ARINI
“Nggak bisa! Cewek nggak boleh gabung di klub basket kita.” Terdengar suara lantang dari ruangan basket membuat diri ini terkesiap.
Siapa itu? Apa kapten tim? Siapa namanya? Gue lupa.
“Lo hati-hati, Rin. Kapten tim basket itu ‘kan songong banget. Udah gitu anti lihatin cewek kayak kita.” Kalimat yang dilontarkan oleh Lova tadi siang kembali berputar di pikiran.
‘Cewek kayak kita’ di sini maksudnya yang cantiknya di bawah rata-rata dan nggak penting.
“Tapi gue cuma pengin latihan aja. Nggak mungkin masuk tim intilah,” tanggap gue.
“Gue kenal banget siapa Brandon, Rin. Dari SMP anaknya belagu banget. Sok kegantengan dan perfectionist. Dulu pernah ada anak cewek yang mau ikut latihan basket, tapi akhirnya dikeluarin karena ketahuan modus buat deketin dia,” papar Lova lagi.
Gue kembali merapatkan terlihat di pintu masuk ruangan, agar bisa mendengarkan percakapan lebih lanjut antara Pembina dan cowok yang diduga bernama Brandon itu.
“Dia hanya latihan, Brandon. Bapak juga sudah tes dan memang permainannya oke. Bisa bantu anggota kita untuk latihan juga, jika ada yang sakit.” Kali ini terdengar suara Pak Bambang, pembina klub basket SMA tempat gue sekolah.
“Nggak bisa, Pak! Sejak awal setuju jadi kapten klub, saya udah bilang nggak ada cewek kecuali cheerleaders di klub ini!” tegasnya membuat mata ini menegang.
Fix, cowok yang lagi ngomong sama Pembina adalah Brandon. Belagu bener nih anak, mentang-mentang orang tuanya donatur tetap di sekolah ini, jadi seenak jidatnya ngomong kayak gitu sama Pak Bambang. Nggak diajarin sopan santun sama orang tuanya? Huh!
Sebagai siswa kelas satu yang memasuki semester kedua di sekolah ini, gue pernah dengar track record seorang Brandon Harun yang diberi julukan Casanova kelas 1D. Dia anak Sandy Harun, pengusaha tajir melintir di bidang property dan garment. Sejak SMP punya banyak gebetan, tapi nggak satupun yang dipacari.
Well, gue memang belum pernah lihat dia secara langsung sih. Kata anak-anak cewek, tampang si Brandon ganteng banget. Seganteng apa sih? Masa iya lebih ganteng dari Jerry Yan yang dramanya lagi booming sekarang?
“Jangan cari gara-gara sama Brandon, Rin. Sama aja lo cari mati,” nasihat Lova sebelum gue ke sini.
Sehebat apa sih dia? Meski bapaknya donatur tetap, tapi nggak boleh semena-mena gitu dong sama orang!
Tiba-tiba pintu ruang basket terbuka, membuat gue terperanjat. Netra ini langsung menangkap sosok Pak Bambang berdiri di sela pintu. Kayaknya mereka sudah selesai berdiskusi. Bukan! Lebih tepatnya berdebat.
“Masuk Arini. Kapten klub mau bertemu sama kamu,” suruh Pak Bambang.
Gue menelan ludah. Buat apa si Brandon mau ketemu? Kalau nggak mau ‘kan tinggal tolak aja. Masih bisa latihan sendiri di rumah kok sama Uda.
Jujur sih, nyali menjadi sedikit … ciut sekarang. Perkataan Lova kembali berputar di pikiran. Gimana kejamnya Brandon waktu SMP. Katanya lagi, cewek yang dulu masuk ke klub basket sampai pindah sekolah karena di-bully sama fans-nya saking nggak tahan lagi.
“Se-sekarang, Pak?” tanya gue mendadak gagap.
“Iya. Masuk,” jawab Pak Bambang mempersilakan gue memasuki arena yang biasa digunakan untuk latihan dan pertandingan basket antar sekolah itu.
Enam bulan jadi siswi di sini, baru sekarang memasuki ruangan basket. Ternyata besar dan bagus juga. Nggak sia-sia Bokap sekolahkan gue di sekolah favorit berskala nasional ini.
Siapa sih yang nggak tahu dengan Globe School? Sekolah swasta yang biaya bulanannya nggak sedikit, fasilitasnya juga nggak main-main dan prestasinya juga sudah diakui. Siswa dan siswi di sini beragam. Ada anak artis, anak pengusaha hingga anak PNS seperti gue. Mungkin ada juga yang lewat jalur beasiswa.
Ya, Bokap seorang PNS di Kementerian Perhubungan. Tahu sendirilah gaji PNS berapa? Apalagi memiliki tanggungan tiga orang anak yang masih sekolah. Nyokap hanya seorang ibu yang mengabdikan diri 24 jam untuk keluarganya.
Kaki ini terasa berat waktu dilangkahkan memasuki ruangan. Kepala juga menunduk dalam sehingga poni sudah jelas terjuntai di depan jidat. Rambut yang diikat ke atas jadi turun ke bahu kanan. Netra ini hanya melihat sepatu yang terus bergerak hingga ….
Kayaknya kepala ini tertahan sesuatu deh. Spontan kepala jadi mendongak ke atas dan melihat cowok yang berdiri di depan dengan tangan diulurkan ke depan. Gue langsung mundur dua langkah ke belakang saat sadar si Kunyuk itu baru saja mendorong kepala dengan tangan kirinya.
“Kalau jalan lihat ke depan dong!” cetusnya dingin.
“Sorry nggak sengaja,” ucap gue pelan banget sambil membetulkan poni yang sedikit berantakan.
Dia tertawa lantas berdecak. “Lo sengaja ya biar bisa gue peluk?”
What? Mata gue langsung melebar mendengar kalimat super nggak sopan yang dilontarkan, di dekat guru pula. Kurang ajar!!
“Gue bilang nggak sengaja. Kalau tahu lo di depan ya pasti gue langsung berhenti,” sergah gue menatap nyalang sehingga bisa melihat wajah Brandon. Ganteng dari mana? Dekil kayak gini. Haha!
Sesaat gue tertawa singkat membuat kening Brandon berkerut. Dia pasti bingung.
“Arini,” tegur Pak Bambang sambil menggelengkan kepala.
Beliau kayaknya khawatir kalau gue cari masalah sama si Kunyuk ini. Kata Lova bisa jadi bulan-bulanan cewek satu sekolah kalau bermasalah sama Brandon. Bodoh amat. Emang gue takut?
Demi menghormati Pak Bambang akhirnya dicoba juga redam emosi yang mulai tersulut tadi.
“Brandon tadi kamu bilang mau tes kemampuan bermain basket Arini, ‘kan?” Pak Bambang mengalihkan paras ke arah si Kunyuk.
“Awalnya sih begitu, Pak. Tapi mood saya tiba-tiba hilang. Besok aja. Mau pulang dulu,” katanya santai sembari mengambil tas dan botol minum.
Gue cuma bisa melongo lihat si Kunyuk melenggang santai menuju pintu keluar lengkap dengan baju kaus dan celana pendek. Sama guru aja nggak sopan banget. Jadi penasaran gimana orang tuanya? Kok bisa sih punya anak songong kayak gini? Nyebelin banget, pengin gue maki-maki kalau Pak Bambang nggak ada di sini.
“Maaf ya, Arini. Besok saja datang ke sini lagi. Jangan lupa bawa baju untuk olahraga,” ujar Pak Bambang memperlihatkan raut bersalah.
Kasihan juga sih lihat Pak Bambang. Pasti kewalahan hadapi si Kunyuk itu.
“Iya, Pak. Nggak pa-pa,” balas gue, “tapi saya punya peluang latihan di sini ‘kan, Pak?”
Pak Bambang mengangguk. “Kamu main basketnya bagus. Bapak sudah lihat beberapa hari yang lalu waktu olahraga. Bisa bantu anak-anak latihan juga nanti.”
“Makasih, Pak. Jadi tenang.” Gue diam sebentar. “Walau tahu nggak akan pernah gabung di klub, tapi latihan di sini aja saya udah senang, Pak.”
Sayang banget di sekolah ini klub basket untuk cewek nggak ada. Katanya sedikit siswi yang berminat, karena mereka kebanyakan anak orang kaya jadi lebih memilih jaga penampilan daripada bermain basket.
“Syukurlah kalau begitu. Sekarang kamu pulang dulu. Sampai jumpa besok,” pungkas Pak Bambang sebelum gue meninggalkan ruangan.
Gue beranjak menuju pintu keluar. Tiba di luar embusan napas kesal keluar dari sela bibir. Belagu bener tuh si Brandon. Bener-bener nggak ada akhlak. Sambil menghentakkan telapak sepatu, kaki terus melangkah menuju gerbang sekolah menunggu angkot datang. Mungkin hanya 10% dari jumlah siswa yang ada di sekolah ini pergi dan pulang sekolah menggunakan kendaraan umum, karena sisanya sudah jelas punya jemputan masing-masing. Bahkan ada juga yang menggunakan motor dan mobil pribadi.
Lima langkah sebelum mencapai gerbang, terdengar bunyi gas motor bersahut-sahutan. Kuat banget sampai gue kaget. Spontan kepala menoleh ke belakang. Tampak seorang siswa mengendarai motor Honda CBR warna biru dengan helm fullface warna senada. Tiba-tiba kendaraan roda dua itu berhenti tepat di samping gue. Siswa itu membuka tutup helm, sehingga sepasang mata sayunya terlihat.
Gue memutar bola mata waktu menyadari siswa itu adalah Brandon.
“Eh, Kutilangdara!” panggilnya membuat gue memalingkan paras bersiap melangkah lagi ke arah gerbang.
“Woi! Rambut kuda,” teriaknya membuat langkah ini berhenti.
Gue menatap malas ke arahnya. “Nama gue Arini. Nggak sopan banget sih panggil orang kayak gitu,” gerutu gue berusaha menahan diri.
“Siapapun nama lo, gue nggak peduli.” Dia mengarahkan telunjuk kiri tepat di depan wajah gue. “Kalau lo masuk klub basket cuma pengin deketin gue, mending nggak usah! Gue nggak tertarik sama cewek kutilangdara kayak lo.”
What? Kutilangdara? Kalian tahu apa kepanjangannya? Kurus, tinggi, langsing dan dada rata. Kurang ajar nih cowok. Emang dipikir semua cewek tergila-gila sama kunyuk kayak dia?
Gue maju selangkah sehingga berdiri tepat di samping motornya. Kedua tangan kini berada di pinggang. Kepala sedikit didongakkan ke atas.
“Heh, denger ya! Gue sama sekali nggak tertarik sama cowok dekil dan nyebelin kayak lo. Nggak usah sok kepedean deh. Lo itu nggak ada ganteng-gantengnya di mata gue, jadi jangan pernah berpikir kalau gue caper sama lo!” cecar gue kesal kemudian berlalu di hadapannya.
Sumpah! Kalau bukan karena hobi main basket, detik ini juga gue urungkan niat berlatih di klub itu. Apalagi harus ketemu sama si Kunyuk Brandon setiap hari. Gue sumpahin pria kayak gitu dapat istri yang jauh dari kriteria cewek impiannya.
Bersambung....
BRANDONEmosiku benar-benar diuji menghadapi cewek seperti si Kutilangdara. Besar juga nyalinya berhadapan denganku. Dia belum tahu siapa Brandon Harun? Lihat saja nanti, sedetikpun tak akan kubiarkan dia tenang selama berlatih di klub basket.Aku menurunkan lagi penutup helm setelah mengembuskan napas keras. Si Kutilangdara berjalan keluar dari gerbang dengan rambut yang bergoyang seperti ekor kuda. Dia berhenti begitu berada di luar pagar sekolah, mungkin menunggu jemputan.Segera dinyalakan motor, lalu memacunya pelan. Entah kenapa tangan ini tiba-tiba terulur ke kiri, lantas menarik ujung rambutnya sehingga dia mengaduh kesakitan.“Woi! Kurang ajar! Awas kalau ketemu lagi!!” teriaknya lantang.Aku hanya tertawa puas saat berhasil membuatnya marah. Tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, kuacungkan jari tengah ke arahnya. Yakin, sekarang wajah si Kutilangdara seperti kepiting rebus menahan marah, persis seperti saat di ruangan basket tadi.Motor Honda CBR ini terus kupacu menuju peru
ARINIPagi ini gue bersiap-siap berangkat ke sekolah. Seragam kebanggaan telah melekat di tubuh ini, lengkap dengan rompi berwarna abu-abu tua. Beruntungnya di sekolah ini menyediakan tiga jenis rok yang bisa dikenakan. Pertama, rok yang panjangnya tepat di atas lutut, biasanya dipakai oleh siswi kelas atas. Kedua, rok panjang tepat di bawah lutut, pada umumnya dikenakan siswi kelas menengah kayak gue. Dan ketiga, rok panjang hingga menutupi mata kaki yang dikenakan siswi berkerudung.Hari Senin dan Selasa, seluruh siswa dan siswi mengenakan atasan putih dengan bawah abu-abu. Rabu mengenakan pakaian seragam khas sekolah, atasan kemeja dengan dasi kupu-kupu berwarna merah hati dipadu dengan rok kotak berwarna merah hati juga. Hari Kamis mengenakan pakaian pramuka dan Jum’at baju batik dengan bawahan rok panjang bagi siswi.“Berangkat bareng Uda aja yuk, Ri,” kata Uda David, kakak gue, yang sudah rapi dengan pakaian kemeja dipadu dengan celana jeans.“Loh, Uda kuliah pagi ya?” Gue memal
BRANDONBegitu memarkirkan motor, aku melihat si Kutilangdara melangkahkan kaki menuju pintu masuk gedung. Bayangan sore ini bertemu lagi dengannya di klub membuatku kembali meradang. Alhasil aku memberi ultimatum agar dia mengurungkan niat bergabung dengan klub basket.Lagian Pak Bambang ada-ada saja, mana mungkin seorang perempuan bisa membantu kami para pria bermain basket? Yang ada juga bantu-bantu membereskan bola sehabis latihan atau membersihkan arena permainan. Seketika senyum miring terukir ketika aku melangkahkan kaki menuju kelas.“Eh, ke kelas 1A yuk! Kayaknya lagi ribut di sana.” Terdengar suara salah satu teman satu kelasku berbicara dengan yang lainnya.“Serius? Ribut kenapa?”“Itu geng Chibie ngelabrak anak kelas 1A,” sahut yang lainnya.Mereka berbondong-bondong keluar dari kelas.Aku yang awalnya masa bodoh jadi ikut penasaran. Geng Chibbie? Itu bukannya cewek-cewek yang bertemu denganku di dekat parkiran tadi?“Siswi kelas 1A? Si Kutilangdara?”Aku tersentak membaya
ARINISi Kunyuk kurang ajar. Dia pikir gue mau aja disuruh-suruh bersihkan ruangan ini? Lagian petugas sebentar lagi pasti datang beresin semua. Mata sayunya masih melihat tajam ke arah sini.“Aku ke sana dulu ya, Kak,” ujar gue sama Kak Toni, salah satu senior.Kak Toni yang rekomendasikan gue sama Pak Bambang agar bisa ikut klub basket ini, meski nggak bakalan pernah bisa ikut kompetisi. Dia bilang kasihan bakat kalau nggak diasah, kali aja bisa gabung klub basket nasional suatu hari nanti. Bagi gue, basket hanya sekedar hobi dan nggak pernah berkeinginan untuk ikut pelatihan khusus atlet.“Sabar ya, Arini. Brandon memang terkesan kasar, tapi anaknya baik kok,” tutur Kak Toni menyemangati.What? Baik apanya? Baru ketemu aja udah bikin jengkel, rasa pengin gue cakar-cakar tuh muka tengilnya, batin gue.Gue tersenyum sambil mengacungkan jempol, lantas melangkah menuju tempat Dust Mop berada. Pandangan ini beralih ke arah si Kunyuk, ternyata dia lagi ngobrol sama Pak Bambang. Sepertiny
BRANDONMata terasa berat ketika bangun pagi ini. Tidurku tadi malam pulas meski banyak hal mengisi pikiran. Salah satu yang menjadi beban pikiran adalah keinginan memiliki PS3. Aku harus mencoba membujuk Papa, agar mau membelikannya tanpa memberi syarat yang memberatkan.Aku tidak suka anak-anak meledek ketika tahu hingga hari ini belum memiliki keluaran terbaru dari Playstation itu. Ah, kesal sekali rasanya. Apalagi kemarin sampai merasa tersudutkan ketika mendengar mereka membahas grafis PS3 yang jauh lebih bagus dari PS2. Belum lagi fitur dan lainnya.Ada lagi yang mengganggu pikiranku sekarang, si Kutilangdara. Dia benar-benar membuatku kesal kemarin. Tak diduga nyalinya besar juga menantangku sampai menanyakan peraturan yang ada dalam klub. Ternyata anak-anak benar, cewek itu memang cerdas sehingga tidak mempan dengan intimidasi yang kulakukan.“Level gue bukan anak sekolahan yang masih ingusan kayak lo.” Kalimat yang dilontarkan si Kutilangdara kemarin kembali terngiang di teli
ARINIPagi ini gue diantar lagi sama Uda David. Sering-sering saja masuk pagi, biar bisa hemat ongkos. Lumayan ‘kan bisa nambah tabungan. Senyuman terukir di wajah saat melangkah menuju pintu masuk gerdung. Sekitar tiga langkah mencapai pintu kaca, tiba-tiba sebuah tangan mendorong tubuh ini sehingga nyaris terjatuh jika saja keseimbangan minus.Jantung nyaris copot karena kaget. Saat menyadari siapa pelakunya, gue langsung berteriak kencang.“BERHENTI LO, KUNYUK!!”Tubuh ini menegang dengan rahang mengeras. Emosi kini semakin meluap melihat cowok tengil itu dengan santai melenggang naik ke lantai atas. Sialan! Brandon sialan!Setiap saat dibikin naik darah dengan kelakuannya. Gue pikir dia bakalan berhenti gangguin setelah tahu diri ini sudah punya pacar, ternyata enggak. Embusan napas keras keluar begitu saja dari hidung. Sambil menghentakkan kaki, gue naik ke lantai atas setelah si Kunyuk menghilang entah ke mana.Sumpah, jadi benci sebenci bencinya sama si Kunyuk. Dia pikir diriny
BRANDONEntah apa yang terbesit di pikiran ini ketika Lova, teman satu SMP, datang menemuiku di kelas pagi ini, sehingga aku langsung berlari ke toilet wanita untuk menolong si Kutilangdara. Tak habis pikir juga dengan kenekatan geng Chibie mengunci dan menyiramnya di dalam tempat kloset berada. Kini tubuhnya bergetar ketika aku membawa cewek aneh ini ke atas atap, agar bisa berjemur. Dia pasti kedinginan.“Buka baju lo sekarang,” pintaku membuat mata cokelat terangnya membulat.Dia tidak berpikiran yang aneh-aneh ‘kan? Apa kalian juga berpikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini untuk melihat tubuhnya?“Ngapain suruh buka baju?” Si Kutilangdara menyilangkan kedua tangan di depan dada.“Lo bisa masuk angin pakai baju basah kayak gitu.” Aku mendengkus keras. “Gue sama sekali nggak tertarik lihat lo. Rata semua dari atas sampai bawah.”“Kurang ajar lo! Itu mulut nggak pernah disekolahin ya?” protesnya berteriak kencang.“Ah, terserah lo deh. Yang masuk angin juga bukan gue,” desahku ma
ARINI“Gimana sama teman kamu itu?” bisik Uda David waktu sama-sama sarapan keesokan paginya.“Biasa aja,” sahut gue.Kami kembali mengunyah lagi nasi goreng yang dimasak Mama. Enak banget. Kalian mau? Sini gue suapin. Haha!“Masih ganggu kamu?”Gue meletakkan sendok dan garpu, lantas menatap malas Uda David.“Nanti aja bahas di jalan, Da. Entar Papa dengerin bisa salah paham lagi kayak kemarin,” pinta gue dengan bibir melengkung ke bawah.“Ya udah, janji nanti cerita ya. Uda nggak mau kamu dapat masalah lagi di sekolah.”Kami berdua sama-sama menghabiskan sarapan. Biasanya memang sarapan lebih dulu dari yang lain. Syukurlah Uda selama empat hari ini masuk pagi, jadi bisa sekalian nebeng. Berapa duit tuh bisa dihemat? Untungnya Mama nggak potong jajan.“Donny, mau berangkat sekolah jam berapa?” Terdengar suara Mama memanggil si Bontot.“Iya, ini lagi masukin buku ke dalam tas,” sahut Donny teriak dari kamar.“Kamu itu kebiasaan grasak-grusuk pagi-pagi. Tuh contoh kakak-kakak kamu,” te
BRANDON Tuhan seakan menakdirkan aku dan Iin kembali berjumpa setelah dua tahun berpisah. Rindu yang sulit dibendung selama ini, sekarang terbayar sudah dengan pertemuan tak terduga kami beberapa hari yang lalu. Sungguh skenario yang dituliskan-Nya begitu indah. Siapa yang menyangka kami akan bersua kembali ketika bekerja di kantor yang sama? Di antara sekian banyak perusahaan di Jakarta, Iin bekerja di kantor tempatku mencari nafkah. Aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan kami lagi. Sayangnya karena perbedaan sif dan waktu libur, membuat kami belum bisa berbicara dengan baik hingga sekarang. Hari ini, Iin akan datang berkunjung ke apartemen untuk pertama kali. Dulu sebelum menikah, dia menolak datang ke sini tanpa mengutarakan alasannya. Tapi kali ini, aku memaksa Arini datang melihat tempat tinggalku. Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi. Itu pasti Iin. Aku bergegas membuka pintu, karena sudah tidak sabar bertemu dengan sahabatku. Ingin sekali ber
BRANDONDua bulan kemudianAku duduk sambil memangku tangan melihat perempuan muda yang duduk di seberang meja. Dia makan sambil malu-malu. Istilah anak muda zaman sekarang jaim alias jaga image. Entah wanita ke berapa yang dikenalkan oleh Mama dua bulan belakangan.Dari sekian banyak yang disodorkan Mama, tak satupun menarik perhatianku. Demi menghargai jerih payah beliau, aku penuhi permintaan agar berkenalan dengan mereka.“Nggak makan, Kak?” tanyanya lembut.“Kenyang,” jawabku singkat.Dia mengangguk sambil membetulkan rambut model bob yang sempat turun ke depan. Satu hal yang Mama tidak tahu tentangku adalah aku tidak suka wanita berambut pendek, apalagi sampai model seperti ini.Pandangan beralih melihat ponsel. Aku mendesah ketika tidak melihat tanda-tanda Iin online. Kalian benar, inilah rutinitasku sehari-hari, memantau apakah dia online atau tidak. Meski Tante Asma mengatakan Arini baik-baik saja, tapi hati ini kurang bisa percaya sebelum mendengar suaranya.“Sudah selesai?”
BRANDONAku menatap nanar layar gadget pipih yang ada dalam genggaman. Hampir satu tahun Iin tidak bisa dihubungi. Ada apa dengannya? Kenapa tidak ada lagi telepon dan chat dari sahabatku? Hati kembali tidak tenang.Ingin menghubungi Tante Asma untuk menanyakan Iin, tapi diurungkan. Khawatir jika menimbulkan masalah jika Om Yunus tahu. Setelah ganti ponsel, nomor Uda David juga tidak ada lagi di daftar kontak. Nomor Donny sejak dulu tidak pernah disimpan, karena jarang berkomunikasi.Segera dibuka akun sosial media milik Iin, mulai dari Facebook hingga Instagram. Tidak ada postingan terbaru di sana. Terakhir kali dia mengunggah foto sebelum kami berpisah satu minggu menjelang pernikahan.“Kenapa, Bran? Sejak tadi Mama lihat kamu gelisah,” tanya Mama berdiri di dapur apartemen.Mama sedang berkunjung ke apartemen, karena hari ini aku libur. Seperti biasa, beliau mengecek kebutuhan makanan untuk satu minggu. Terkadang Bi Ijah juga datang ke sini mengantarkan makan siang dan malam.“Iin
ARINIKerinduan kepada Bran sedikit terobati. Gue bisa melihat wajah, senyum dan mendengar tawanya. Jiwa yang tadinya kosong menjadi terisi setelah video call dengannya. Secara sadar diri ini tahu apa yang terasa saat ini salah, namun nggak mau munafik karena faktanya seperti itu.Senyuman mengambang ketika selesai memasak ayam kecap kesukaan Bran. Jadi membayangkan wajah semringahnya setiap kali disuguhkan makanan ini. Sebelum dihidangkan di meja makan, gue mengabadikan dalam foto terlebih dahulu lantas mengirimkannya kepada Bran.Me: Masakan kesukaan lo udah selesai nih. Mau nggak?Begitulah caption yang ditulis saat mengirimkan foto ayam kecap.Nggak perlu menunggu lama, Bran membalas.Brandon: Enak banget tuh, In. Jadi kangen masakan lo deh.Gue hanya tersenyum membaca balasan dari Bran. Baru akan membalas, terdengar pintu diketuk. Itu pasti Bang Desta yang pulang.Ketika kaki melangkah, gue langsung ingat dengan pelumas yang ada di dalam kulkas. Dia harus jujur mengatakan milik s
ARINIDelapan bulan sudah menjalani biduk rumah tangga dengan Bang Desta. Orangnya baik, tapi hati ini masih terasa berjarak. Jangan ditanya lagi apakah gue sudah mencintainya atau nggak. Hambar, nggak ada perasaan sama sekali.Berbeda dengan yang dirasakan ketika bersama dengan Bran. Astaghfirullah. Sudah seharusnya nggak boleh memikirkan pria lain lagi selain suami. Kata Mama hal itu termasuk dosa.Brandon apa kabar ya? Kenapa dia jarang hubungi gue setelah menikah?Gue melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 15.30. Sebentar lagi Bang Desta pulang bekerja dari salah satu Bank BUMN yang ada di kota ini.Ya, semenjak menikah gue mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga. Fokus mengurus segala macam keperluan suami. Kami juga tinggal terpisah dari orang tua. Benar-benar berdua di sini.Hingga sekarang, kami masih belum diberikan amanah. Mama bilang santai saja, nikmati kemesraan dengan Bang Desta dulu.Seketika gue pengin tertawa mendengar kata mesra yang dikatakan Mama waktu
ARINIPandangan menatap nanar ke arah cermin yang memantulkan wajah dengan riasan khas pengantin. Sebuah kebaya muslimah kini membalut tubuh. Kerudung juga menutupi rambut yang biasa terlihat. Tangan ini terangkat ke atas dan terlihat inai yang baru dihias kemarin sore, setelah bertemu dengan Bran.Mata ini terpejam saat ingat obrolan kami kemarin. Suasana yang terasa penuh emosional, karena perasaan bercampur aduk. Ada sedih, marah dan sayang semua menjadi satu. Jika saja tidak memikirkan Papa yang akan malu di kampung, pasti gue sudah menyetujui ajakan Bran pergi dari sini. Kabur berdua dengannya.Saat Bran ingin mencium bibir ini, sekuat tenaga gue lawan perasaan yang hadir ketika itu. Gimanapun juga, diri ini akan menikah dengan pria lain. Pria yang baru saja ditemui tiga kali sebelum pernikahan digelar. Gue bahkan belum mengenal Desta dengan baik.Hati diselimuti kekalutan ketika membayangkan rumah tangga seperti apa yang akan dilalui dengan Desta. Jika pria yang akan menikahi gu
BRANDONBesok Iin akan menikah dengan pria pilihan Om Yunus. Pada akhirnya sahabatku hanya bisa pasrah menerima perjodohan itu. Jangan ditanyakan lagi bagaimana hati ini sekarang. Hancur. Ya, kuakui selama dua bulan belakangan perasaanku tidak baik-baik saja.Aku, Mama dan Gadis datang ke Bukittinggi menghadiri pernikahan Iin. Kebetulan Gadis sedang berlibur ke Jakarta, karena sedang menempuh S2 di negeri Kanguru. Dia memaksa ikut menyaksikan pernikahan sahabatku itu. Kami baru saja sampai tadi pagi, setelah mengambil penerbangan pertama dari Jakarta.Saat sedang istirahat di kamar hotel, terdengar pintu diketuk. Itu mungkin Gadis atau Mama. Aku langsung beranjak membukakan pintu. Ternyata Gadis yang datang. Tanpa basa-basi dia menyelonong duduk di pinggir tempat tidur. Netra hitam kecilnya kini menatapku lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.“Gimana kabar lo sekarang?” tanya Gadis.“Baik kayak yang lo lihat,” jawabku apa adanya.“Maksud gue hati lo, Ngeng.” Dia mengerling ke dadak
ARINIPagi ini rasanya berat untuk bangun. Pertama kali dalam hidup, gue pengin tidur saja seperti putri tidur yang nggak bangun dalam jangka waktu yang lama. Beberapa jam lagi waktunya bertemu dengan lelaki yang dijodohkan oleh Papa.Mama bilang kemarin, jika gue setuju dengan perjodohan ini maka pernikahan akan dilaksanakan dua bulan lagi. Berarti hanya dua bulan waktu yang tersisa untuk bertemu dengan Bran, karena setelah itu gue akan menetap di Bukittinggi.Pertemuan direncanakan di rumah, bukan di luar. Desta, nama pria itu, akan datang bersama kedua orang tuanya melihat gue. Semenjak tadi malam hanya doa yang dipanjatkan, agar mereka membatalkan perjodohan setelah melihat diri ini.“Ari?” Terdengar suara Uda David memanggil.“Ya, Da?” Gue langsung bangkit dari tempat tidur, lantas membukakan pintu.Uda masuk kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. Dia menatap gue lekat tanpa berkata apa-apa. Kayaknya sih tahu kalau adiknya ini sedang galau.“Kamu nggak pa-pa?” tanya Uda setelah
BRANDONMata ini susah diajak tidur sejak tadi malam. Baru terpejam, beberapa saat kemudian kembali terbuka. Arini mau dijodohkan oleh Om Yunus? Tidak bisa! Dia masih terlalu muda untuk menikah. Usianya juga baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dua bulan lagi.Hati menjadi resah membayangkan tidak bisa lagi bersama dengan Iin nanti. Siapa yang akan menguatkanku, jika kami jarang berjumpa? Belum tentu calon suaminya akan mengizinkan kami bersahabat seperti sekarang, ‘kan?“Trus lo mau, In?” Percakapan dengan Iin tadi malam kembali terngiang.Dia menggeleng lesu. “Nggak mau, Bran. Gue masih mau berkarir dulu. Belum setahun kerja juga, ‘kan?”“Ya udah, tinggal ngomong aja sama Om Yunus. Nggak susah, In.”Kepalanya tertunduk dalam dengan mata terpejam. “Lo kayak nggak tahu Papa aja.”Aku mendesah mendengar tanggapan Iin, karena tahu bagaimana kerasnya Om Yunus. Hampir sembilan tahun mengenalnya, sehingga tahu persis jika beliau mengatakan A maka harus dituruti.Sejak tadi malam, aku