ARINISetelah melewati perdebatan dengan Bran, akhirnya dia setuju untuk jaga jarak selama di sekolah. Ngeri juga jika geng Chibie gangguin lagi. Mereka benar-benar berbahaya. Masih trauma setelah dikurung di atap waktu itu.Begitu tiba di dalam gedung, kami segera masuk ke bioskop untuk memilih film yang akan ditonton. Ternyata Bran juga suka semua genre film sama dengan gue. Kayaknya kami bisa menjadi teman, karena banyak kesamaan juga.Kak Gadis ternyata orangnya asik juga, meski ceplas-ceplos tapi baik. Kaget juga waktu dia panggil Bran dengan sebutan cengeng. Apa dia secengeng itu waktu kecil, sampai dikasih julukan begitu sama sepupunya? Nggak kebayang gimana jadinya kalau cewek-cewek yang nge-fans sama dia tahu gimana Brandon? Haha!Selesai berdiskusi akhirnya pilihan film yang akan ditonton jatuh kepada film Hollywood berjudul Déjà Vu, genre fiksi ilmiah dan thriller. Sebagai pelajar yang baik, tentu harus memilih film yang bisa ditonton. Sebenarnya pengin nonton film Final De
BRANDONAku melihat Iin pergi meninggalkan kami berdua. Ada yang aneh dari gelagatnya sejak tadi. Dia sempat melontarkan pernyataan yang kontras ketika berbicara dengan Papa, begitu juga dengan tadi. Apa benar Arini memiliki pacar? Atau bisa jadi berbohong agar aku tak lagi mengganggunya, ‘kan? Mencurigakan.“Kenapa, Ngeng? Segitunya lihatin Arini?” celetuk Gadis menyentakkanku.“Eh?” Aku menggelengkan kepala. “Nggak kok.”“Lo yakin nggak ada perasaan apa-apa sama dia?” selidik Gadis menatap curiga.“Ya nggak-lah. Lagian bukan tipe gue,” kilahku sambil menyandarkan tubuh.“Kali aja gitu. Anaknya cantik juga kok.”Aku hanya mengembuskan napas pendek menanggapi perkataan Gadis. Pandangan beralih ke pintu masuk restoran cepat saji, tanpa sengaja tertangkap sosok cewek yang cukup akrab di mata.“Hai, Brandon. Jodoh banget ya ketemu di sini,” sapanya sambil mengibaskan rambut hitam panjang sedikit di bawah bahu.Gadis melihat ke sumber suara, lantas menendang kaki ini. Dia memberi kode men
ARINIBrandon melihat dengan tatapan bingung, keningnya berkerut. Mata sayu hitamnya kini memandang gue lekat. Dia maju satu langkah ke depan, membuat kaki ini mundur ke belakang.“Bohong kenapa, In? Apa lo pernah bohongin gue?” ujarnya di tengah semilir angin laut yang mulai kuat menyapa tubuh.Haruskah berterus terang mengatakan kalau gue sama sekali nggak punya pacar? Gimana kalau nanti dia malah menjauh terus intimidasi lagi kayak sebelumnya? Nggak untuk sekarang. Bran belum boleh tahu tentang ini.“Nggak, cuma tanya aja. Andai gue bohongin lo. Tapi pasti ada alasannya jika orang bohong, ‘kan?” jelas gue cepat.“Lo tiba-tiba tanya begini pasti ada alasannya juga, In,” selidik Bran. Ternyata dia nggak percaya begitu aja.Gue tertawa aneh sambil membetulkan poni yang ditiup angin. “Gu-gue tanya itu karena kita ‘kan sekarang berteman. Bisa jadi suatu saat, salah satu di antara kita ada yang bohong. Maksudnya pengin tahu aja sih tanggapan lo,” kata gue mencari alasan yang tepat.Mata
BRANDONHampir dua hari ini, aku berpikir tentang keanehan dari cerita Iin tentang pacarnya. Tak hanya itu, dia menunjukkan gelagat mencurigakan. Apalagi ketika di Ancol Arini menyinggung masalah kebohongan. Apa dugaanku benar bahwa dia berbohong tentang pacarnya?“Kenapa, Bran? Kamu sepertinya sedang banyak pikiran,” tanya Mama ketika kami sedang sarapan.Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Ma. Cuma kepikiran pelajaran aja,” jawabku berbohong.Kenapa aku jadi ikut-ikutan berdusta? Hufh!“Itu baru anak Papa. Sepertinya Arini membawa dampak positif untuk kamu,” puji Papa dengan raut wajah bangga.Aku hanya menggaruk kepala sambil nyengir. Segera dihabiskan sarapan, karena harus menjemput Arini sebelum berangkat sekolah.“Lho kenapa buru-buru, Bran?” Mama melihatku dengan kening berkerut.“Aku mau jemput Iin dulu sebelum ke sekolah, Ma. Kasihan kalau harus naik angkot.”Papa berdeham-ria mendengar perkataanku. Apa-apaan itu maksudnya?“Iya, kasihan tuh kemarin temani Mama belanja seharian
ARINI“Eh, Sabtu kemarin Brandon kabarnya nge-date lagi sama cewek lain. Cakep banget.” Tiba-tiba terdengar suara seorang siswi di luar bilik toilet.Tangan yang sedang melipat celana langsung berhenti.Cewek cakep? Apa yang mereka maksud Kak Gadis? Duh, gimana kalau ada yang lihat gue juga ikut dengan mereka? risau gue dalam hati.“Tapi ada yang lihat dia keluar dari mall dengan cewek yang beda loh,” tanggap yang lainnya.Mampus! Ada yang lihat gue keluar dengan Bran dari mall. Apa ada yang lihat kami di Ancol? Gimana nih? Mereka tahu nggak sih wajah gue?Jantung rasanya mencelos membayangkan gimana reaksi geng Chibie saat tahu gue juga bersama dengan Bran di mall Sabtu lalu.“Gila! Masa ngedate dengan dua orang sekaligus?” komentar siswi lain.“Orang ganteng mah bebas mau jalan sama tiga atau lima cewek sekaligus.” Kali ini cewek yang pertama menanggapi.“Ganteng sih, tapi nggak gitu juga kali. Masih SMA udah kayak gitu. Gimana nanti udah gedenya, punya banyak istri kali.”Cewek-cew
BRANDONAku memandangi Iin lekat. Sepertinya sejak tadi gelisah, meski ia berusaha terlihat tenang. Apa Lova sudah bercerita tentang percakapan tadi pagi?“Sekarang jawab pertanyaan gue dengan jujur, In. Lo beneran punya pacar atau nggak sih?” tanyaku tanpa basa-basi lagi.Dia harus menjawab, agar aku bisa tenang. Iin diam tidak menjawab pertanyaan. Bola matanya bergerak tidak tenang, sepertinya lebih gelisah dibandingkan tadi.“Susah banget ya jawabnya? Tinggal bilang yes or no aja. Gampang, ‘kan?”Raut wajah Iin tampak tegang sekarang. Bibir mungilnya terbuka sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tertutup kembali. Alis ini naik ke atas pertanda menunggu jawabannya.“Gila banget ya tuh cowok. Jalan sama dua cewek sekaligus, Cuy. Parah!” Tiba-tiba terdengar suara siswi dari arah pintu.“Brandon bebas mau jalan sama dua atau tiga ce—” Kalimat itu berhenti saat cewek dengan rambut dikuncir dua melihatku.Aku tertawa singkat melihat ekspresinya. “Kenapa nggak dilanjutkan aja?”
ARINIFinally, nggak bisa lagi menghindar dari pertanyaan Bran. Mata ini terpejam beberapa saat. Gue harus mempertanggung jawabkannya. Seperti apa yang dikatakan oleh Uda David, kebohongan itu hanya baik untuk diri sendiri, bukan bersama.“In?”Gue menoleh dan melihat mata sayu Brandon memandangi diri ini lekat.Well, Ri. Apapun yang terjadi hadapi. Jika Bran berubah dan nggak lagi anggap lo sahabat, ikhlaskan. Toh kalian belum lama kenal, ‘kan? bisik gue dalam hati.“Oke. Gue bakal jujur sama lo. Tapi gue harap setelah tahu kebenarannya, lo nggak mikir lagi kalau gue caper sama lo.”Brandon bergeming dengan menatap serius diri ini.“Dugaan lo benar. Gue sama sekali belum pernah pacaran. Belum pernah juga merasakan suka dengan lawan jenis. Hidup gue selama ini disibukkan dengan belajar dan belajar,” jelas gue kemudian memberi jeda sebentar.“Lo benar lagi. Cowok yang antar jemput gue ke sekolah, Uda David.” Gue menarik napas pendek. “Alasan kenapa gue bohong adalah nggak mau lo terus-
BRANDONSelama satu jam ini aku berpikir keras dengan apa yang dikatakan oleh Iin. Anehnya tidak marah sama sekali karena dia berbohong, terutama mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan. Biasanya aku sudah meradang, jika ada yang berbicara seperti itu.Apakah benar aku egois dan selalu merasa benar dengan pikiran sendiri? Apa diri ini mulai masuk ke dalam tahap overconfident sehingga berpikir semua cewek suka kepadaku? No! Aku tidak seperti itu.Aku memejamkan mata, lantas mengusap wajah dengan kedua daun tangan. Embusan napas pelan keluar dari sela bibir ketika melihat sekarang sudah waktunya pergi ke arena basket untuk latihan. Iin pasti sudah ada di sana. Meski tidak marah kepadanya, tapi aku tidak bisa langsung memaafkan juga. Dia harus diberikan pelajaran atas kebohongan yang dilakukan.Lima menit kemudian, aku sudah berada di kelas. Setelah mengambil tas, kaki ini melangkah menuruni anak tangga berniat keluar dari gedung menuju gedung lain, tempat arena basket berada.“Tumben t
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku