“Apa kau ingin membunuhku?” David yang mendapat umpatan dari sang atasan sekaligus teman kecilnya itu hanya mengulum senyum. Sama sekali tak ambil pusing dengan yang dikatakan Bara barusan. “Kalau kau terlambat lima menit saja. Aku pasti sudah tak bernyawa,” ketus Bara dengan wajah masamnya. “Tuhan berkata lain bukan? Buktinya Bapak tidak apa-apa,” sanggah David dengan berani. “Justru kejadian mengerikan tadi ada hikmahnya. Bapak bisa tahu bahwa Nona Rena masih mencintai Bapak. Bukankah itu bagus?” Ya. Benar yang dikatakan oleh sang asisten. Kini kedua matanya bergerak kian kemari mencari sosok Rena. “Dia sedang bersama Jason. Pria itu mengajaknya ke kantin untuk makan siang,” jelas David yang bisa menebak isi pikiran seorang Bara. Di sisi lain Rena tampak gelisah. Hanya beberapa suap makanan yang mampu masuk ke mulutnya. “Sudahlah. Mantanmu yang menyebalkan itu takkan mati sekarang,” dengus Jason dengan senyuman miringnya. Rena membolakan m
Di sinilah Rena sekarang. Terpaksa menemani Amel di rumah sakit yang sedang dituntut untuk bertanggung jawab. Belum sampai satu jam, Rena mengernyit heran ketika melihat sang teman yang tampak gelisah tak jauh dari tempat Bara berbaring. “Maaf, Pak,” gumam Amel dengan wajah bimbangnya. Bara menoleh sejenak lalu bergumam pelan. “Kenapa lagi? Mau di penjara?” Rena berdecap lidah mendengar ancaman barusan. Tak pelak dia menunggu Amel buka suara lagi. “Kenapa, Mel?” “A-anu, Ren, Pak. Ibu saya sedang di rumah sendirian. Saya takut kalau asmanya kumat. Apalagi sekarang lagi musim hujan. Adik saya sedang PKL di desa. Sementara Ayah saya masih menginap di kampung.” Alih-alih merasa iba, Bara menghela napas pelan. “Apa urusannya denganku? Kau ini mau curhat atau apa sih?” “Dasar tak punya hati,” ketus Rena. “Kasihan Ibunya di rumah sendiri.” “Terus aku bagaimana? Punya keluarga tetapi semuanya sibuk dengan urusan masing-masing. Tak mungkin aku merepotkan David
Rena menggeser tubuhnya agar sang wanita bisa masuk ke dalam ruang rawatan.“Jadi kau yang menjaganya satu malaman?”“Iya,” jawab Rena cepat. “Itu hanya karena—““Aku yang meminta. Hanya Rena yang boleh menemaniku.” Suara barusan membuat kedua wanita tadi menoleh ke arah belakang. Tampak Bara bergerak untuk mengambil posisi duduknya.“Kenapa tak bilang kalau kau sakit? Untung Kak Tita yang beri tahu.”“Aku tak butuh bantuanmu,” pungkas Bara seraya menepis lengannya yang disentuh Sandra barusan.Kekehan kecil lolos dari mulut putri sambung Mami Rena itu. “Baiklah. Oh ya Kakakku tersayang Rena. Lebih baik kau segera pergi. Jangan temui Bara lagi. Dia calon tunanganku.”“Sandra.”“Kenapa? Memang benar ‘kan? Aku tak mau hubungan masa lalu kalian yang tak penting menjadi penghalang masa depan kita, Bara.” Rena yang malas berhadapan dengan sejoli itu memilih menyambar tas yang terletak di atas nakas. Di saat yang sama Jason sudah menyembul di depan pintu.
“Ya sudah kalau memang tak ada yang kalian sembunyikan,” kata Nyonya Adhisty. “Kenapa malah tegang begitu? Mami hanya bertanya.” Rena dan Jason saling berpandangan lalu memaksakan senyuman mereka.“Mami bawain makan siang nih. Ada pie madu kesukaan Rena dan kacang almond panggang untuk Jason.”“Wah. Kebetulan sekali aku sedang lapar. Masih ada waktu sekitar lima belas menit untuk mengisi perut,” gumam Jason usai melirik sebentar arloji di tangan kanannya. Ketiganya lantas masuk ke ruangan Rena. Menyantap makanan yang dibawa sang Mami dengan suka cita.“Mami?”Nyonya Ashisty menggeleng pelan sambil tersenyum. “Mami sudah sarapan di rumah, Sayang.”Rena mengangguk lalu kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Saking senangnya diberi kejutan oleh sang Mami, dia hampir lupa kalau wanita yang pernah melahirkannya itu sudah ada keluarga yang tentu saja juga menjadi prioritasnya.“Aku lupa ada Sandra dan Tuan Jimmy yang pasti akan mengingatkan Mami sarapan,” ceng
Rena hampir lupa bernapas usai melihat bayangan hitam yang semakin mendekat ke arahnya. Suasana mirip adegan mencekam itu terasan nyata di depan mata. “Hei!!” Suara barusan membuat orang tadi terkejut. Lantas dia pun mengambil langkah cepat untuk ke luar dari ruangan sang gadis. Sayang sekali. Langkahnya tertahan begitu mendapati dua orang petugas keamanan yang sudah mengambil ancang-ancang. Lampu pun kembali menyala. Buru-buru Rena ke luar dari balik lemari dan menyambar ponsel beserta tasnya dengan tubuh gemetar. “Kau tak pa-pa?” tanya Jason yang ternyata masih belum meninggalkan kantor. Rena mengangguk pelan usai menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Kini dia hanya bisa pasrah ketika Jason terus menggenggam tangannya hingga berada di area parkiran. “Tenanglah, Ren. Semua baik-baik saja sekarang. Kau tunggu di sini sebentar.” Setelahnya Jason bergegas menuju pos keamanan. Ingin melihat langsung penyusup yang hampir saja mencelakai Rena. Raha
“Kalian kenapa?” tanya Tuan Jimmy begitu melihat Sandra dan Nyonya Adhisty saling berpelukan. “Tidak, Sayang. Aku baru saja menjelaskan pada Sandra bahwa dia dan Rena adalah sama. Dua Putri yang kusayangi dengan sepenuh hati,” gumam sang istri yang mulai melebarkan senyumnya. Tuan Jimmy terkekeh sejenak sebelum akhirnya mendapati sorot wajah sendu dari Sandra. “Jangan bilang kalau dia melakukan hal yang aneh sebagai perwujudan rasa cemburunya?” Sontak sang Putri langsung membelalakkan mata. Seolah Papanya paham bagaimana watak dirinya dalam melampiaskan emosi. “Kau terlalu berlebihan,” sanggah Nyonya Adhisty. “Sandra sudah dewasa. Dia tidak akan seperti itu lagi.” “Sungguh?” gumam Tuan Jimmy yang malah tampak curiga. Dengusan kesal Sandra membuat sepasang suami istri terkekeh pelan. “Dia itu pencemburu. Lupa kalau Mamanya yang cantik ini adalah seorang artis. Kau lupa waktu duduk di bangku kuliah dulu. Dia sampai menjambak rambut temannya hemm?” “Papa,” rengek Sand
Jantung Rena berdegup begitu cepat usai mendengar kabar dari sang pelayan. Refleks dia berteriak histeris sembari berlari menuju tempat kejadian. Hanya berjarak sekitar dua ratus meter dari rumahnya mobil Bara sudah terlihat tak utuh lagi. Bagian depannya rusak cukup parah. Sementara sang pemilik yang masih tak sadarkan diri tengah dinaikkan ke atas brankar.“Badannya basah kuyup. Malah panas lagi,” celetuk salah seorang penonton yang melihat keadaan Bara.“Kasihan ya. Lagi sakit kok malah nyetir,” kata yang lainnya. Rena yang mendengar itu semua menganga dengan satu tangannya yang hendak menerobos kerumunan di depan mata. Sedangkan Jason yang baru saja tiba segera mengambil ancang-ancang untuk mendekat.“Ayo kita susul ke rumah sakit.”Rena menggeleng cepat. “Aku ... mau ke ambulans.” Tanpa mengucapkan sepatah katapun Jason langsung mengantarkan Adik angkatnya itu menuju mobil sewarna putih susu yang dimaksud. “Kau tenanglah. Dia takkan
“Please,” mohon Rena dengan wajah yang sudah ketakutan. “Ini hanya sementara.” Bara mendengus kasar lalu meneliti bagian lengan kanannya yang masih dibalut perban. Ada rasa nyeri yang menjalar hingga ke bagian bahu mantan tampan Rena itu.“Sebentar, aku akan panggilkan suster,” gumam Rena kemudian. Satu tangannya bergerak melepas cengkaraman pada tangan kiri Bara yang tadi bergerak tak karuan. Lantas dia pun berpindah ke bagian belakang sang pria untuk menekan bel dengan perlahan. Tak sampai satu menit petugas medis sudah menyembul di ambang pintu.“Pasien sudah sadar,” kata Rena.“Baiklah. Saya akan ambilkan obat untuk pasien sebentar,” pamit sang perawat undur diri. Kembali dengan sebuah nampan berisi sarapan dan obat-obatan, kini petugas medis tadi menjelaskan pada Rena selaku keluarga pasien.“Terimakasih, Sus.” Rena pun mengambil inisiatif untuk menyuapkan sang mantan. Bagaimana tidak, tangan kanannya belum bisa berfungsi seperti se
Rena tampak begitu anggun mengenakan kebaya putih dengan desain yang terlihat elegan membungkus tubuhnya. Sang Mami menuntunnya berjalan menuruni gundukan anak tangga tanpa melepas tangannya sama sekali. Gugup. Itulah yang tengah dirasakan oleh gadis cantik tersebut. Dirinya didudukkan tak jauh dari sang pria yang sebentar lagi akan melaksanakan ijab kabul dalam hitungan menit. Tak ubahnya dengan Rena, Bara bahkan tak berani menatap sang calon istrinya itu karena sibuk mengingat lafal yang dikatakan Pak Penghulu tadi. Jelas dia tak mau mengulang kesalahan saat melangsungkan ikrar suci pernikahannya nanti. Jadilah sang GM Erlangga Hotel tersebut memilih untuk menundukkan pandangan.“Bagaimana? Apa ada lagi yang mau ditunggu?” tanya Pak Penghulu. Kedua pihak calon mempelai pengantin sepakat untuk memulai proses akad nikah. Karena tak ada keluarga dari pihak sang Papi yang tersisa, jadilah wali hakim ditunjuk untuk menjadi perantaranya.
Singkat, padat dan jelas. Itulah yang diutarakan Tita barusan. Istri Tora yang semula bersifat kasar dan egois itu menggenggam tangan Rena lalu membawanya menyentuh perut yang sedikit membuncit. “Kita besarkan anak ini sama-sama ya, Ren.” Rena masih bergeming. Kedua matanya berkaca-kaca karena tak tahu harus mengatakan apa untuk membalas permintaan sang calon Kakak Iparnya. “Kamu mau ‘kan? Anak ini akan punya dua orang ibu dan ayah. Dia pasti senang sekali,” gumam Tita. “I-iya, Kak,” jawab Rena akhirnya. Lantas keduanya saling berpelukan untuk menyalurkan perasaan kasih antar sesama wanita. Tak berapa lama Bara pun datang untuk memisahkan mereka. “Cepatlah, Sayang. Nanti kamu akan terlambat,” bisik Bara kemudian. Rena mengangguk pelan. Senyumnya mengembang sempurna ketika menuruni eskalator yang menjadi fasilitas menuju langkahnya ke arah gate maskapai penerbangan. Sang Mami mengusap pelan lengannya untuk memberikan ketenangan. *** [“Lihat nih! Kakak udah bisa main
“Aku percayakan semua sama Kakak aja ya.” “Enggak. Pokoknya Kakak mau kita yang urus sendiri untuk itu,” putus Bara yang sama sekali tak ingin mendengar adanya bantahan. “Please, Sayang!” Wajah puppy eyes dan penuh harap dari seorang Adibara Erlangga membuat Rena mengangguk sambil mengulum senyum. Tak pelak dia bergerak untuk melepaskan sabuk pengaman yang masih melekat di tubuh sang tunangan. CUP! “Makasih, Sayang,” gumam Bara tepat setelah gadisnya hendak beringsut mundur. “Enggak mau balas hemm?” “Enggak,” tolak Rena cepat. “Yang ada nanti kita enggak masuk-masuk. Tuh lihat Papa udah berdiri di balkon sana!” “Alasan saja,” cibir Bara. Rena seolah menulikan indera pendengarannya. Lantas membuka pintu mobilnya dengan segera. Pemandangan yang pertama kali dilihat membuatnya mengerling malas. Ada Tita yang tengah duduk bersantai di ruang tamu sembari menikmati susu hamilnya. “Jangan hiraukan dia. Ayo masuk!” “Enggak, Kak. Aku pulang saja ya.
Pemandangan hijau nan asri membuat senyum Rena merekah sempurna. Gadis itu memapah sang tunangan dengan tangan kiri yang menenteng sebuah keranjang berisi kotak bekal yang dibawanya dari rumah. Parfum dengan aroma citrus blossom yang menguar dari tubuh tunangan Bara tersebut seolah menyatu dengan alam. Segar dan membuat perasaan yang menghidunya jadi menumbuhkan kesan positif. “Anaknya Tante Cintya itu emang top kasih terapi ke Kakak. Buktinya bisa terapi,” gumam Rena sambil tersenyum. “Suaranya mirip nyamuk. Melengking dan menyebalkan. Makanya mau tak mau Kakak terpaksa menurut saja,” kekeh Bara yang kini sedang menaik-turunkan pergelangan tangan kanannya. “Kalau enggak kayak gitu aku yakin Kakak pasti sembuhnya lama. Entar kalau kita nikah mana bisa gendong aku untuk photo shoot,” kata Rena sambil menahan tawanya. “Bisa. Harus bisa dong,” kata Bara dengan penuh keyakinan tingkat tinggi. “Dalam waktu dua bulan ke depan kamu akan lihat Kakak bisa kembali seperti dulu
Istri Tora yang merasa tersinggung itu hendak maju untuk menyerang Sandra, akan tetapi langkahnya terhenti ketika mengingat pengalaman pahit kehilangan bayinya beberapa bulan yang lalu.“Lebih baik Kakak fokus pada kehamilan saja. Sudah mau jadi ibu tetapi kelakuannya sama sekali tak berubah,” ketus Sandra yang segera menghilang dari pandangan Tita. Napasnya masih memburu hingga kembali menghampiri Jason yang masih tetap dalam posisi semula. Bahkan saking kesalnya dia merebut gelas pria itu dan menenggak isinya hingga tak bersisa.“Kenapa?” tanya sandra begitu melihat tatapan sinis Jason.“Kau mengambil gelasku,” cibir sang pria.Sandra langsung mengerjap cepat. Lantas memandang gelas kaca miliknya yang masih bersisi setengah. Jelas dia merasa malu bukan main. “Maaf. Aku akan gantikan gelasmu yang lain.”“Tak usah,” ketus Jason segera. Tak pelak dia menatap Sandra yang tampak seperti kehabisan tenaga. “Kau habis cakar-cakaran?” tanyanya kemudian. Sa
Rena segera menoleh ketika mendengar suara ketukan dari arah luar. Lantas dia pun mengangguk seolah memberikan kode pada tim penatas rias yang baru saja memperindah penampilannya.“Kau cantik,” gumam Jason sambil tersenyum. “Papi pasti senang kalau dia berada di sini sekarang.”“Ya. Mungkin saja dia akan menghentikan acara ini. Apalagi kalau Papi tahu akan menikah dengan anak musuh bebuyutannya.”Ucapan barusan membuat Jason terkekeh. “Kau memang sok tahu. Papi mana begitu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatmu bahagia. Bahkan ketika tahu bahwa kau pacaran dengan Bara waktu itu.”Alis Rena langsung naik sebelah. Merasa heran dengan penuturan Jason beberapa detik yang lalu. Lantas Abang angkatnya tersebut menarik kursi agar bisa berbicara lebih lama lagi. Tak pelak
“Jangan membantah. Atau aku culik kamu sekarang,” gumam Bara dengan sorotan mata tajamnya. “Siapkan dirimu, Sayang. Lusa acara tunangan kita akan digelar di hotel Erlangga jam 7 malam.” Setelahnya pria itu mengecup singkat pipi Rena lalu bergerak ke luar dari mobil. Memanggil sopir Rena sebelum akhirnya melambaikan tangan sambil mengerdipkan mata. Baru saja menghempaskan diri atas ranjang, gadis itu kembali dikejutkan dengan panggilan video dari sang kekasih. Senyumnya mengembang sempurna usai membersihkan diri pulang dari acara tadi.[“Hai, Cantik. Sedang apa?”] Rena tak menjawab. Hanya menunjukkan deretan gigi putihnya yang bersih dan rapi.[“Kamu cosplay jadi iklan pasta gigi ya?”]
Acara utama syukuran tujuh bulanan untuk kehamilan Fina sudah berakhir. Para tamu dipersilakan berbaur dan mencicipi hidangan yang telah tersedia.“Selamat ya, Fin. Semoga kamu sehat sampai lahiran nanti,” gumam Rena sambil mengelus lembut perut buncit sahabat karibnya itu. Ada perasaan gembira bercampur iri yang sedang dipendamnya sendiri. Sedangkan Fina yang paham betul bagaimana perubahan raut wajah sendu tersebut segera menggenggam tangannya.“Anak aku akan jadi anak kamu juga. Dia akan manggil kamu Mama juga, Ren. Ini hanya perkara mengandung dan melahirkan. Kamu juga akan dianggap sebagai ibunya,” ucap Fina dengan air mata yang sudah menggenang. Keduanya saling berpelukan erat. Tak ada yang berbicara hingga suami Fina menghampiri mereka.“Cemburu nih aku sama kalian. Udah kayak Kakak Adik aja.”Buru-buru Fina menyeka air matanya, lalu menyikut pelan lengan sang suami. “Anak kita bakalan punya dua Mama. Iya ‘kan, Mas?”Suami Fina yang tahu bagaimana kondis
CUP! Bukannya menjawab pertanyaan Rena, Bara malah mendaratkan kecupannya di bibir ranum mantan cantiknya itu. Jelas membuat sang empu terkejut bukan main.“Kau!!”CUP! CUP!! Sontak kedua manik mata kecokelatan milik gadis cantiknya sukses membelalak dengan sempurna. Bibirnya menganga hendak mengucapkan sesuatu, namun sayangnya lidah pun mendadak kelu.“Aku tak sabar menghabiskan sisa hidup denganmu. Makanya ayo cepat-cepat menikah,” gumam Bara kemudian. Sang gadis berubah manyun sambil mengubah posisi duduknya menjadi lurus ke depan. Tak lagi saling berhadapan dengan sang mantan yang akhir-akhir ini selalu bisa membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Sementara Nyonya Adhisty yang hendak memanggil Putrinya turut menghentikan langkah di ambang pintu. Sadar bahwa keduanya sedang terlibat percakapan serius, dia pun kembali mengurungkan niat tadi. Bara mendekat, mengikis jarak di antara mereka. Tak lagi pedulikan bagian klaviku