

Aku bergeming, kalau pindah ke sana apa enggak semakin merepotkan keluarga Daren? 

 

"Aku di sini aja, Ren," ucapku. 

 

Daren menghela napas. "Aku gak mungkin ninggalin kamu di sini sendirian Za, kebetulan Ayah nyuruh aku ngurusin perusahaan di sana. Ayah sama Bunda fokus dengan pengobatan Nara," ucapnya. 

 

Belum sempat aku berbicara, tiba-tiba rambutku seperti di tarik dari belakang. 

 

"Oh jadi di sini, kamu anak durhaka!" 

 

BUG! 

 

PLAK! 

 

"DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" 

 

 

 

 

 

Bab terkait

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-09
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-09
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 1

    KAMI JUGA ANAKMU, BU! ___[Bangun-bangun minta makan ....] Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status whatsapp Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya. Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. [Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. [Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dal

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10

Bab terbaru

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status