Rena menggeser tubuhnya agar sang wanita bisa masuk ke dalam ruang rawatan.“Jadi kau yang menjaganya satu malaman?”“Iya,” jawab Rena cepat. “Itu hanya karena—““Aku yang meminta. Hanya Rena yang boleh menemaniku.” Suara barusan membuat kedua wanita tadi menoleh ke arah belakang. Tampak Bara bergerak untuk mengambil posisi duduknya.“Kenapa tak bilang kalau kau sakit? Untung Kak Tita yang beri tahu.”“Aku tak butuh bantuanmu,” pungkas Bara seraya menepis lengannya yang disentuh Sandra barusan.Kekehan kecil lolos dari mulut putri sambung Mami Rena itu. “Baiklah. Oh ya Kakakku tersayang Rena. Lebih baik kau segera pergi. Jangan temui Bara lagi. Dia calon tunanganku.”“Sandra.”“Kenapa? Memang benar ‘kan? Aku tak mau hubungan masa lalu kalian yang tak penting menjadi penghalang masa depan kita, Bara.” Rena yang malas berhadapan dengan sejoli itu memilih menyambar tas yang terletak di atas nakas. Di saat yang sama Jason sudah menyembul di depan pintu.
“Ya sudah kalau memang tak ada yang kalian sembunyikan,” kata Nyonya Adhisty. “Kenapa malah tegang begitu? Mami hanya bertanya.” Rena dan Jason saling berpandangan lalu memaksakan senyuman mereka.“Mami bawain makan siang nih. Ada pie madu kesukaan Rena dan kacang almond panggang untuk Jason.”“Wah. Kebetulan sekali aku sedang lapar. Masih ada waktu sekitar lima belas menit untuk mengisi perut,” gumam Jason usai melirik sebentar arloji di tangan kanannya. Ketiganya lantas masuk ke ruangan Rena. Menyantap makanan yang dibawa sang Mami dengan suka cita.“Mami?”Nyonya Ashisty menggeleng pelan sambil tersenyum. “Mami sudah sarapan di rumah, Sayang.”Rena mengangguk lalu kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Saking senangnya diberi kejutan oleh sang Mami, dia hampir lupa kalau wanita yang pernah melahirkannya itu sudah ada keluarga yang tentu saja juga menjadi prioritasnya.“Aku lupa ada Sandra dan Tuan Jimmy yang pasti akan mengingatkan Mami sarapan,” ceng
Rena hampir lupa bernapas usai melihat bayangan hitam yang semakin mendekat ke arahnya. Suasana mirip adegan mencekam itu terasan nyata di depan mata. “Hei!!” Suara barusan membuat orang tadi terkejut. Lantas dia pun mengambil langkah cepat untuk ke luar dari ruangan sang gadis. Sayang sekali. Langkahnya tertahan begitu mendapati dua orang petugas keamanan yang sudah mengambil ancang-ancang. Lampu pun kembali menyala. Buru-buru Rena ke luar dari balik lemari dan menyambar ponsel beserta tasnya dengan tubuh gemetar. “Kau tak pa-pa?” tanya Jason yang ternyata masih belum meninggalkan kantor. Rena mengangguk pelan usai menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kini dia hanya bisa pasrah ketika Jason terus menggenggam tangannya hingga berada di area parkiran. “Tenanglah, Ren. Semua baik-baik saja sekarang. Kau tunggu di sini sebentar.” Setelahnya Jason bergegas menuju pos keamanan. Ingin melihat langsung penyusup yang hampir saja mencelakai Rena. Raha
“Kalian kenapa?” tanya Tuan Jimmy begitu melihat Sandra dan Nyonya Adhisty saling berpelukan. “Tidak, Sayang. Aku baru saja menjelaskan pada Sandra bahwa dia dan Rena adalah sama. Dua Putri yang kusayangi dengan sepenuh hati,” gumam sang istri yang mulai melebarkan senyumnya. Tuan Jimmy terkekeh sejenak sebelum akhirnya mendapati sorot wajah sendu dari Sandra. “Jangan bilang kalau dia melakukan hal yang aneh sebagai perwujudan rasa cemburunya?” Sontak sang Putri langsung membelalakkan mata. Seolah Papanya paham bagaimana watak dirinya dalam melampiaskan emosi. “Kau terlalu berlebihan,” sanggah Nyonya Adhisty. “Sandra sudah dewasa. Dia tidak akan seperti itu lagi.” “Sungguh?” gumam Tuan Jimmy yang malah tampak curiga. Dengusan kesal Sandra membuat sepasang suami istri terkekeh pelan. “Dia itu pencemburu. Lupa kalau Mamanya yang cantik ini adalah seorang artis. Kau lupa waktu duduk di bangku kuliah dulu. Dia sampai menjambak rambut temannya hemm?” “Papa,” rengek Sand
Jantung Rena berdegup begitu cepat usai mendengar kabar dari sang pelayan. Refleks dia berteriak histeris sembari berlari menuju tempat kejadian. Hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahnya mobil Bara sudah terlihat tak utuh lagi. Bagian depannya rusak cukup parah. Sementara sang pemilik yang masih tak sadarkan diri tengah dinaikkan ke atas brankar.“Badannya basah kuyup. Malah panas lagi,” celetuk salah seorang penonton yang melihat keadaan Bara.“Kasihan ya. Lagi sakit kok malah nyetir,” kata yang lainnya. Rena yang mendengar itu semua menganga dengan satu tangannya yang hendak menerobos kerumunan di depan mata. Sedangkan Jason yang baru saja tiba segera mengambil ancang-ancang untuk mendekat.“Ayo kita susul ke rumah sakit.”Rena menggeleng cepat. “Aku ... mau ke ambulans.” Tanpa mengucapkan sepatah katapun Jason langsung mengantarkan Adik angkatnya itu menuju mobil sewarna putih susu yang dimaksud. “Kau tenanglah. Dia takkan
“Please,” mohon Rena dengan wajah yang sudah ketakutan. “Ini hanya sementara.” Bara mendengus kasar lalu meneliti bagian lengan kanannya yang masih dibalut perban. Ada rasa nyeri yang menjalar hingga ke bagian bahu mantan tampan Rena itu.“Sebentar, aku akan panggilkan suster,” gumam Rena kemudian. Satu tangannya bergerak melepas cengkaraman pada tangan kiri Bara yang tadi bergerak tak karuan. Lantas dia pun berpindah ke bagian belakang sang pria untuk menekan bel dengan perlahan. Tak sampai satu menit petugas medis sudah menyembul di ambang pintu.“Pasien sudah sadar,” kata Rena.“Baiklah. Saya akan ambilkan obat untuk pasien sebentar,” pamit sang perawat undur diri. Kembali dengan sebuah nampan berisi sarapan dan obat-obatan, kini petugas medis tadi menjelaskan pada Rena selaku keluarga pasien.“Terimakasih, Sus.” Rena pun mengambil inisiatif untuk menyuapkan sang mantan. Bagaimana tidak, tangan kanannya belum bisa berfungsi seperti se
“Auh!” ringis Bara ketika mendapat cubitan di bagian lutut kanannya. Rena lantas mencebikkan bibir lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Duduk dengan kaki bersilang sembari memposisikan tangan bersidekap.“Ayolah. Kenapa kau tega begitu sih? Aku butuh bantuan,” goda Bara sembari menaik-turunkan kedua alisnya.Sang gadis berdecak kesal. Seolah tak peduli dengan ucapan barusan. Detik selanjutnya dia bangkit dari duduknya.“Hei, mau ke mana?” Sayangnya seruan Bara tak ditanggapi. Pria itu mendengus pelan sembari kembali berbaring seperti semula. Hingga lima menit kemudian Rena muncul bersama dengan seorang perawat lelaki di sampingnya.“Bersihkan dirimu. Jangan merepotkan orang lain,” gumam Rena kemudian. Tak pelak gadis cantik itu bergerak untuk menyiapkan pakaian ganti sang mantan. Lengkap dengan peralatan mandi yang memang sudah diantarkan oleh sopir beberapa saat yang lalu.“Aku akan tunggu di luar selagi dirimu berbenah diri.”“Hah. Padahal aku
Pagi-pagi sekali Rena sudah meninggalkan rumah sakit. Tak lupa mengirimkan pesan pada Tora untuk menggantikannya berjaga.“Nona Rena sudah pergi, Bos,” lapor seorang pengawal pada Bara.“Shit. Kenapa kalian tidak bangunkan aku hah??” sentak Bara yang sudah tersulut emosi. Pria itu menggeram lantas menyugar rambutnya ke arah belakang dengan kasar. Pembicaraan dari hati ke hati malam tadi masih juga tak mampu meluluhkan Rena. Sungguh dia menjadi frustasi akibatnya. Malah lebih sakit daripada fraktur klavikula yang dialaminya saat ini.“Apa Bos butuh sesuatu?”“Tidak,” ketus Bara. “Keluarlah!” Sementara di sisi yang lain. Jason yang tengah berolah raga di atas balkon menyipitkan mata usai melihat kedatangan Rena. Langkah sang gadis yang berlari kecil seolah menjadi pertanda bahwa ia tak baik-baik saja. Buru-buru dia menyeka peluh. Lantas menuruni anak tangga untuk menyambut Adik angkatnya itu.“Morning!” sapa Jason seraya melebarkan senyumn