Beranda / Fiksi Remaja / Just Friend (Trilogi Just, Seri-1) / BAB 5: Terpaksa Berbohong Demi Kebaikan

Share

BAB 5: Terpaksa Berbohong Demi Kebaikan

Penulis: LeeNaGie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

ARINI

Si Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.

“Aku ke sana dulu ya, Kak,” ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.

Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.

“Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok,” tutur Kak Toni menyemangati.

What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.

Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertinya harus berdiri di sini dulu sampai beliau pergi.

Begitu Pak Bambang keluar lagi, gue langsung melangkah cepat mendekati si Kunyuk. Gigi rasanya sudah menggeletuk erat. Napas keluar dari bibir dan hidung dalam waktu bersamaan.

“Nih, bersihkan sendiri! Gue datang ke sini buat latihan, bukan jadi babu lo!” sergah gue tepat di depan si Kunyuk.

Dia kaget dong mendengar perkataan gue. Mungkin dalam pikirannya, diri ini sama kayak siswi yang mau saja diintimidasi tanpa perlawanan.

Sorry, Nyuk. Pikiran lo salah tentang gue. Meski nggak berasal dari keluarga kaya, tapi gue masih punya harga diri, bisik gue dalam hati.

Air muka si Kunyuk kembali berubah datar kayak biasanya. “Lo masih mau main basket nggak di sini? Kalau masih, lakukan apa yang gue minta.”

“Emang ada peraturan tertulis harus melakukan apa yang diminta Brandon Harun, agar bisa latihan di sini?” tantang gue semakin maju ke depan.

Mata sayu si Kunyuk jadi tajam sekarang. “Di klub ini gue kaptennya. Suka-suka gue dong mau kasih syarat apa sama anggota klub.”

“Ada peraturan yang menyatakan kapten bebas mengubah atau menambahkan peraturan?” Gue masih belum mau kalah.

“Lo—” geramnya.

“Kenapa? Bingung mau beralasan Apalagi?” Gue mendongakkan kepala dengan tatapan menantang. “Atau lo benar-benar niat banget bikin gue mundur dari sini?”

Gue malah tertawa singkat. “Jangan bilang lo masih berpikir kalau gue ikut klub ini biar bisa deketin lo.”

Ya Tuhan, leher pegel juga lama-lama. Ini anak tinggi banget.

“Faktanya begitu. Mana ada sih cewek yang suka rela masuk ke klub basket cowok, kalau bukan incar anggotanya?!”

Lama-lama kesel juga sama nih anak. Emang sebelumnya gue sudah sebal dengan si Kunyuk ini.

“Gue masuk klub ini murni karena hobi main basket. Lo mau lihat gimana cara gue main? Dari sini, gue bisa masukin bola ke dalam ring sana,” kata gue menunjuk ke arah ring yang berjarak tiga meter.

Setelah mengembuskan napas keras, gue melangkah menuju keranjang yang berisi bola basket dan mengambilnya satu. Jari telunjuk dan jari tengah diarahkan ke dua bola mata, memberi kode agar si Kunyuk melihat permainan ini dengan saksama. Senyum miring diberikan kepadanya.

Gue mengambil posisi dengan jarak yang sama dengan tadi. Pertama kali yang dilakukan sekarang adalah menekuk sedikit kaki sambil melakukan stationary dribble dengan mata fokus melihat ke depan sambil memantulkan bola ke lantai. Dalam hitungan detik, gue sudah berdiri dengan posisi untuk melakukan shooting dan … bola masuk ke dalam ring dengan sempurna.

Mata ini mengerling ke tempat si Kunyuk berdiri. Kayaknya dia terkesima dengan apa yang gue lakukan.

“Gue masuk ke sini buat deketin lo? Jangan mimpi! Gue udah punya pacar,” pungkas gue meninggalkannya.

Begitu tubuh berbalik arah, gue menarik napas sebanyak-banyak mungkin saat tubuh memberi reaksi karena berbohong. Punya pacar? Siapa? Sampai sekarang nggak ada satupun cowok yang dekat sama gue.

Ah, bodoh amat. Yang paling penting, biar si Kunyuk nggak kepedean lagi. Kesel banget. Sumpah!

“Buktinya apa kalau lo udah punya pacar?” teriak si Kunyuk membuat gue menghentikan langkah.

Mampus, Ri. Dia tanyain bukti. Mau kasih bukti apa?

Gue memejamkan mata dua detik mencari jawaban, sebelum memutar balik tubuh.

“Lo nggak lihat gue tadi datang diantarin siapa? Itu cowok gue. Anak kuliahan.” Gue menaikkan sedikit dagu, mencoba berlagak sombong. Terpaksa berbohong demi kebaikan diri sendiri.

“Level gue bukan anak sekolah yang masih ingusan kayak lo,” sambung gue sambil mencibir kepadanya.

Well, Ri. That’s crazy! Saking frustasinya sampai bilang kakak kandung lo itu pacar. Mulai senewen lo, gerutu gue dalam hati.

Ketika mengambil tas, ponsel gue berbunyi. Pesan masuk dari Uda David.

My Brother: Udah pulang belum, Ri? Uda lagi di depan gerbang nih. Kalau belum pulang, Uda tungguin ya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Senyum kemenangan terbit di bibir ini, setelah membaca pesan dari Uda David. Gue bisa kasih bukti secara langsung sama si Kunyuk, biar nggak kepedean lagi.

“Lo tanya buktinya, ‘kan?”

Dia mengangguk.

Gue menggoyang-goyangkan ponsel. “Pacar gue udah nungguin di gerbang tuh. Mau kenalan sekalian?”

Sialan, Arini. Ngomong apa sih lo? Kalau dia beneran mau kenalan gimana? Jadi ketahuan bohong, ‘kan?

Si Kunyuk diam, mungkin sekarang merasa malu karena sudah kepedean berpikir gue suka sama dia. Sumpah demi apapun, orang yang berdiri di depan ini bukan kriteria cowok impian gue. Nggak ada manis-manisnya yang ada pahit. Iyeuks!

Tanpa menunggu respons darinya, kaki ini melangkah keluar gedung menuju gerbang karena pacar bohongan gue sudah menunggu di luar sana. Duh, Uda David datang tepat waktu untuk menyelamatkan adiknya yang tertindas ini.

Begitu melihat Uda David menunggu dengan senyum merekah di depan gerbang, gue langsung berlari. Senang banget deh bisa lepas dari si Kunyuk. Syukur-syukur habis ini sadar kalau tujuan diri ini bergabung di klub murni karena hobi bermain basket, bukan deketin dia.

“Katanya suruh Ari pulang sendiri, tapi dijemput juga,” ujar gue sok manja sama kakak sendiri.

“Kebetulan kuliah ditunda tadi, dosen ada keperluan mendadak jadinya baru kelar deh. Sekalian aja jemput adik tersayang, khawatir diculik juga kalau pulang sendirian,” goda Uda David sambil mengusap puncak kepala.

Gue berdecak sambil memasangkan helm. Pandangan ini nggak sengaja melihat ke tempat parkiran, ternyata si Kunyuk sudah duduk di atas motor gedenya.

“Berangkat sekarang yuk, Da,” ajak gue langsung naik ke atas motor. Bisa ketahuan nanti kalau lihat wajah kami berdua mirip pake banget.

Kening Uda David berkerut tampak jelas di kaca spion. “Kenapa sih, Ri? Kok cemas gitu?”

“Nanti aja Ari ceritain. Ayo pulang sekarang,” desak gue sambil menepuk bahunya.

Tanpa bertanya lagi, Uda David langsung menggas motor meninggalkan sekolah. Kami berkendara dalam keadaan hening. Gue larut dengan pemikiran, apa si Kunyuk percaya ya dengan apa yang dikatakan tadi? Berharap sih dia nggak cari gara-gara lagi besok.

“Tumben diam? Biasanya bawel kalau lagi di jalan,” teriak Uda David.

“Lagi nggak mood aja,” sahut gue sekenanya.

“Ada yang gangguin kamu di sekolah?” tanyanya lagi.

Gue memilih diam nggak menjawab pertanyaannya. Takut kualat juga kalau bohong sama kakak sendiri.

“Ari?” Tuh ‘kan jadi penasaran.

“Entar aja deh Ari ceritain di rumah.”

Uda kemudian mengangguk dan kembali fokus lagi melihat jalanan. Lima belas menit kemudian kami tiba di rumah, karena sedikit macet di jalan.

“Kamu kenapa sih, Dek? Cerita dong. Ada masalah di sekolah?” Uda bertanya lagi waktu motor terparkir di garasi rumah.

Dia kayaknya tahu ada yang aneh dengan gue tadi.

Gue mendesah pelan dengan kepala tertunduk. “Itu ada cowok resek yang ngeselin banget.”

“Oya? Siapa? Orangnya gimana? Ganteng nggak?”

Idih kok Uda David responsnya kayak gini sih?

Dia tertawa lebar sambil mengibaskan tangan. “Uda bercanda. Siapa yang berani macam-macam sama adik kesayangan Uda?”

“Itu Si Kunyuk nyebelin,” jawab gue tanpa sadar.

“Si Kunyuk?” Uda semakin terpingkal.

“Maksudnya si Brandon, kapten tim basket sekolah.”

Gue menceritakan semuanya sama Uda. Sejak dulu, dia yang selalu dijadikan tempat curhat. Enaknya punya kakak cowok yang perhatian tuh begini, beda sama adik gue yang cari ribut mulu, rasa pengin ditenggelamkan ke segitiga Bermuda. Eh, kasihan juga. Mau kayak apapun dia tetap adik kandung gue.

“Naksir kali sama kamu, Dek. Jadinya gitu, sengaja bikin kamu kesal,” komentar Uda David.

“Hah? Si Kunyuk naksir Ari?” Kini giliran gue tertawa keras.

“Anak gadis ketawanya kenapa begitu?” Terdengar suara Papa dari pintu yang terhubung dengan garasi. Gue auto diam mendengar suara beliau.

“Nggak sengaja, Pa. Kelepasan,” risik gue pelan.

“Siapa yang suka sama kamu? Bilang sama Papa,” tutur Papa membuat gue menelan ludah.

Uda sih pakai bilang si Kunyuk naksir gue segala, jadi runyam nih urusan kalau Papa sudah tahu.

Bersambung....

Bab terkait

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 6: Ancaman Papa

    BRANDONMata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.“Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo.” Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di teli

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 7: Sang Penyelamat

    ARINIPagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.“BERHENTI LO, KUNYUK!!”Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir diriny

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 8: Pertama Kali Berbincang Normal

    BRANDONEntah apa yang terbesit di pikiran ini ketika Lova, teman satu SMP, datang menemuiku di kelas pagi ini, sehingga aku langsung berlari ke toilet wanita untuk menolong si Kutilangdara. Tak habis pikir juga dengan kenekatan geng Chibie mengunci dan menyiramnya di dalam tempat kloset berada. Kini tubuhnya bergetar ketika aku membawa cewek aneh ini ke atas atap, agar bisa berjemur. Dia pasti kedinginan.“Buka baju lo sekarang,” pintaku membuat mata cokelat terangnya membulat.Dia tidak berpikiran yang aneh-aneh ‘kan? Apa kalian juga berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat tubuhnya?“Ngapain suruh buka baju?” Si Kutilangdara menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Lo bisa masuk angin pakai baju basah kayak gitu.” Aku mendengkus keras. “Gue sama sekali nggak tertarik lihat lo. Rata semua dari atas sampai bawah.”“Kurang ajar lo! Itu mulut nggak pernah disekolahin ya?” protesnya berteriak kencang.“Ah, terserah lo deh. Yang masuk angin juga bukan gue,” desahku ma

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 9: Need a Help

    ARINI“Gimana sama teman kamu itu?” bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.“Biasa aja,” sahut gue.Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!“Masih ganggu kamu?”Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.“Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin,” pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.“Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah.”Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.“Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?” Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.“Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas,” sahut Donny teriak dari kamar.“Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu,” te

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 10: Kode SOS

    BRANDONBegitu mata pelajaran terakhir selesai, aku langsung pulang. Seperti biasa, ketika tidak ada jadwal latihan basket, diri ini lebih memilih pulang ke rumah. Terkadang Mama sering mengajak keluar lagi berbelanja. Beliau seperti wanita kebanyakan, gemar shopping dan jalan-jalan di mall.Saat motor memasuki pekarangan, aku melihat Mama sedang duduk di teras depan rumah. Beliau tampak memandangi berbagai jenis bunga yang kini sedang tumbuh mekar. Mama memang senang dengan tanaman, sehingga rumah menjadi rindang dan asri.“Anak Mama sudah datang,” sambut Mama setelah aku memarkir motor di luar. Sengaja tidak memarkirnya di garasi, agar bisa digunakan lagi jika ingin bepergian nanti.Aku langsung memeluk Mama seperti biasa, lantas memberi kecupan di pipinya bergantian.“Pengin cepat pulang, hari ini nggak ada latihan basket,” sahutku.Sesaat aku ingat ponsel ini bergetar ketika dalam perjalanan pulang. Segera kukeluarkan dari saku celana melihat apakah ada pesan penting? Barangkali a

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 11: Bertemu dengan Keluarga Harun

    ARINIAsli nggak nyangka si Kunyuk beneran datang nyelamatin gue. Kayaknya dia sampai lari naik ke atap. Napas juga ngos-ngosan, belum lagi wajah yang bersemu merah. Pasti kecapean juga. Tapi ada yang bikin bingung, parasnya memancarkan kekhawatiran waktu lihat diri ini duduk bersandar di dinding. Dia juga sampai peluk gue agar bisa menenangkan perasaan takut yang menguasai tubuh.Seorang Brandon Harun menunjukkan kepeduliannya kepada gue, cewek yang baru dikenalnya empat hari. Sampai detik ini yang diketahui, dia benci dengan gue, begitu juga sebaliknya. Bisa dikatakan, kami berdua nggak suka satu sama lain.Si Kunyuk juga sampai gendong gue waktu tahu kaki ini kesemutan karena lama ditekuk. Jantung juga berdebar kencang saat menuruni anak tangga tadi. Mungkin pertama kalinya digendong sama cowok, sehingga kinerja jantung menjadi sedikit terganggu.“Pake nih,” suruhnya menyerahkan helm yang diberikan oleh penjaga barusan.Meski nggak tahu si Kunyuk mau ajak ke mana, tapi gue tetap me

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 12: Tawaran si Kutilangdara

    BRANDONAku tak percaya bisa membawa si Kutilangdara ke sini. Seperti yang dikatakan Mama barusan, dialah perempuan pertama yang dibawa ke sini. Meski memiliki banyak TTM (Teman Tapi Mesra), aku tidak pernah membawa seorang pun dari mereka ke rumah, karena tidak ada yang dianggap serius.For your information, hingga saat ini aku tidak pernah berpacaran. Belum ada seorangpun perempuan yang mampu membuat jantung ini berdebar. Aku hanya memanfaatkan keadaan dan ketertarikan mereka terhadapku. Terserah kalian mau menganggapku brengsek atau sejenisnya.“Siapa yang jahat sama kamu di sekolah? Bilang sama Tante, biar langsung dilaporkan ke Kepala sekolah,” ujar Mama masih melihat si Kutilangdara.Mamaku memang tipe wanita penyayang. Dia selalu baik kepada semua orang, termasuk teman-teman cowok yang pernah datang ke sini.Si Kutilangdara mengerling ke arahku, mungkin bingung harus menjawab apa.“Geng cewek yang berpikiran mereka populer, Ma. Nggak usah bilang ke Kepala sekolah, biar aku yang

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 13: One Step Closer

    ARINIBaru satu jam berada di rumah si Kunyuk, gue bisa melihat sisi lain dari dirinya. Ternyata dia nggak sedingin dan sekasar di sekolah. Ada sisi manis dan manja yang ditunjukkan ketika berinteraksi dengan Tante Lisa barusan. Sekarang si Kunyuk, malah menjadi sedikit terbuka.Ah, seharusnya nggak panggil dia dengan sebutan si Kunyuk lagi kali ya? Gimanapun juga, dia sudah tolongin gue dua kali dan itu lebih dari cukup. Start from now on, gue bakal panggil dengan sebutan nama, Brandon. Atau mungkin ikutan Tante Lisa yang memanggilnya Bran.“Mau nggak belajar bareng?” tanya gue lagi karena nggak dapat jawaban dari Brandon.“Lo jangan salah paham. Niat gue murni karena balas budi, nggak ada udang di balik bakwan. Sumpah!” sambung gue lagi nggak ingin juga dia salah paham.Dia tergelak mendengar perkataan gue. Ada yang lucu?“Dih, kok ketawa sih?”Lucu juga lihat si Brandon tertawa kayak gini, biasanya cuma menyeringai dengan tampang sok tengil. Semakin kenal, ternyata dia sosok yang m

Bab terbaru

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 74: From Just Friend to Just for Fun

    BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 73: Ingin Berjumpa denganmu Sekali Saja

    BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 72: Perasaan yang Tidak Tenang

    BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 71: Sesuatu yang Salah

    ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 70: Missing You

    ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 69: My (Her) Wedding Day

    ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 68: Kulepas Kamu dengan Ikhlas

    BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 67: Bertemu dengan Pria Bernama Desta

    ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah

  • Just Friend (Trilogi Just, Seri-1)   BAB 66: Kegusaran Hati

    BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku

DMCA.com Protection Status