Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.
Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.
Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.
Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikirannya untuk memulai hari baru dengan segala tuntutan yang menunggu ia selesaikan.
Menjadi pemimpin diperusaahaan besar diumurnya yang masih terbilang cukup muda memang terkadang membuatnya selalu kewalahan. Stress, frustasi adalah hal lumrah yang sering kali ia alami. Ditambah lagi urusan pribadi yang sesekali membuatnya mau tak mau harus ikut terseret dan menambah beban pikirannya.
Srakkk...
Laki-laki itu tertegun menatap map kuning yang tak sengaja ia senggol hingga jatuh ke lantai, dan yang paling menarik perhatiannya ialah sebuah gambar wajah buatan tangan dengan garis berantakan yang baru ia temukan sekarang.
Jovial tersenyum tipis, tak perlu menebak siapa pelakunya. Tapi yang membuatnya ingin protes, wajahnya tampak menyeramkan dengan sepasang taring dan tanduk yang ditambahkan. Jovial mengelang, jelas itu bukan wajahnya kan?
Tiba-tiba kejadian kemarin kembali berputar dikepalanya. Ia menyadari ada perubahan signifikan pada hari-harinya setelah gadis itu memilih pergi. Wajah gadis yang senang mengomel dan merayu minta dibelikan ini-itu kembali menggerayami kepalanya.
Segala celotehannya yang sejujurnya memekkakan dan malas ia dengarkan terngiang-ngiang ditelinganya.
Jovial tertawa kecil tanpa sebab. "Jasmine, gadis bodoh," gumamnya. "Aku tahu kau akan menyesali apa yang kamu lakukan."
Jovial mengelang pelan, ada banyak urusan penting yang harus ia pikirkan daripada gadis bodoh itu. Sejenak, gerakannya terhenti ketika hendak meraih jas yang tersampir pada gantungan baju saat tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Dahinya mengernyit heran, setahunya tidak ada siapapun yang mengethui kediamannya dirumah ini selain...
🍁🍁🍁
Jovial sedikit terkejut kala mendapati Jasmine berdiri membelakanginya sebagai pelaku penekan bel rumahnya dengan brutal. Sesaat sudut bibirnya berkedut mengingat tebakannya beberapa saat lalu dan kini jelas terbukti. Gadis itu tampaknya menyesal.
"Tak cukup mempermalukanku setelah kemarin?" suara basnya menyapa telinga Jasmine yang masih engan menampakkan wajah secara langsung. Hal itu entah kenapa membuat Jovial merasa semakin besar kepala.
"Buka pintu apartemennya. Barang-barangku tertinggal disana." Bukan jawaban, lebih tepatnya perintah. Mendengar hal itu tentu membuat Jovial dirundung kekesalan.
Laki-laki itu membuang mukanya, berdecih geram. Kenapa bisa-bisanya ia sempat mengharapkan gadis dihadapannya kembali dengan tujuan yang lain? Bukankah ia memiliki segalanya. Urusan gadis baginya adalah hal yang mudah ia taklukan. Seperti sebelum-sebelumnya saat ia belum bertemu Jasmine.
"Kamu dengar kan aku bilang apa barusan?" Jasmine masih bersikukuh membelakangi laki-laki itu. Rasanya sedikit aneh mengingat bagaimana interaksi mereka dulu tak seperti ini. Tidak ada lagi adegan dimana Jasmine sering merengek manja dan Jovial yang dingin namun amat peduli. Ya, semuanya memang sudah berubah dalam sekejap, saling mengasingkan diri.
"Aku serius hanya ingin mengambil barang-barangku, setelahnya aku tak akan lagi berhubungan denganmu," ujarnya seraya mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.
Kekanak-kanakan, pikir Jovial. Pantas saja gambarnya lebih buruk dari seorang anak TK.
"Jika bisa, ambilah," balas laki-laki itu dingin sembari meraih gagang pintu hendak kembali menutupnya, namun dengan cepat Jasmine melangkah mendekat, sedikit kasar mendorong pintu itu hingga kembali terbuka lebar.
"Aku datang baik-baik," cetusnya dengan nada setengah menekan. Wajahnya yang sembab kini dapat Jovial lihat secara jelas, membuat laki-laki itu berspekulasi bahwa Jasmine menangisi perlakuannya semalaman.
"Tidak dengan tatapan tajammu seperti itu." Dagu laki-laki itu terangkat naik. Jasmine buru-buru melangkah mundur, menyadari jaraknya terlalu dekat dengan pria yang kini berstatus sebagai mantan kekasihnya itu.
"Perlakuanmu bahkan lebih kejam dari iblis," desis Jasmine tanpa menatap Jovial. Disisi lain ia sibuk menenangkan debaran dalam dadanya yang berdentum hebat.
Tidak, Jasmine sudah mendeklarasikan dirinya sebagai gadis pertama yang menolak pesona Jovial meski sebelumnya ia pernah amat bergitu mencintainya. Bahkan jika kelak ia masih memiliki perasaan yang sama, Jasmine bersumpah tak akan kembali.
"Perlu ku angguki?" Jovial menatapnya dalam saat tak sengaja manik mata mereka bertemu.
"Ku mohon." Pintanya, Jasmine tiba-tiba mengelang. Bagaimana pun harganya jauh lebih berharga. Lagi-lagi ia melakukan langkah bodoh yang mana malah mempermalukan dirinya sendiri.
Ia menatap gentar Jovial, sedikit mendongak sebab tinggi tubuhnya yang terpaut cukup jauh dan kebetulan hari ini ia tak mengenakan sepatu hak tingginya yang ia tinggalkan dirumah Grace. "Tidak perlu. Aku tak peduli. Kelak mungkin kamu yang akan memohon padaku."
"Kedatanganmu membuang-buang waktuku," ruah Jovial. Merasa kedatangan Jasmine sama sekali tak begitu penting sekarang.
"Oh, ada gadis lain yang sedang menunggumu ternyata," celutuk Jasmine tiba-tiba.
Niat Jovial hendak menutup pintu ia urungkan demi menatap raut wajah Jasmine yang menyimpan kekecewaan. "Aku tidak pernah melihat dirimu secemburu ini."
"Maaf, kata-katamu kurang tepat," protes gadis itu mendengus pelan, wajahnya berubah kembali menyebalkan seperti sebelumnya.
Untuk beberapa detik Jovial terdiam sebelum akhirnya melontar pertanyaan yang lewat dikepalanya. "Kamu melihatku kemarin?"
"Hmm... sangat jelas, kamu terlihat begitu menikamati saat gadis itu mencium bibirmu- Hei! Aku tak peduli!" Jasmine membuang mukanya yang tampak kelabakan, tubuhnya 90 derajat menghadap ke kanan, sehingga Jovial hanya dapat melihatnya dari samping.
"Lalu ini bentuk balasanmu?" Jasmine mengatupkan bibirnya. "Dengar ini, aku bahkan dapat menemukan gadis yang 1000 kali lebih baik darimu."
"Pria sepertimu mengharapkan gadis yang baik? Haha... aku sangat bersyukur Tuhan memberiku kesempatan untuk mengakhiri hubunganku denganmu."
Seberusaha mungkin Jovial tetap terlihat tenang saat gadis dihadapannya tertawa meremehkan.
"Aku akan menunggu wanita seperti apa yang kamu maksud 1000 kali lebih baik dariku," cetus Jasmine percaya diri.
"Aku tahu pasti kamu menganggapku bodoh. Saking terlalu bodohnya dulu, aku begitu mencintaimu. Berfikir hubungan kita ini serius. Dan harusnya aku sadar sejak dulu saat kamu mengatakan untuk merahasiakan hubungan kita, karena nyatanya kamu memiliki gadis lain."
Jovial menaikkan sebelah alisnya, menunggu Jasmine menyelasaikan apa yang ingin disampaikannya hingga selesai.
"Jangan berfikir aku kemari untuk mengemis cinta. Tapi ingat, akan ada masanya kamu yang menyesal telah menyia-nyiakan aku. Aku datang kesini untuk mengambil sesuatu, sesuatu yang lebih berharga."
"Barangnya tidak ada disini," cetus Jovial dingin.
Jasmine mengulum bibirnya, menahan gemuruh didadanya. "Jika ada disini, aku bersumpah akan membakar rumahmu!" teriaknya menggelegar, mampu membuat Jovial sedikit terlonjak kaget.
"Kamu gila?"
"Iya! Pastikan aku tak melihat wajah kamu lagi!"
"Kita lihat saja nanti!" timpal Jovial, lantas membiarkan Jasmine melangkahkan kakinya pergi, menghempas pintu gerbang rumahnya dengan penuh kekesalan.
Setelahnya pria itu kembali masuk menuju kamar, tak ayal ia pun menutup pintu dengan emosi. Mendudukkan dirinya kembali dikursi kerja sembari sesekali menghela napas panjang.
Tatapannya jatuh pada 2 box besar disudut ruangan. Tanpa ragu ia berjalan mendekat, membuka tutup box itu dan menemukan kumpulan barang-barang milik Jasmine.
Tangannya terulur meraih figura berisikan foto gadis itu tengah tersenyum bersama dirinya yang hanya menatap Jasmine. Jovial tercenung, seingatnya itu foto yang pernah Jasmine ambil saat keduanya berkunjung pada salah satu proyek perusahaan miliknya, dan Jasmine memaksanya untuk pergi ke suatu tempat wisata setelah pulang dari sana.
Laki-laki itu berdecih, entah apa yang merasukinya sekarang. Jovial mengangkat 2 box itu menuju keluar rumah, kemudian meletakkanya dekat tempat sampah.
"Persetan, aku tak peduli!"
🍁🍁🍁
TO BE CONTINUE...
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb