Share

BAB 7: Sang Penyelamat

Penulis: LeeNaGie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

ARINI

Pagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.

Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.

“BERHENTI LO, KUNYUK!!”

Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!

Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.

Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir dirinya siapa sampai semena-mena begini? Apa seluruh orang kaya kelakuannya kayak gitu? Ah, paling nggak ada Kak Toni dan Lova yang masih baik sama gue.

Di sekolah ini, hanya mereka berdua yang memperlihatkan kepedulian terhadap siswi dari kelas menengah seperti gue. Sisanya? Hanya bermanis muka menjelang ujian dan ulangan harian. Kesal juga sih. Rasanya nggak enak dimanfaatkan sama si Kaya, tapi apa boleh buat, demi kenyamanan selama bersekolah di sini terpaksa dituruti.

Jangan tanya lagi gimana mereka rebutan ingin satu kelompok dengan gue, ketika guru memberi tugas. Beuh, berbagai makanan dan minuman tersedia di atas meja sebagai sogokan, agar mau bantuin mereka. Ada juga yang langsung tarik gue ke kantin ingin mentraktir makan siang.

Hari ini berlalu dengan cukup baik, meski hati masih gondok dengan kelakuan si Kunyuk tadi pagi. Ketika pergantian jam pelajaran, tiba-tiba kebelet pipis. Nggak tahan lagi, gue langsung berdiri ingin beranjak ke toilet.

“Mau ke mana, Rin?” tanya Lova sebelum gue keluar dari kelas.

“Biasa, toilet. Udah kebelet nih,” jawab gue menoleh sekilas kepadanya.

“Ikut.”

Lova kini bergelayut manja merangkul lengan ini.

“Eh, lo kudu hati-hati sama geng Chibie, Rin. Bahaya tuh mereka. Jangan cari gara-gara deh,” nasihat Lova entah keberapa kalinya sejak kemarin.

“Iya, Bawel. Dari kemarin ngomongnya itu mulu ih,” cibir gue disambut gelak tawanya.

“Habis ngeri bayangin kalau lo sampai di-bully sama mereka. Nggak ada yang bakal tolongin kalau sampai kejadian.”

“Lo juga gitu dong?”

Lova menggeleng cepat sambil menggoyangkan tangannya ke kiri dan kanan, lantas menyelipkan rambut sebahunya di belakang telinga. Dia mendekatkan bibir ke telinga dan berbisik, “Gue memang nggak akan tolongin lo secara langsung, tapi pasti cari bantuan.”

“Baik banget sih lo jadi teman.”

“Iya dong. Masa gue biarin lo kesusahan.” Lova menaik-naikkan alis tebalnya.

Kami kemudian tertawa sambil memasuki toilet, setelahnya masuk ke bilik berbeda. Lega rasanya setelah melepaskan yang tadi mengganjal. Gue berdiri lagi dari kloset dan membuka kunci pintu. Loh, ini pintu kenapa jadi nggak bisa buka?

“Lova?” panggil gue.

“Kenapa, Rin?” sahut Lova dari bilik paling ujung. Kalau nggak salah dia masuk ke bilik yang dekat dinding tadi.

“Pintu bilik tempat gue kok nggak bisa dibuka ya?”

“Masa sih?”

Nggak lama terdengar pintu bilik terbuka, mungkin itu yang ditempati Lova.

“Tolong lihatin dong, Lov,” pinta gue.

Lova nggak nyahut lagi setelah itu.

“Lova? Lo masih di luar, ‘kan?”

Hening. Suara Lova nggak terdengar lagi. Perasaan jadi nggak enak. Nggak mungkin dia ninggalin gue sendirian terkunci di dalam sini.

“Lova?” panggil gue lagi mulai panik sambil menggedor pintu.

Tiba-tiba tubuh ini sudah basah dengan air. Siapa yang punya kerjaan nih? Spontan gue mendongakkan kepala ke atas dan melihat salah satu anggota geng Chibie yang samperin ke kelas kemarin. Dia tertawa diiringi yang lainnya. Dada seakan bergelora sekarang. Keseeel.

Gue jadi paham kenapa Lova nggak nyahut dari tadi. Pasti sekarang pergi cari bantuan, seperti apa yang dikatakannya sebelum kami tiba di sini.

“Gue udah kasih peringatan sama lo, jangan deketin Brandon. Eh, masih aja deketin dia,” tutur suara cempreng disambut tawa yang lain.

“Apapun yang terjadi, jangan lawan mereka, Rin,” kata Lova kemarin terngiang.

Oke, Ri. Tenang, jangan sampai terpancing dengan kelakuan mereka. Ini air juga bukan air kotor. Rileks, batin gue menyabarkan diri.

Gue harus menelepon seseorang sekarang. Tangan bergerak merogoh saku. Ponsel mana, ponsel? Seketika panik melanda saat ingat handphone ada di dalam tas. Asli hari ini apes. Pagi tadi digangguin si Kunyuk, sekarang digangguin si Chibie. Kalian orang kaya kenapa sih selalu nge-bully orang biasa kayak gue?

Jadi ingat Shan Chai di serial yang pernah booming lima tahun lalu. Dia diperlakukan kayak gini juga gara-gara ngelawan Dao Ming Si. Apa mereka kayak gini ke gue gara-gara ngelawan sama si Kunyuk? Ah, pengin maki-maki cowok dekil itu jadinya.

Kedua tangan kini saling berpagutan sambil mengusap lengan, karena tubuh mulai kedinginan. Toilet terasa dingin sehingga badan perlahan menggigil. Gue nggak suka terlihat lemah begini, Apalagi ketika kedinginan.

Please, Lov. Cari bantuan agar gue bisa keluar dari sini, rintih hati ini.

“Kalian ngapain di sini?” Tiba-tiba terdengar suara yang nggak asing lagi di telinga. Suara nggak terlalu berat dan paling enggan didengar sekarang.

Seluruh cewek yang entah berapa orang di luar sana serentak terdiam mendengarnya. Suasana hening beberapa saat, gue nggak tahu apa yang sedang terjadi. Nggak lama terdengar pintu dibuka dari luar. Sepasang tangan langsung memasangkan jaket di tubuh yang sekarang menggigil. Sang Penyelamat akhirnya datang juga.

Tanpa sadar, kaki melangkah mengikuti arah ke mana orang ini membawa gue. Pandangan sempat melihat ke arah Lova yang menunjukkan raut lega. Yakin banget, pasti dia yang meminta pertolongan. Di luar toilet ternyata banyak siswi yang berdiri melihat ke arah kami berdua.

“Apa yang terjadi, Bran?” tanya seorang siswa yang gue nggak kenal.

Sesaat diri ini tersentak, ketika menyadari orang yang nolongin gue adalah si Kunyuk. Perlahan kepala bergerak melihat ke arahnya yang masih merangkul bahu ini meninggalkan keramaian. Mata berkedip pelan dengan bibir sedikit menganga. Ngapain dia nolongin gue lagi sekarang? Ini nggak mimpi, ‘kan?

Si Kunyuk diam saja, tanpa merespons pertanyaan siswa tadi. Kakinya terus melangkah menaiki tangga. Gue kayak orang bego pakai ikut-ikutan dia segala. Gimana kalau dia culik terus sekap gue? Seketika diri ini bergidik membayangkannya.

Tak lama, pintu terbuka dan terlihat cahaya terang matahari pukul 10.00 yang bagus untuk berjemur. Ternyata dia membawa gue ke atap gedung sekolah. Si Kunyuk menarik lagi jaket tadi.

“Buka baju lo sekarang,” suruhnya membuat mata ini membulat seketika.

What?

Bersambung....

Bab terkait

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 8: Pertama Kali Berbincang Normal

    BRANDONEntah apa yang terbesit di pikiran ini ketika Lova, teman satu SMP, datang menemuiku di kelas pagi ini, sehingga aku langsung berlari ke toilet wanita untuk menolong si Kutilangdara. Tak habis pikir juga dengan kenekatan geng Chibie mengunci dan menyiramnya di dalam tempat kloset berada. Kini tubuhnya bergetar ketika aku membawa cewek aneh ini ke atas atap, agar bisa berjemur. Dia pasti kedinginan.“Buka baju lo sekarang,” pintaku membuat mata cokelat terangnya membulat.Dia tidak berpikiran yang aneh-aneh ‘kan? Apa kalian juga berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat tubuhnya?“Ngapain suruh buka baju?” Si Kutilangdara menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Lo bisa masuk angin pakai baju basah kayak gitu.” Aku mendengkus keras. “Gue sama sekali nggak tertarik lihat lo. Rata semua dari atas sampai bawah.”“Kurang ajar lo! Itu mulut nggak pernah disekolahin ya?” protesnya berteriak kencang.“Ah, terserah lo deh. Yang masuk angin juga bukan gue,” desahku ma

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 9: Need a Help

    ARINI“Gimana sama teman kamu itu?” bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.“Biasa aja,” sahut gue.Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!“Masih ganggu kamu?”Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.“Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin,” pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.“Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah.”Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.“Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?” Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.“Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas,” sahut Donny teriak dari kamar.“Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu,” te

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 10: Kode SOS

    BRANDONBegitu mata pelajaran terakhir selesai, aku langsung pulang. Seperti biasa, ketika tidak ada jadwal latihan basket, diri ini lebih memilih pulang ke rumah. Terkadang Mama sering mengajak keluar lagi berbelanja. Beliau seperti wanita kebanyakan, gemar shopping dan jalan-jalan di mall.Saat motor memasuki pekarangan, aku melihat Mama sedang duduk di teras depan rumah. Beliau tampak memandangi berbagai jenis bunga yang kini sedang tumbuh mekar. Mama memang senang dengan tanaman, sehingga rumah menjadi rindang dan asri.“Anak Mama sudah datang,” sambut Mama setelah aku memarkir motor di luar. Sengaja tidak memarkirnya di garasi, agar bisa digunakan lagi jika ingin bepergian nanti.Aku langsung memeluk Mama seperti biasa, lantas memberi kecupan di pipinya bergantian.“Pengin cepat pulang, hari ini nggak ada latihan basket,” sahutku.Sesaat aku ingat ponsel ini bergetar ketika dalam perjalanan pulang. Segera kukeluarkan dari saku celana melihat apakah ada pesan penting? Barangkali a

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 11: Bertemu dengan Keluarga Harun

    ARINIAsli nggak nyangka si Kunyuk beneran datang nyelamatin gue. Kayaknya dia sampai lari naik ke atap. Napas juga ngos-ngosan, belum lagi wajah yang bersemu merah. Pasti kecapean juga. Tapi ada yang bikin bingung, parasnya memancarkan kekhawatiran waktu lihat diri ini duduk bersandar di dinding. Dia juga sampai peluk gue agar bisa menenangkan perasaan takut yang menguasai tubuh.Seorang Brandon Harun menunjukkan kepeduliannya kepada gue, cewek yang baru dikenalnya empat hari. Sampai detik ini yang diketahui, dia benci dengan gue, begitu juga sebaliknya. Bisa dikatakan, kami berdua nggak suka satu sama lain.Si Kunyuk juga sampai gendong gue waktu tahu kaki ini kesemutan karena lama ditekuk. Jantung juga berdebar kencang saat menuruni anak tangga tadi. Mungkin pertama kalinya digendong sama cowok, sehingga kinerja jantung menjadi sedikit terganggu.“Pake nih,” suruhnya menyerahkan helm yang diberikan oleh penjaga barusan.Meski nggak tahu si Kunyuk mau ajak ke mana, tapi gue tetap me

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 12: Tawaran si Kutilangdara

    BRANDONAku tak percaya bisa membawa si Kutilangdara ke sini. Seperti yang dikatakan Mama barusan, dialah perempuan pertama yang dibawa ke sini. Meski memiliki banyak TTM (Teman Tapi Mesra), aku tidak pernah membawa seorang pun dari mereka ke rumah, karena tidak ada yang dianggap serius.For your information, hingga saat ini aku tidak pernah berpacaran. Belum ada seorangpun perempuan yang mampu membuat jantung ini berdebar. Aku hanya memanfaatkan keadaan dan ketertarikan mereka terhadapku. Terserah kalian mau menganggapku brengsek atau sejenisnya.“Siapa yang jahat sama kamu di sekolah? Bilang sama Tante, biar langsung dilaporkan ke Kepala sekolah,” ujar Mama masih melihat si Kutilangdara.Mamaku memang tipe wanita penyayang. Dia selalu baik kepada semua orang, termasuk teman-teman cowok yang pernah datang ke sini.Si Kutilangdara mengerling ke arahku, mungkin bingung harus menjawab apa.“Geng cewek yang berpikiran mereka populer, Ma. Nggak usah bilang ke Kepala sekolah, biar aku yang

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 13: One Step Closer

    ARINIBaru satu jam berada di rumah si Kunyuk, gue bisa melihat sisi lain dari dirinya. Ternyata dia nggak sedingin dan sekasar di sekolah. Ada sisi manis dan manja yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan Tante Lisa barusan. Sekarang si Kunyuk, malah menjadi sedikit terbuka.Ah, seharusnya nggak panggil dia dengan sebutan si Kunyuk lagi kali ya? Gimanapun juga, dia sudah tolongin gue dua kali dan itu lebih dari cukup. Start from now on, gue bakal panggil dengan sebutan nama, Brandon. Atau mungkin ikutan Tante Lisa yang memanggilnya Bran.“Mau nggak belajar bareng?” tanya gue lagi karena nggak dapat jawaban dari Brandon.“Lo jangan salah paham. Niat gue murni karena balas budi, nggak ada udang di balik bakwan. Sumpah!” sambung gue lagi nggak ingin juga dia salah paham.Dia tergelak mendengar perkataan gue. Ada yang lucu?“Dih, kok ketawa sih?”Lucu juga lihat si Brandon tertawa kayak gini, biasanya cuma menyeringai dengan tampang sok tengil. Semakin kenal, ternyata dia sosok yang m

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 14: Lima Perempuan Berhati Iblis

    BRANDONPagi ini tiba-tiba menjadi semangat berangkat ke sekolah. Setelan batik telah melekat di tubuh ini. Segera kuraih tas dan mencantolkannya di bahu kanan. Kaki kemudian melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk sarapan.Seperti biasa, Mama dan Papa sudah menunggu sambil duduk berdekatan di sana. Papa duduk bagian ujung tengah, tempat kepala keluarga. Sementara Mama di samping kanan depan. Aku memilih kursi di seberang Mama.“Cerah sekali wajah anak Mama pagi ini,” puji Mama senyam-senyum.“Iya dong. Kan mau semangat belajar, biar bisa dibelikan PS3 sama Papa.” Aku mengerling ke arah Papa.“Begitu dong, Bran. Kamu ini laki-laki, harus belajar dengan benar. Apalagi—”“Kamu pewaris tunggal The Harun’s Group,” sambungku sebelum Papa menyelesaikan kalimatnya.Papa tergelak mendengar perkataanku, lantas mengusap lembut kepala ini.“Tenang, Pa. Aku sudah ketemu sama guru les yang cocok.”“Oya? Kamu kursus di mana?” tanya Papa sambil memotong sandwich.“Kursus sama temanny

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 15: Kunjungan Brandon

    ARINIHari ini gue nggak masuk sekolah. Bangun tidur badan tiba-tiba panas 38,5 derajat celsius. Mungkin efek kepanasan di atap kemarin, hampir satu jam loh itu. Untung saja Brandon cepat datang, kalau nggak sudah pingsan tuh.Beruntung siang ini panasnya turun, setelah keluar keringat banyak. Gue jadi bisa duduk di ruang tamu sambil nonton. Besok juga bisa ke rumah Brandon buat menunaikan janji.“Sudah minum obat lagi siang ini, Ri?” tanya Mama setelah menata barang belanjaan, karena baru pulang dari pasar.“Udah nggak panas lagi kok, Ma. Nih coba rasain deh,” jawab gue sambil memajukan kening.Mama menempelkan telapak tangan di jidat, lantas mengangguk. “Syukur Alhamdulillah sudah turun. Mama jadi tenang.”“Kamu kemarin ke mana saja, bisa sampai demam tinggi?”“Itu, Ari—”Ting-tong!Baru mau menjawab pertanyaan Mama, terdengar bel berbunyi.“Biar Mama saja. Mungkin David dan Donny yang pulang Jumatan. Tadi pintu Mama kunci.” Mama langsung berdiri dan beranjak menuju pintu.“Arini ad

Bab terbaru

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 74: From Just Friend to Just for Fun

    BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 73: Ingin Berjumpa denganmu Sekali Saja

    BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 72: Perasaan yang Tidak Tenang

    BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 71: Sesuatu yang Salah

    ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 70: Missing You

    ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 69: My (Her) Wedding Day

    ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 68: Kulepas Kamu dengan Ikhlas

    BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 67: Bertemu dengan Pria Bernama Desta

    ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 66: Kegusaran Hati

    BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku

DMCA.com Protection Status