Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja.
Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya.
Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya.
Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya.
"Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berbicara apa-apa.
Bartender itu mengangguk paham, ikut memperhatikan hal yang tengah diamati gadis itu secara diam-diam meski tak mengerti situasi yang tengah terjadi.
"Siapa mereka?" tanya gadis itu yang entah ditujukan pada siapa saat menangkap dua sosok lain yang duduk dihadapan pasangan itu. Mereka tampaknya cukup akrab, namun ekpresi yang ditampilkan wanita satunya lagi tampak engan berbicara banyak.
Sang bartender bingung harus menyahuti atau tetap bungkam. Mulutnya baru hendak mengatakan sesuatu. Namun begitu gadis itu mengibaskan tangannya seolah menyuruhnya untuk pergi dengan tatapan yang setengah menuntut, maka ia melangkah menjauh, tak seharusnya ia penasaran.
Kedua bola mata gadis itu tiba-tiba membola saat gadis disamping pria itu mengecup bibirnya, lantas pria itu tersenyum setelahnya. Tanpa sadar tangannya terkepal kuat seiring hatinya yang mendadak terasa panas seolah terbakar. Giginya bergemelutuk menahan sumpah serapah.
Ia berdecih, "jadi ini alasan dia menyuruh untuk tidak masuk kerja hari ini?" gerutunya geram. Tanpa sadar ia menggebrak meja bar dengan kuat, sukses menarik atensi orang-orang disana. Beruntung pria yang diikutinya diam-diam tidak menangkap kehadirannya saat temannya yang ternyata menyusulnya kedalam club sigapmenarik tangannya, membawanya segera pergi keluar.
🍁🍁🍁
Atmosfer diseluruh penjuru ruangan itu mendadak terasa mencekam begitu seorang gadis melemparkan map ditangannya tepat ke wajah pria yang kini menatapnya dingin tanpa ekspresi namun mampu membuat siapapun tertunduk gentar.
Akan tetapi hal itu tidak berlaku bagi seorang Jasmine Edrea Jovanka, satu-satunya gadis yang berani menatap tajam seorang Jovial Reindhard Anderson. Pria yang menurutnya tak lebih dari seorang pria hidung belang yang sama sekali tak pantas ia hormati ataupun ia puja-puja perihal segala kesempurnaan yang dimilikinya.
"Pak Jovial itu orangnya baik, cuman kalau udah ngamuk hidup kamu bisa kelar."
Kalimat yang pernah diucapkan teman sesama karyawannya tetiba saja mendengung ditelinga Jasmine. Nyatanya ia tak begitu mengenal seperti apakah sosok Jovial yang sebenarnya setelah 1 tahun berhubungan dengannya.
Gadis itu mengelang tegas, meyakinkan diri bahwa tindakannya tidak salah. Persetan perihal konsekuensi akan hal apa pun yang ia terima nantinya, tak peduli pada kenangan-kenangan yang ia lalui bersama laki-laki brengsek itu sebelumnya. Yang perlu ia pastikan bahwa ia tak perlu lagi terjerat pada seorang Jovial, pria penuh pencitraan.
Ingin rasanya Jasmine mencakar wajah angkuh pria itu sekarang juga. Sudah semalaman ia menahan kekesalannya setelah menyaksikan bagaimana pria dihadapannya bermesraan dengan gadis lain.
"Ambil!" titah Jasmine, menunjuk map yang ia lempar barusan dan kini tergelatak dilantai begitu saja, lantas setelahnya bersedekap dada memasang wajah angkuh.
Para karyawan yang merekam adegan itu hanya melongo tak percaya bagaimana Jasmine bisa seberani itu memeritah Jovial yang tak lain merupakah atasan sekaligus pemilik perusahaan tempatnya bekerja.
"Kamu tuli sekarang?" sindirnya. Pria itu lantas meraihnya dengan engan.
"Apa maksud kamu dengan ini?" Jovial menatap iris gadis itu dalam setelah membaca baris kalimat pada kertas yang berisi pernyataan pengunduran diri.
Jasmine tersenyum sinis, menyibak rambut panjangnya sekilas. "Aku pikir tuan Jovial cukup pintar."
Jovial masih menatapnya dingin, rahangnya menegas, berusaha mempertahankan sikap wibawanya mengingat kini semua karyawannya menatap dirinya intens.
Jasmine menghela napas panjang."Itu surat pengunduran diri! Jangan berfikir aku takut padamu! Memangnya aku tidak bisa apa-apa tanpamu?! Ketahuilah aku tidak pernah merasa beruntung bekerja disini ataupun menjadi seorang kekasihmu!" ungkap Jasmine berapi-api.
Mendengar pernyataan terakhir dari mulutnya membuat para karyawan melotot terkejut. Sebagian dari mereka mulai berbisik dari meja ke meja. Berspekulasi mengenai apakah yang sebenarnya terjadi diantara Jovial dan Jasmine.
"Bicara yang jelas!" Jovial sedikit membentak. Tak mengerti kenapa gadis dihadapannya tiba-tiba bersikap seperti ini.
Jasmine melangkah maju, membenarkan jas yang dikenakan pria itu sembari tersenyum sinis menatap manik matanya. "Aku ingin kita putus!" tukasnya.
Ia kembali melangkah mundur, mengedarkan pandangannya pada para karyawan. "Dan untuk kalian semua, dengar ini! Sebelumnya, aku tak pernah bertemu pria paling brengsek... "
"...Selain dia." Jari lentiknya menunjuk telak wajah Jovial sebelum laki-laki itu menepis tangannya cepat dengan kasar. Baginya perlakuan Jasmine sudah membuat harga dirinya anjlok, dan ini keterlaluan.
"Kamu tau, apa yang telah kamu katakan kelak akan kamu sesali?" desis Jovial dengan nada mengancam ditelinga gadis itu.
Lagi, Jasmine menanggapinya dengan senyuman sinis seolah ia tak takut pada pria yang dapat melakukan hal apapun terhadapnya.
"Aku peduli? Tidak! Sama sekali tidak!" Jasmine berteriak. Ia bahkan tak percaya bisa mengatakan hal itu dengan percaya diri, meski pada dasarnya ia tak tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini.
"Harusnya kamu bercermin! Tidak malukah setelah apa yang kamu lalukan padaku? Kamu bahkan tak pernah peduli terhadap perasaanku ketika kamu bermesraan dengan wanita lain, brengsek!" dengan kekesalannya yang membuncah, Jasmine memukuli dada Jovial beberapa kali. Para karyawan hanya dapat dergugu melihat pemandangan itu, semakin yakin jika Jovial dan Jasmine memiliki hubungan lebih dari sekedar bos dan sekretarisnya, dan memang seperti itulah kenyataanya.
Jasmine tau, disini masalahnya hanyalah mengenai perasaan. Tapi apakah salah bahwa ia hanya ingin sedikit pengakuan? Atas segala sakit dihatinya yang Jovial torehkan selama ini ketika dirinya sendiri harus berjanji untuk tidak mengumbar mengenai hubungan mereka, dan kini Jasmine tau alasannya. Sebab Jovial memiliki gadis lain selain dirinya.
Tanpa sadar kedua matanya berkaca-kaca mengingat pemandangan pria dihadapannya bermesraan dengan wanita lain kala itu. "Ah, kenapa aku malah terlihat menyedihkan," lirih Jasmine menyeka air matanya cepat.
Jovial hanya menatapnya dalam diam. Cengkramannya pada map yang dipegangnya mengeras.
"Aku tidak menangis! ... Se-setelah ini tidak akan pernah menangis jika itu hanya karena kamu!"
"Pintunya terbuka lebar! Jika kamu ingin mengakhirnya, aku mempersilahkamu." Jovial mengarahkannya pada pintu keluar.
Plakkk...
Sebuah tamparan tak terhindarkan mendarat tepat dipipi kiri Jovial. Tatapannya bertemu dengan mata Jasmine yang mengilatkan kemarahan. Gadis itu benar-benar kecewa padanya.
"Jangan pernah hubungi aku lagi, bahkan sekedar menyebut namaku dari mulut kotormu. Aku tidak menyesal dengan apa yang aku lakukan. Camkan itu!" cetusnya sebelum melangkah pergi meninggalkan keheningan yang tercipta.
Jovial menyentuh pipi bekas tamparan Jasmine. Beralih menatap para karyawannya yang masih setia tergugu. "Jangan menatapku sepeti itu!" berangnya.
"Gadis gila," desis Jovial menatap kepergian Jasmine yang menghilang dari balik daun pintu. Setelahnya membanting benda ditangannya penuh emosi.
🍁🍁🍁
"Bodoh, bodoh, bodoh!"
Sekeluarnya dari pintu utama perusahaan yang beberapa saat lalu menjadi tempatnya mengutuk Jovial mati-matian. Disinilah Jasmine, disamping pot besar dengan kepala bersandar pada tembok. Penampilannya memprihatinkan dengan rambut acak-acakkan dan wajah sembab yang tak bisa ia sembunyikan.
Setengah jam ia menghabiskan waktunya di WC umum untuk menangisi hal menantang yang dilakukannya barusan dan keluar saat orang lain menggedor pintu dengan tidak sabaran.
"Aku tidak salah bukan?" monolognya.
"Oh ayolah! Kenapa aku jadi seperti ini?"
"Kau baik-baik saja nona?" seorang pria paruh baya yang kebetulan berlalu bertanya khawatir saat gadis itu berbicara seorang diri.
"Jangan bicara padaku!" bentak Jasmine. Pria itu mengedikkan bahunya, sedikit terkejut sebelum akhirnya memilih melenggang melanjutkan langkahnya menuju tempat tujuan.
Jasmine menutup wajahnya yang merah padam, perlahan melangkah meninggalkan tempat itu. Menyusuri trotoar seorang diri dengan air mata yang tanpa izin terus membasahi pipinya.
Dalam waktu yang bersamaan ia kehilangan seorang pria yang ia pikir benar-benar mencintainya, dan juga kehilangan pekerjaan yang kini membuatnya sebagai seorang pengangguran. Setelah ini apa yang harus ia lakukan?
🍁🍁🍁
TO BE CONTINUE...
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Untuk kesekian kalinya Jasmine hanya dapat menghela napas gusar. Bola matanya bergerak-gerak asal memandang keluar jendela kafe. Memperhatikan tiap orang-orang yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya.Sesekali ia menguap lebar tanpa perlu repot-repot mau menutupnya. Untuk pertama kalinya Jasmine merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna dimuka bumi ini. Tenggelam diantara kesibukan orang-orang disekitar, sementara ia hanya duduk diam dan melamun tanpa melakukan apa-apa.Menyesal diakhir memang tiada berguna. Sebab bagaimanapun kenyataannya semua tetap sama, hal yang ia lakukan tak dapat lagi ia ulang. Walau begitu Jasmine tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak kembali berhubungan dengan seorang Jovial.Ah, Jasmine harus melupakannya!Getaran yang bersumber dari ponselnya menyadarkan Jasmine dari lamunan panjang. Gadis itu melirik sekilas nama yang tertera dilayar benda pipih itu. Bibirnya mengulum tipis, menimbang-nimbang haruskah ia meng
Kamar bernuansa hitam putih itu terdengar bising oleh suara Hair Dryer. Tirai jendelanya belum dibuka, padahal sinar matahari sudah tidak sabar ingin menelusup masuk menyapa pemiliknya. Meja kerjanya yang menghadap ke jendela tampak berantakan dengan berbagai benda yang tergelatak asal diatasnya, termasuk sebuah map berwarna kuning yang tampak kusut.Jovial, selepas mengeringkan rambutnya. Laki-laki itu meraih kameja secara acak dari lemari yang rata-rata hampir semuanya memiliki warna yang sama. Kameja putih, jas hitam adalah pakaian andalannya sehari-hari.Pandangannya jatuh pada jam dinding dikamarnya yang menunjukkan pukul 8 lebih. Biasanya seseorang akan menelpon untuk membangunkannya lebih awal. Tapi hari ini tidak.Langkahnya beringsut menuju jendela, menyibak tirainya seaaat, lantas berdiri tegap dengan kedua tangan didalam saku, membiarkan hangat matahari membelai tubuh gagahnya. Jovial akhirnya mendudukkan tubuhnya sejenak, menata pikiranny
Brakkk...Tubuh gadis itu jatuh terhuyung kala tak sengaja menendang kaleng berisi cat merah yang saat itu juga tumpah melumuri kaki dan pakaiannya.Jasmine meringis menatap telapak tangannya yang sedikit tergores. Ia lantas mendongak saat suara mengintrupsi seorang pria yang dengan sigap turun dari tangga menanyakan keadaannya. Menjeda pekerjaannya yang tengah membuat mural didinding."Kamu tidak apa-apa?"Untuk sesaat Jasmine dibuat terpaku menatap paras laki-laki itu. "Siapa yang menaruh cat ditengah jalan?! Kamu tidak lihat? Aku terluka!" jerit Jasmine."Maaf, sebelumnya saya sudah meletakkan papan diujung sana. Agar yang lewat bisa berhati-hati." Laki-laki berkameja kotak-kotak itu mengarahkan pandangannya pada papan yang diletakan kurang lebih 3 meter dari tempatnya."Jadi disini aku yang salah? Kamu menyalahkan?!" Jasmine mendengus tak terima. Tatapannya yang masih berkaca-kaca menuntut."Bukan begitu maksud
Mata hazel gadis itu memicing saat tak sengaja menangkap pemandangan dimana sepasang kekasih baru saja memasuki sebuah club ternama dipusat kota. Genggamannya pada syal-syal yang dijual dengan harga murah dipinggir jalan ia lepas begitu saja. Perhatiannya beralih pada pasangan tadi, lebih tepatnya pada sosok sang pria yang melingkarkan tangannya posesif pada pinggang gadis disampingnya. Tidak, ia tidak mungkin salah lihat. Gadis itu yakin mengenali wajah pria tersebut. Dengan langkah tergesa ia mengikuti mereka, mengabaikan teriakan temannya yang memanggil-manggil namanya. Masuk ke dalam club dan duduk dekat jajaran minuman-minuman sembari menutupi wajahnya dengan tas selempang. Sebisa mungkin tak ingin terlihat mencurigakan, tapi hal yang dilakukannya justru malah menghasilkan persepsi sebaliknya. "Ingin pesan sesuatu nona?" seorang bartender bertanya, namun saat itu juga ia mengatupkan bibirnya rapat menangkap gerakan dari gadis itu untuk tidak berb