Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemu dengan dokter yang menangani kesehatan Indah.
“Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaan MRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini? Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”
Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik, saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetap akan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”
“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidak menerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.
“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nanti dikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.
Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsung mencari kepala perawat.
Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara meminta padanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “Maaf Ibu, kalau suaminya yang jenguk gimana? Soalnya kami nggak bisa melarang kalau suami pasien akan melihat atau menanyakan kondisinya. Apa ada hal yang buat suaminya nggak boleh bertemu pasien?"
Mendengar pernyataan dan pertanyaan kepala perawat tersebut, Zara akhirnya memberitahukan peristiwa yang terjadi pada Indah, sebelum wanita malang tersebut berada di rumah sakit.
Hal itu membuat kepala perawat itu mengikuti keinginan dan saran dari Zara.
“Nanti saya yang akan hubungi suaminya dan memberitahukan kondisi terakhir Indah agar dia tidak lagi bertanya ke bagian perawat jaga. Terima kasih sudah bantu saya dan Indah,” jawab Zara.
Setelah itu, Zara keluar dari ruang kepala perawat.
Saat Zara telah sampai diluar rumah sakit dan sedang menunggu jemputan dari sang sopir, ponselnya berdering. Terlihat nama Dimas pada layar ponselnya dan ia pun, menjawab.
“Malam Mas,” jawab Zara.
“Zara, tadi aku keluar makan dan baru saja aku selesai makan. Gimana kondisi Indah?” tanya Dimas.
Mendengar intonasi suara Dimas yang tak cemas pada kondisi Indah, Zara balik bertanya pada lelaki tersebut.
“Mas Dimas udah sampai di rumah sakit atau masih di luar?”
“Hmmm, aku baru akan ke rumah sakit,” jawab Dimas.
Setelah itu, Zara mencoba meyakinkan Dimas atas kondisi Indah lewat kata-katanya. “Mas, tadi aku udah bertemu dokter dan perawat. Mereka ngomong, kalau Indah masih dalam kondisi kritis. Jadi lebih baik, hari ini aku pulang ke rumah. Kalau memang besok Mas Dimas sibuk dengan pekerjaan, biar setiap harinya aku saja yang jaga sampai Indah sadarkan diri.”
“Oh, begitu. Aku pikir, kalau aku ke sana sekarang juga percuma, Indah belum sadar. Tapi ... Untuk besok dan seterusnya, apa nggak merepotkan kamu? Bukannya, kamu juga punya banyak restoran dan bisnis retail lainnya yang harus kamu pantau?” tanya Dimas terdengar santai.
“Nggak kok Mas. Semua udah aku delegasikan. Satu lagi, besok pagi aku ke kantor Mas Dimas dulu untuk ambil mobil. Setelah itu ke rumah sakit,” jawab Zara.
“Oh iya, mobilmu masih di kantorku. Baiklah Zara, terima kasih sudah mau menunggui Indah di rumah sakit. Hati-hati di jalan,” jawab Dimas menutup sambungan teleponnya.
Zara menutup sambungan telepon dengan gigi gemeretak dan bermonolog sendiri di depan lobby rumah sakit.
“Dasar suami laknat! Aku pastikan, selepas ingatan Indah pulih, kalian akan masuk penjara! Akan aku cari bukti kalian menganiaya Indah,” ucap Zara dengan wajah menegang.
**
Sementara itu di ruang ICU, Elvira yang masuk ke dalam raga Indah tampak termenung usai menikmati makan malamnya. Hingga perawat yang akan mengecek kondisi dirinya menasihati. “Bu Indah, istirahatlah. Jangan terlalu banyak berpikir. Selesai saya cek tensi dan suhu tubuh, Ibu istirahat yaa.”
“Iya suster terima kasih. Saya kasihan sama ibu saya, suster. Pasti hati dia terpukul,” jawab Indah menerawang.
“Memang kedua orang tua Bu Indah masih ada?” tanya perawat yang sedang mengecek tensi darah Indah.
“Masih. Tapi ayah saya menikah lagi dengan teman saya. Jadi, sekarang ini hanya ibu yang ada di rumah. Kasihan ibu sendirian dirumah,” keluh raga Indah dalam jiwa Elvira.
Perawat yang mendengar keluh kesah Indah hanya menganggukkan kepalanya dan berucap, “Kalau nanti sudah boleh pulang, ajak ibunya ke rumah Bu Indah. Pasti kedua cucu bisa jadi obat sakit hati ibunya.”
Deg!
Jantung Elvira seperti terhantam godam. Ia baru tersadar, kalau dirinya kini adalah Indah yang memiliki dua orang anak dengan kondisi suami selingkuh dengan staf kantornya dan telah mencelakai Indah.
Dalam hati Elvira pun berbisik, ‘Gimana caranya aku ke rumah ibuku kalau raganya punya Indah? Aku juga nggak tahu cara mengurus dua orang balita?’
“Tekanan darah dan suhu tubuh Ibu sudah normal. Besok perawat pengganti saya akan minta bawa bayinya ke ruang ini. Ibu harus sudah mulai memberikan asi eksklusifnya. Bu Indah nggak kerja kan?” ujar perawat tersebut seraya merapikan alat-alat kesehatan yang dibawanya.
“Iya, nggak kerja. Suster ... Apa boleh saya nggak menyusui bayinya?” tanya Indah dalam jiwa Elvira yang sama sekali tidak punya pengalaman mengurus balita.
Dengan tersenyum tipis, perawat yang akan bersiap meninggalkan bangsal Indah pun, berucap. “Boleh saja Ibu tidak menyusui, kalau air susu yang Ibu hasilkan sedikit. Lebih baik besok dicoba saja kasih susunya. Karena semakin sering bayi menyusu, akan semakin banyak juga air susunya."
Mendengar penjelasan dari perawat tersebut, Elvira dalam raga Indah hanya menganggukkan kepala seraya bergumam dalam hatinya, ‘Aduh gimana ini? Apa iya, susuku akan keluar air susunya? Hmmm..., apa menyusui bayi itu, sama rasanya seperti ….’
“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimanaperkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mausaya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik.Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung.Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat iaterjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudarasaya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh daritangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yangterjadi,” ujar Zara bernapas lega.“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kitapindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, sayase
“Baru selama lima tahun diberi kekuasaan atas perusahaan inisaja, Dimas sudah mampu mendoktrin beberapa staf hingga satpam harus tundukpadanya. Aku tak akan segan untuk mencari akar dari masalah ini dan mencabutnyahingga tuntas!”Indah, wanita hamil 8 bulan begitu kesal. Pasalnya, diperusahaan ayahnya sendiri yang kini dipimpin oleh sang suami—Dimas, iadihalang-halangi untuk bertemu suaminya. Beruntung, seorang satpam masih mau mendengarkan titahnya.Ia jadi curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Dimas disini.Sesampai di depan ruang kerja Dimas, Indah langsung meraih hendel pintu danmembukanya. Ceklek! Ceklek!Pintu ruang kerja Dimas tak dapat dibuka. Indah tampakmengamati beberapa ruang yang kosong di lantai empat dan bertanya pada satpamyang menemaninya, “Kenapa di lantai empat ini beberapa ruangan dikosongkan?Kemana beberapa staf yang ada di sini? Di mana ruang kerja Rara?”“Lapor Bu! Di lantai empat hanya digunakan sebagai tempatrapat dan hanya ada ruang kerja bapak.
“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihattubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluktubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan.“Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zarameraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan taksadarkan diri atau koma.Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arahZara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpammenuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yangberlumuran darah pada bagian kepalanya.Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusahamenyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yangmendengarnya.“Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamuke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangunsayang..., i
Bersamaan dengan Indah yang dilarikan ke rumah sakit, datanglagi mobil Ambulance lain yang membawa seorang wanita dalam kondisimengenaskan. Kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya dengan kondisiwajah hampir tak dapat dikenali. Ialah Elvira, yang ternyata masih dalamkondisi sadar meski mengalami kecelakaan parah.“Ibu orang tua dari pasien Elvira?” tanya suster jagatersebut ketika melihat seorang wanita paruh baya menangisi pasien kecelakaantragis barusan.“Benar, saya Ibunya. Tolong izinkan saya melihat putrisaya,” pinta Maharani mengiba.“Silakan Ibu...,” jawab perawat yang berjaga diluar sebelahruang ICU.“Suster, tunggu! Kenapa ibu ini bisa melihat pasien didalam? Sedangkan saya nggak bisa melihat keluarga saya?” tanya Zara dengan matasembab.“Sabar Ibu, kondisi putrinya sudah bisa melewati masakritis. Untuk pasien Indah, kondisinya masih koma. Harap Ibu bersabar,” ungkapperawat yang berjalan menuju ruang ICU.Mendengar keterangan dari perawat tersebut, Zara terkulai
“Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”Dua orang perawat dan satu dokter yang berjaga di ruanganICU terkejut atas teriakan Indah yang awalnya diprediksi tidak punya harapanhidup.Bersamaan dengan jeritan keras Indah yang sebenarnya adalahjiwa Elvira, terdengar pula bunyi peringatan pada layar monitor yang memantaudenyut jantung. Monitor itu secara tiba-tiba datar dengan bunyi panjang dangaris datar lurus hingga batas nol. Padahal gadis cantik yang kini cacat itu telah melewati masakritis dengan denyut jantung yang kian berangsur membaik. Melihat monitor perekam jantung dan organ tubuh Elvira yangdipantau menunjukkan garis datar tanpa irama sama sekali, membuat Maharani yangmemandangi wajah putrinya memucat, berteriak histeris.“Dokter! Tolong putri saya! Tolong...! Ada apa dengan putrisaya? Tolong selamatkan nyawanya dokter!”Dengan sigap seorang dokter menghampiri Elvira danmemberikan pertolongan dengan alat kejut jantung yang dilakukan berulang kali. Namun monitor pada sis
“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimanaperkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mausaya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik.Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung.Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat iaterjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudarasaya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh daritangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yangterjadi,” ujar Zara bernapas lega.“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kitapindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, sayase
Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemudengan dokter yang menangani kesehatan Indah. “Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaanMRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini?Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik,saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetapakan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidakmenerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nantidikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsungmencari kepala perawat.Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara memintapadanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya. Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “MaafIbu, kalau suam
“Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”Dua orang perawat dan satu dokter yang berjaga di ruanganICU terkejut atas teriakan Indah yang awalnya diprediksi tidak punya harapanhidup.Bersamaan dengan jeritan keras Indah yang sebenarnya adalahjiwa Elvira, terdengar pula bunyi peringatan pada layar monitor yang memantaudenyut jantung. Monitor itu secara tiba-tiba datar dengan bunyi panjang dangaris datar lurus hingga batas nol. Padahal gadis cantik yang kini cacat itu telah melewati masakritis dengan denyut jantung yang kian berangsur membaik. Melihat monitor perekam jantung dan organ tubuh Elvira yangdipantau menunjukkan garis datar tanpa irama sama sekali, membuat Maharani yangmemandangi wajah putrinya memucat, berteriak histeris.“Dokter! Tolong putri saya! Tolong...! Ada apa dengan putrisaya? Tolong selamatkan nyawanya dokter!”Dengan sigap seorang dokter menghampiri Elvira danmemberikan pertolongan dengan alat kejut jantung yang dilakukan berulang kali. Namun monitor pada sis
Bersamaan dengan Indah yang dilarikan ke rumah sakit, datanglagi mobil Ambulance lain yang membawa seorang wanita dalam kondisimengenaskan. Kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya dengan kondisiwajah hampir tak dapat dikenali. Ialah Elvira, yang ternyata masih dalamkondisi sadar meski mengalami kecelakaan parah.“Ibu orang tua dari pasien Elvira?” tanya suster jagatersebut ketika melihat seorang wanita paruh baya menangisi pasien kecelakaantragis barusan.“Benar, saya Ibunya. Tolong izinkan saya melihat putrisaya,” pinta Maharani mengiba.“Silakan Ibu...,” jawab perawat yang berjaga diluar sebelahruang ICU.“Suster, tunggu! Kenapa ibu ini bisa melihat pasien didalam? Sedangkan saya nggak bisa melihat keluarga saya?” tanya Zara dengan matasembab.“Sabar Ibu, kondisi putrinya sudah bisa melewati masakritis. Untuk pasien Indah, kondisinya masih koma. Harap Ibu bersabar,” ungkapperawat yang berjalan menuju ruang ICU.Mendengar keterangan dari perawat tersebut, Zara terkulai
“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihattubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluktubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan.“Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zarameraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan taksadarkan diri atau koma.Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arahZara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpammenuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yangberlumuran darah pada bagian kepalanya.Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusahamenyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yangmendengarnya.“Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamuke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangunsayang..., i
“Baru selama lima tahun diberi kekuasaan atas perusahaan inisaja, Dimas sudah mampu mendoktrin beberapa staf hingga satpam harus tundukpadanya. Aku tak akan segan untuk mencari akar dari masalah ini dan mencabutnyahingga tuntas!”Indah, wanita hamil 8 bulan begitu kesal. Pasalnya, diperusahaan ayahnya sendiri yang kini dipimpin oleh sang suami—Dimas, iadihalang-halangi untuk bertemu suaminya. Beruntung, seorang satpam masih mau mendengarkan titahnya.Ia jadi curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Dimas disini.Sesampai di depan ruang kerja Dimas, Indah langsung meraih hendel pintu danmembukanya. Ceklek! Ceklek!Pintu ruang kerja Dimas tak dapat dibuka. Indah tampakmengamati beberapa ruang yang kosong di lantai empat dan bertanya pada satpamyang menemaninya, “Kenapa di lantai empat ini beberapa ruangan dikosongkan?Kemana beberapa staf yang ada di sini? Di mana ruang kerja Rara?”“Lapor Bu! Di lantai empat hanya digunakan sebagai tempatrapat dan hanya ada ruang kerja bapak.