“Lepas kataku!” sentak Rena sembari berusaha ke luar dari dekapan sang mantan. Sayangnya ucapan tadi bukan terdengar sebagai perintah. Bara semakin mengeratkan pelukannya. “Kau boleh menamparku setelah ini. Silakan saja.” Memang dasar keras kepala. Sekeras apapun Rena mencoba hasilnya akan sia-sia. Sumpah, sekarang dia hanya bisa pasrah. Membiarkan Bara mengunci tubuhnya dari belakang. “Aku masih mencintaimu, Ren. Tak bisakah kita bersama?” “Tidak,” balas sang gadis cepat. “Kenapa?” tanya Bara yang kini sudah melepaskan pelukannya. “Apa kau ... menerima lamaran Jason?” Dahi Rena berkerut seketika. Dari mana Bara tahu bahwa Jason pernah menyatakan demikian? Jelas membuat gadis itu bertanya-tanya. “Maaf. Aku hanya asal bicara. Tapi sepertinya dia memang tertarik padamu.” Bara terlihat salah tingkah. Namun dia tak peduli. Yang terpenting apa yang ada di hati sudah tersampaikan. Begitu yang ada di pikirannya sekarang. “Kenapa? Apa kau akan menikah dengannya?” tanya Bara lagi k
“Apa kau ingin membunuhku?” David yang mendapat umpatan dari sang atasan sekaligus teman kecilnya itu hanya mengulum senyum. Sama sekali tak ambil pusing dengan yang dikatakan Bara barusan. “Kalau kau terlambat lima menit saja. Aku pasti sudah tak bernyawa,” ketus Bara dengan wajah masamnya. “Tuhan berkata lain bukan? Buktinya Bapak tidak apa-apa,” sanggah David dengan berani. “Justru kejadian mengerikan tadi ada hikmahnya. Bapak bisa tahu bahwa Nona Rena masih mencintai Bapak. Bukankah itu bagus?” Ya. Benar yang dikatakan oleh sang asisten. Kini kedua matanya bergerak kian kemari mencari sosok Rena. “Dia sedang bersama Jason. Pria itu mengajaknya ke kantin untuk makan siang,” jelas David yang bisa menebak isi pikiran seorang Bara. Di sisi lain Rena tampak gelisah. Hanya beberapa suap makanan yang mampu masuk ke mulutnya. “Sudahlah. Mantanmu yang menyebalkan itu takkan mati sekarang,” dengus Jason dengan senyuman miringnya. Rena membolakan m
Di sinilah Rena sekarang. Terpaksa menemani Amel di rumah sakit yang sedang dituntut untuk bertanggung jawab. Belum sampai satu jam, Rena mengernyit heran ketika melihat sang teman yang tampak gelisah tak jauh dari tempat Bara berbaring. “Maaf, Pak,” gumam Amel dengan wajah bimbangnya. Bara menoleh sejenak lalu bergumam pelan. “Kenapa lagi? Mau di penjara?” Rena berdecap lidah mendengar ancaman barusan. Tak pelak dia menunggu Amel buka suara lagi. “Kenapa, Mel?” “A-anu, Ren, Pak. Ibu saya sedang di rumah sendirian. Saya takut kalau asmanya kumat. Apalagi sekarang lagi musim hujan. Adik saya sedang PKL di desa. Sementara Ayah saya masih menginap di kampung.” Alih-alih merasa iba, Bara menghela napas pelan. “Apa urusannya denganku? Kau ini mau curhat atau apa sih?” “Dasar tak punya hati,” ketus Rena. “Kasihan Ibunya di rumah sendiri.” “Terus aku bagaimana? Punya keluarga tetapi semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tak mungkin aku merepotkan David
Rena menggeser tubuhnya agar sang wanita bisa masuk ke dalam ruang rawatan.“Jadi kau yang menjaganya satu malaman?”“Iya,” jawab Rena cepat. “Itu hanya karena—““Aku yang meminta. Hanya Rena yang boleh menemaniku.” Suara barusan membuat kedua wanita tadi menoleh ke arah belakang. Tampak Bara bergerak untuk mengambil posisi duduknya.“Kenapa tak bilang kalau kau sakit? Untung Kak Tita yang beri tahu.”“Aku tak butuh bantuanmu,” pungkas Bara seraya menepis lengannya yang disentuh Sandra barusan.Kekehan kecil lolos dari mulut putri sambung Mami Rena itu. “Baiklah. Oh ya Kakakku tersayang Rena. Lebih baik kau segera pergi. Jangan temui Bara lagi. Dia calon tunanganku.”“Sandra.”“Kenapa? Memang benar ‘kan? Aku tak mau hubungan masa lalu kalian yang tak penting menjadi penghalang masa depan kita, Bara.” Rena yang malas berhadapan dengan sejoli itu memilih menyambar tas yang terletak di atas nakas. Di saat yang sama Jason sudah menyembul di depan pintu.
“Ya sudah kalau memang tak ada yang kalian sembunyikan,” kata Nyonya Adhisty. “Kenapa malah tegang begitu? Mami hanya bertanya.” Rena dan Jason saling berpandangan lalu memaksakan senyuman mereka.“Mami bawain makan siang nih. Ada pie madu kesukaan Rena dan kacang almond panggang untuk Jason.”“Wah. Kebetulan sekali aku sedang lapar. Masih ada waktu sekitar lima belas menit untuk mengisi perut,” gumam Jason usai melirik sebentar arloji di tangan kanannya. Ketiganya lantas masuk ke ruangan Rena. Menyantap makanan yang dibawa sang Mami dengan suka cita.“Mami?”Nyonya Ashisty menggeleng pelan sambil tersenyum. “Mami sudah sarapan di rumah, Sayang.”Rena mengangguk lalu kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Saking senangnya diberi kejutan oleh sang Mami, dia hampir lupa kalau wanita yang pernah melahirkannya itu sudah ada keluarga yang tentu saja juga menjadi prioritasnya.“Aku lupa ada Sandra dan Tuan Jimmy yang pasti akan mengingatkan Mami sarapan,” ceng
Rena hampir lupa bernapas usai melihat bayangan hitam yang semakin mendekat ke arahnya. Suasana mirip adegan mencekam itu terasan nyata di depan mata. “Hei!!” Suara barusan membuat orang tadi terkejut. Lantas dia pun mengambil langkah cepat untuk ke luar dari ruangan sang gadis. Sayang sekali. Langkahnya tertahan begitu mendapati dua orang petugas keamanan yang sudah mengambil ancang-ancang. Lampu pun kembali menyala. Buru-buru Rena ke luar dari balik lemari dan menyambar ponsel beserta tasnya dengan tubuh gemetar. “Kau tak pa-pa?” tanya Jason yang ternyata masih belum meninggalkan kantor. Rena mengangguk pelan usai menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kini dia hanya bisa pasrah ketika Jason terus menggenggam tangannya hingga berada di area parkiran. “Tenanglah, Ren. Semua baik-baik saja sekarang. Kau tunggu di sini sebentar.” Setelahnya Jason bergegas menuju pos keamanan. Ingin melihat langsung penyusup yang hampir saja mencelakai Rena. Raha
“Kalian kenapa?” tanya Tuan Jimmy begitu melihat Sandra dan Nyonya Adhisty saling berpelukan. “Tidak, Sayang. Aku baru saja menjelaskan pada Sandra bahwa dia dan Rena adalah sama. Dua Putri yang kusayangi dengan sepenuh hati,” gumam sang istri yang mulai melebarkan senyumnya. Tuan Jimmy terkekeh sejenak sebelum akhirnya mendapati sorot wajah sendu dari Sandra. “Jangan bilang kalau dia melakukan hal yang aneh sebagai perwujudan rasa cemburunya?” Sontak sang Putri langsung membelalakkan mata. Seolah Papanya paham bagaimana watak dirinya dalam melampiaskan emosi. “Kau terlalu berlebihan,” sanggah Nyonya Adhisty. “Sandra sudah dewasa. Dia tidak akan seperti itu lagi.” “Sungguh?” gumam Tuan Jimmy yang malah tampak curiga. Dengusan kesal Sandra membuat sepasang suami istri terkekeh pelan. “Dia itu pencemburu. Lupa kalau Mamanya yang cantik ini adalah seorang artis. Kau lupa waktu duduk di bangku kuliah dulu. Dia sampai menjambak rambut temannya hemm?” “Papa,” rengek Sand
Jantung Rena berdegup begitu cepat usai mendengar kabar dari sang pelayan. Refleks dia berteriak histeris sembari berlari menuju tempat kejadian. Hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahnya mobil Bara sudah terlihat tak utuh lagi. Bagian depannya rusak cukup parah. Sementara sang pemilik yang masih tak sadarkan diri tengah dinaikkan ke atas brankar.“Badannya basah kuyup. Malah panas lagi,” celetuk salah seorang penonton yang melihat keadaan Bara.“Kasihan ya. Lagi sakit kok malah nyetir,” kata yang lainnya. Rena yang mendengar itu semua menganga dengan satu tangannya yang hendak menerobos kerumunan di depan mata. Sedangkan Jason yang baru saja tiba segera mengambil ancang-ancang untuk mendekat.“Ayo kita susul ke rumah sakit.”Rena menggeleng cepat. “Aku ... mau ke ambulans.” Tanpa mengucapkan sepatah katapun Jason langsung mengantarkan Adik angkatnya itu menuju mobil sewarna putih susu yang dimaksud. “Kau tenanglah. Dia takkan