Suara barusan mengalihkan atensi Rena. Seorang perempuan tua tersenyum ramah padanya sembari membungkukkan badan. “Mbok Ira,” gumam Rena dengan pandangan yang tampak berkaca-kaca. Gadis itu langsung memeluk sang kepala asisten rumah tangga yang masih setia berada di rumah almarhum Papinya. Kedua perempuan beda usia tersebut saling melepas rindu satu sama lain. “Nona Rena makin cantik ya,” puji si Mbok. “Mbok kangen sama Non.” “Aku juga. Mbok sehat? Kenapa masih bekerja?” tanya Rena yang kini sibuk meneliti penampilan pelayan kepercayaan nomor satu di rumah itu. Tampak rambut yang hampir sepenuhnya memutih dengan kulit yang sudah keriput sana-sana. Belum lagi tubuhnya yang dibantu dengan tongkat untuk berdiri. Mbok Ira sungguh layak untuk mengambil jatah pensiunnya. Karena lama tak bersua, mereka memilih untuk duduk di sofa yang tak jauh dari sana. Masih saling bergenggaman tangan dengan senyum yang menghiasi wajah tentunya. “Kenap
Jason yang masih bisa mendengar suara mantan Rena itu hanya menolehkan kepalanya sejenak tanpa berniat menimpali apapun. Kakinya kembali melangkah menuju pintu keluar cafe. Tindakan tadi membuat Bara geram. Lantas dia pun bergegas menyusul Jason yang sudah tiba di area parkiran. “Mau apa lagi?” tanya Jason begitu menyadari bahwa ada yang membuntuti langkahnya. Bara yang sudah mengepalkan kedua tangannya bersiap hendak melayangkan pukulan ke Jason, namun niatnya terjeda begitu melihat tangan pria tersebut terangkat ke udara. “Perhatikan di mana kau berada sekarang. Ingin reputasi Erlangga Hotel buruk dengan menyerangku di ruangan terbuka begini?” cibir Jason straight to the point. Dia tersenyum miring sambil menggelengkan kepala. “Emosimu selalu tak terkendali. Memang benar ya. Rena cocok meninggalkanmu. Sangat kekanak-kanakan.” “Kau!!” “Lebih baik kau bersihkan namanya secepat mungkin. Setidaknya bisa mengurangi beban yang dideritanya.” Jason
Rena malah bergerak mundur begitu sosok tersebut melangkah maju ingin mendekat. Sorot matanya menyiratkan tatapan waspada. “Nak,” ucap wanita paruh baya yang kini sudah bersimpuh di depannya. “Nyonya.” Mbok Ira segera mendekat, namun langkahnya terhenti ketika melihat gelengan mantan majikannya itu. “Mbok, pie tadi buatan siapa?” Diam. Pertanda bahwa dugaannya benar. Pantas saja si Mbok tak menjawab pertanyaannya tadi. “Bisa kita bicara, Nak? Mami mohon.” Rena tak menggubris permintaan tersebut. Dia melirik sang Mami sejenak lalu membalikkan tubuhnya. Memilih kabur ke kamar untuk menumpahkan rasa marah yang telah menyesakkan dada. Setengah jam sudah berlalu. Hatinya sudah lebih baik. Bahkan dia mempersilakan si Mbok untuk masuk ke kamarnya. “Maaf, Non kalau Mbok lancang mengatakan ini,” kata Mbok Ira. Sang gadis kembali bungkam. Membiarkan kepala pelayan tersebut untuk melanjutkan kalimatnya. “Nyonya sangat merindukan Non. Dia
Pagi-pagi sekali di kamar Rena sudah terdengar bising. Gadis itu mengomel pada Jason karena dia masih tak percaya diri untuk tampil di depan publik nanti. “Bukankah kau menganggapku Abang?” decak Jason sembari menahan rasa kesalnya. Rena mengangguk pelan dengan bibir yang terus maju. “Maka dengarkan kata-kataku. Kau hanya perlu diam, tersenyum lalu melambaikan tangan. Tak usah memberikan komentar kalau memang dirasa tak membuatmu nyaman. Paham?” kata Jason memberikan intruksi. Bersamaan dengan itu Nyonya Adhisty muncul. Senyumnya merekah begitu melihat pemandangan akur di depan mata. “Apa ada kendala hemm?” tanyanya begitu lembut. “Hah. Untunglah Mami datang kemari tepat waktu. Lihatlah. Putri Mami nih. Keras kepalanya enggak ada lawan,” adu Jason yang langsung mendapatkan lirikan tajam dari si gadis. “Apa??” tantangnya lagi. “Kenapa, Nak? Apa perlu Mami bantu riasannya?” tawar sang Mami yang kini membelai pelan puncak kepala sang Putri yang sekarang sed
“Papi sangat mencintamu, Ren,” kata Jason dari arah belakang. Ucapan tadi dibuktikan dengan banyak foto Rena yang ada di sana. Ya. Hanya wajahnya seorang yang terlihat di deretan figura tersebut. Mulai dari dia lahir hingga beranjak remaja bahkan menjadi dewasa seperti sekarang. “Ini?” Gadis itu menunjuk foto dirinya ketika hendak pergi ke panti beberapa bulan lalu. Sekaligus menjadi yang terakhir di mana sang almarhum Papi memajang potretnya. “Tanpa kau tahu bahwa Papi selalu mengirim anak buahnya untuk membuntutimu,” jelas Jason seolah menjawab tanda tanya di benaknya. “Benar, Nak,” kata Nyonya Adhisty yang kini menghampirinya dari samping. Dia pun kembali mengenang masa di mana tak bisa mendekati Rena kala itu. Ya. Setelah bercerai, sang Mami sama sekali tak bisa melihatnya dari jarak dekat. Selalu saja dihalangi oleh orang suruhan Papi Rena. “Maafkan aku juga, Mi. Untuk masalah itu sangat menyesal karena tak bisa berbuat apa-apa,” kenang Jason. “Kena
“Aku yakin tadi bukan seperti itu kejadiannya,” ucap Jason ketika mobil yang dikendarainya bergerak menjauhi kediaman Tuan Jimmy. Rena melirik ke arahnya sejenak lalu tersenyum tipis. “Pasti Sandra mengatakan sesuatu bukan? Dia terlihat begitu cemburu.” “Terserahlah. Aku tak peduli,” gumam Rena yang justru tampak santai. “Hmm ya. Masih banyak hal yang harus kau pikirkan memang. Terutama tentang perusahaan.” “Ayolah, Abangku yang menyebalkan. Aku sama sekali tak begitu tertarik dengan perusahaan itu,” keluh Rena. “Kau harus belajar. Kelak aku akan menyerahkannya padamu.” “Tidak. Aku ingin kau yang urus,” sergah Rena. “Jangan pernah tinggalkan aku.” Mendengar ucapan barusan Jason pun tergelak. “Wah wah. Sejak kapan kau jadi ketergantungan begini?” “Sejak aku tahu kau mampu menghasilkan lebih banyak uang,” cengir sang gadis yang langsung mendapatkan hadiah sentilan keras di area dahinya. Keduanya lantas terkekeh bersama. Masa-masa indah yang sempat hilang karena kes
“Lepas kataku!” sentak Rena sembari berusaha ke luar dari dekapan sang mantan. Sayangnya ucapan tadi bukan terdengar sebagai perintah. Bara semakin mengeratkan pelukannya. “Kau boleh menamparku setelah ini. Silakan saja.” Memang dasar keras kepala. Sekeras apapun Rena mencoba hasilnya akan sia-sia. Sumpah, sekarang dia hanya bisa pasrah. Membiarkan Bara mengunci tubuhnya dari belakang. “Aku masih mencintaimu, Ren. Tak bisakah kita bersama?” “Tidak,” balas sang gadis cepat. “Kenapa?” tanya Bara yang kini sudah melepaskan pelukannya. “Apa kau ... menerima lamaran Jason?” Dahi Rena berkerut seketika. Dari mana Bara tahu bahwa Jason pernah menyatakan demikian? Jelas membuat gadis itu bertanya-tanya. “Maaf. Aku hanya asal bicara. Tapi sepertinya dia memang tertarik padamu.” Bara terlihat salah tingkah. Namun dia tak peduli. Yang terpenting apa yang ada di hati sudah tersampaikan. Begitu yang ada di pikirannya sekarang. “Kenapa? Apa kau akan menikah dengannya?” tanya Bara lagi k
“Apa kau ingin membunuhku?” David yang mendapat umpatan dari sang atasan sekaligus teman kecilnya itu hanya mengulum senyum. Sama sekali tak ambil pusing dengan yang dikatakan Bara barusan. “Kalau kau terlambat lima menit saja. Aku pasti sudah tak bernyawa,” ketus Bara dengan wajah masamnya. “Tuhan berkata lain bukan? Buktinya Bapak tidak apa-apa,” sanggah David dengan berani. “Justru kejadian mengerikan tadi ada hikmahnya. Bapak bisa tahu bahwa Nona Rena masih mencintai Bapak. Bukankah itu bagus?” Ya. Benar yang dikatakan oleh sang asisten. Kini kedua matanya bergerak kian kemari mencari sosok Rena. “Dia sedang bersama Jason. Pria itu mengajaknya ke kantin untuk makan siang,” jelas David yang bisa menebak isi pikiran seorang Bara. Di sisi lain Rena tampak gelisah. Hanya beberapa suap makanan yang mampu masuk ke mulutnya. “Sudahlah. Mantanmu yang menyebalkan itu takkan mati sekarang,” dengus Jason dengan senyuman miringnya. Rena membolakan m