BRANDON
Mata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.
Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.
Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.
“Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo.” Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di telinga.
Anak ingusan? Aku? Sembarangan! Baru kali ini ada cewek yang berani mengatakan aku bukan tipenya dan anak ingusan. Jujur harga diriku sangat terluka, sehingga sulit untuk memaafkannya.
Selama ini cewek-cewek baik saat SMP dan SMA suka mencari perhatianku. Tidak sedikit di antara mereka yang mengejar, bahkan melakukan berbagai cara agar dekat denganku. Salah satunya bisa kalian lihat kemarin, geng Chibie. Mereka berlima adalah siswi populer di sekolah. Tapi si Kutilangdara? Apa dia benar-benar tidak tertarik kepadaku? Atau mencoba bermain tarik ulur?
Seketika desahan pelan keluar di sela bibir saat ingat kebersamaan si Kutilangdara dengan pria yang katanya anak kuliahan kemarin. Entah kenapa aku jadi semakin geram melihat gadis itu tersenyum kepada pacarnya. Kepala terasa mendidih, sebaiknya aku mandi saja setelah itu sarapan agar bisa bertemu dengan Papa sebelum berangkat sekolah.
“Bran, sudah bangun?”
Terdengar suara Mama dari luar kamar setelah mengetuk pintu, sebelum aku melangkah ke kamar mandi.
“Udah, Ma. Ini mau mandi,” sahutku dari dalam.
“Mama tunggu sarapan di bawah ya. Jangan sampai telat,” teriak Mama lagi.
“Iya.”
Aku lantas beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Mood-ku benar-benar rusak gara-gara si Kutilangdara. Seenaknya saja mengatakanku dekil, kunyuk dan kemarin anak ingusan. Grrrr!!
Lima belas menit kemudian, aku sudah berpakaian rapi. Setelah mencantolkan tas di pundak kanan, kaki ini segera melangkah menuju ruang makan. Ternyata Papa dan Mama sudah menunggu di sana. Senyuman mengambang di parasku sekarang.
“Bagaimana sekolah?” tanya Papa begitu melihatku memasuki ruang makan.
Ah, Papa sekarang menjadi tidak asik karena selalu bertanya tentang sekolah. Padahal kemarin juga menanyakan hal yang sama. Senyuman kembali surut mendengarkannya.
“Kemarin Papa udah tanya, ‘kan?” tanggapku malas.
“Papa itu khawatir sama kamu, Bran.” Papa berhenti sebentar karena menyeruput kopi. “Kamu itu satu-satunya pewaris The Harun’s Group. Bagaimana jadinya kalau kamu sekolah tidak benar? Apa mau Papa kasih perusahaan kepada Gadis?”
Aku lekas menggelengkan kepala. Tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Perusahaan tidak boleh diberikan kepada orang lain, termasuk sepupuku sendiri.
“Nah, kalau begitu kamu harus belajar yang benar. Pokoknya Papa akan stop belikan apapun yang kamu minta, hingga nilai kamu bagus lagi,” ancam Papa menatap serius dengan mata hitam kecilnya.
Pandangan ini beralih kepada Mama dengan tatapan memelas. Beliau menggelengkan kepala sebagai tanda tidak bisa membantu sekarang. Aku hanya bisa mendesah saat keinginan membujuk Papa pupus.
Nafsu makan menjadi berkurang. Apa yang harus kulakukan sekarang? Someone help me!
Kami bertiga mulai menyantap sarapan. Meski rasa lapar mendadak hilang, tapi aku tetap harus mengisi perut. Jika tidak, Papa pasti berpikir aku sedang merajuk. Beliau akan bertambah marah kalau tahu.
Begitu selesai sarapan, aku berpamitan kepada Mama dan Papa.
“Jangan lupa ucapan Papa tadi, Bran,” cetus Papa sebelum aku meninggalkan ruang makan.
Sepertinya aku akan melewati hari-hari suram. Begitu banyak yang ingin dibeli sekarang selain PS3. Tapi ….
Aku hanya bisa mendesah lagi ketika semua keinginan-keinginan itu tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Bagaimana caranya agar bisa menaikkan nilaiku lagi? Terlalu malas rasanya jika harus mengambil les, Apalagi tidak ada waktu untuk melakukannya, karena pulang sekolah sudah disibukkan dengan latihan basket.
Segera kupacu motor meninggalkan area perumahan menuju sekolah. Semoga saja terjadi keajaiban hari ini dan seterusnya, agar Tuhan mengencerkan otak ini dalam menyerap pelajaran.
Kalian pasti berpikir aku ini lelaki yang nyaris sempurna, ‘kan? Memang fisikku tampan dan tinggi. Di usia empat belas tahun tinggiku sudah mencapai 170 centimeter. Itulah yang membuat cewek-cewek di sekolah mengejarku. Mereka bilang tubuhku bagus. Mungkin karena sejak SMP sudah tertarik dengan dunia olahraga, terutama basket.
Selain itu background keluarga menjadi faktor penunjang mereka memujaku. Tapi hanya satu kelemahanku yaitu ternyata Tuhan tidak menganugerahkan otak yang cerdas kepadaku. Aku bersyukur kekurangan satu ini bisa tertutupi dengan wajahku yang good looking. Haha!
Beberapa meter dari gerbang sekolah, netra ini tak sengaja menangkap sosok perempuan dengan rambut dikuncir ke atas. Dia baru saja turun dari motor yang dikendarai oleh lelaki yang diduga anak kuliahan. Seketika tawa singkat keluar dari bibirku saat menyadari dia adalah si Kutilangdara.
Hati merasa dongkol melihatnya melambaikan tangan dengan wajah berseri kepada lelaki itu. Setelah diperhatikan pacarnya tidak jauh lebih tampan dariku. Biasa saja. Tinggi juga kalah dariku, jika nanti aku seusianya. Ternyata selera si Kutilangdara rendah juga. Seenaknya saja mengatakan aku dekil dan ingusan. Sendirinya punya pacar masih jauh di bawahku.
Aku kembali mempercepat laju motor memasuki pekarangan sekolah, lantas berhenti tepat di lokasi parkir seperti biasa. Motor ini selalu terparkir di sisi ujung pelataran. Seluruh siswa yang membawa kendaraan roda dua, tidak berani memarkirkan motor di sana.
Setelah memarkirkan motor, kaki beranjak menuju pintu masuk gedung. Tanpa sengaja tampak si Kutilangdara telah terlebih dahulu berjalan di depan. Aku mempercepat langkah agar bisa berjalan lebih dulu darinya. Tangan segera menyentuh bahunya, kemudian mendorong tubuhnya ke samping dengan kasar. Tak peduli dia oleng karena tindakanku.
Aku hanya melihat sekilas ke arahnya, memastikan si Kutilangdara tidak terjatuh. Sebuah seringaian diberikan kepadanya sebelum kembali melihat lurus ke depan. Wajahnya merah seperti kepiting rebus menahan marah.
“BERHENTI LO, KUNYUK!!” teriaknya keras.
Diri ini terus bergerak tanpa mengabaikan teriakannya. Aku terus naik ke lantai atas menuju kelas. Lebih baik duduk di kelas sambil tiduran menunggu mata pelajaran pertama. Malas jika harus berdebat dengan si Kutilangdara pagi-pagi.
Tak lama kemudian guru Sejarah memasuki ruangan. Kali ini aku harus memasang konsentrasi penuh agar bisa menyerap pelajaran dengan sebaik-baiknya.
Satu jam pelajaran berlalu, aku masih belum berhasil menangkap materi yang disampaikan Pak guru barusan. Mata pelajaran Sejarah gampang sekali membuatku bosan, sehingga belum setengah jalan sudah mengantuk.
Tibalah saatnya pergantian jam pelajaran. Aku merebahkan kepala di atas meja sampai seorang siswi datang ke kelas dengan napas terengah.
“Brandon, tolong!” katanya setelah berdiri tepat di samping meja.
Kepala ini terangkat ke atas saat mengenali cewek ini. Kami berasal di SMP yang sama dan pernah satu kelas, sehingga aku tahu siapa dia.
“Kenapa?” tanyaku dengan nada malas.
Raut cemas tergambar di wajahnya sekarang.
“Tolongin Arini, Bran. Dia dikurung sama geng Chibie di toilet. Nggak ada yang berani bantuin. Mana tadi disiram sama air juga,” jawabnya ngos-ngosan.
Aku terkejut mendengar perkataannya. Tubuh ini spontan berdiri dan belari menuju toilet wanita, setelah meraih jaket yang diletakkan di sandaran kursi.
Bersambung....
ARINIPagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.“BERHENTI LO, KUNYUK!!”Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir diriny
BRANDONEntah apa yang terbesit di pikiran ini ketika Lova, teman satu SMP, datang menemuiku di kelas pagi ini, sehingga aku langsung berlari ke toilet wanita untuk menolong si Kutilangdara. Tak habis pikir juga dengan kenekatan geng Chibie mengunci dan menyiramnya di dalam tempat kloset berada. Kini tubuhnya bergetar ketika aku membawa cewek aneh ini ke atas atap, agar bisa berjemur. Dia pasti kedinginan.“Buka baju lo sekarang,” pintaku membuat mata cokelat terangnya membulat.Dia tidak berpikiran yang aneh-aneh ‘kan? Apa kalian juga berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat tubuhnya?“Ngapain suruh buka baju?” Si Kutilangdara menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Lo bisa masuk angin pakai baju basah kayak gitu.” Aku mendengkus keras. “Gue sama sekali nggak tertarik lihat lo. Rata semua dari atas sampai bawah.”“Kurang ajar lo! Itu mulut nggak pernah disekolahin ya?” protesnya berteriak kencang.“Ah, terserah lo deh. Yang masuk angin juga bukan gue,” desahku ma
ARINI“Gimana sama teman kamu itu?” bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.“Biasa aja,” sahut gue.Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!“Masih ganggu kamu?”Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.“Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin,” pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.“Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah.”Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.“Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?” Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.“Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas,” sahut Donny teriak dari kamar.“Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu,” te
BRANDONBegitu mata pelajaran terakhir selesai, aku langsung pulang. Seperti biasa, ketika tidak ada jadwal latihan basket, diri ini lebih memilih pulang ke rumah. Terkadang Mama sering mengajak keluar lagi berbelanja. Beliau seperti wanita kebanyakan, gemar shopping dan jalan-jalan di mall.Saat motor memasuki pekarangan, aku melihat Mama sedang duduk di teras depan rumah. Beliau tampak memandangi berbagai jenis bunga yang kini sedang tumbuh mekar. Mama memang senang dengan tanaman, sehingga rumah menjadi rindang dan asri.“Anak Mama sudah datang,” sambut Mama setelah aku memarkir motor di luar. Sengaja tidak memarkirnya di garasi, agar bisa digunakan lagi jika ingin bepergian nanti.Aku langsung memeluk Mama seperti biasa, lantas memberi kecupan di pipinya bergantian.“Pengin cepat pulang, hari ini nggak ada latihan basket,” sahutku.Sesaat aku ingat ponsel ini bergetar ketika dalam perjalanan pulang. Segera kukeluarkan dari saku celana melihat apakah ada pesan penting? Barangkali a
ARINIAsli nggak nyangka si Kunyuk beneran datang nyelamatin gue. Kayaknya dia sampai lari naik ke atap. Napas juga ngos-ngosan, belum lagi wajah yang bersemu merah. Pasti kecapean juga. Tapi ada yang bikin bingung, parasnya memancarkan kekhawatiran waktu lihat diri ini duduk bersandar di dinding. Dia juga sampai peluk gue agar bisa menenangkan perasaan takut yang menguasai tubuh.Seorang Brandon Harun menunjukkan kepeduliannya kepada gue, cewek yang baru dikenalnya empat hari. Sampai detik ini yang diketahui, dia benci dengan gue, begitu juga sebaliknya. Bisa dikatakan, kami berdua nggak suka satu sama lain.Si Kunyuk juga sampai gendong gue waktu tahu kaki ini kesemutan karena lama ditekuk. Jantung juga berdebar kencang saat menuruni anak tangga tadi. Mungkin pertama kalinya digendong sama cowok, sehingga kinerja jantung menjadi sedikit terganggu.“Pake nih,” suruhnya menyerahkan helm yang diberikan oleh penjaga barusan.Meski nggak tahu si Kunyuk mau ajak ke mana, tapi gue tetap me
BRANDONAku tak percaya bisa membawa si Kutilangdara ke sini. Seperti yang dikatakan Mama barusan, dialah perempuan pertama yang dibawa ke sini. Meski memiliki banyak TTM (Teman Tapi Mesra), aku tidak pernah membawa seorang pun dari mereka ke rumah, karena tidak ada yang dianggap serius.For your information, hingga saat ini aku tidak pernah berpacaran. Belum ada seorangpun perempuan yang mampu membuat jantung ini berdebar. Aku hanya memanfaatkan keadaan dan ketertarikan mereka terhadapku. Terserah kalian mau menganggapku brengsek atau sejenisnya.“Siapa yang jahat sama kamu di sekolah? Bilang sama Tante, biar langsung dilaporkan ke Kepala sekolah,” ujar Mama masih melihat si Kutilangdara.Mamaku memang tipe wanita penyayang. Dia selalu baik kepada semua orang, termasuk teman-teman cowok yang pernah datang ke sini.Si Kutilangdara mengerling ke arahku, mungkin bingung harus menjawab apa.“Geng cewek yang berpikiran mereka populer, Ma. Nggak usah bilang ke Kepala sekolah, biar aku yang
ARINIBaru satu jam berada di rumah si Kunyuk, gue bisa melihat sisi lain dari dirinya. Ternyata dia nggak sedingin dan sekasar di sekolah. Ada sisi manis dan manja yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan Tante Lisa barusan. Sekarang si Kunyuk, malah menjadi sedikit terbuka.Ah, seharusnya nggak panggil dia dengan sebutan si Kunyuk lagi kali ya? Gimanapun juga, dia sudah tolongin gue dua kali dan itu lebih dari cukup. Start from now on, gue bakal panggil dengan sebutan nama, Brandon. Atau mungkin ikutan Tante Lisa yang memanggilnya Bran.“Mau nggak belajar bareng?” tanya gue lagi karena nggak dapat jawaban dari Brandon.“Lo jangan salah paham. Niat gue murni karena balas budi, nggak ada udang di balik bakwan. Sumpah!” sambung gue lagi nggak ingin juga dia salah paham.Dia tergelak mendengar perkataan gue. Ada yang lucu?“Dih, kok ketawa sih?”Lucu juga lihat si Brandon tertawa kayak gini, biasanya cuma menyeringai dengan tampang sok tengil. Semakin kenal, ternyata dia sosok yang m
BRANDONPagi ini tiba-tiba menjadi semangat berangkat ke sekolah. Setelan batik telah melekat di tubuh ini. Segera kuraih tas dan mencantolkannya di bahu kanan. Kaki kemudian melangkah menuruni anak tangga menuju ruang makan untuk sarapan.Seperti biasa, Mama dan Papa sudah menunggu sambil duduk berdekatan di sana. Papa duduk bagian ujung tengah, tempat kepala keluarga. Sementara Mama di samping kanan depan. Aku memilih kursi di seberang Mama.“Cerah sekali wajah anak Mama pagi ini,” puji Mama senyam-senyum.“Iya dong. Kan mau semangat belajar, biar bisa dibelikan PS3 sama Papa.” Aku mengerling ke arah Papa.“Begitu dong, Bran. Kamu ini laki-laki, harus belajar dengan benar. Apalagi—”“Kamu pewaris tunggal The Harun’s Group,” sambungku sebelum Papa menyelesaikan kalimatnya.Papa tergelak mendengar perkataanku, lantas mengusap lembut kepala ini.“Tenang, Pa. Aku sudah ketemu sama guru les yang cocok.”“Oya? Kamu kursus di mana?” tanya Papa sambil memotong sandwich.“Kursus sama temanny
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku