BRANDON
Emosiku benar-benar diuji menghadapi cewek seperti si Kutilangdara. Besar juga nyalinya berhadapan denganku. Dia belum tahu siapa Brandon Harun? Lihat saja nanti, sedetikpun tak akan kubiarkan dia tenang selama berlatih di klub basket.
Aku menurunkan lagi penutup helm setelah mengembuskan napas keras. Si Kutilangdara berjalan keluar dari gerbang dengan rambut yang bergoyang seperti ekor kuda. Dia berhenti begitu berada di luar pagar sekolah, mungkin menunggu jemputan.
Segera dinyalakan motor, lalu memacunya pelan. Entah kenapa tangan ini tiba-tiba terulur ke kiri, lantas menarik ujung rambutnya sehingga dia mengaduh kesakitan.
“Woi! Kurang ajar! Awas kalau ketemu lagi!!” teriaknya lantang.
Aku hanya tertawa puas saat berhasil membuatnya marah. Tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, kuacungkan jari tengah ke arahnya. Yakin, sekarang wajah si Kutilangdara seperti kepiting rebus menahan marah, persis seperti saat di ruangan basket tadi.
Motor Honda CBR ini terus kupacu menuju perumahan Menteng Dalam, tempat tinggal keluargaku. Mama pasti sudah menunggu di rumah.
Oya, kalian tidak perlu kaget melihatku mengendarai motor ke sekolah padahal masih di bawah umur, tanpa KTP Apalagi SIM. Biasalah orang kaya bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan uang. Beruntung selama ini, aku belum pernah terjaring razia atau kena tilang.
Tak lama kemudian, motor memasuki pekarangan rumah yang kami tempati sepuluh tahun belakangan. Sejak usaha properti Papa berhasil, kami sekeluarga pindah ke perumahan elite ini. Sekarang usaha milik beliau sudah merambah ke bidang garment dengan menyewa beberapa pabrik di berbagai daerah.
“Anak Mama sudah pulang,” sambut wanita paling cantik yang pernah kutemui.
Beliau membentangkan tangannya menyambut kedatanganku. Segera disambut dengan sebuah pelukan. Seperti itulah setiap hari sebelum berangkat sekolah dan sepulang sekolah.
“Hmmm … Mama masak apa nih?” tanyaku sambil mengendus aroma ayam kecap.
“Biasa, masakan kesukaan kamu, Bran. Mandi dulu gih, habis itu baru makan.” Mama menepuk pelan pundakku.
“Papa udah pulang?”
“Belum, sebentar lagi.”
“Aku makan tunggu Papa pulang aja, biar barengan,” kataku sebelum melangkah ke lantai dua meninggalkan Mama di ruang tamu sendirian.
Keluargaku sangat harmonis. Mama sosok wanita penyayang dan hangat, sedangkan Papa sosok pria bertanggung jawab dan sangat menyayangiku. Aku mengagumi Papa dan berharap ingin seperti dirinya ketika dewasa nanti. Apalagi beliau sangat mencintai Mama.
Tiba di dalam kamar, kuhempaskan tubuh di atas kasur terlebih dahulu. Beraktivitas seharian terkadang membuat lelah juga. Sejak SMP aku selalu disibukkan dengan kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka dan basket. Mama menyarankannya agar aku tidak manja dan bisa bergaul dengan teman-teman yang lain. Tetap saja tidak terlalu banyak siswa yang bisa menjadi temanku.
Diri ini termasuk pemilih dalam berteman, jika merasa tidak nyaman maka akan berinteraksi secukupnya saja. Aku paling tidak suka bergaul dengan orang yang baik di depan, ternyata di belakang sebaliknya.
Sambil menunggu suhu tubuh stabil, kuraih ponsel dari dalam tas. Kubaca beberapa pesan yang masuk ke aplikasi Blackberry. Ternyata mayoritas berasal dari wanita yang caper (cari perhatian) kepadaku.
Cewek 1: Brandon besok mau aku bawakan cokelat ya.
Cewek 3: Nggak sabar nunggu kamu latihan besok sore, Brandon :*
Cewek 2: Istirahat besok aku traktir ice cokelat ya :)
Aku mendesah ketika tidak ada satupun pesan yang menarik perhatian malah membuat ngantuk. Sesaat senyuman terukir di sudut bibir ketika ingat si Kutilangdara besok akan menunjukkan keahliannya bermain basket. Sudah saatnya memikirkan cara agar bisa menyingkirkannya segera dari klub itu.
“Gue sama sekali nggak tertarik sama cowok dekil dan nyebelin kayak lo.” Penggalan kalimat yang dilontarkannya waktu terakhir bertemu kembali terngiang.
What? Dekil? Siapa yang dekil? Aku?
Tawa singkat keluar dari bibir ini. Apa dia tidak tahu siapa Brandon Harun? Bukannya sombong, sejak SMP aku selalu dikelilingi siswi. Tinggal pilih saja mana yang kuinginkan. Cewek secantik Nikita Willy juga bisa kudapatkan.
Rasanya kepala kembali memanas ketika memikirkan si Kutilangdara. Mandi menjadi satu-satunya pilihan untuk menyegarkan pikiran.
Sepuluh menit kemudian, aku keluar dari kamar mandi. Rasanya benar-benar segar terkena air dingin. Apalagi kulitku lengket karena keringat setelah latihan basket.
Setelah mengenakan baju kaus tanpa lengan dan celana pendek, aku langsung turun ke bawah. Papa pasti sudah pulang. Ada sesuatu yang ingin kuminta dari beliau sekarang. Beliau biasanya memberikan apa yang kuinginkan. Buktinya Honda CBR keluaran terbaru langsung dibelikan hanya dengan satu kali rengekan.
“Papa sudah pulang, Bi?” tanyaku kepada Bi Ijah, asisten rumah tangga di sini.
“Baru saja pulang, Mas. Lagi di kamar sama Ibu,” jawab Bi Ijah mesem-mesem.
Aku sudah paham maksud perkataannya. Begitulah kedua orang tuaku. Terkadang mereka masih seperti pengantin baru. Pernah waktu itu lupa tutup pintu kamar, sehingga aku bisa masuk, ternyata mereka sedang bermesraan. Haha!
“Mas Brandon mau makan sekarang?” tawar Bi Ijah.
Aku menggelengkan kepala. “Nanti aja bareng Mama dan Papa, Bi.”
“Kalau gitu, Bibi ke dapur lagi siapkan makan malam ya, Mas,” pamit Bi Ijah.
Aku memilih duduk di ruang keluarga, menunggu Mama dan Papa keluar dari kamar. Biasanya kalau seperti ini, keduanya akan keluar dari kamar setelah Papa mandi.
Sembari menunggu, aku mencari PS3 (Playstation 3) yang ingin kuminta kepada Papa. Seperti biasa jika sudah ditunjukkan barang yang diinginkan, besoknya sudah tersedia. Aku sudah tidak sabar menanti saat itu tiba, Apalagi beberapa teman-temanku sudah memilikinya. Kata mereka pengalaman bermain dengan PS3 lebih menyenangkan, karena kualitas grafiknya juga jauh lebih bagus dibandingkan PS2.
Ketika memilih gambar yang akan diperlihatkan kepada Papa, sebuah pop up pesan muncul di layar atas ponsel. Sepertinya itu pesan di grup basket sekolah. Embusan napas keras keluar dari sela bibir begitu membaca pesan yang dikirimkan Pak Bambang.
Pak Bambang: Hari ini kita kedatangan keluarga baru di klub basket, namanya Arini Maheswari, siswi kelas 1A. Mulai besok Arini akan bergabung dengan kalian semua.
Andi Basket: Hai Arini, salam kenal. Nggak sabar besok mau ketemu kamu.
Bayu Basket: Gue udah kenal sama Arini, anaknya pintar banget. Semester satu juara tuh. Ketemu lagi kita di klub, Rin.
Bayu anak kelas 1A juga, jadi wajar kenal sama si Kutilangdara. Pintarnya sampai mana sih? Masa iya lebih pintar dari Brandon Harun? Aku tersenyum miring membaca pesan Bayu.
Bang Toni: Finally, welcome, Arini, si Cantik berlesung pipi. Gabung juga dengan tim basket kita. Aku sudah lama loh lihat kamu main basket saat olahraga.
Aku langsung terbahak membaca kalimat ‘si Cantik berlesung pipi’. Cantik dari mana? Dari atas sampai bawah rata begitu. Wah, selera Bang Toni benar-benar minus.
“Kenapa tidak makan duluan saja, Bran?” Tiba-tiba suara Papa mengagetkanku.
Pandangan langsung beralih kepadanya sambil tersenyum semringah. “Nunggu Mama dan Papa dong. Aneh rasanya makan sendirian.”
Mama dan Papa saling berpandangan sambil senyam-senyum.
“Ayo makan sekarang. Kamu pasti sudah lapar.” Mama memalingkan paras ke arah Papa. “Papa juga nih kayaknya.”
Kami berjalan beriringan ke ruang makan. Selama berada di sana, tidak ada percakapan yang berarti. Papa hanya menanyakan bagaimana sekolah seperti biasa. Keinginan meminta PS3 harus kutahan hingga selesai makan malam.
Kini aku, Mama dan Papa duduk santai di ruang keluarga. Seperti inilah kami biasanya menghabiskan quality time bersama dengan keluarga di sela kesibukan Papa yang luar biasa sebagai Direktur Utama The Harun’s Group. Terkadang Papa sering bepergian ke luar kota, sehingga aku jarang bertemu dengan beliau. Jika ada kunjungan ke luar kota, Mama sudah pasti ikut. Romeo dan Juliet itu seakan tidak bisa dipisahkan, ke mana-mana selalu berdua.
“Pa,” panggilku membuka percakapan setelah hening di ruang keluarga.
“Ya? Kenapa, Bran?” sahut Papa mengalihkan paras kepadaku.
“Aku mau PS3, sudah rilis tuh di toko. Belikan ya?” pintaku manja sambil tersenyum manis.
Kening Papa berkerut dalam. Tidak seperti biasanya yang langsung mengiyakan.
“Nilai kamu semester kemarin jelek semua, Bran. Masa B hanya dua buah, sisanya C?” Papa menggeleng tegas. “Sampai nilai kamu naik lagi, Papa tidak akan memberikan apa yang kamu minta.”
“Tapi, Pa—”
“Tidak ada tapi-tapi! Kamu harus belajar dengan benar. Papa baru akan turuti permintaanmu lagi, setelah nilai kamu naik. Tidak ada lagi C,” tegas Papa dengan raut wajah serius.
Mampus! Kiamat sudah. Apa yang harus kulakukan agar Papa bisa mengabulkan kembali permintaanku seperti semula? Rasanya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan nilai C yang menjadi langganan sejak dulu. Kenapa jadi seperti ini?
Bersambung....
ARINIPagi ini gue bersiap-siap berangkat ke sekolah. Seragam kebanggaan telah melekat di tubuh ini, lengkap dengan rompi berwarna abu-abu tua. Beruntungnya di sekolah ini menyediakan tiga jenis rok yang bisa dikenakan. Pertama, rok yang panjangnya tepat di atas lutut, biasanya dipakai oleh siswi kelas atas. Kedua, rok panjang tepat di bawah lutut, pada umumnya dikenakan siswi kelas menengah kayak gue. Dan ketiga, rok panjang hingga menutupi mata kaki yang dikenakan siswi berkerudung.Hari Senin dan Selasa, seluruh siswa dan siswi mengenakan atasan putih dengan bawah abu-abu. Rabu mengenakan pakaian seragam khas sekolah, atasan kemeja dengan dasi kupu-kupu berwarna merah hati dipadu dengan rok kotak berwarna merah hati juga. Hari Kamis mengenakan pakaian pramuka dan Jum’at baju batik dengan bawahan rok panjang bagi siswi.“Berangkat bareng Uda aja yuk, Ri,” kata Uda David, kakak gue, yang sudah rapi dengan pakaian kemeja dipadu dengan celana jeans.“Loh, Uda kuliah pagi ya?” Gue memal
BRANDONBegitu memarkirkan motor, aku melihat si Kutilangdara melangkahkan kaki menuju pintu masuk gedung. Bayangan sore ini bertemu lagi dengannya di klub membuatku kembali meradang. Alhasil aku memberi ultimatum agar dia mengurungkan niat bergabung dengan klub basket.Lagian Pak Bambang ada-ada saja, mana mungkin seorang perempuan bisa membantu kami para pria bermain basket? Yang ada juga bantu-bantu membereskan bola sehabis latihan atau membersihkan arena permainan. Seketika senyum miring terukir ketika aku melangkahkan kaki menuju kelas.“Eh, ke kelas 1A yuk! Kayaknya lagi ribut di sana.” Terdengar suara salah satu teman satu kelasku berbicara dengan yang lainnya.“Serius? Ribut kenapa?”“Itu geng Chibie ngelabrak anak kelas 1A,” sahut yang lainnya.Mereka berbondong-bondong keluar dari kelas.Aku yang awalnya masa bodoh jadi ikut penasaran. Geng Chibbie? Itu bukannya cewek-cewek yang bertemu denganku di dekat parkiran tadi?“Siswi kelas 1A? Si Kutilangdara?”Aku tersentak membaya
ARINISi Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.“Aku ke sana dulu ya, Kak,” ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.“Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok,” tutur Kak Toni menyemangati.What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertiny
BRANDONMata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.“Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo.” Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di teli
ARINIPagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.“BERHENTI LO, KUNYUK!!”Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir diriny
BRANDONEntah apa yang terbesit di pikiran ini ketika Lova, teman satu SMP, datang menemuiku di kelas pagi ini, sehingga aku langsung berlari ke toilet wanita untuk menolong si Kutilangdara. Tak habis pikir juga dengan kenekatan geng Chibie mengunci dan menyiramnya di dalam tempat kloset berada. Kini tubuhnya bergetar ketika aku membawa cewek aneh ini ke atas atap, agar bisa berjemur. Dia pasti kedinginan.“Buka baju lo sekarang,” pintaku membuat mata cokelat terangnya membulat.Dia tidak berpikiran yang aneh-aneh ‘kan? Apa kalian juga berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat tubuhnya?“Ngapain suruh buka baju?” Si Kutilangdara menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Lo bisa masuk angin pakai baju basah kayak gitu.” Aku mendengkus keras. “Gue sama sekali nggak tertarik lihat lo. Rata semua dari atas sampai bawah.”“Kurang ajar lo! Itu mulut nggak pernah disekolahin ya?” protesnya berteriak kencang.“Ah, terserah lo deh. Yang masuk angin juga bukan gue,” desahku ma
ARINI“Gimana sama teman kamu itu?” bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.“Biasa aja,” sahut gue.Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!“Masih ganggu kamu?”Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.“Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin,” pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.“Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah.”Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.“Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?” Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.“Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas,” sahut Donny teriak dari kamar.“Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu,” te
BRANDONBegitu mata pelajaran terakhir selesai, aku langsung pulang. Seperti biasa, ketika tidak ada jadwal latihan basket, diri ini lebih memilih pulang ke rumah. Terkadang Mama sering mengajak keluar lagi berbelanja. Beliau seperti wanita kebanyakan, gemar shopping dan jalan-jalan di mall.Saat motor memasuki pekarangan, aku melihat Mama sedang duduk di teras depan rumah. Beliau tampak memandangi berbagai jenis bunga yang kini sedang tumbuh mekar. Mama memang senang dengan tanaman, sehingga rumah menjadi rindang dan asri.“Anak Mama sudah datang,” sambut Mama setelah aku memarkir motor di luar. Sengaja tidak memarkirnya di garasi, agar bisa digunakan lagi jika ingin bepergian nanti.Aku langsung memeluk Mama seperti biasa, lantas memberi kecupan di pipinya bergantian.“Pengin cepat pulang, hari ini nggak ada latihan basket,” sahutku.Sesaat aku ingat ponsel ini bergetar ketika dalam perjalanan pulang. Segera kukeluarkan dari saku celana melihat apakah ada pesan penting? Barangkali a
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku