SEJAK pagi itu suara mesin dari kejauhan terus terdengar. Masih samar-samar. Harus memusatkan perhatian penuh agar dapat menangkap suara tersebut secara jelas.
Tak urung, Tiara dibuat sangat penasaran. Berkali-kali gadis itu bertanya pada Abdi suara apa itu sebenarnya. Namun pemuda tersebut hanya menjawab tidak yakin.
"Suaranya terlalu jauh, Bu. Saya tidak bisa mendengar dengan jelas. Jadi, ya masih belum yakin itu suara apa sebenarnya," jawab Abdi.
Itu jawaban yang selalu diberikan Abdi setiap kali Tiara bertanya sewaktu suara itu kembali muncul. Tak pernah berubah satu kata pun.
Tiara semakin dibuat penasaran karena suara misterius itu rutin terdengar tiap pagi. Lalu juga pada sore hari, menjelang malam.
Jelas sudah itu bukan suara kendaraan yang sedang melintas di jalan raya. Sebab tak mungkin rasanya kendaraan yang sama melintas berkali-kali. Lebih tak mungkin lagi ada banyak kendaraan sejenis yang melintas dengan waktu tertentu yang teratur.
SETELAH menahan diri selama dua hari lagi, Tiara akhirnya yakin jika kakinya sudah benar-benar pulih. Gadis itu sudah berulang kali mencari tahu dan mencoba, rasa sakit itu sudah benar-benar hilang.Dari awalnya sekedar ditekan pada bagian yang cedera. Lalu digerak-gerakkan berputar berulang kali. Setelah itu coba untuk berdiri tegak. Kemudian berdiri bertumpu pada kaki yang sakit. Sampai kemudian berjalan.Khusus untuk berjalan, Tiara melakukan percobaan secara bertahap. Mulanya hanya beberapa langkah. Diulangi berkali-kali. Dari pondok ke perapian, lalu kembali lagi ke pondok.Setelah itu coba agak jauh lagi, menjadi sejarak dua kali lipat dari sebelumnya. Sampai akhirnya Tiara bisa berjalan tanpa hambatan menuju sungai. Bukan main senangnya gadis itu dibuatnya."Mulai sekarang aku nggak perlu lagi dibopong Abdi kalau mau mandi ke sungai!" jerit Tiara dalam hati.Ia pun dapat mandi di sungai sepuasnya, kapan saja mau. Tapi, meski sudah tidak lagi
TIARA terbangun dari tidur ketika suara mesin meraung-raung semakin lama semakin jelas terdengar di telinganya. Gadis itu langsung bangkit dan duduk, memasang telinga untuk mencari tahu arah asal suara.Sayangnya gadis itu tidak tahu arah. Tapi dari nyaringnya suara tersebut, Tiara tahu mereka sudah semakin dekat dengan sumbernya. Itu artinya juga semakin dekat dengan pertolongan.Setelah asyik sendiri selama beberapa saat, barulah Tiara menyadari Abdi sudah tidak ada di pondok. Juga tidak terlihat di dekat api unggun. Ke mana pemuda itu? Tahu-tahu saja ia mejadi jeri."Ah, pasti dia ke sungai untuk mengambil air wudhu. Bukankah sekarang sudah waktunya salat Subuh?" batin Tiara untuk menenangkan hatinya.Tepat di saat itulah Abdi kembali dari sungai. Hati Tiara jadi lega melihatnya. Pemuda itu tampak membawa teko tanah liat buatannya, yang langsung diletakkan ke atas bara di perapian."Ibu sudah bangun dari tadi?" tanya Abdi usai menumpangkan teko
TEPAT saat matahari berada di ubun-ubun, kedua anak manusia itu hentikan perjalanan. Abdi memutuskan untuk beristirahat sejenak. Pemuda itu harus menunaikan salat Dzuhur.Tiara menurut saja. Mereka pun membabati satu tempat yang agak rata, lalu dilapisi dedaunan tebal, dan dijadikan sebagai tempat beristirahat.Merasakan betisnya yang terasa sangat tegang, Tiara langsung rebahkan tubuhnya di atas tumpukan dedaunan tebal tersebut. Gadis itu merasa sangat lelah sekali.Agaknya lelah yang dirasakan Tiara pada hari pertama tak sepenuhnya hilang. Justru di hari kedua ini rasa lelah tersebut kembali muncul, bersamaan dengan datangnya lelah yang baru."Saya tinggal ke sungai dulu ya, Bu," pamit Abdi usai membuat api.Tiara langsung tergeragap bangun dari posisi tidurnya."Aku ikut!" ucapnya cepat. Khawatir Abdi langsung pergi setelah berkata tadi.Tiara memang tak mau ditinggalkan sendirian di tempat itu. Apalagi mereka tadi mengambil jalan
SESUAI perkiraan Abdi, hujan deras itu baru benar-benar reda di sore hari. Jauh setelah masuk waktu Ashar. Dengan demikian, tak ada perdebatan lagi mereka harus bermalam di tempat itu.Yang menjadi pekerjaan rumah bagi Abdi adalah membuat api. Segala yang bisa dipergunakan untuk membuat api di sana basah semua. Kayu dan ranting, juga tumpukan dedaunan.Karena itu pula mereka tidak bisa mengolah makanan. Untung saja persediaan makanan mereka masih banyak. Meski lebih banyak berupa buah-buahan hutan yang sedikit mengandung karbohidrat sebagai sumber tenaga."Tak apalah, semoga saja besok pagi sudah bisa membuat api," ujar Tiara. Berusaha menenangkan Abdi yang tampak kecewa."Iya, Bu. Semoga saja. Tapi nanti malam kita gelap-gelapan di sini kalau tidak ada api," sahut Abdi.Barulah Tiara sadar kondisi yang mereka hadapi."Apa?" seru gadis itu kaget. Gelap-gelapan di dalam hutan selebat ini? Tiara sungguh tak pernah membayangkannya."Mau
KEESOKAN hari, selepas sarapan Tiara dan Abdi kembali melanjutkan perjalanan. Langit terlihat cerah. Burung-burung sejak masih pagi-pagi sekali sudah ramai bernyanyi di atas dahan tinggi.Sinar matahari yang langsung benderang begitu muncul di ufuk timur, membuat embun di permukaan dedaunan lekas-lekas pergi menghilang. Angin yang sesekali bertiup menyuarakan bunyi gemerisik merdu.Entah mengapa lagi-lagi suara gergaji mesin tak terdengar pagi itu. Untung saja Abdi punya kemampuan lebih dalam mengingat arah. Sehingga pemuda itu yakin langkahnya hari itu tak bakal salah."Kok kayanya kita semakin jauh dari aliran sungai ya?" tanya Tiara saat menyadari mereka tak lagi berjalan di sepanjang sisi sungai."Iya, Bu. Sungainya berbelok ke utara, sedangkan tujuan kita ke timur atau tenggara," jawab Abdi menjelaskan."Oo ..." Tiara hanya ber-oo ria. Tak tahu harus berkata bagaimana lagi.Namun diam-diam gadis itu berpikir, dengan jauh dari sungai mer
SEPERTI kemarin, hujan siang itu berlangsung sampai jauh sore. Alhasil, Tiara dan Abdi terpaksa menghentikan perjalanan mereka. Keduanya memilih bermalam di pondok kayu.Bagian dalam pondok kayu tersebut sangat lapang. Hanya berupa satu ruangan besar tanpa sekat. Jarak dari permukaan lantai ke atap juga tinggi. Semakin menambah kesan luas.Pondok itu hanya punya satu-satunya pintu yang menjadi akses keluar-masuk. Sebagai atap, bagian atas pondok ditutupi dengan welit. Yakni atap tradisional terbuat dari susunan ilalang, yang dijepit dengan bambu panjang.Di antara tangga dan pintu tangga terdapat teras mungil. Rasanya asyik menghabiskan sore sambil duduk-duduk menghirup teh bunga telang di sana."Tempat apa ini? Siapa yang membuat?" gumam Tiara saat kakinya melangkah masuk ke dalam pondok. Seketika matanya memandang berkeliling.Abdi hentikan langkah begitu melewati ambang pintu. Pemuda itu mengamat-amati bagian dalam pondok. Terdapat beberapa tand
TIARA tak begitu paham soal isu-isu terkait pembalakan hutan. Tapi kalau Abdi mengatakan para pembalak liar itu sekelompok pelanggar hukum, artinya mereka orang-orang jahat dong?Sebentuk rasa takut seketika merayapi benak Tiara. Seumur-umur gadis itu belum pernah berurusan dengan para pelanggar hukum. Kecuali teman-temannya di masa kecil yang suka mencuri buah di pekarangan tetangga.Gadis itu beruntung di perusahaannya yang terhitung berusia seumur jagung belum pernah ada kasus hukum. Karyawannya sejauh ini tidak ada yang aneh-aneh, yang terindikasi melakukan tindakan melanggar hukum."Mmm, kecuali nanti terbukti Anita merekayasa laporan keuangan tahun lalu," batin gadis itu menambahkan.Ya, kalau pun nanti berkasus, sejauh ini hanya dugaan rekayasa laporan keuangan yang disusun Anita yang jadi kandidat pemecah rekor. Untuk itu Tiara musti segera kembali ke Jakarta untuk membongkarnya.Sedangkan pelanggar hukum dari luar kalangan kerah putih, Tia
DALAM suasana mencekam, Tiara dan Abdi bergegas mengemasi barang-barang bawaan mereka. Jangan sampai ada yang tertinggal satu pun. Atau bakal ketahuan kalau mereka pernah tinggal di pondok kayu tersebut. Turun ke bawah, Abdi membersihkan sisa-sisa perapian yang dibuatnya semalam. Arang hitam sisa perapian disebarnya, lalu ditaburi remahan tanah agar terkesan sudah lama. Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, serta memeriksa kanan-kiri dan yakin situasi aman, Abdi membawa Tiara membelah ilalang di antara pohon-pohon yang tinggi menjulang. Mereka melanjutkan perjalanan terlebih dahulu sarapan pagi. Abdi mengambil arah selatan sebagai tujuan. Menurut perhitungannya, ke sanalah arah yang paling tepat untuk menjauhi tempat keberadaan para pembalak liar. Tentu saja pemuda itu berharap perhitungannya tidak salah. "Sejak kapan kamu punya dugaan kalau mereka adalah pembalak liar?" tanya Tiara tiba-tiba, dengan nada menggugat. Ketika itu mereka ten
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra