BRANDON
Begitu memarkirkan motor, aku melihat si Kutilangdara melangkahkan kaki menuju pintu masuk gedung. Bayangan sore ini bertemu lagi dengannya di klub membuatku kembali meradang. Alhasil aku memberi ultimatum agar dia mengurungkan niat bergabung dengan klub basket.
Lagian Pak Bambang ada-ada saja, mana mungkin seorang perempuan bisa membantu kami para pria bermain basket? Yang ada juga bantu-bantu membereskan bola sehabis latihan atau membersihkan arena permainan. Seketika senyum miring terukir ketika aku melangkahkan kaki menuju kelas.
“Eh, ke kelas 1A yuk! Kayaknya lagi ribut di sana.” Terdengar suara salah satu teman satu kelasku berbicara dengan yang lainnya.
“Serius? Ribut kenapa?”
“Itu geng Chibie ngelabrak anak kelas 1A,” sahut yang lainnya.
Mereka berbondong-bondong keluar dari kelas.
Aku yang awalnya masa bodoh jadi ikut penasaran. Geng Chibbie? Itu bukannya cewek-cewek yang bertemu denganku di dekat parkiran tadi?
“Siswi kelas 1A? Si Kutilangdara?”
Aku tersentak membayangkan mereka melabrak si Kutilangdara. Segera saja diletakkan tas di atas meja, setelahnya bergegas menuju kelas 1A. Jangan kalian bayangkan aku ke sana untuk membela si Rambut Ekor Kuda. Diri ini hanya tidak suka melihat orang yang seharusnya menjadi sasaran intimidasiku malah disudutkan oleh orang lain.
“Minggir,” kataku agar siswi yang berdiri di luar kelas 1A memberi ruang.
“Lo tuli ya? Dari tadi gue tanya nggak dijawab. Ngapain lo sama Brandon di depan??” tanya salah satu cewek berpenampilan menonjol yang sudah jelas anggota Chibie dengan suara meninggi.
“Ngapain kalian sebut-sebut nama gue?” sergahku menatap tajam lima orang cewek yang langsung terperanjat mendengar suaraku.
Mereka membalikkan tubuh serentak dengan raut wajah terkejut.
Aku menaikkan sebelah alis melihat mereka satu per satu sambil mengunyah permen karet. Satu tangan dimasukkan ke dalam saku agar memberi kesan maskulin. Bukannya kesan, tapi memang aku ini maskulin. Tidak percaya? Buktinya kelima cewek tenar yang ada di depanku saat ini menasbihkan diri sebagai fans-ku.
“Cewek ini nggak tahu malu, dia pasti gangguin kamu, ‘kan?” ujar salah satu dari mereka yang entah siapa namanya.
“Emang kalau dia ganggu gue, urusannya apa sama kalian? Merasa tersaingi?” tanggapku dengan ekspresi datar.
“Kami sebagai fans kamu nggak terima,” protes salah satu di antara mereka disambut anggukan kepala yang lain.
Aku melihat si Kutilangdara nyaris tertawa. Dasar cewek aneh, apanya yang lucu? Justru seharusnya dia takut sekarang karena berhadapan denganku dan geng Chibie yang terkenal kejam.
“Bukan urusan kalian. Sudah pergi sana! Belajar yang benar,” suruhku sambil mengibaskan tangan.
Mereka diam tidak beranjak pergi.
“PERGI SANA!!” teriakku membuat kelima cewek itu segera angkat kaki dari kelas 1A.
Setelah memastikan mereka benar-benar keluar dari sini, aku mengalihkan pandangan kepada si Kutilangdara. Kedua tanganku kini bertumpu di atas meja, sehingga wajah kami kini berdekatan.
“Gue bukannya nolong lo, jadi jangan salah paham.” Aku memandangi mata cokelat lebarnya bergantian. “Di sekolah ini hanya gue yang boleh intimidasi lo, bukan mereka.”
Aku kembali menegakkan tubuh, lantas berlalu dari hadapannya. Tidak ingin juga dia merasa diperhatikan olehku, nanti malah kegeeran.
“Oi Bran, tumben lo di sini?” sapa Bayu saat melihatku keluar dari kelas 1A.
Ternyata siswi yang tadi ada di sini sudah bubar semua, sehingga Bayu bisa mendeteksi keberadaanku dengan mudah di sini.
“Lagi lurusin kesalahpahaman aja tadi,” sahutku sambil menggaruk kepala tak gatal.
Bayu mengamatiku sebentar. “Beneran tadi geng Chibie ke sini?”
“Biasa, mereka suka cari gara-gara,” tanggapku sekedarnya. “Gue balik ke kelas dulu, Bay. Sebentar lagi udah waktunya masuk.”
“Oke. Sampai ketemu entar sore di klub,” ujarnya sambil menepuk pundakku.
Aku mengangkat tangan kanan ke atas merespons perkataannya. Langkah kaki kembali memasuki kelas. Hari ini mata pelajaran yang sangat membosankan, Matematika dan Fisika. Hufh!
***
Begitu bel pulang berbunyi, aku segera bergerak menuju ruangan basket di gedung sebelah barat sekolah. Desahan pelan keluar dari bibir saat ingat si Kutilangdara mulai latihan hari ini. Aku sudah melayangkan protes kepada Pak Bambang, tapi beliau tetap tidak menerima alasanku. Selama bersekolah di sini dialah satu-satunya guru yang tidak mau disetir olehku.
Sebagai anak dari donatur tetap di sekolah ini, seluruh guru segan terhadapku. Makanya jangan heran jika aku ditunjuk sebagai kapten tim basket, meski baru satu semester lebih satu bulan belajar di sini. Apalagi waktu SMP juga menjadi kapten. Oya, aku juga bersekolah di SMP Globe School yang ada di gedung satunya lagi.
Tiba di gedung tempat ruangan basket berada, aku segera menuju ruang ganti untuk mengganti seragam sekolah dengan baju kaus yang dikenakan untuk latihan. Biasanya kaus oblong dipadu dengan celana selutut menjadi pilihan. Selesai berganti pakaian, aku beranjak ke ruangan basket. Ternyata anak-anak sudah berkumpul di sana semua dan juga … si Kutilangdara.
Besar juga nyalinya ternyata. Aku pikir setelah gertakan dan kehadiran geng Chibie bisa menyurutkan niatnya untuk bergabung di klub basket. Benar-benar cewek aneh.
“Sini Brandon,” panggil Pak Bambang begitu melihatku memasuki ruangan.
Aku mendekat kepada beliau. “Kenapa, Pak?”
“Kamu katanya mau lihat Arini bermain basket ‘kan kemarin. Sekarang dia mau menunjukkan kemampuannya sama kamu,” jelas Pak Bambang.
“Maaf, Pak. Lebih baik kita langsung latihan saja. Dia suruh lihat dulu, kali aja dapat ilmu,” ujarku memberi alasan. Buang-buang waktu lihat si Kutilangdara latihan.
Untuk sekarang biar dia lihat kami latihan dulu, karena si Kutilangdara akan kuberikan tugas khusus. Apalagi jika bukan membersihkan ruangan setelah kami selesai latihan nanti.
“Tapi, Arini bisa—”
“Yuk, pemanasan dulu,” selaku mengajak seluruh tim, setelah meletakkan tas di pinggir arena.
Tanpa menoleh sedikitpun kepada si Kutilangdara, aku langsung melakukan pemanasan. Pertama yang dilakukan adalah berlari sekeliling arena terlebih dahulu selama lima menit. Setelah itu Ankle Pops* untuk melemaskan otot bagian bawah. High Knees and Butt Kicks** menjadi pilihan berikutnya. Terakhir untuk memperbagus shooting dan dribble, pemanasan yang harus dilakukan adalah Cross Shoulder Stretching***.
Setelah pemanasan, kami langsung memulai sesi latihan. Sepuluh menit berlalu, kami mengambil jeda untuk minum terlebih dahulu. Aku mengerling ke arah si Kutilangdara yang mulai menunjukkan raut bosan. Senyuman terukir di bibir ini ketika yakin tidak sampai tiga kali datang latihan, dia sudah pasti hengkang dari klub ini.
Latihan dilanjutkan kembali hingga berakhir di putaran keempat. Kami sengaja berlatih sesuai dengan format pertandingan, agar terbiasa ketika kompetisi nanti.
Setelah melewati empat putaran, latihan selesai. Bagaimana dengan ekspresi si Kutilangdara sekarang? Dia terlihat mengantuk, karena bosan. Cewek aneh itu hanya bisa melihat pemain lain telah meninggalkan arena untuk berganti pakaian.
Dari kejauhan aku melihat Bang Toni bergerak mendekati si Kutilangdara. Dia tampak menyerahkan satu kaleng minuman disambut senyuman oleh cewek aneh itu. Aku hanya bisa tertawa singkat.
“Eh, Kutilangdara sini,” panggilku sambil menggamit tangan.
Dia memutar mata dan melempar tatapan malas ke arahku. “Kenapa?”
“Tuh,” jawabku sambil melirik ke arah Dust Mop (pel debu) yang bertengger di pinggir arena sebelah selatan.
Si Kutilangdara berdiri, namun sebelumnya berpamitan kepada Bang Toni terlebih dahulu. Bahkan senior seperti lelaki itu juga tidak berkutik di hadapanku.
“Kenapa, Brandon?” Pak Bambang datang setelah kembali dari luar.
“Itu siapa namanya? Ini? Saya suruh bantu bersihkan debu dulu, Pak,” sahutku sembari melihat si Kutilangdara sedang memegang tangkai Dust Mop.
“Kenapa Arini yang disuruh? Kan ada petugas kebersihan yang biasa membersihkan setelah kalian latihan.”
“Sekalian magang, Pak. Masa iya langsung ikut latihan,” cetusku sambil tersenyum miring.
Pak Bambang geleng-geleng kepala, kemudian pergi lagi ke luar ruangan. Begitu juga dengan Bang Toni, ternyata dia sudah tidak ada lagi di tempat tadi.
Dari kejauhan aku melihat si Kutilangdara berjalan cepat mendekat sambil memegang Dust Mop di tangan kanan. Begitu tiba di depanku, dia menatapku nyalang.
“Nih, bersihkan sendiri. Gue datang ke sini buat latihan, bukan jadi babu lo,” geramnya sambil menyodorkan Dust Mop kepadaku.
What the ….
*Melakukan jogging dengan lutut sejajar dengan pinggang setiap melangkah.
**Gerakan jogging dengan tumit menyentuh pantat.
*** Meletakkan tangan kanan di pundak dan tangan kiri di siku, kemudian menariknya agar sikut kanan sejajar dengan pundak kiri.
Bersambung....
ARINISi Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.“Aku ke sana dulu ya, Kak,” ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.“Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok,” tutur Kak Toni menyemangati.What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertiny
BRANDONMata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.“Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo.” Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di teli
ARINIPagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.“BERHENTI LO, KUNYUK!!”Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir diriny
BRANDONEntah apa yang terbesit di pikiran ini ketika Lova, teman satu SMP, datang menemuiku di kelas pagi ini, sehingga aku langsung berlari ke toilet wanita untuk menolong si Kutilangdara. Tak habis pikir juga dengan kenekatan geng Chibie mengunci dan menyiramnya di dalam tempat kloset berada. Kini tubuhnya bergetar ketika aku membawa cewek aneh ini ke atas atap, agar bisa berjemur. Dia pasti kedinginan.“Buka baju lo sekarang,” pintaku membuat mata cokelat terangnya membulat.Dia tidak berpikiran yang aneh-aneh ‘kan? Apa kalian juga berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat tubuhnya?“Ngapain suruh buka baju?” Si Kutilangdara menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Lo bisa masuk angin pakai baju basah kayak gitu.” Aku mendengkus keras. “Gue sama sekali nggak tertarik lihat lo. Rata semua dari atas sampai bawah.”“Kurang ajar lo! Itu mulut nggak pernah disekolahin ya?” protesnya berteriak kencang.“Ah, terserah lo deh. Yang masuk angin juga bukan gue,” desahku ma
ARINI“Gimana sama teman kamu itu?” bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.“Biasa aja,” sahut gue.Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!“Masih ganggu kamu?”Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.“Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin,” pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.“Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah.”Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.“Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?” Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.“Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas,” sahut Donny teriak dari kamar.“Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu,” te
BRANDONBegitu mata pelajaran terakhir selesai, aku langsung pulang. Seperti biasa, ketika tidak ada jadwal latihan basket, diri ini lebih memilih pulang ke rumah. Terkadang Mama sering mengajak keluar lagi berbelanja. Beliau seperti wanita kebanyakan, gemar shopping dan jalan-jalan di mall.Saat motor memasuki pekarangan, aku melihat Mama sedang duduk di teras depan rumah. Beliau tampak memandangi berbagai jenis bunga yang kini sedang tumbuh mekar. Mama memang senang dengan tanaman, sehingga rumah menjadi rindang dan asri.“Anak Mama sudah datang,” sambut Mama setelah aku memarkir motor di luar. Sengaja tidak memarkirnya di garasi, agar bisa digunakan lagi jika ingin bepergian nanti.Aku langsung memeluk Mama seperti biasa, lantas memberi kecupan di pipinya bergantian.“Pengin cepat pulang, hari ini nggak ada latihan basket,” sahutku.Sesaat aku ingat ponsel ini bergetar ketika dalam perjalanan pulang. Segera kukeluarkan dari saku celana melihat apakah ada pesan penting? Barangkali a
ARINIAsli nggak nyangka si Kunyuk beneran datang nyelamatin gue. Kayaknya dia sampai lari naik ke atap. Napas juga ngos-ngosan, belum lagi wajah yang bersemu merah. Pasti kecapean juga. Tapi ada yang bikin bingung, parasnya memancarkan kekhawatiran waktu lihat diri ini duduk bersandar di dinding. Dia juga sampai peluk gue agar bisa menenangkan perasaan takut yang menguasai tubuh.Seorang Brandon Harun menunjukkan kepeduliannya kepada gue, cewek yang baru dikenalnya empat hari. Sampai detik ini yang diketahui, dia benci dengan gue, begitu juga sebaliknya. Bisa dikatakan, kami berdua nggak suka satu sama lain.Si Kunyuk juga sampai gendong gue waktu tahu kaki ini kesemutan karena lama ditekuk. Jantung juga berdebar kencang saat menuruni anak tangga tadi. Mungkin pertama kalinya digendong sama cowok, sehingga kinerja jantung menjadi sedikit terganggu.“Pake nih,” suruhnya menyerahkan helm yang diberikan oleh penjaga barusan.Meski nggak tahu si Kunyuk mau ajak ke mana, tapi gue tetap me
BRANDONAku tak percaya bisa membawa si Kutilangdara ke sini. Seperti yang dikatakan Mama barusan, dialah perempuan pertama yang dibawa ke sini. Meski memiliki banyak TTM (Teman Tapi Mesra), aku tidak pernah membawa seorang pun dari mereka ke rumah, karena tidak ada yang dianggap serius.For your information, hingga saat ini aku tidak pernah berpacaran. Belum ada seorangpun perempuan yang mampu membuat jantung ini berdebar. Aku hanya memanfaatkan keadaan dan ketertarikan mereka terhadapku. Terserah kalian mau menganggapku brengsek atau sejenisnya.“Siapa yang jahat sama kamu di sekolah? Bilang sama Tante, biar langsung dilaporkan ke Kepala sekolah,” ujar Mama masih melihat si Kutilangdara.Mamaku memang tipe wanita penyayang. Dia selalu baik kepada semua orang, termasuk teman-teman cowok yang pernah datang ke sini.Si Kutilangdara mengerling ke arahku, mungkin bingung harus menjawab apa.“Geng cewek yang berpikiran mereka populer, Ma. Nggak usah bilang ke Kepala sekolah, biar aku yang
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku