“Isabel, jangan pergi! Aku mohon jangan pergi!” pintaku.
Lalu Isabel benar-benar menghilang dari mataku.“Isabel!!! Isabel!!!” teriakku.Lalu aku terbangun dengan berkeringat dan napas yang terengah-engah.Mas Bimo pun langsung terbangun mendengarku berteriak.“Kamu kenapa?” tanya Mas Bimo heran.Aku langsung memeluk Mas Bimo.“Tadi aku mimpi ketemu Isabel, Mas. Aku kangen sama dia, Mas,” isakku.Mas Bimo menepuk-nepuk pundakku dengan lembut.“Kamu doain dia semoga dia tenang di alam sana ya,” pinta Mas Bimo padaku.Aku mengangguk.“Udah, sekarang kamu tidur lagi, ya. Ini masih dini hari,” pinta Mas Bimo.Aku mengangguk. Lalu kami kembali tidur. Esoknya Mas Bimo membangunkanku dengan pelan.“Indah, bangun sayang...”Setelah medengar suara itu aku me“Non, bibi boleh bicara sama non sebentar?” pintanya padaku.Aku heran, apa yang mau dia bicarakan. Akhirnya aku mengangguk dan mengajaknya masuk kamar. Saat kami sama-sama duduk di tepi kasur, aku menoleh padanya.“Mau ngomongin apa, Bi?” tanyaku.“Sebelumnya bibi minta maaf, tadi bibi nggak sengaja denger obrolan non sama tuan dan nyonya,” ucap bibi Sarinah.Aku kaget mendengarnya.“Terus?” tanyaku penasaran.“Soal arwah leluhur itu, Non. Maaf sebelumnya, arwah itu nggak ada, Non. Setiap orang yang sudah meninggal, arwahnya diangkat oleh Tuhan dan tidak bisa kembali ke dunia ini lagi. Biasanya yang suka mewujud arwah itu adalah jin Qorin, Non. Non harus hati-hati. Kita nggak tahu apa memang benar itu jin Qorin yang baik atau buruk. Apalagi dia sampai memberikan non mantra dan meminta non untuk membasmi para pelaku ilmu meraga sukma. Sebaiknya non telaah dulu baik
Setelah itu aku langsung memejamkan mata dan mengikuti apa yang diminta kakek itu. Dan benar saja, kurasakan jiwaku ringan seringan kapas lalu melayang cepat. Aku tak dapat melihat di sekitarku saat merasa melayang itu. Lalu tiba-tiba aku berada di dalam sebuah mobil. Aku duduk di bangku belakang. Di hadapan kulihat Mas Bimo sedang di sebelah polisi yang sedang menyetir. Mobil yang kunaiki sedang menembus jalanan di tengah hutan. Iya, aku yakin, jalanan ini memang benar jalan yang akan menuju tempat Ilyas berada. Aku tiba-tiba tidak sabar lagi untuk segera tiba di sana.Mobil yang kunaiki terus melaju di jalanan kecil di tengah hutan itu. Aku masih duduk di bangku belakang. Tak lama kemudian kulihat polisi itu menoleh pada Mas Bimo dengan heran.“Serius tempatnya di sini?” tanya Polisi itu pada Mas Bimo.“Iya, dipetunjuk yang dia tulis buat aku katanya melewati jalanan ini,” jawab Mas Bimo.“Emang istri lo beneran b
Mas Bimo tampak ketakutan merasakan tanganku yang memegangi tangannya. Semua polisi yang ada di sana kulihat tidak bisa menggerakkan kaki semua. Mulut mereka pun seperti terkunci. Sesaat kemudian kuliah ternyata ulah para arwah yang berdatangan itu. Mereka menyekap mulut para polisi itu dan mengunci kaki mereka dengan kaki para arwah itu.“Lepaskan mereka!” teriakku lagi.Para arwah itu tidak menggubris.“Istigfar dalam hati!” teriak Mas Bimo kepada para polisi itu.Para Polisi itu menggeleng ke Mas Bimo, mereka masih tak bisa bicara. Lalu tiba-tiba tanganku bergegar seperti melakukan gerakan yoga. Telapak tanganku seperti mengeluarkan energi lalu energi itu kuarahkan kepada para arwah yang menyerang mereka. Lalu tiba-tiba seorang kakaek tua berpakaian serba hitam muncul dan langsung meyerangku. Aku terbangun di atas ranjang kamarku dengan napas terengah-engah.“Mas Bimo!” teriakku yang sudag
“Kita mau ke mana kek?” tanyaku.“Ke rumahku,” jawabnya.“Masih jauh?”Kakek mengangguk.“Di sini kita tidak bisa berpindah dengan cepat seperti di duniamu. Di sini adalah alam nyata bagi kami, maka sama sepertimu di duniamu, kita harus berjalan atau menaiki kendaraan untuk cepat sampai ke tempat masing-masing. Sayangnya aku tidak punya burung terbang, jadi kita harus berjalan,” jawab kakek.“Kenapa aku di duniaku bisa dengan cepat pergi dengan jiwaku?” tanyaku heran.“Karena kamu menggunakan kekuatanku. Kekuatanku hanya bisa digunakan di duniamu. Kalau di sini tidak bisa,” jawab kakek.Sekarang aku mengerti. Lalu setelah cukup lama berjalan bersama kakek, kami tiba di mulut gua. Gua yang berbeda dari milik arwah Aksana dulu. Kakek mengajakku masuk. Di tempat itu begitu dingin. Dinding-dinding gua dipenuhi lumut. Kakek menyuruhku memasu
“Siapa kamu?” teriakku.“Pergi dari sini! Jangan ganggu aku lagi!” teriak seseorang padaku. Suaranya seperti suara nenek-nenek.Aku menoleh ke belakang. Rupanya memang benar nenek-nenek itu yang menarikku. Nenek-nenek yang menganggu kami saat di Villa dulu. Tiba-tiba tanganku dengan reflesk mengarah pada arwah nenek-nenek itu. Sesaat kemudian arwah nenek-nenek itu menjadi kecil dan bertambah sangat kecil. Lalu tak lama kemudian kulihat tubuhnya terbakar. Dia menjerit meminta tolong padaku agar aku menghentikannya. Tapi saat aku berniat menghentikan aksi tanganku, aku tak bisa mencegahnya. Tanganku terus saja mengarah pada tubuhnya yang kini terbakar.Arwah nenek-nenek itu tiba-tiba menjadi asap lalu menghilang. Tanganku mendadak lemas. Aku terduduk dengan lesu. Apa yang sudah kulakukan terhadap nenek-nenek itu? Apakah dia sudah mati atau hanya menghilang saja? Entahlah. Lalu aku segera bangkit dan menoleh pada sebuah lemari
“Aku harus mendapatkan kekuatan baru, Mas. Gimana soal Ilyas?” tanyaku.“Kami sudah berhasil sampai ke sana, tapi di rumah itu dia sudah tidak ada lagi di sana. Mas juga ngalamin hal aneh sama polisi di tengah hutan itu, tapi beruntung kami bisa lolos dari gangguan makhluk penunggu di sana,” ucap Mas Bimo.Aku lega mendengarnya.“Syukurlah kalau Mas baik-baik saja,” ucapku lega.“Sekarang pihak polisi masih mencari Ilyas, mereka sedang melacak keberadaanya, semoga Ilyas segera ditemukan,” ucap Mas Bimo penuh harap.“Aamiin,” ucapku.“Sekarang gimana keadaanmu?” tanya Mas Bimo memastikan.Aku bangkit dan mendudukkan diri di atas kasur. Sekarang tubuhku kurasakan tak lemas lagi.“Aku udah baik-baik aja, Mas,” jawabku.
Setelah aku selesai mandi, kami duduk di ruang tengah. Kutatap wajah Mas Bimo dengan penasaran akan tulisan di depan pintu itu.“Aku yakin ini ulah Ilyas, Mas,” ucapku pada Mas Bimo.“Mungkin aja, sekarang kita harus hati-hati ya,” pinta Mas Bimo.Aku mengangguk. Tak lama kemudian handphone Mas Bimo berbunyi. Mas Bimo mengangkatnya.“Iya... apa? Oke... oke...,” ucap Mas Bimo lalu langsung menyimpan handphonenya dengan bingung. Aku penasaran.“Siapa yang nelepon, Mas?” tanyaku.Mas Bimo menatap mataku dengan serius.“Polisi... katanya mereka belum menemukan tempat persembunyian Ilyas saat ini,” jawab Mas Bimo tampak tak bersemangat.Aku meraih tangan Mas Bimo dengan lembut.“Biar aku yang mencarinya ya, Mas,” pintaku pada Mas B
Aku membuka mata. Aku kembali ke atas kasur dengan napas tak beraturan. Aku tak percaya sekarang Ilyas bisa memiliki kekuatan. Mungkin dia telah berhasil berpuasa dan menguasai ilmu dari mendiang duduk sakti itu. Entahlah. Mas Bimo memandangiku dengan heran.“Gimana, Indah?” tanya Mas Bimo.Aku memandangi wajah Mas Bimo dengan lesu dan bingung.“Ilyas sangat kuat, Mas. Ilmunya tinggi banget sampe aku kewalahan. Aku nggak berhasil ngambil biang batunya dari dia,” jawabku.Mas Bimo tampak berpikir lalu dia kembali melihat ke arahku.“Kamu tahu tempat tinggalnya?” tanya Mas Bimo.Aku mencoba mengingatnya. Ruangan yang aku masuki tadi begitu mewah. Apartemen yang besar terdiri dari empat kamar. Aku mencoba mengingat apa yang kulihat di luar kaca apartemennya tadi. Ya, aku ingat, di sana aku melihat ada sebuah gedung bank dan ta