Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.
Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.
Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.
Ah, Jasmine harus melupakannya!
Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia mengangkat panggilan itu sekarang?
Jasmine menghela napas lega begitu layar ponselnya kembali mati, tanda panggilan itu berakhir. Namun detik berikutnya panggilan itu berdering kembali, memaksanya mau tak mau akhirnya menempelkan benda itu didaun telinga dengan engan.
Menunggu sang penelfon lebih dulu memulai percakapan, Luna bergeming. "Kamu dimana?" suara seorang wanita disebrang sana menyapa gendang telinganya.
"Tidak tahu," jawab Jasmine sekenanya.
"Kenapa tidak pulang?"
Jasmine terdiam beberapa detik. Mencoba menebak-nebak apa yang membuat Ibunya bertanya demikian tak seperti biasanya.
Tidak, ini bukan sebuah bentuk kepedulian. Jasmine tahu betul bagaimana ibunya amat sangat menekan Jasmine menjadi sosok pribadi yang mandiri dan tidak banyak mengeluh padanya. Ia lantas berdecak sebal. Ini pasti ulah Grace.
"Grace sudah menceritakannya pada Ibu. Jangan menghindar, pulanglah."
Gadis itu menghela nafas panjang, tepat seperti dugaannya. Selain sahabatnya, Grace juga sepupunya, maka bukan tidak mungkin jika gadis itu dekat dengan Ibunya hingga leluasa menceritakan apa yang tengah terjadi.
"Jika hanya untuk mendengar omelan Ibu, aku belum siap."
"Pulang!" suara Ibu sedikit meninggi, Jasmine memberenggut kesal.
"Tidak mau," cetusnya keras kepala.
"Pulang!" kali ini suara dari ponsel Jasmine tampaknya berhasil menarik atensi para pengunjung lain. Menjadikan dirinya objek dengan tatapan berbeda-beda makna. Oh, Jasmine rasanya ingin melebur bersama udara.
"Iya, aku akan pulang... Tapi tidak sekarang." Tepat setelah mengatakannya, sambungan diputus sepihak oleh Jasmine. Katakanlah ia sedikit lancang, tapi untuk saat ini Jasmine butuh waktu seorang diri untuk menenangkan pikirannya yang berantakan akhir-akhir ini.
Ia mendengus pelan, menelungkupkan kepala ke meja dengan keras hingga menghasilkan suara yang membuat orang-orang disekitar kini menatapnya ngilu. Sedikit penasaran dengan apa yang terjadi padanya.
"Sial sekali nasibku," decihnya, benaknya membayangkan hal yang akan terjadi pada saat nanti pulang ke rumah. Segala omelan, olok-olok, cemoohan Ibu sudah terngiang-ngiang lebih dulu ditelinganya. Sudah lama, dan Jasmine tak pernah senantiasa menerima.
"Nasib yang seperti apa?" timpal seseorang. Sontak Jasmine mendongak mengangkat wajahnya cepat, terperanjat saat menangkap kehadiran sosok pria yang kemarin ia temui. Sejak kapan ia duduk dihadapannya?
"Kamu?! Bagaimana bisa kamu disini? Maksudku sedang apa kamu duduk didepanku?" tanyanya menuntut, mengedarkan pandangannya sekilas pada sekitar.
Laki-laki itu mengerutkan dahinya samar. "Apa seseorang yang berkunjung ke kafe harus mengatakan tujuannya pada sesama pengunjung?" tanyanya dengan nada menyinggung, mengeluarkan salah satu tangannya dari jaket kulit yang ia kenakan untuk meneliti sebuah vas bunga tiruan yang menurutnya cukup menarik diatas meja.
Jasmine mengatupkan bibirnya seketika. Menatap laki-laki itu aneh. Haruskan ia pergi?
"Tanganmu baik-baik saja?" Laki-laki itu beralih melirik telapak tangan Jasmine yang dibalut plaster.
"Hmm... seperti yang kamu lihat." Jasmine menunjukkan telapak tangannya. Seolah ingin mengingatkan bahwa luka yang ia dapat juga ulah laki-laki itu.
Tak lama kemudian, seorang pelayan laki-laki melangkah mendekati meja mereka, meletakkan secangkir kopi Latte didepan laki-laki itu.
"I'm watching you," katanya sembari melemparkan senyuman lantas setelahnya berlalu.
"Ingin juga?" tawar laki-laki itu pada Jasmine yang dibalasnya dengan satu kali gelengan kepala.
Untuk beberapa saat tercipta hening diantara keduanya. Beberapa kali manik mata mereka saling bertemu, lantas setelahnya saling membuang muka ke sembarang arah.
"Jadi apa yang bisa membuatmu berfikir bahwa kamu sedang bernasib sial?" tanya laki-laki itu memecah hening. Sesekali menyeruput Latte-nya, sempat menggerutu karena terlalu panas.
Sudut bibir Jasmine berkedut. Suaranya entah mengapa terdengar nyaman ditelinga, dan tanpa alasan Jasmine tiba-tiba merasa gugup. Ah, mungkin karena dihadapannya adalah orang asing. Begitu pikirnya.
Jasmine tak langsung menjawab. Gadis itu membasahi bibirnya sebelum menatap laki-laki itu. Hal yang tanpa disadarimya membuat lelaki itu tak dapat mengalihkan padangannya.
"Apa aku perlu menceritakan urusan pribadiku pada sesema pengunjung yang bahkan tak aku kenali?"
Dari raut wajah yang Jasmine tangkap dari laki-laki dihadapannya. Jasmine tau perkataannya mengundang decak kesal. Dalam hati ia tersenyum senang bisa membalas ucapan laki-laki itu sebelumnya.
"Aku hanya sedang berbaik hati. Barangkali kamu membutuhkan teman bicara daripada duduk seorang diri dikafe seperti ini."
Jasmine diam, mengabaikan penuturan laki-laki itu barusan layaknya angin lalu. Sedikit tak menyangka jika laki-laki itu tak sekaku yang dibayangkannya. Malahan kesannya seperti sok akrab. Kedua tangannya tertaut diatas meja, dengan pandangan yang kembali sibuk memperhatikan orang-orang diluar.
"Aku Edwan, senang bisa bertemu lagi." tak diduga, laki-laki itu mengulurkan tangannya ke hadapan Jasmine. Menatapnya lama dengan senyumannya yang harus Jasmine akui cukup menawan.
"Jasmine." Ini diluar kendalinya, Jasmine bahkan sedikit terkejut saat tangannya bersentuhan dengan Edwan cukup lama. Rasanya seperti ada aliran listrik di sekujur tubuh yang membuatnya menegang beberapa saat, dengan desiran hangat yang menjalar menuju dada. Jasmine merasa suhu udara terasa penas sekarang.
"Jasmine, nama yang indah." Edwan memujinya, dan Jasmine bingung harus bereaksi seperti apa, terlebih dengan tatapan dalam Edwan yang terlalu terang-terangan. Terlalu frontal untuk mendekati seorang gadis.
"Setidaknya lebih indah dari bunga palsu ini," lanjut Edwan.
Jasmine melongo, baiklah kini ia kelihatan seperti gadis bodoh yang hampir terbuai oleh ketampanan Edwan.
"Bisa tidak menatapku seperti itu?" protes Jasmine akhirnya. Edwan lantas tertawa kecil tanpa sebab.
"Oh, maaf."
Detik berikutnya semua berjalan normal. Keduanya mulai berbincang secara random. Membicarakan hal apapun yang sejujurnya bagi Jasmine tidak cukup penting, dimana percakapan ini lebih didominasi oleh Edwan.
Dari semua penuturan Edwan. Yang Jasmine ketahui, laki-laki itu amat sangat menyukai lukisan. Ia bahkan begitu antusias menceritakan pelukis-pelukis favoritnya yang satu pun tak Jasmine ketahui, dan Jasmine mulai bosan.
"Dari banyaknya orang-orang sibuk disekitarku. Kamu tampaknya jadi satu-satunya orang yang tak memiliki banyak beban hidup."
"Maksudmu?" alis tebal laki-laki itu menukik ke atas.
Jasmine berdecak, rupanya Edwan tidak cukup peka. "Oh ayolah, kamu tidak paham seberapa sulit aku berusaha memahami apa yang kamu katakan?"
Edwan menganggukkan kepalanya paham. "Aku lupa kamu sedang punya masalah dengan nasib sialmu itu. Harusnya aku yang memahamimu."
"Ini kedengaran aneh, kita baru saja bertemu dan kamu bersikap seolah kita adalah teman lama."
"Teman?" ulang Edwan. Ia tersenyum tipis lantas berucap, "Boleh juga."
"Karena kita adalah teman, coba ceritakan masalahmu. Kebetulan aku sedang tidak memiliki banyak beban hidup seperti yang kamu lihat, dan mendengarkan keluhanmu tidak akan menambahkan bebanku."
Melihat ekpresi Edwan yang memasang mimik pura-pura serius membuat Jasmine terkekeh. "Ku pikir membicarakan hal pribadi pada orang yang baru kutemui 2 kali bukan ide yang bagus."
Edwan tertegun. "I'm not a bad guy, apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"
Jasmine tak langsung menjawab, gadis itu menatap telapak tangannya dan Edwan bergantian. "Baiklah. Anggap aku gadis yang baru patah hati, apa wajar jika aku bersikap seperti ini pada laki-laki?"
Edwan mendesis, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari menyandarkan punggungnya dikursi, bingung harus menjawab apa. "Entah, aku tak pernah memiliki seorang kekasih," ujarnya kemudian.
"Sungguh?" Jasmine sedikit menganga tak percaya, bagaimana laki-laki tampan penuh pesona yang pada pandangan pertama mampu menarik perhatian perempuan itu tidak pernah memiliki kekasih? Edwan pembohong yang buruk.
"Kamu penasaran dengan kehidupan pribadiku?" tanya Edwan dengan nada usilnya.
"Ternyata kamu lebih menyebalkan dari tampangmu itu." Jasmine berdecak, kesal dengan Edwan yang pintar membolak-balikkan kata.
"Aku sedang tidak berniat menyinggungmu." Edwan menampilkan smirk khasnya.
"Tapi kenyataannya kamu melakukan hal itu," sungut Jasmine.
"Lalu?"
"Teruskan. Kamu sudah menyinggungku." Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya didepan wajah. Membuang muka pura-pura kesal.
"Kamu lucu," pungkas Edwan.
"Lucu? Sepertinya aku salah telah sudi berbincang denganmu. Aku tidak tau siapa yang bodoh disini. Aku tidak banyak waktu memahami percakapan tak jelas ini." Jasmine beranjak bangkit dari kursinya. "Jadi, cukup sampai disini. Aku permisi,"
Edwan tak lekas melepas pandangannya dari gadis itu. "Nah!" tunjuknya tepat saat Jasmine hendak membuka pintu kafe, lagi-lagi dirinya menjadi bahan perhatian.
"Apa?" Jasmine sedikit was-was dengan tingkah Edwan yang tak bisa ditebak. Seharusnya Jasmine menaruh curiga sejak awal ketika laki-laki itu muncul tiba-tiba dihadapannya. Bisa saja Edwan ternyata pria jahat yang tengah mengintainya, baiklah Jasmine mulai negetive thingking.
Laki-laki itu melangkah mendekat, dengan tergesa Jasmine keluar dari kafe. Dan Edwan melakukan hal yang sama, laki-laki itu kini mengikutinya tepat dibelakang.
Langkahnya semakin cepat seiring Edwan yang tanpa henti mengikutinya. Perasaan Jasmine mulai tak karuan, ia takut.
"Sungguh, aku tak mengerti. Berhenti mengikutiku!" seru Jasmine melirik Edwan ke belakang.
"Baiklah langsung ke intinya saja," ujar Edwan begitu berhasil meraih tangan gadis itu. Jasmine manatapnya waspada.
"Apa?" Gadis itu mengangkat kepalan tangannya didepan wajah, sigap memukul wajah Edwan jikalau laki-laki itu berniat macam-macam padanya.
Edwan merogoh saku celana jeansnya, membuat Jasmine semakin curiga dan waspada. Namun begitu benda yang dikeluarkannya jauh dari segala ekpektasi yang ia duga, Jasmine mendesah lega sekaligus geram. Ia pikir itu senjata atau benda tajam yang digunakan para penjahat di film-film. Pemikiran yang bodoh.
"Berikan nomor ponselmu," cetus Edwan.
🍁🍁🍁
To be continue...
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb