Share

BAB 8

Penulis: calsava
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-09 13:50:09

Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. 

 

Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. 

 

Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. 

 

Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. 

 

Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. 

 

"Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. 

 

Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi menjauh, membuka lembaran baru bersama keluarga Daren di sana. 

 

___

 

Daren menatapku. "Kamu yakin 'kan mau pindah?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk, "iya, aku sudah lelah, Ren, menghadapi mereka yang egois." 

 

Daren mengusap air mata yang kembali mengalir di pipiku, lalu membawaku masuk ke dalam pelukannya. 

 

"Puas-puaslah menangis, setelah ini kita buka lembaran baru bersama!" ucapnya. 

 

Tangisku semakin pecah, selama tiga tahun aku berusaha kuat menghadapi semua sendirian. Hari ini pertahananku runtuh, aku yang jarang menangis akhir-akhir ini sering menangis terlebih ketika sendirian. 

 

"Sudah nangisnya?" tanya Daren. 

 

Aku mengangguk. 

 

"Di sana nanti, kamu lanjutkan pendidikanmu. Kejar cita-citamu menjadi arsitek, buktikan sama mereka bahwa kamu bisa sukses!" ucapnya seraya menangkup wajahku. 

 

Terasa desiran aneh ketika tatapan kami saling bertemu, Daren mendekatkan wajahnya ke arahku. Hidung kami saling bersentuhan, bahkan aku bisa merasakan hembusan napasnya. 

 

Aku membuang wajah ke samping, lalu menjauhkan diri dari Daren. 

 

"Maaf Za, aku tadi khilaf!" ucapnya salah tingkah. 

 

Aku hanya mengangguk, lalu kembali membereskan berkas-berkas penting yang diminta Daren untuk mengurus kepindahanku ke Malaysia. 

 

Bukan aku tak peka dengan perasaan Daren, akupun memiliki perasaan yang sama dengannya. Hanya saja aku tak mau merusak hubungan persahabatan ini. 

 

"Omamu sudah dimakamkan, akhirnya dikremasi," ucap Daren. 

 

Aku mengernyit bingung. "Lho, Oma 'kan islam? Kenapa dikremasi?" 

 

"Kamu enggak tahu emang, kalau Omamu itu mualaf? Keluarganya yang lain masih beragama Hindu, tadinya mau dimakamkan seperti biasa tapi karena ada kendala entah apa, akhirnya ya pihak keluarga Omamu memutuskan untuk mengkremasi jenazah Oma di rumah duka grand heaven."

 

Aku melongo mendengar penjelasan Daren, aku yang notabene cucunya saja tak tahu silsilah keluarga Ayah. Karena sejak dulu, Mama tak pernah mengajakku berkunjung ke sana, begitu juga Ayah. 

 

"Kok kamu tahu?" tanyaku. 

 

"Kebetulan pamanku tinggalnya satu kampung sama Omamu, jadi buah bibir para tetangga kematiannya yang mendadak, dikait-kaitkan dengan kezalimannya selama ini pada tetangga. Banyak yang sakit hati karena ulah Omamu," terangnya. 

 

"Dia bukan Omaku!" tukasku. 

 

"Iya deh!" sahut Daren.

 

___

 

Hari ini, adalah hari terakhirku kerja. Daren memintaku berhenti kerja mulai besok, karena harus mengurus berkas-berkas yang cukup memakan waktu. Kami harus ke kantor imigrasi, karena aku tak mempunyai paspor. 

 

"Yah, enggak ada lagi deh teman gosipku!" celetuk Riana setelah mengetahui bahwa aku akan berhenti kerja.

 

"Kan bisa telponan, Markonah!" celetuk Pak Syam, managerku. 

 

Riana mencebik, "gak asih ah telpon-telponan, enakan ketemu langsung lebih dapat feelnya!" 

 

Pak Syam geleng-geleng kepala mendengar ucapan Riana. "Dasar biang gosip!" celetuknya, membuat Riana mendelik kesal. 

 

"Daripada situ bujang lapuk!" ucap Riana tak mau kalah. 

 

"Udah ah, ntar jodoh lho!" sahutku. 

 

Riana bergidik seolah jijik. "Amit-amit jabang bayi, ogah berjodoh sama aki-aki!" ucapnya membuatku tergelak. 

 

Usia Pak Syam memang tergolong sudah  sangat matang untuk menikah, entah kenapa lelaki berusia tigapuluh enam tahun itu belum juga mengakhiri masa lajangnya. 

 

"Kualat kamu nanti, ngatain saya aki-aki!" sahut Pak Syam, Riana menjulurkan lidahnya lalu melenggang pergi. 

 

___

 

Kupikir Ibu tak akan menemuiku lagi, tapi ternyata beliau kembali mendatangiku ke tempat kerja. Beruntung jam kerjaku sudah berakhir, Ibu datang tak sendirian beliau bersama Nenek dan juga adiknya yang terkenal nyinyir, Tante Mita. 

 

"Ibu mau bicara!" tegas beliau. 

 

Kuikuti saja maunya, toh sebentar lagi kami tak akan bertemu kembali. 

 

"Mau bicara apa? Di sini saja!" ucapku seraya duduk di gazebo depan cafe tempatku kerja. 

 

Nenek dan Tante Mita menatapku sinis, entah apa maksudnya. Padahal aku tak pernah mencari masalah dengan mereka. 

 

"Rumah yang dulu kenapa di jual?" tanya Ibu tanpa berbasa basi, menanyakan kabarku atau Nara pun tidak. 

 

UUD, ujung-ujungnya duit. 

 

"Tanyain aja ke ayah, yang jual rumah itu istri barunya ayah. Aku gak tahu apa-apa, kebagian duitnya juga enggak," jawabku. 

 

Ibu mencebik. "Jangan bohong kamu, Za! Ibu sekarang butuh uang, untuk biaya pengobatan adikmu!" ucapnya. 

 

Aku menaikan alis sebelah. "Adikku? Nara maksudnya? Pengobatan Nara sudah dibiayai keluarga Daren!" 

 

Ibu memutar bola matanya jengah. "Dira, Zahira! Bukan Nara, Ibu enggak peduli dengan anak itu, yang Ibu pikirkan sekarang masa depan Dira. Kasihan dia, kalau hanya punya satu tangan. Bagaimana masa depannya? Apa kamu enggak kasihan?" tanyanya dengan wajah kesal. 

 

Aku terkekeh. "Apa Ibu juga tak memikirkan Nara? Bagaimana masa depannya, jika epilepsinya belum sembuh, apa Ibu gak kasihan?" tanyaku membalikan ucapannya. 

 

Tatapanku beralih ke Nenek dan Tante Mita. "Apa kalian juga enggak kasihan? Anak kecil tanpa dosa ditelantarkan ibu kandungnya sendiri, kalian sebagai keluarga ibu kandungnya kok malah mendukung aksi ibunya?" ucapku membuat mereka membisu.

 

Tatapanku beralih ke arah Juriah, wanita setengah waras yang membawa anaknya berkeliling setiap sore. Kasih sayangnya pada sang anak begitu besar, bahkan meskipun ia tak waras, anaknya tumbuh dengan sehat dan pintar. 

 

Sementara Ibu yang sudah jelas waras dan berakal sehat, bahkan memiliki pendidikan tinggi hingga bergelar magister nyatanya tak memiliki hati nurani hingga menelantarkan anaknya sendiri. 

 

"Tolong Ibu, Za! Kalau sampai Ibu tak bisa membelikan Dira tangan palsu, Papamu akan menceraikan Ibu!" rengeknya. 

 

Aku menghela napas kasar. "Sudah kubilang, lelaki itu bukan Papaku! Lagipula kalau dia menceraikan Ibu, apa urusannya denganku? Haruskah aku peduli dengan nasib anda, sementara anda tak pernah peduli pada kami?" cecarku seraya menatapnya tajam.

 

Mungkin sekarang malaikat pencatat amal buruk, tengah mencatat dosaku karena berkata kasar dengan wanita yang konon katanya surga berada di telapak kakinya. Wanita seperti ini kah yang harus kuhormati dan kusayangi? 

 

 

Bab terkait

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 1

    KAMI JUGA ANAKMU, BU! ___[Bangun-bangun minta makan ....] Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status whatsapp Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya. Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. [Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. [Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dal

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10

Bab terbaru

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status