Share

BAB 5

Penulis: calsava
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-10 21:09:59

Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. 

 

Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. 

 

Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. 

 

"Zahira ya?" 

 

Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. 

 

Kemarin kami memang sempat berkenalan. 

 

"Tinggal di sini?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. 

 

"Bagaimana Nara? Apa baik-baik saja?" tanyanya. 

 

Aku mengangguk. "Insyaallah baik, saya permisi mau ambil barang dulu!" ucapku mengakhiri obrolan, tak mau terlalu dekat karena takut perasaan ini tak bisa diatur. 

 

Tahu diri Zahira, sekelas Dokter Tsabit mana mungkin mau sama wanita yang bibit bebet bobotnya gak jelas! 

 

Setelah ini pun, belum tentu aku bisa bertemu Ayah lagi. Semua akses komunikasi ia tutup, sehingga aku tak bisa lagi menelpon untuk sekedar say hello dan menanyakan kabar. 

 

___

 

Tenaga dan emosiku benar-benar terkuras hari ini, setelah berbenah dan membersihkan diri. Aku mengajak Nara makan bubur ayam yang tadi dibikinkan Mbak Mira. 

 

"Kok kita tinggal di sini, Kak?" tanya Nara. 

 

"Em ... sementara kita tinggal di sini ya, rumah di sana mau diperbaiki," alibiku. 

 

Nara mencebik. Mungkin ia kecewa, karena tak lagi bisa tidur di atas kasur empuk. Di tambah rumah petakan ini begitu sempit dan pengap, hanya ada kipas kecil dan bedcover sebagai alas tidur. 

 

Kekecewaanku pada Ayah semakin membuncah, begitu tega membiarkan kami terlantar seperti ini. Apa ia pikir, Ibu akan peduli dengan kami? 

 

"Semoga setelah ini, Kakak bisa membahagiakan kamu, Nara!" lirihku seraya mengusap rambut gadis kecilku itu dengan lembut. 

 

"Sekarang minum obat ya, Nara enggak boleh kecapean ya, nanti penyakitnya bisa kambuh. Minum obatnya harus rutin, supaya bisa cepat sembuh," ucapku seraya membantu Nara minum obat. 

 

Beruntung Mbak Mira masih mau menjaga Nara, meskipun aku tak mampu lagi memberi gaji. Wanita itu begitu tulus menyayangi Nara, sejak dulu ia ingin sekali memiliki anak tapi takdir berkata lain, rahimnya harus diangkat karena kanker. 

 

Drrt ... drrt .... 

 

Kulirik ponselku yang bergetar, tertera nama Daren di sana. Kugeser icon berwarna hijau. 

 

["Hei kamu di mana?"] tanyanya. 

 

"Di rumah lah, mau di mana lagi emang?" sahutku. 

 

Terdengar helaan napas kasar di seberang sana. ["Share loc, kata Mbak Mira rumahmu masih belum ada kasur. Tadi aku minta Mas Roni antarkan kasur sama lemari ke sana! Kasihan Nara kalau tidur enggak pakai kasur, nanti masuk angin!"] ucap Daren panjang lebar, tanpa memberi kesempatan aku menyanggah. 

 

Apa yang bisa kulakukan selain pasrah? 

 

Kukirimkan lokasiku, tak sampai lima menit. Mas Roni penjaga rumah Daren menghubungiku, mengabarkan bahwa ia sedang dalam perjalanan ke kontrakanku bersama temannya memakai mobil pick up. 

 

Nara masih asyik bermain barbie, hadiah dari Om Imran sama Bunda Rena. 

 

Sekitar setengah jam kemudian Mas Roni kembali menghubungiku. Ternyata dia sudah berada di depan kontrakanku, gegas kubuka pintu. Sesuai dugaanku, di atas pick up itu tak hanya kasur dan lemari. Bahkan ada karpet dan juga gorden. 

 

"Banyak banget Mas?" ucapku saat mereka menurunkan bahan makanan. 

 

Tanpa sadar mataku mengembun, orang lain yang tak ada ikatan darah dengan kami begitu peduli dan mengkhawatirkan kami. Kenapa mereka begitu tega menelantarkan kami, terutama Nara yang sedang sakit parah? 

 

Setelah Mas Roni pamit pulang, aku memasang sprei ke atas kasur berukuran 160×200 cukup luas untuk kami berdua. 

 

Lalu memasang lemari portable untuk menata baju-baju. Bahkan Daren juga membelikan rak portable untuk menaruh beberapa barang. 

 

Mereka menyediakan semua yang aku butuhkan, kompor mini dan peralatan makan. 

 

"Nara tidur ya, Kakak mau susunin baju-baju!" ucapku. 

 

Nara mengangguk, ia menatapku sendu. 

 

"Kak, Nara gak boleh ya dengar suara Ibu sebentar aja?" tanyanya. 

 

"Maksudnya mau nelpon Ibu?" tanyaku lagi. 

 

Nara mengangguk. 

 

"Nanti Kakak coba telpon ya, kalau diangkat Kakak bangunin Nara." 

 

Aku segera berbalik, tubuhku bergetar menahan tangis. Menelpon Ibu adalah suatu hal yang sangat mustahil, terakhir menelpon yang mengangkat suaminya dengan nada ketus mengatakan bahwa Ibu sibuk mengurus Dira, tak ada waktu untuk bertemu dan berbicara dengan kami.

 

Padahal, kami juga anak Ibu. Kenapa begitu susah, untuk sekedar menelpon atau berkirim pesan menanyakan kabar kami? 

 

Kuhela napas kasar, lalu mendongak berusaha menghentikan air mata yang semakin turun. 

 

____

 

[My beloved daughter, buah hati dan cintaku. Kamu terlahir penuh cinta dan kami rawat juga penuh cinta!]

 

Caption di status w******p Ibu, beliau mengunggah foto liburan mereka. Di sana ada keluarga Ibu juga keluarga suaminya, mereka tampak begitu bahagia.

 

Kulirik Nara yang asyik melahap roti bakar selai cokelat kesukaannya. 

 

Hatiku seperti di remas-remas tangan tak kasat mata, seperti ada jari-jari runcing yang turut menggores hati ini dengan dalam.

 

Seandainya aku dan Nara bisa memilih akan terlahir dari orang tua yang seperti apa, mungkin kami tak akan memilih mereka menjadi orang tua kami. 

 

Mereka yang membuat kami hadir di dunia ini, mereka juga yang menghancurkan dan membuang kami! 

 

Dengan akun kloningan kubuka akun i*******m Dela, rupanya pasangan pengantin baru itu tengah bulan madu ke singapore. Dari postingannya juga, aku baru tahu bahwa rumah itu sudah terjual.

 

Menzalimi anak sendiri, demi membahagiakan istri muda. 

 

Hebat sekali Ayahku. 

 

Aku kembali menyibukan diri dengan hal lain, melihat postingan mereka membuat luka dihati ini semakin terbuka lebar. 

 

Siang ini Daren dan Bunda Rena akan datang menjemput Nara, kebetulan aku kerja masuk siang. 

 

Drrt ... drrt ... drrt .... 

 

Ponselku kembali bergetar, tertera nama Ibu di sana. Tumben sekali beliau menelponku. 

 

Kugeser icon hijau, terdengar suara isak tangis diseberang sana. 

 

["Za, tolong Ibu, tolong adikmu!"] 

 

Aku bergeming mendengar suara Ibu. 

 

Adikku? Siapa? Nara baik-baik saja di sisiku. Apa Dira yang dia maksud? Sampai kapan pun aku tak akan menganggapnya Adik. Bagiku hanya Nara adik kecil kesayanganku. 

 

["Tolong, Dira kecelakaan masuk rumah sakit dan kekurangan banyak da-"]

 

Dengan cepat kuputuskan panggilan, entah aku harus bahagia atau sedih mendapatkan kabar ini. 

 

Lagipula, ia sedang liburan untuk apa jauh-jauh meminta tolong padaku?

____

 

Jangan lupa subscribe dan rate ya! 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab terkait

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-09
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

    Terakhir Diperbarui : 2022-12-09
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

    Terakhir Diperbarui : 2023-01-16
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 1

    KAMI JUGA ANAKMU, BU! ___[Bangun-bangun minta makan ....] Seperti ada yang teriris di dalam hati ini, ketika membaca status whatsapp Ibu disertai video adik tiriku yang sedang makan, di keningnya terdapat kompres anak merk k00lf3v3r. Kulirik, Naraya -adik bungsuku- terbaring lemah, tanpa Ibu di sisinya. Apa tak sedikitpun Ibu memikirkan kami? Kuberanikan diri mengirimkan pesan pada Ibu, disertai foto Naraya yang tengah demam. [Bu, Naraya demam. Apa Ibu gak bisa ke sini?] tulisku, lalu kuklik kirim. Centang dua yang tadinya berwarna abu-abu, berubah menjadi biru, pertanda pesanku sudah dibaca. [Dira sakit, jadi gak bisa ke sana! Ada Ayahmu juga kan, sekarang Dira lebih membutuhkan Ibu!]Aku tersenyum getir membaca balasan dari Ibu. Rasanya ingin sekali berteriak, bahwa kami juga anakmu, Bu! Bukan hanya Dira. Sejak kehadiran Dira, adik berbeda ayah dari kami itu. Ibu berubah, bahkan suaminya terang-terangan mengusir kami, jika kami berkunjung ke sana. Ibu hanya diam, dengan dal

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-02
  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

    Terakhir Diperbarui : 2022-10-10

Bab terbaru

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 10

    Lima tahun berlalu .... sejak kejadian Ibu menyebarkan fitnah tentangku, aku menutup semua akses komunikasi bahkan menutup semua akun sosial mediaku. Beruntungnya Bunda Rena dan Om Imran, mendukungku dan ikut menutupi keberadaanku dari keluarga Ibu dan Ayah. Entah bagaimana kabar mereka sekarang, aku tak pernah mencari tahu."Kak!" pekik Nara yang baru saja pulang dari sekolah, gadis kecilku ini semakin beranjak besar. Padahal sepertinya aku baru saja membantunya belajar berjalan, sekarang ia sudah lincah berlari dan menyenangkan banyak hati. Sayangnya, Nara ketergantungan obat seumur hidup karena epilepsi simptomatik, akibat kerusakan jaringan otak. Meskipun kejangnya tak pernah kambuh lagi, tapi kami tetap membatasi makanan ataupun kegiatan yang bisa memicu kejangnya kambuh.Sejauh ini, Nara juga tak pernah mencari Ibu lagi. Bagi Naraya, ibunya sekarang hanyalah Bunda Rena. "Kakak hari ini libur kerja?" tanya Nara. Aku mengangguk, "iya dong! Kita 'kan mau jalan-jalan!" Nara me

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 9

    "ZAHIRA!" bentak Nenek yang sejak tadi diam, sementara Ibu hanya bisa menunduk setelah mendengar ucapanku. "Apa? Mau bilang aku durhaka? Ngaca! Kalian yang zalim kok malah playing victim! Kemarin Nara kritis, apa kalian peduli? Jadi, untuk apa aku peduli dengan Dira!" ketusku seraya beranjak meninggalkan mereka, terlebih mobil Daren sudah berhenti di depan cafe. Muak jika berlama-lama dengan Ibu dan keluarganya. Mungkin sampai kapanpun, wanita itu tak akan pernah sadar dengan kesalahannya."Kok ada Ibumu?" tanya Daren, ketika aku baru masuk ke dalam mobil. "Biasalah, mau minta duit buat beli tangan palsu untuk anak kesayangannya. Dia pikir aku gudang duit apa!" gerutuku. Daren terkekeh. "Harta keluarga suaminya banyak padahal," sahutnya.Aku mengendikan bahu, tak mau tahu dengan urusan mereka. Jika nanti Ibu diceraikan dengan suaminya pun aku tak peduli, biar dia merasakan sakitnya jadi aku dan Nara, dibuang bagai sampah yang tak berharga. "Sabar ya, secepatnya kita akan pergi da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 8

    Tubuhku luruh ke lantai, setega itu Dela mengarang cerita. Membuatku terusir dari istanaku sendiri, dan parahnya Ayah begitu percaya dengan istri barunya. Mungkin juga ini ada campur tangan Oma, sehingga Ayah tak bisa berkutik. Padahal Ayah tahu aku tak melanjutkan pendidikan juga karena Oma, hanya saja aku tak memberitahu Daren masalah ini. Jika mereka tahu, mungkin Bunda Rena dan Om Imran dengan senang hati membiayai kuliahku, hanya saja aku sungkan karena terlalu banyak mereka membantuku semenjak Ayah dan Ibu berpisah. Uang gaji Ayah selama tiga tahun ini dikuasai Oma dan saudara-saudaranya, itu sebabnya aku memilih bekerja sebagai barista untuk menambah biaya hidup. Kuhela napas kasar, masih terdengar suara Ayah dan Dela bertengkar di depan rumah. Kuraih ponsel di saku bajuku, lalu menghubungi Daren. "Ren ... aku ikut kamu ke Malaysia," ucapku lirih. Jika aku masih ada di sini, mereka akan terus melukai hatiku dengan ucapan dan perbuatan mereka. Lebih baik aku yang pergi men

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 7

    "DASAR ANAK GAK TAHU DIRI, GARA-GARA KAMU DIRA HARUS DIAMPUTASI!" Kulit kepalaku terasa ingin lepas, karena jambakan Ibu. Bahkan tenaga Daren kalah dengan Ibu yang begitu kuat karena dikuasai emosi, dengan membabi buta wanita yang telah melahirkanku itu memukuliku. "Ini semua karena salahmu! Seandainya kamu enggak pernah terlahir di dunia ini!" PYAR! "Tante!" Bentakan Daren suara teriakan Ibu, bercampur menjadi satu. Kepalaku berdenyut nyeri, pandanganku semakin kabur setelah Ibu memukulkan piring hingga pecah ke kepalaku, bahkan kini kepalaku sudah penuh dengan pecahan kaca disertai sisa makanan. Kukumpulkan tenagaku, lalu menarik tangan Ibu dari kepalaku. Lalu berbalik kearahnya, kini kami berhadapan. Garis wajah yang hampir sama denganku itu, menatapku penuh kebencian. "Aku dan Nara gak pernah meminta dilahirkan ke dunia ini! Kalau belum siap punya anak, untup apa dulu nekad menikah tanpa restu orang tua?! Hah? Kenapa?!" teriakku. Dadaku naik turun mengikuti deru napasku y

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 6

    Kupikir setelah panggilan kuakhiri dengan sepihak, ibu akan memblokir nomorku kembali seperti kemarin. Kali ini beliau hanya menyindirku di status whatsappnya. [Dasar anak enggak tahu diri, adikmu bukan hanya anak penyakitan itu!]Daripada semakin sakit hati, akhirnya kublokir Mama. Biarlah ia menyebutku anak durhaka dan tak tahu diri, seharusnya ia berkaca ibu seperti apa dia jika ingin di hormati.Kutarik napas panjang, lalu melepaskannya perlahan. Masih saja dada ini terasa sesak, tak terima jika Naraya dihina penyakitan. Bagaimana pun kondisi Nara, dia tetap adikku satu-satunya. "Kakak kenapa?" tanya Nara. Aku menggeleng. "I'm fine. Makannya sudah? Oh iya, bentar lagi Bunda Rena mau ajak Nara jalan. Nara gak boleh capek-capek ya, jangan telat makan!" ucapku seraya menciumi wajahnya. "Ibu kok enggak sebaik Bunda Rena sih, Kak?" tanya Nara tiba-tiba. Aku tersenyum tipis. Karena enggak semua ibu berhati malaikat, Nara. Ucapku dalam hati. Suatu saat kamu akan mengerti Nara, yan

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 5

    Setelah hampir seharian berkeliling mencari rumah sewaan yang murah, akhirnya aku mendapatkan rumah petakan yang harganya cukup terjangkau. Empat ratus ribu sebulan, berdinding kayu dan kamar mandi umum. Mungkin aku akan biasa saja, hidup sederhana seperti ini. Tapi bagaimana dengan Nara? Dia sudah terbiasa hidup berkecukupan. Kurogoh ponsel di saku celana, begitu banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Daren dan Bunda Rena. Isi pesan mereka hampir sama, mempertanyakan tentang rumah yang di jual Ayah. Setelah membalas pesan mereka, aku kembali mematikan data seluler. Aku tak mau merepotkan keluarga Daren, sudah terlalu banyak mereka membantuku. "Zahira ya?" Aku memalingkan wajah ke arah sumber suara, berdiri lelaki jangkung dengan paras rupawan. "Dokter Tsabit, ya? Masih ingat saya ternyata," ucapku seraya terkekeh. Kemarin kami memang sempat berkenalan. "Tinggal di sini?" tanyanya. Aku mengangguk. "Iya, baru nempatin sore ini," jawabku jujur. "Bagaimana Nara? Apa baik-ba

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 4

    [JANGAN PERNAH MENGABARKAN APAPUN, SAYA TAK PEDULI! MAU ANAK ITU M4T! SEKALIPUN!]Pesan dari Ayah, dengan cepat kuambil tangkapan layar, agar suatu saat pesan ini menjadi bukti. Aku sangat mengenal Ayah, tak mungki bahasanya sekasar ini. Sudah pasti si Dela, istri mudanya. Wanita itu benar-benar keterlaluan! "Za!" Aku menyimpan ponselku ke saku celana, Bunda Rena dan Daren berjalan tergopoh-gopoh ke arahku. "Gimana Nara?" tanya Bunda Rena. Mataku mengembun, hingga membuat penglihatanku menjadi buram. Mengingat Nara, membuat dadaku terasa sesak. "Nara ... terkena epilepsi, Bun," lirihku. Bunda Rena memelukku. "Kita sama-sama berjuang ya, Nara bisa sembuh. Epilepsi bisa disembuhkan asal pengobatannya tepat," ucap beliau berusaha menenangkanku. "Ayah sama Ibumu sudah dikabarin?" tanya beliau seraya melepaskan pelukannya. Aku mengangguk lesu. Daren mendengkus. "Mereka mana ada yang peduli, Bun! Buktinya Om Rizal aja bukannya temani Zahira di sini, malah lebih milih istrinya itu!

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 3

    "Ayah lebih percaya dengan wanita yang baru dikenal daripada darah daging sendiri, ternyata cinta bisa membutakan mata sekaligus hati!" sinisku. Ayah terdiam, dengan raut wajah tak dapat kuartikan. Tapi, ada rindu dari tatapan matanya. Hanya saja sedari tadi, lengannya terus digelayuti dengan wanita disampingnya. Sementara Dela, wajahnya berubah pucat mendengar ucapanku. "Aku tak masalah, kamu ingin menguasai uang Ayahku. Tapi tidak dengan melarangnya bertemu dengan kami, Ayah dan Ibuku memang sudah berpisah, tapi tak ada yang namanya mantan anak!" tegasku seraya menatap Dela. Ia menggigiti bibirnya, lalu melirik ayah berharap dibela, tetapi lelaki paruh baya itu hanya diam membisu. Mungkin sibuk mencerna ucapanku. "Zahira, Ayah minta maaf ... Ayah yang salah, seharusnya bu-""Jangan minta maaf pada Zahira, tapi pada Nara!" tukasku. Ayah bergeming. "Mas harusnya kamu jangan diam dong, anakmu ngomong kasar begitu! Gak sopan, durhaka namanya!" ucap wanita itu pelan, tapi masih da

  • KAMI JUGA ANAKMU, BU   BAB 2

    Daren merengkuhku, tangisku pecah dalam pelukannya. "Menangislah, luapkan semuanya!" ucapnya seraya mengusap punggungku. Daren menangkup wajahku, lalu membuat wajah kami saling menatap. "Jangan terlihat lemah di hadapan para pengkhianat, buktikan kamu kuat!" ucapnya seraya mengusap air mataku, bahkan ia membersihkan darah yang masih mengalir di hidungku tanpa rasa jijik. Aku menengadahkan kepalaku, rasa sakit di kepala ini tak seberapa. Dengan rasa sakit di hati, kulirik Daren menggulung tisu lalu menyumpalkannya kehidungku, untuk menghentikan darah yang mengalir. Masih teringat jelas raut wajah Ibu yang tampak khawatir, tapi ia begitu berat meninggalkan keluarga barunya. Terlebih Dira, bocah teng ik itu, merengek ingin digendong. Entah kenapa rasa benci timbul begitu saja pada gadis kecil itu. "Ren, kalau gue enggak ada lagi, jagain Nara ya!" ucapku seraya menatapnya sendu. "Kebiasaan banget, kalau sakit ngomongnya suka ngelantur!" sahutnya seraya menyentil bibirku. Kami memut

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status