Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemu dengan dokter yang menangani kesehatan Indah.
“Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaan MRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini? Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”
Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik, saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetap akan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”
“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidak menerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.
“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nanti dikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.
Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsung mencari kepala perawat.
Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara meminta padanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “Maaf Ibu, kalau suaminya yang jenguk gimana? Soalnya kami nggak bisa melarang kalau suami pasien akan melihat atau menanyakan kondisinya. Apa ada hal yang buat suaminya nggak boleh bertemu pasien?"
Mendengar pernyataan dan pertanyaan kepala perawat tersebut, Zara akhirnya memberitahukan peristiwa yang terjadi pada Indah, sebelum wanita malang tersebut berada di rumah sakit.
Hal itu membuat kepala perawat itu mengikuti keinginan dan saran dari Zara.
“Nanti saya yang akan hubungi suaminya dan memberitahukan kondisi terakhir Indah agar dia tidak lagi bertanya ke bagian perawat jaga. Terima kasih sudah bantu saya dan Indah,” jawab Zara.
Setelah itu, Zara keluar dari ruang kepala perawat.
Saat Zara telah sampai diluar rumah sakit dan sedang menunggu jemputan dari sang sopir, ponselnya berdering. Terlihat nama Dimas pada layar ponselnya dan ia pun, menjawab.
“Malam Mas,” jawab Zara.
“Zara, tadi aku keluar makan dan baru saja aku selesai makan. Gimana kondisi Indah?” tanya Dimas.
Mendengar intonasi suara Dimas yang tak cemas pada kondisi Indah, Zara balik bertanya pada lelaki tersebut.
“Mas Dimas udah sampai di rumah sakit atau masih di luar?”
“Hmmm, aku baru akan ke rumah sakit,” jawab Dimas.
Setelah itu, Zara mencoba meyakinkan Dimas atas kondisi Indah lewat kata-katanya. “Mas, tadi aku udah bertemu dokter dan perawat. Mereka ngomong, kalau Indah masih dalam kondisi kritis. Jadi lebih baik, hari ini aku pulang ke rumah. Kalau memang besok Mas Dimas sibuk dengan pekerjaan, biar setiap harinya aku saja yang jaga sampai Indah sadarkan diri.”
“Oh, begitu. Aku pikir, kalau aku ke sana sekarang juga percuma, Indah belum sadar. Tapi ... Untuk besok dan seterusnya, apa nggak merepotkan kamu? Bukannya, kamu juga punya banyak restoran dan bisnis retail lainnya yang harus kamu pantau?” tanya Dimas terdengar santai.
“Nggak kok Mas. Semua udah aku delegasikan. Satu lagi, besok pagi aku ke kantor Mas Dimas dulu untuk ambil mobil. Setelah itu ke rumah sakit,” jawab Zara.
“Oh iya, mobilmu masih di kantorku. Baiklah Zara, terima kasih sudah mau menunggui Indah di rumah sakit. Hati-hati di jalan,” jawab Dimas menutup sambungan teleponnya.
Zara menutup sambungan telepon dengan gigi gemeretak dan bermonolog sendiri di depan lobby rumah sakit.
“Dasar suami laknat! Aku pastikan, selepas ingatan Indah pulih, kalian akan masuk penjara! Akan aku cari bukti kalian menganiaya Indah,” ucap Zara dengan wajah menegang.
**
Sementara itu di ruang ICU, Elvira yang masuk ke dalam raga Indah tampak termenung usai menikmati makan malamnya. Hingga perawat yang akan mengecek kondisi dirinya menasihati. “Bu Indah, istirahatlah. Jangan terlalu banyak berpikir. Selesai saya cek tensi dan suhu tubuh, Ibu istirahat yaa.”
“Iya suster terima kasih. Saya kasihan sama ibu saya, suster. Pasti hati dia terpukul,” jawab Indah menerawang.
“Memang kedua orang tua Bu Indah masih ada?” tanya perawat yang sedang mengecek tensi darah Indah.
“Masih. Tapi ayah saya menikah lagi dengan teman saya. Jadi, sekarang ini hanya ibu yang ada di rumah. Kasihan ibu sendirian dirumah,” keluh raga Indah dalam jiwa Elvira.
Perawat yang mendengar keluh kesah Indah hanya menganggukkan kepalanya dan berucap, “Kalau nanti sudah boleh pulang, ajak ibunya ke rumah Bu Indah. Pasti kedua cucu bisa jadi obat sakit hati ibunya.”
Deg!
Jantung Elvira seperti terhantam godam. Ia baru tersadar, kalau dirinya kini adalah Indah yang memiliki dua orang anak dengan kondisi suami selingkuh dengan staf kantornya dan telah mencelakai Indah.
Dalam hati Elvira pun berbisik, ‘Gimana caranya aku ke rumah ibuku kalau raganya punya Indah? Aku juga nggak tahu cara mengurus dua orang balita?’
“Tekanan darah dan suhu tubuh Ibu sudah normal. Besok perawat pengganti saya akan minta bawa bayinya ke ruang ini. Ibu harus sudah mulai memberikan asi eksklusifnya. Bu Indah nggak kerja kan?” ujar perawat tersebut seraya merapikan alat-alat kesehatan yang dibawanya.
“Iya, nggak kerja. Suster ... Apa boleh saya nggak menyusui bayinya?” tanya Indah dalam jiwa Elvira yang sama sekali tidak punya pengalaman mengurus balita.
Dengan tersenyum tipis, perawat yang akan bersiap meninggalkan bangsal Indah pun, berucap. “Boleh saja Ibu tidak menyusui, kalau air susu yang Ibu hasilkan sedikit. Lebih baik besok dicoba saja kasih susunya. Karena semakin sering bayi menyusu, akan semakin banyak juga air susunya."
Mendengar penjelasan dari perawat tersebut, Elvira dalam raga Indah hanya menganggukkan kepala seraya bergumam dalam hatinya, ‘Aduh gimana ini? Apa iya, susuku akan keluar air susunya? Hmmm..., apa menyusui bayi itu, sama rasanya seperti ….’
“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimanaperkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mausaya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik.Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung.Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat iaterjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudarasaya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh daritangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yangterjadi,” ujar Zara bernapas lega.“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kitapindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, sayase
Elvira yang bertemu hanya beberapa menit dengan Indah yang menceritakan kejahatan suami dan wanita selingkuhannya di ruang ICU, kembali mengingat rentetan peristiwa dua hari sebelum Indah meregang nyawa, saat wanita lembut itu bercerita dan bertukar raga padanya. * Dua hari sebelumnya* Dering ponsel Dimas terdengar hingga ke ruang keluarga. Indah yang tahu Dimas suaminya masih membersihkan diri, langsung berjalan menuju kamar. Sesampai di kamar, kembali ponsel Dimas berdering, saat jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Indah berjalan mendekati ponsel yang kembali berdering di nakas tempat tidur mereka seraya bermonolog. “Siapa sih..., pagi-pagi sudah telepon?” Indah meraih ponsel tersebut dan melihat nama Angel pada bagian layar telepon. Baru saja, Indah akan menjawab panggilan telepon tersebut, suara manja wanita bernama Angel di ujung telepon seketika mengejutkan dirinya. “Mas..., ingat jangan sampai terlambat. Hari ini aku jadi ke dokter dan kita dapat antrean nomor dua...,
Usai sang suami pergi ke kantor, Indah keluar kamar menemui putri cantiknya yang telah menunggu di meja makan. “Indi ... Hari ini diantar Pak Iksan ke sekolah, ya...,” ujar Indah duduk pada kursi makan di sebelah putrinya dan langsung menyuapi bocah cantik itu. “Nggak mau ... Indi mau papa yang antal,” rajuk anak perempuan berusia empat tahun dalam intonasi cadel. “Ya udah..., ayo makan dulu,” pinta Indah yang menyadari, kalau Dimas lupa berpamitan pada putrinya. Indira pun, menikmati sarapannya usai mendengar ucapan Indah tanpa mengetahui secara pasti, kalau sang papa telah pergi keluar rumah tanpa mencarinya di meja makan. Pada suapan terakhir, bocah cantik bermata bulat bening itu pun, bertanya pada Indah. “Maa, apa papa sakit? Kenapa papa nggak salapan baleng Indi?” ucapnya sembari mengunyah makanan terakhirnya. “Sayang, kalau makan nggak boleh sembari ngomong. Habiskan dulu makanannya," nasihat Indah tanpa menjawab pertanyaan Indi. Indira adalah anak perempuan berusi
Sebuah mobil Mini Cooper berwarna merah metalik masuk ke halaman sekolah taman kanak-kanak. Wanita cantik berambut panjang coklat tua keluar dari dalam mobil dan berbicara dalam sambungan telepon. Sesaat kemudian, dengan langkah panjang wanita cantik itu berjalan menuju ke arah kantin sekolah tersebut. Indah bangun dari tempat duduknya dan memandang lurus kearah wanita cantik yang kian mendekatinya dengan wajah sedih dan terlihat gelisah. Namun, ketika Zara sahabatnya tepat berada di hadapannya, Indah langsung memeluk tubuh sahabatnya dan menangis. “Ra ... Aku takut. Aku takut Raa...,” isaknya dalam pelukan sahabatnya."Indah ... Nggak ada yang perlu kamu takutkan. Bisa jadi, perempuan itu memang sahabatnya yang secara tak sengaja bertemu di Mal. Bukankah, kamu juga belum mendengar secara lengkap cerita Indi. Ayolah..., jangan cengeng seperti itu.” Diseka dengan lembut sisa air mata yang masih membasahi pipi putih bersih sahabatnya. Kemudian, Zara mengajak Indah menuju mobil yang t
Pada sebuah kamar apartemen nomor 12B terdengar desahan yang kian begitu berat diikuti dengan jeritan nikmat dari seorang wanita. Sampai akhirnya, mereka berdua terkapar dalam buliran dosa yang membasahi sekujur tubuh mereka. “Sayang..., cepat bersihkan dirimu kita ke dokter kandungan. Aku rasa, nomor antrean di dokter itu sudah pada antrean terakhir, "pinta Dimas masih telentang tanpa selembar kain menutupi tubuhnya. “Mas ... Apa minta jadwal ulang aja? Aku masih pengen...,” rajuk Angel manja memeluk tubuh Dimas yang penuh keringat. “Angel..., aku ada meeting jam 3 nanti. Aku ingin segera tahu berapa bulan kamu hamil. Lagi pula, aku tidak bisa terus berbohong dengan Indah untuk keluar rumah,” ujar Dimas melepas pelukan Angel dan beranjak dari ranjang kenikmatan mereka. “Mas, ayolah...,” pinta Angel ikut beranjak dari tempat tidur mengikuti langkah Dimas menuju kamar mandi. Di kamar mandi itu, mereka kembali menggila. Dimas tidak mampu menolak pesona liarnya seorang Angel. H
Indah dan putrinya di antar oleh Zara sampai halaman rumah. Saat itu jam menunjukkan pukul 3 sore. Indi yang tertidur di dalam mobil di gendong oleh Sri, pembantu rumah tangga Indah lainnya. Di rumah mewah nan cukup besar peninggalan keluarga almarhum orang tua Indah mempekerjakan dua orang pembantu, satu orang tukang kebun dan satu orang sopir. Selama ini, masalah pengeluaran rumah tangga Dimas dan Indah menjadi tanggung jawab Indah. Hal itu dikarenakan Dimas mempunyai adik yang harus dibiayai baik untuk sekolah, kuliah dan biaya hidup mereka termasuk kebutuhan sang ibu mertua. “Ibu, tadi pak Dimas sempat telepon ke rumah menanyakan Ibu,” lapor Iis saat Indah telah berada di dalam kamar. “Ya, terima kasih Is, apa ada pesan dari bapak?” tanya Indah sembari duduk di tepi tempat tidurnya. “Nggak ada Bu,” jawab Iis pembantu berusia dua puluhtahun dan telah bekerja selama dua tahun. Indah menganggukkan kepala dan merebahkan tubuhnya, disaat Iis minta izin keluar dari kamar sang majik
Indah menutupi wajahnya dan menangis sesenggukan sembari berkata-kata, seolah tidak percaya dengan pengakuan Angel yang telah di dengar. “Tidak ... Perempuan nakal itu pasti berbohong! Tidak mungkin mas Dimas akan berlaku hina seperti itu. Pasti perempuan nakal itu yang merayu suamiku, hikss...” Sri yang main masuk ke kamar Indah untuk membawakan makanan ke kamar, mundur perlahan dari kamar Indah. Pembantu rumah tangga yang membawa baki makanan itu kini berdiri persis pada dinding sebelah pintu masuk kamar Indah. ‘Kenapa Ibu Indah menangis? Apa pak Dimas ketahuan selingkuh ya?’ bisik hati Sri masih mendengar isak tangis Indah dan berdiri pada tempat yang sama. Lima menit kemudian, Indah yang telah melepaskan emosi dan rasa sedihnya dalam bentuk tangisan, meraih ponselnya dan menghubungi Rara, kala jam menunjukkan pukul sebelas siang. “Selamat siang Ibu, apa kabar? Maaf Buu, belum sempat balas pesan Ibu dini hari itu. Hmmm...,masalah foto itu, benar itu foto Angel, bagian accountin
Dimas melangkah panjang menuju tempat Indah berdiri dengan tatapan tajam. Sementara itu, Indah menanti sang suami untuk melakukan pembelaan atas apa yang dituduh olehnya. “Kamu sama sekali nggak memberikan muka sama aku, dikantor! Begitu cara kamu berterima kasih sama aku yang udah menjalankan perusahaan itu?!” ungkap kekecewaan Dimas dengan menatap lekat wajah Indah yang berdiri menantang tatapannya. Dengan tersenyum miring Indah bertepuk tangan dan membalas ucapan Dimas serta menuduh suaminya dalam emosi yang sudah tak terbendung. “Hey! Bukannya situ yang nggak punya rasa terima kasih? Asal kamu tahu. Kamu di gaji besar diperusahaan itu. Jadi, sudah selayaknya kamu bekerja dengan baik! Bukannya malah selingkuh. Beritahu gundikmu. Kalau kamu bukan pemilik perusahaan itu!” “Apa? Selingkuh? Jangan fitnah dan mengada-ada kamu!” bantah Dimas menelan salivanya dengan mata menyala menatap lekat Indah atas tuduhan yang disangkalnya. “Fitnah...? Hahahahaha..., jangan belaga sok kaget s
Setelah itu, mereka bertiga melanjutkan makan bersama. Mereka berbicara tentang masa SMA dan kuliah. Jelas hal itu membuat Indah dalam jiwa Elvira tidak bisa mengikuti alur perbincangan mereka. Usai makan, Zara berpamitan pada Indah dan Sean.“Indah, Sean, aku pamit duluan. Kalian Ngobrol aja masalah hari H kalian,” ujar Zara.“Santai aja, Ra. Juga aku kan harus melewati masa Idah,” tutur Indah tersenyum malu.“Lumayan, ada waktu 3 bulan untuk pacaran. Ya, nggak Sean?” senyum mengembang Zara seraya beranjak dari kursinya.“Ra! Biar nanti aku yang bayar,” ujar Sean ikut berdiri memandang ke arah Zara.Zara yang melihat raut bahagia pada wajah Sean, langsung menjawab, “Iyalah, kamu yang bayar. Apalagi aku tadi sempat jadi obat nyamuk kalian."“Obat nyamuk? Maksudnya?” tanya Indah bingung.“Udahlah, malas dibahas. Emang aku nggak tahu kalau tanganmu dibawah meja dipegang sama Sean....”“Hahahahaha ... Anjay! Liat aja.” Ujar Sean dan Indah bersamaan.“Byee, pasangan yang sedang berbahagia
Dua minggu kemudian, Jaya pengacara Indah ke rumah untuk membawakan hasil sidang putusan perceraian. Dimana, pada putusan tersebut, disebutkan status janda yang kini disandang Indah tanpa ia mengikuti sidang lanjutan, sesuai dengan arahan Jaya selaku pengacaranya.Walaupun, pihak Dimas mengajukan gugatan harta gono gini setelah gugatan cerai. Namun, itu tidak membuat Indah gentar. Memang, untuk sidang pembagian harta gono gini, dilakukan usai terjadinya ketok palu keputusan cerai.“Selamat Indah, akhirnya keputusan kamu untuk melempar lelaki jahat itu berhasil,” ucap Jaya menyalami Indah dengan menyerahkan berkas keputusan perceraian tersebut.“Terima kasih, Om. Akhirnya selesai sudah satu masalah,” jawab Indah memandang Jaya dengan wajah penuh bahagia.Indah membaca surat keputusan perceraian tersebut dan bergumam dalam hatinya, ‘Indah, aku sudah menceraikankamu dari lelaki brengsek itu. Semoga kamu tenang di alam baka....’“Indah, mengenai gugatan harta gono gini yang diminta, akan
Sementara itu, di rumah kontrakan Dimas. Terlihat, Mardiah tengah mengajari putranya untuk membiasakan diri memakai kaki palsu yang telah dibeli olehnya. Namun, beberapa kali terdengar keluh kesah Dimas atas kondisi dirinya dengan berteriak saat teringat kakinya diamputasi dan harus menggunakan kaki palsu untuk berjalan.“Sial! Semua gara-gara Indah! Harusnya sudah sejak lama aku bunuh saja dia! Aku dan Angel kehilangan masa depan karena dia! Keparat!” teriak Dimas mencoba melangkah dengan kaki palsu usai selama seminggu di rumah sakit dan sudah satu minggu ini lelaki itu mencoba kaki palsunya.“Dimas, sudah jangan teriak seperti itu. Nggak ada yang bisa membalikkan keadaan. Justru akan membuat teras semakin berat. Ibu mau, besok kamu kuat dan bisa berjalan menuju pengadilan! Ibu mau kita permalukan Indah dengan lelaki yang kini selalu bersamanya,” tutur Mardiah menepuk-nepuk bahu putranya.“Bu, jangan paksa saya ke pengadilan lagi. Biarkan saja cerai. Saya terima semua apa yang jadi
Sore hari, usai Indira ditemukan dan Dimas mengalami kecelakaan, Indah menghubungi Dinda adik kandung Dimas yang tinggal dan ditampung di rumahnya. Selama ini hanya Indah saja yang dibiayai,kuliahnya oleh Indah.Karena, saat itu hanya Dinda diantara ketiga adik perempuan Dimas yang mendukungnya dan memberikan bukti-bukti pernikahan Dimas dengan Angel.Maka dari itu dengan mudah Indah bisa mengajukan gugatan cerai. Sebagai timbal baliknya, Indah berkomitmen membantu kebutuhan Dinda hingga tamat kuliah.“Halo Din, Kak Indah mau kasih tahu. Kalau Kak Dimas kecelakaan. Infonya, dibawa ke Rumah Sakit Ananda. Kalau gimana kamu hubungi ibumu, biar nggak disalahkan,” ucap Indah memberitahukan kondisi Dimas tanpa membeberkan masalah yang terjadi sebelumnya.“Ya Allah, kenapa bisa kecelakaan seperti itu, Kak? Apa Kak Indah yang dihubungi polisi?” tanyanya.“Iya, untuk penyebab kecelakaannya, nanti kamu tanya polisi. Sekarang, aku lagi ada urusan. Jadi lebih baik secepatnya kamu beritahu ibumu,”
Sementara itu, Sean yang memegang ponsel Indah terus berkomunikasi lewat pesan singkat dengan Dimas. Ia juga berkomunikasi dengan Indah. Sean sangat bahagia mendengar, saat Indira berada di rumah kosong tersebut.Namun, saat mendengar kondisi anak perempuan berusia 5 tahun diikat tangan, kaki dan disumpal mulutnya dengan handuk kecil, membuat emosi Sean memuncak.Sean pun, menghubungi Indah untuk memastikan kondisi kesehatan Indira.“Indah, tolong secepatnya Indira bawa ke rumah sakit. Minta juga bagian tumbuh kembang anak dan psikologi untuk mendampinginya.”“Iya Sean, kami sedang menuju ke rumah sakit. Tolong kamu berhati-hati menghadapi lelaki jahat itu. Barusan, polisi juga sudah berkoordinasi menuju lokasi tempat pertemuan. Jadi, tolong buat lelaki itu menunggu. Beritahu saja dia, kalau kamu terjebak macet.”“Ya Indah, kamu tenang aja. Aku lelaki yang bisa jaga diriku. Saat ini aku sangat emosi atas tindakan Dimas. Lelaki itu sama sekali tidak berpikir atas dampak putrinya. Akan
Sekitar 20 menit kemudian, pihak kepolisian terdekat sampai ke rumah tersebut. Lalu, seorang warga yang tahu pemilik dari rumah tersebut, telah menghubungi pemilik rumah kosong yang disewa oleh sahabat Angel.Maka, pemilik rumah yang bernama Retno, membuka pintu pagar tersebut didampingi oleh polisi, RT dan Indah yang pikiran dan perasaannya kacau balau. Apalagi ketika ia memanggil putrinya, tidak dijawaban sama sekali.Dalam hati Indah terus berdoa atas seorang anak perempuan yang dititipkan oleh almarhum Indah padanya.‘Ya Allah, kasihanilah Indira. Hamba ingin merawat anak perempuan itu hingga dewasa. Berikan hamba waktu untuk menebus kesalahan hamba dengan merawat anak malang itu. Izinkan ya Allah ... Amiin’Ceklek!“Indira....!” teriak Indah memanggil putrinya dalam ruangan gelap gulita.Cetek!Lampu ruang tamu pada rumah tersebut terang. Lalu, mereka merangsek masuk ke ruangan lain seraya memanggil nama Indira. “Indira...! Indira...! Mama kamu ada di sini sayang...,” panggil po
Usai membaca pesan singkat Dimas, mereka langsung berdiskusi. “Indah, kalau sampai Dimas keluar dari tempat yang dikatakan sopir tadi. Apa Indira juga dibawa sama dia? Kira-kira apa reaksi Indira saat bertemu kamu di taman?”“Maksud kamu?” tanya Indah yang tak mengerti jalan pemikiran Sean.“Indah, menurut aku. Sangat tidak mungkin Dimas bawa Indira ke taman setelah lebih dari enam jam di ajak bersama dirinya. Pasti anak itu menangis terus dan dia akan teriak kalau bertemu kamu. Sedangkan di taman kota banyak orang,” ujar Sean memberikan argumentasinya.“Ya Allah, sekarang aku harus gimana? Berarti putriku ditinggak di rumah kosong itu?!” seru Indah dengan wajah tegang.“Indah, tenang. Tolong tenang. Biar kita bisa berpikir,” pinta Sean.“Sean, gimana putriku? Dia takut kegelapan. Sekarang dia pasti sendirian di rumah kosong itu,” tangis Indah kala membayangkan kejadian yang menimpa putrinya.Sean yang mendengar tangis Indah memacu otaknya untuk memikirkan langkah jitu bagi masalah ya
Sekitar pukul 4 sore, Indah dan Sean sampai di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) khusus wanita. Mereka menemui kepala LAPAS dan berbicara mengenai masalah yang terjadi dalam keluarga Indah. Kemudian, seorang sipir mengantarkan Indah dan Sean ke sebuah ruangan pertemuan yang biasa digunakan narapidana dan keluarganya.“Silakan ditunggu, nanti akan saya bawa ibu Angel ke ruangan ini,” ujar seorang sipir.“Pak, boleh saya minta tolong?” tanya Indah pada sipir yang akan memanggil Angel.“Minta tolong apa ya Bu?” tanya sipir tersebut menghentikan langkahnya untuk ke sel tahanan.“Begini Pak, kalau Angel sampai tanya siapa yang akan bertemu dengannya, katakan saja, keluarganya yang bernama Dina. Soalnya, dia pasti akan menolak kalau tahu saya yang akan bertemu dengannya,” pinta Indah.Lelaki besar tinggi bagian sipir dengan pakaian seragamnya yang paham atas hal yang dimaksud Indah, menganggukkan kepala dan berucap. “Baik Bu. Saya paham. Permisi...”“Terima kasih Pak,” jawab Indah.Sementara,
Indah langsung mencari putrinya ke rumah Mardiah, ibunda Dimas. Namun, saat ke rumah tersebut Mardiah telah menjual rumahnya. Jalan satu-satunya Indah membuka blokir telepon Dimas dengan tujuan ia bisa menghubunginya. Namun, saat ia menghubungi Dimas, lelaki itu tidak menjawab panggilannya. Setelah itu, Indah mencoba untuk mengirimkan pesan.[Pesan keluar Indah : Dimana kamu?]Namun, pesan itu hanya dibaca saja dan tak dijawabnya, hingga membuat emosi Indah tersulut dan mengancam Dimas dengan kata-kata kasar. Dimana kekasaran yang dimiliki Indah saat ini adalah milik dari jiwa asli Elvira. Sebab selama ini, Indah bukanlah karakter yang mudah berkata kasar. Maka, dalam keadaan murka Indah mengirimkan pesannya kembali.[Pesan Indah : Jangan panggil gue Indah! Kalau kagak bisa buat lo masuk penjara. Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu sama Indira, tamat hidup lo. BAJING-AN!]Dalam kekacauan hati dan pikirannya, Indah menghubungi Sean, karena ia tidak ingin mengganggu Zara yang tengah