Share

KAMI JUGA ANAKMU, BU
KAMI JUGA ANAKMU, BU
Author: calsava

BAB 1

Author: calsava
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

 

KAMI JUGA ANAKMU, BU! 

 

___

 

[Bangun-bangun minta makan ....] 

 

Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status w******p Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya.

 

Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? 

 

Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. 

 

[Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. 

 

Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. 

 

[Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]

 

Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. 

 

Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dalih, kini surganya ada pada lelaki b4j!ng4n itu. 

 

Apa dia pikir surga akan terbuka lebar untuk orang yang menelantarkan anak-anaknya?

 

Perpisahan kedua orang tua kami, benar-benar memberi luka yang sulit untuk diobati. Terlebih untuk Naraya, gadis kecil berusia empat tahun itu harus merasakan sakitnya kehilangan figure seorang Ibu. 

 

___

 

[Alhamdulillah, anak cantik Mama sudah sehat.] 

 

Melihat wajah Dira, terbesit rasa iri sekaligus benci di hati ini. Seharusnya Nara yang ada di sana, bukan Dira. Seharusnya Nara yang dipeluk dan dicium, bukan Dira. 

 

"Jangan melamun!"

 

Aku terkesiap, seraya menatap datar lelaki bertubuh jangkung yang kini berdiri dihadapanku. "Kenapa?" tanyanya lagi. 

 

"Ibumu lagi, ya?" 

 

"Biarlah, wanita seperti itu tak akan sadar kecuali nanti saat tua!" 

 

Kuhela napas kasar. "Dia ibuku, Daren!" ketusku, seburuk apapun ibuku rasanya tak terima jika ada yang membicarakannya seperti itu. 

 

Daren sahabatku sejak kecil, seluk beluk keluargaku dia sudah tahu. Bahkan dia ikut menyaksikan saat Ayah memergoki ibu selingkuh dengan lelaki yang saat ini menjadi suaminya. Ia juga yang menjadi saksi, saat Ayah menjatuhi talak tiga terhadap ibu. 

 

Kejadian tiga tahun yang lalu, masih membekas dalam ingatanku. 

 

"Eh, Nara gimana?" tanya Daren menyadarkanku dari lamunan.

 

"Belum turun demamnya, tadi sudah kupesani Mbak Mira kalau demamnya makin tinggi langsung bawa ke rumah sakit," jelasku. 

 

Aku dan Daren sudah seperti orang tua bagi Naraya, di usianya yang baru menginjak satu tahun saat itu harus merasakan pahitnya kehilangan Ibu. Sementara Ayah kembali bekerja di pelayaran, hanya pulang 3 bulan atau 6 bulan sekali. Ayah hanya mencukupi kami dengan materi, tapi tidak dengan kasih sayang. 

 

Hanya Daren dan orang tuanya yang masih peduli padaku dan Nara. 

 

"Kenapa gak kuliah aja, sih?" tanya Daren. 

 

Aku menggeleng. "Mau kerja, ngumpulin modal, buka usaha. Itu impianku, jadi jangan diusik!" sahutku. 

 

Daren mencebik. "Ayahmu berduit, ya tinggal minta aja lah!" 

 

Aku tergelak. "Tak semudah itu, ferguso! Kamu tahu sendiri Ayahku bagaimana." 

 

Sejak lulus SMK, aku bekerja sebagai barista di cafe. Bukan karena uang kiriman Ayah tak cukup, hanya saja dengan cara seperti ini aku bisa melupakan sejenak luka yang ditorehkan Ibu. 

 

___

 

Langkahku berjalan tergesa-gesa di lorong rumah sakit, tadi sore Mbak Mira mengabarkan bahwa Nara dilarikan ke rumah sakit karena kejang. Bahkan aku masih memakai apron dan juga seragam kerjaku. 

 

Kulihat Mbak Mira ada di depan ruang NICU, terlihat jelas kekhawatiran di sana. Padahal Mbak Mira bukan siapa-siapa kami, tapi ia begitu menyayangi kami. 

 

"Mbak, gimana Nara?" tanyaku. 

 

Wanita berusia duapuluh delapan tahun itu menggeleng. "Nara kritis," gumamnya. 

 

Tubuhku membeku, lidah ini terasa kelu. Masih teringat jelas ucapan Nara tadi malam, ia merindukan Ibu. Bahkan dalam tidurnya pun, ia memanggil-manggil wanita yang telah melahirkannya. 

 

Kurogoh saku celanaku, menghubungi Ibu. 

 

[Bu, Nara masuk rumah sakit!] 

 

Tak sampai lima menit, pesanku langsung dibaca. 

 

Hanya dibaca. Karena setelah itu, nomorku diblokir, terbukti dengan hilangnya foto profil w******p. Kembali kukirimkan pesan, hanya centang satu.

 

Aku tersenyum tipis. "Sepertinya Ibu benar-benar tak menginginkan kami lagi, padahal kami juga anakmu, Bu." lirihku seraya terduduk di kursi tunggu. 

 

Air mata yang sejak tadi tertahan, akhirnya luruh membasahi wajah. 

 

Kututupi wajah dengan telapak tangan, tangisku semakin deras. Aku terisak, menangisi nasib yang begitu tragis terhadap kami. Aku dan Nara harus merasakan pahitnya kehilangan Ibu, jika ditinggal mati mungkin rasanya tak akan sesakit ini. Ditinggal pergi seperti ini, rasanya lebih sakit dua kali lipat, bayang-bayang Ibu bersama Dira seperti menaburkan garam di atas luka hati ini. 

 

Tak lama, tubuh ini seperti direngkuh seseorang. "Ishbir, Zahira. Mbak yakin, kamu kuat," bisik Mbak Mira. 

 

Rengkuhan itu semakin kuat, seiring dengan air mata yang semakin deras. 

 

___

 

Malam ini aku sendirian menunggu Nara, karena Mbak Mira harus pulang. Sejak tadi aku menghubungi Ayah tapi tak ada jawaban, padahal whatsappnya terakhir dilihat limabelas menit yang lalu. Status whatsappnya saja, tengah berada di hotel. 

 

Akhirnya kuhubungi Daren, sejak tadi lelaki itu tak kuberi kabar. 

 

Beginikah rasanya jadi anak broken home, duniaku seperti jungkir balik. Dahulu keluargaku bisa dibilang harmonis, hidup berkecukupan bahkan mewah. Apapun keinginanku selalu terkabulkan.

 

Jarak usiaku dengan Nara cukup jauh. Kehadiran Nara semakin memberi warna dihidupku, tapi hanya satu tahun. Setelah itu, semuanya hangus terbakar karena Ibu bermain api. 

 

Ting! 

 

[Ayah sudah kirim uang untuk biaya rumah sakit, jangan ganggu Ayah!]

 

Aku bergeming membaca pesan dari Ayah, disertai bukti transfer. 

 

Kami benar-benar tak berarti lagi di hidup mereka. Lalu untuk apa dulu mereka menikah, dan menghadirkan kami ke dunia ini, jika akhirnya  mereka menorehkan luka sedalam ini di hati kami?

 

Saat tengah memikirkan nasibku dan Nara, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan Daren dan orang tuanya. 

 

"Ya Allah, Za! Kenapa gak ngasih tahu, Bunda! Sekarang Nara gimana? Kamu sudah makan? Ya Allah, kamu pucat banget Za!" cecar Bunda Rena, seraya menangkup wajahku. 

 

Orang lain saja sekhawatir ini padaku dan Nara, tapi kenapa Ibu dan Ayah tak peduli? 

 

"Nara masih kritis, Bun," lirihku. 

 

Kulirik Om Imran tengah menggerutu. "Keterlaluan Iren sama Rizal, anak sakit tapi satupun dari mereka tak ada yang datang! Padahal Rizal lagi cuti, lho!" 

 

Orang tua Daren dan orang tuaku cukup dekat, terutama Om Imran dan Ayah. 

 

"Bawa Zahira makan dulu, Ren!" ucap Bunda Rena. 

 

Aku awalnya ingin menolak, tapi melihat ekspresi Bunda Rena rasanya segan untuk menolak. Akhirnya aku dan Daren, pergi mencari makan. Daren menggenggam tanganku, lalu tersenyum tipis. 

 

"Jangan merasa sendiri, ada kami!" ucapnya. 

 

Daren membawaku ke restauran langganan kami dulu, bahkan hampir setiap minggu kami membawa Nara ke tempat ini. pancake dengan toping ice cream red velvet, dessert kesukaan Nara di sini. 

 

Mendadak aku rindu senyuman Nara, apa Ibu tak merindukannya juga? 

 

Baru saja kaki ini melangkah memasuki restauran, mata ini harus menyaksikan keluarga bahagia tengah menikmati malam. 

 

Gadis kecil berusia dua tahun, tengah makan dengan riang disuapi oleh Ibu. 

 

Ya, Ibu beserta anak dan suaminya tengah berada di restauran ini juga. 

 

"Ibu!" panggilku. 

 

Wanita yang melahirkanku duapuluh tahun yang lalu itu, menatapku tak suka. 

 

Aku melangkahkan kaki jenjangku ke arah mereka, tampak jelas lelaki di sampingnya tak menyukai kedatanganku. 

 

"Jadi ... demi mereka Ibu tak menjenguk Nara?" ucapku seraya menatap Ibu tajam. 

 

Suaraku cukup keras, hingga membuat beberapa pengunjung menatap kami penasaran. 

 

"Sudah ada Ayahmu, kan? Jadi untuk apa lagi Ibu di sana?" sahut Ibu dengan tatapan sinis. 

 

Jemariku mengepal. "Kami juga anakmu, bukan hanya Dira! Demi lelaki ke pa rat ini, Ibu meninggalkan aku dan Nara! Apa kurangnya Ayah sehingga Ibu selingkuh!" cecarku. 

 

Wajah Ibu dan suaminya tampak merah padam. 

 

Tubuhku bergetar.

 

"Jaga mulutmu, Zahira!" bentaknya. 

 

Plak! 

 

Satu tamparan keras melayang ke wajahku. Rasa panas menjalar ke wajah ini, kurasakan sesuatu yang hangat mengalir di hidungku. 

 

"Zahira!" lirih Ibu, seraya menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. 

 

Ia berusaha mendekatiku, kukibaskan tangan agar ia tak mendekatiku. 

 

Aku menatap wajah Ibu. "Semoga Ibu tak menyesal dengan keputusan ini, berbahagialah dengan keluarga barumu, kami memang tak berarti lagi dihidupmu!" tegasku seraya menarik tangan Daren untuk ke luar dari restauran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Related chapters

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

    Last Updated : 2024-10-29
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

    Last Updated : 2024-10-29

Latest chapter

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

DMCA.com Protection Status