BRANDONPagi ini tiba-tiba menjadi semangat berangkat ke sekolah. Setelan batik telah melekat di tubuh ini. Segera kuraih tas dan mencantolkannya di bahu kanan. Kaki kemudian melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk sarapan.Seperti biasa, Mama dan Papa sudah menunggu sambil duduk berdekatan di sana. Papa duduk bagian ujung tengah, tempat kepala keluarga. Sementara Mama di samping kanan depan. Aku memilih kursi di seberang Mama.“Cerah sekali wajah anak Mama pagi ini,” puji Mama senyam-senyum.“Iya dong. Kan mau semangat belajar, biar bisa dibelikan PS3 sama Papa.” Aku mengerling ke arah Papa.“Begitu dong, Bran. Kamu ini laki-laki, harus belajar dengan benar. Apalagi—”“Kamu pewaris tunggal The Harun’s Group,” sambungku sebelum Papa menyelesaikan kalimatnya.Papa tergelak mendengar perkataanku, lantas mengusap lembut kepala ini.“Tenang, Pa. Aku sudah ketemu sama guru les yang cocok.”“Oya? Kamu kursus di mana?” tanya Papa sambil memotong sandwich.“Kursus sama temanny
ARINIHari ini gue nggak masuk sekolah. Bangun tidur badan tiba-tiba panas 38,5 derajat celsius. Mungkin efek kepanasan di atap kemarin, hampir satu jam loh itu. Untung saja Brandon cepat datang, kalau nggak sudah pingsan tuh.Beruntung siang ini panasnya turun, setelah keluar keringat banyak. Gue jadi bisa duduk di ruang tamu sambil nonton. Besok juga bisa ke rumah Brandon buat menunaikan janji.“Sudah minum obat lagi siang ini, Ri?” tanya Mama setelah menata barang belanjaan, karena baru pulang dari pasar.“Udah nggak panas lagi kok, Ma. Nih coba rasain deh,” jawab gue sambil memajukan kening.Mama menempelkan telapak tangan di jidat, lantas mengangguk. “Syukur Alhamdulillah sudah turun. Mama jadi tenang.”“Kamu kemarin ke mana saja, bisa sampai demam tinggi?”“Itu, Ari—”Ting-tong!Baru mau menjawab pertanyaan Mama, terdengar bel berbunyi.“Biar Mama saja. Mungkin David dan Donny yang pulang Jumatan. Tadi pintu Mama kunci.” Mama langsung berdiri dan beranjak menuju pintu.“Arini ad
BRANDONSetiap akhir minggu, aku selalu lari pagi di sekeliling perumahan sambil menghirup udara segar yang belum terkontaminasi asap kendaraan. Perasaan menjadi lebih tenang dibanding sebelum-sebelumnya. Ada damai di hati beberapa hari belakangan ini.Selesai lari lima belas menit, aku kembali lagi ke rumah bersiap untuk sarapan. Mama pagi-pagi sudah rapi seperti biasa. Katanya biar selalu terlihat cantik ketika Papa ada di rumah. Mereka berdua membuatku iri. Sudah tua tapi masih pamer kemesraan di depan anak.“Mandi dulu gih, Bran. Pasti bau asem tuh,” suruh Mama sebelum menata meja makan.“Iya, ini mau mandi tapi dinginin badan dulu.”“Arini jadi ke sini ‘kan hari ini?” tanya Mama.“Katanya jadi sih. Aku udah bilang nggak usah, karena habis demam. Eh anaknya masih kekeh mau datang juga,” jawabku.“Tandanya dia anak yang tepat janji dan bertanggung jawab,” sela Papa tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.“Setuju, Pa. Pendapat Mama juga begitu. Arini anaknya cantik, pintar, sopan dan
ARINIJantung nyaris copot. Panik banget waktu lihat Uda David datang. Brandon pasti ingat sama motor dan helm yang dipakainya. Apalagi gue ngaku-ngaku pacaran sama cowok yang sering anterin ke sekolah. Kepala langsung menoleh ke arah Bran. Pandangannya nggak lepas dari Uda sekarang.“Pacar lo ‘kan, In?” cetusnya kemudian.Jangan sampai Uda buka helm sekarang. Gue harus lakukan sesuatu agar Bran nggak tahu kalau dibohongi.“Sebentar, Bran,” seru gue meninggalkannya sendirian.Gue bergegas berlari menuju pagar, sebelum Uda turun dari motor dan membuka pagar. Begitu tiba di dekatnya, tangan ini langsung memegang lengan Uda David.“Jangan buka dulu, Da,” cegah gue.Dia pasti bingung sekarang dengan kelakuan adiknya.“Kenapa sih, Ri?”“Jangan buka helm dulu sekarang.” Gue memejamkan mata dengan iras cemas.“Kenapa?” tanya Uda David lagi.“Nanti Ari ceritakan deh. Sekarang Uda jangan masuk dulu. Muter dulu ke mana kek sampai Ari dan Brandon pergi.”“Kamu aneh deh, Dek,” ujar Uda David past
BRANDONPapa apa-apaan sih pakai tanya itu segala sama Iin? Tadi pagi aku sudah bilang kalau kami hanya berteman, tidak lebih.“Pa?” protesku dengan wajah mengerucut.“Kenapa, Bran? Papa sekarang tanya sama Arini lho,” sahut Papa.Aku memalingkan paras ke arah Iin yang sama terkejut denganku. Matanya berkedip pelan seiringan dengan bibir yang terbuka sedikit. Ekspresinya lucu sekali membuatku ingin tertawa. Kepala Arini menggeleng dengan cepat. Kedua tangan digoyangkan di depan tubuh.“Nggak, Om. Aku sama Brandon cuma temenan aja, nggak lebih,” jelas Iin membuatku mengembuskan napas lega.Papa sepertinya masih belum percaya, tergambar jelas dari wajahnya. “Benar kamu sudah punya pacar?”“Eh?” Iin hening sesaat, matanya kembali mengedip.Papa masih menunggu jawaban Iin, begitu juga dengan Mama.“Iya, Om. Mahasiswa semester dua,” jawabnya cepat.Mata hitam kecil Papa menyipit, kepalanya sedikit miring ke kanan. Sementara Mama memperlihatkan raut wajah kecewa. Jangan bilang beliau ingin
ARINIGue menelan ludah mendengar perkataan Bran. Segera dialihkan pandangan ke tempat lain, agar dia nggak tahu kalau lagi dibohongi. Mau memperkenalkan siapa? Pacar saja nggak punya.“Wajah lo kok kayak gitu, In?” tanya Bran tahu perubahan raut wajah ini. “Gue nggak bermaksud apa-apa. Hanya nggak mau terjadi salah paham aja. Khawatir juga kalau kalian putus karena kita dekat.”“Nggak pa-pa kok, Bran. Serius! Pacar gue orangnya pengertian banget. Nggak pernah larang bergaul dengan siapa aja,” jelas gue panik.Jangan sampai Bran ngotot pengin ketemu orang yang nggak pernah ada.“Tapi gue jadi nggak enak, In.”“Santai aja, Bran. Dia orangnya baik kok.”Aduh gimana nih?Bran mendesah pelan, lantas mengangguk. “Kalau kalian putus gara-gara cemburu karena kita dekat, jangan salahkan gue ya.”Gue langsung mengacungkan kedua ibu jari. “Tenang aja. Don’t worry.”Brandon bergerak menuju lemari khusus untuk penyimpanan buku, lalu mengambil buku pelajaran dari sana. Kami mulai membahas pelajara
BRANDONRaut wajah Iin berubah seketika. Dia belum tahu bagaimana kalapnya Mama ketika berbelanja. Beliau pernah mengajakku ke mall beberapa kali, ketika Gadis tidak menginap di rumah. Biasanya sepupuku itulah yang menjadi temannya saat belanja.“Ngeeeeeng.” Tiba-tiba terdengar teriakan suara cempreng memanggil dari luar kamar.Aku mendesah saat tahu siapa yang akan muncul sebentar lagi di rongga pintu. Dalam hitungan detik seorang gadis berambut pendek, lengkap dengan bando mirip kuping kelinci, celana jeans selutut dan tanktop berjalan mendekat. Dia langsung melingkarkan tangan di leher.“Sakit, Dis. Gue hampir sesak napas ini,” protesku susah payah menyingkirkan tangannya dari leher.“Jalan yuk, Ngeng. Bete nih,” celetuk Gadis.“Nggak ah, lagi belajar.”Gadis tertawa keras. “What? Sejak kapan lo belajar?”Aku mengerling ke arah Iin yang hanya bingung melihat tingkah kami berdua.Paras Gadis berubah usil, tampak jelas dari tarikan bibirnya yang tipis. “Belajar apa belajar?”“Akhirny
ARINISetelah melewati perdebatan dengan Bran, akhirnya dia setuju untuk jaga jarak selama di sekolah. Ngeri juga jika geng Chibie gangguin lagi. Mereka benar-benar berbahaya. Masih trauma setelah dikurung di atap waktu itu.Begitu tiba di dalam gedung, kami segera masuk ke bioskop untuk memilih film yang akan ditonton. Ternyata Bran juga suka semua genre film sama dengan gue. Kayaknya kami bisa menjadi teman, karena banyak kesamaan juga.Kak Gadis ternyata orangnya asik juga, meski ceplas-ceplos tapi baik. Kaget juga waktu dia panggil Bran dengan sebutan cengeng. Apa dia secengeng itu waktu kecil, sampai dikasih julukan begitu sama sepupunya? Nggak kebayang gimana jadinya kalau cewek-cewek yang nge-fans sama dia tahu gimana Brandon? Haha!Selesai berdiskusi akhirnya pilihan film yang akan ditonton jatuh kepada film Hollywood berjudul Déjà Vu, genre fiksi ilmiah dan thriller. Sebagai pelajar yang baik, tentu harus memilih film yang bisa ditonton. Sebenarnya pengin nonton film Final De
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku