Brakkk...
Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.
Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding.
"Kamu tidak apa-apa?"
Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine.
"Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya.
"Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut.
"Bukan begitu maksud saya, harusnya kamu lebih berhati-hati," imbuhnya.
Jasmine mendelik. Entah siapa yang harus disalahkan disini, yang jelas kini ia terluka. Entah itu ditangan atau hatinya, keduanya sama-sama perih.
"Cowok sialan! bantu aku berdiri!"
Laki-laki itu mengedarkan pandangan seolah mencari sosok lain yang mungkin saja dimaksud gadis dihadapannya. Sekilas ia ingin tergelak menatap penampilannya. Seandainya ia tak punya tata krama, mungkin tawa yang ia tahan pecah detik itu juga.
"Hey, aku bicara padamu!" Jasmine merengek geram.
"Oh, saya pikir tidak ada orang yang minta bantuan dengan kalimat seperti itu. Lagipula saya ini bukan cowok sialan."
Jasmine semakin dibuat kesal. Ia tidak bodoh jika laki-laki itu tengah meledeknya meski tidak secara langsung.
"Lupakan. Aku masih mampu berdiri sendiri." Susah payah, Jasmine bangkit menegakkan tubuhnya. Menatap penampilannya yang mengenaskan. Rasanya ia ingin kembali menangis. Menyumpah serapahi siapapun dimuka bumi ini.
"Aku benci laki-laki," gumamnya sembari melangkah sedikit terpincang-pincang. Berhenti sesaat untuk melepas sepatu hak 5 cm nya kemudian kembali melangkah tanpa alas kaki.
"Hati-hati." Tanpa sepengetahuan Jasmine, laki-laki itu menyematkan senyumannya.
"Kamu kenal cewek itu, Ed?" Laki-laki yang dipanggil Ed menoleh menangkap suara dari seseorang yang berjalan mendekat.
"Entah."
๐๐๐
"Oh my god! Kamu kenapa?" Grace, gadis itu menganga menyambut kedatangan Jasmine dengan penampilannya yang jauh dari kata rapi, bahkan lebih kacau dari berantakan.
"Ini cat, bukan darah," timpal Jasmine seolah mengerti apa yang dipikirkan sahabatnya. Sedikit menghempaskan sepatunya kelantai dekat rak.
"Aku kira Jovial niat nabrak kamu pake mobilnya sendiri setelah apa yang sudah kamu lakukan." Grace terkekeh sesaat, membayangkan apa yang kiranya terjadi hingga membuat Jasmine pulang seperti ini. "Kamu bener-bener mengakhirnya?... dia didepan umum?" duga Grace.
Jasmine mengangkat bahunya lemah. Wajahnya layu seolah kehilangan semangat. "Seperti yang kamu lihat, jika tidak aku tak akan datang kesini," pungkasnya.
"... dengan penampilan menyedihkan," sambung Grace prihatin.
Jasmine melotot, merasa tertohok dengan ucapan Grace. "Aku tidak menyedihkan!" sangkalnya seraya mendorong sedikit tubuh Grace untuk menyingkir dari ambang pintu. Apa gadis itu lupa membiarkannya masuk?
"Lalu setelah ini, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Grace membuntuti Jasmine menuju kamar mandi. Tak heran jika sahabatnya yang bar-bar ini tanpa sungkan senang menyelonong masuk dan melakukan hal apapun dirumahnya.
Jasmine tak langsung menjawab, gadis itu membasuh mukanya terlebih dahulu. Menatap pantulan dirinya didepan cermin, dan ia akui kini dirinya memang terlihat menyedihkan. Namun terlepas dari itu, ada hal yang paling ia sesali pada kejadian hari ini ; Ia meneteskan air matanya didepan Jovial. Seharusnya tadi ia bisa menahannya sedikit lagi.
"Seharusnya hal tadi cukup membuatnya menanggung malu. Itu tak ada apa-apanya dibanding sakit hatiku atas penghianatannya," tutur Jasmine, pandanganya kosong.
Grace mendekat, menyentuh lembut bahu Jasmine. "Lalu?" tanyanya pelan.
Jasmine tetiba saja terisak. "Aku membencinya... sangat-sangat membencinya."
"Lalu?" ulang Grace, merasa tak kunjung mendapat jawaban pasti dari mulut Jasmine.
"Lalu?" Jasmine menatap bingung Grace, bibirnya kelu kehilangan kata-kata. "Lalu setelahnya aku... aku tidak tahu."
Grace mengulum bibirnya. Menarik Jasmine kedalam pelukan, membiarkan gadis itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Ia mengerti sehancur apa perasaan Jasmine sekarang, terlebih mengingat Jovial adalah pria pertama yang membuatnya jatuh-sejatuhnya. Yang sejak dulu selalu menjadi topik Jasmine saat menceritakan perlakuan Jovial terhadapnya jika berkunjung kemari dengan antusias.
"Jovial membelikanku tas mewah yang aku inginkan sejak dulu."
"... Kupikir dia tak peduli. Ternyata dia jauh lebih romantis dari yang kukira."
"Aku benar-benar mencintainya. Seandainya dia menikahiku, pasti hidupku akan indah."
Kata-kata itu kini hanya mengambang diudara setelah kelakuan Jovial sesungguhnya kian terbukti olah mata kepala Jasmine sendiri.
Grace sedikit terhenyak saat tiba-tiba Jasmine menjauhkan tubuhnya, menyeka air matanya kasar. "Aku sudah berjanji tidak akan menangis karenanya."
"Kenapa kamu membuatku manangis, Grace!" cibir gadis setelah beberapa saat yang lalu ia menangis, dan dalam sekejap kini malah terlihat bengis.
Grace bergidik, tak mengerti dengan emosi Jasmine yang mudah sekali berubah-ubah, gadis itu memang sulit ditebak, labil.
"Kupikir kamu memang butuh itu."
"Tidak untuk pria brengsek itu."
Grace memutar kran bathub, berniat menyiapkan tempat untuk mandi sahabatnya. Tanpa disuruh, Jasmine menceburkan dirinya ke dalam bathub begitu saja, menciptakan cipratan air yang ikut mengenai wajah Grace.
"Santai sedikit." Grace mendelik kesal, menyeka wajahnya pasrah.
"Maaf, aku tidak sengaja." Si pelaku menyengir tanpa dosa.
Grace duduk dipinggir bathub membantu Jasmine menggosok kakinya untuk menghilangkan cat yang masih menempel.
"Bagaimana ceritanya kamu bisa seperti ini?"
"Seseorang menaruh cat ditengah jalan, aku tidak sengaja menendangnya. Tapi dia malah menyalahkanku," ungkap Jasmine layaknya seorang anak yang tengah mengadu pada ibunya.
"Aku tak akan heran, sih. Nyatanya kamu itu emang ceroboh." Grace tertawa kecil, mencipratkan air pada Jasmine, membuat gadis itu memberenggut kesal.
"Kasih aku saran, Grace."
Grace menelengkan kepalanya. Sedikit heran saat tiba-tiba gadis yang ia kenal keras kepala dan sulit dinasihati itu memintainya saran. "Ehmm... okay, Jasmine dengarkan aku. Saranku sederhana, mulai lupakan dia dan mulai segalanya dengan awal yang baru."
"Ah, cat tidak mau hilang!"
Grace mendengus geram. Ia yakin jika Jasmine bahkan tak mendengarkan hal yang ia katakan barusan.
"Tapi aku pengangguran sekarang. Dari mana aku harus memulai? Kalau aku pulang ke rumah. Bagaimana jika Ibuku mengamuk? Bagaimana jika dia tiba-tiba mengusirku? Kamu tau seperti apa ibuku kan?
Oh, ternyata prasangka Grace salah. Ia tersenyum tipis menatap Jasmine. "Yang pasti aku tak akan biarkan rumahku jadi kapal pecah gara-gara nampung kamu," tuturnya seraya melangkah keluar dari kamar mandi, mendudukkan dirinya didepan TV dengan snack direngkuhannya.
"Kamu tega Grace?!" Jasmine berteriak.
"Hmm... Like usual!" sahut Grace balas berteriak.
Wajah Jasmine memberenggut menahan kesal. "Please... Grace, tunjukan sedikit kedermawananmu!"
Grace tergelak mendengar nada merengek Jasmine. "Tidak untukmu!"
"Ah, sial!" Jasmine mendesis, menggosok-gosok kakinya brutal.
๐๐๐
Ini terlalu pagi untuk memulai hal dengan melibatkan emosi. Sudah percobaan ke-10 Jasmine memasukkan kode pintu apartemen dihadapannya namun tak jua terbuka.
"Jadi seperti ini caramu." mulutnya bersungut-sungut tanpa henti sebelum akhirnya menendang pintu itu sekuat tenaga. Tebak bagaimana akhirnya, tubuhnya memental kebelakang dan hampir saja terjungkal jika tidak dapat menyeimbangkan tubuhnya.
"Sialan kamu Jovial! Aku doakan kamu masuk neraka!" teriaknya menggelegar ke sepanjang lorong gedung.
Seseorang yang berlalu menatapnya aneh. Barangkali berfikir bahwa Jasmine mulai kehilangan akalnya dengan membuat kegaduhan dipagi hari, tak peduli dengan penghuni apartemen lainnya yang mungkin akan merasa terganggu karenanya.
Ia berjongkok, menyandarkan tubuhnya ketembok. Berfikir kemana sekarang ia harus pergi. Pulang kerumah Ibu dan mengatakan bahwa sekarang ia kehilangan pekerjaan dan tak tau harus pulang kemana?
Jasmine berdecih, wajah angkuh Jovial kembali terbayang dikepalanya setelah semalaman membuatnya tak bisa tidur dengan tenang dirumah Grace.
Laki-laki itu benar-benar membuatnya menderita sekarang. Merampas kembali segala hal yang sebelumnya telah ia berikan pada Jasmine secara cuma-cuma, termasuk apaertement ini. Bukankah itu keterlaluan?
Rasanya tak ada kata yang lebih pantas mewakili seorang Jovial yang kejam, angkuh, dan licik. Ah, laki-laki itu lebih pantas dipanggil Monster.
Jasmine mengacak-acak rambutnya. Salah satu kebiasaannya jika tengah dilanda frustasi. "Apa yang harus aku lakukan?"
"Ayah."
Tubuhnya berdiri tegak begitu menyebut kata Ayah. Rematan pada tas selempangnya mengerat. Tatapannya berubah nyalang, setelahnya Gadis itu melangkah pasti meninggalkan apartemen, kini ia berniat pergi menuju tempat yang sejujurnya tak ingin ia pijaki.
Tapi demi hal-hal berharga yang tertinggal didalam apartemennya, Jasmine harus rela menurunkan sedikit harga dirinya. Sejenak melupakan kejadian kemarin yang membuat kepalanya ingin pecah.
"Aku tidak takut padanya," cetusnya penuh percaya diri.
๐๐๐
TO BE CONTINUE...Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb