“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimana perkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.
“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mau saya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.
“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.
“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik. Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung. Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat ia terjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.
“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudara saya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh dari tangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yang terjadi,” ujar Zara bernapas lega.
“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kita pindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.
Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, saya setuju kepindahan itu. Tapi, saya minta agar tidak bisa dijenguk oleh siapa pun, kecuali saya. Tolong koordinasikan pula hal ini dengan semua perawat. Saya rasa kepala perawat telah memberitahukan alasan."
“Baik Ibu, kami paham dengan semua yang sudah ibu sampaikan pada atasan kami," jawab perawat jaga di ruang ICU.
Setelah Zara menyetujui apa yang jadi pertimbangan pihak rumah sakit. Maka Indah pun, pindah ke ruang VIP A.
Sesampai di ruang VIP A, Zara yang melihat Indah tampak terdiam dan tak bereaksi sama sekali, menghampiri dan memberikan album foto yang di bawanya. “Indah, aku bawa beberapa album foto milikmu. Semoga kamu bisa mengingat kenangan indah yang ada di album ini.”
Elvira dalam raga Indah mengambil album foto yang diberikan Zara. Ia membuka album foto tersebut satu persatu didampingi Zara yang duduk di sebelahnya pada tempat tidur rumah sakit.
“Lihat! Ini foto kedua orang tuamu, sewaktu kamu wisuda. Di samping ini, foto aku yang ikut foto bersama kedua orang tuamu,” ujar Zara menunjuk satu persatu foto tersebut dan sesekali melihat ke arah Indah.
Tampak Elvira dalam raga Indah mengernyitkan dahinya. “Zara, siapa nama kedua orang tuaku?” tanya Elvira dalam raga Indah dengan wajah sedih.
Zara dengan hati sedih mengatakan nama kedua orang tua Indah. “Ayahmu bernama Singgih dan Ibumu bernama Intan.”
Setelah itu, Zara kembali memberitahu satu persatu foto yang ada di dalam album tersebut berikut momen saat Indira berulang tahun ke empat tahun saat berfoto bersama Dimas.
“Ini foto Indira putrimu waktu ulang tahun ke empat, bulan lalu,” tunjuk Zara pada wajah bocah mungil dengan senyum lebarnya.
“Ini lelaki laknat yang sudah selingkuh dengan staf di kantor Indah?” tanya Elvira dalam raga Indah dengan wajah menegang. Terngiang-ngiang suara Indah di telinganya yang meminta untuk menjaga kedua anaknya.
“Ya benar, kamu sedikit-dikit sudah teringat bagaimana lelaki itu mengkhianati kamu. Bersabarlah, kita akan balas semua rasa sakit dan kejahatan mereka sama kamu, Indah,” tutur Zara mengelus tangan Elvira dalam raga Indah yang menatap wajah Dimas dengan aura kebencian.
Kemudian, tiba-tiba saja Indah dengan canggung berkata, “Zara, bisa aku bicara dan vidio call dengan putriku?”
“Oh iya, aku sampai lupa. Aku buat rekaman Indira untukmu,” jawab Zara meraih ponselnya dan membuka rekaman tersebut.
Usai melihat rekaman video tersebut, Elvira menangis dan berujar, “Sayang..., kelak tidak ada seorang pun yang akan mencelakai kamu seperti orang mencelakai mamamu. Aku berjanji akan membalas semua rasa sedih kamu dan mamamu pada semua orang yang menyakiti. Aku akan pulang dan membalaskan semuanya!”
Upaya Zara membawa kembali ingatan Indah ternyata berhasil bagi Elvira.
Niatnya semakin bulat untuk membalaskan rasa sakit Indah yang telah bertukar raga dengannya.
Karena itu, ia dan Zara berupaya untuk melihat reaksi dan tindakan Dimas atas lolosnya Indah dari maut.
Sekitar pukul satu siang ponsel Zara berdering ketika ia di rumah sakit. Indah yang mendengar dering ponsel Zara memandang ke arah sahabatnya. Seketika Zara meletakkan jemari telunjuknya ke bibir dan berkata. “Ssstt..., Dimas telepon.”
“Nyalakan speakernya. Aku mau dengar,” pinta Indah.
“Halo, Mas ....”
“Zara, bagaimana perkembangan Indah? Dia masih koma, kan?” tanya Dimas seolah ingin memastikan kalau Indah masih terbaring koma. Hingga membuat kedua wanita cantik yang kini saling menatap menganggukkan kepalanya.
“Iya, dia masih koma. Aku masih jaga dia di sini,” jawab Zara tetap menatap Indah yang tampak antusias mendengar suara dari speaker ponsel Zara.
“Uhm ... Zara, kira-kira apa aku bisa tinggalkan Indah dua sampai tiga hari ini? Aku ada rapat di luar kota. Kalau dia sudah sadar, tolong kabari aku,” pinta Dimas dalam sambungan telepon.
“Ok! Nggak jadi masalah. Aku akan selalu jaga dia dan kalau Indah sudah bangun dari tidur panjangnya, aku kabari,” jawab Zara.
“Terima kasih banyak, Zara. Aku nggak akan melupakan kebaikan kamu. Sekali lagi terima kasih,” ujar Dimas dalam intonasi bahagia dan menutup sambungan telepon.
Setelah itu, Zara berucap, “Kamu dengarkan Indah. Kira-kira apa ada otaknya mikir tentang kamu?”
Dengan menarik napas panjang, Elvira dalam raga Indah menjawab, “Ya, aku sudah tahu, lelaki brengsek itu nggak ada mikir tentang aku. Jadi, aku juga sudah buat rencana untuk membalas bajingan itu! Dia pikir, bisa hidup tenang setelah melakukan kejahatannya selama ini?”
“Baru selama lima tahun diberi kekuasaan atas perusahaan inisaja, Dimas sudah mampu mendoktrin beberapa staf hingga satpam harus tundukpadanya. Aku tak akan segan untuk mencari akar dari masalah ini dan mencabutnyahingga tuntas!”Indah, wanita hamil 8 bulan begitu kesal. Pasalnya, diperusahaan ayahnya sendiri yang kini dipimpin oleh sang suami—Dimas, iadihalang-halangi untuk bertemu suaminya. Beruntung, seorang satpam masih mau mendengarkan titahnya.Ia jadi curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Dimas disini.Sesampai di depan ruang kerja Dimas, Indah langsung meraih hendel pintu danmembukanya. Ceklek! Ceklek!Pintu ruang kerja Dimas tak dapat dibuka. Indah tampakmengamati beberapa ruang yang kosong di lantai empat dan bertanya pada satpamyang menemaninya, “Kenapa di lantai empat ini beberapa ruangan dikosongkan?Kemana beberapa staf yang ada di sini? Di mana ruang kerja Rara?”“Lapor Bu! Di lantai empat hanya digunakan sebagai tempatrapat dan hanya ada ruang kerja bapak.
“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihattubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluktubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan.“Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zarameraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan taksadarkan diri atau koma.Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arahZara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpammenuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yangberlumuran darah pada bagian kepalanya.Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusahamenyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yangmendengarnya.“Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamuke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangunsayang..., i
Bersamaan dengan Indah yang dilarikan ke rumah sakit, datanglagi mobil Ambulance lain yang membawa seorang wanita dalam kondisimengenaskan. Kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya dengan kondisiwajah hampir tak dapat dikenali. Ialah Elvira, yang ternyata masih dalamkondisi sadar meski mengalami kecelakaan parah.“Ibu orang tua dari pasien Elvira?” tanya suster jagatersebut ketika melihat seorang wanita paruh baya menangisi pasien kecelakaantragis barusan.“Benar, saya Ibunya. Tolong izinkan saya melihat putrisaya,” pinta Maharani mengiba.“Silakan Ibu...,” jawab perawat yang berjaga diluar sebelahruang ICU.“Suster, tunggu! Kenapa ibu ini bisa melihat pasien didalam? Sedangkan saya nggak bisa melihat keluarga saya?” tanya Zara dengan matasembab.“Sabar Ibu, kondisi putrinya sudah bisa melewati masakritis. Untuk pasien Indah, kondisinya masih koma. Harap Ibu bersabar,” ungkapperawat yang berjalan menuju ruang ICU.Mendengar keterangan dari perawat tersebut, Zara terkulai
“Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”Dua orang perawat dan satu dokter yang berjaga di ruanganICU terkejut atas teriakan Indah yang awalnya diprediksi tidak punya harapanhidup.Bersamaan dengan jeritan keras Indah yang sebenarnya adalahjiwa Elvira, terdengar pula bunyi peringatan pada layar monitor yang memantaudenyut jantung. Monitor itu secara tiba-tiba datar dengan bunyi panjang dangaris datar lurus hingga batas nol. Padahal gadis cantik yang kini cacat itu telah melewati masakritis dengan denyut jantung yang kian berangsur membaik. Melihat monitor perekam jantung dan organ tubuh Elvira yangdipantau menunjukkan garis datar tanpa irama sama sekali, membuat Maharani yangmemandangi wajah putrinya memucat, berteriak histeris.“Dokter! Tolong putri saya! Tolong...! Ada apa dengan putrisaya? Tolong selamatkan nyawanya dokter!”Dengan sigap seorang dokter menghampiri Elvira danmemberikan pertolongan dengan alat kejut jantung yang dilakukan berulang kali. Namun monitor pada sis
Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemudengan dokter yang menangani kesehatan Indah. “Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaanMRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini?Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik,saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetapakan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidakmenerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nantidikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsungmencari kepala perawat.Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara memintapadanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya. Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “MaafIbu, kalau suam
“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimanaperkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mausaya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik.Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung.Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat iaterjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudarasaya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh daritangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yangterjadi,” ujar Zara bernapas lega.“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kitapindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, sayase
Zara meninggalkan ruang ICU dan berencana untuk bertemudengan dokter yang menangani kesehatan Indah. “Dokter, saya ingin besok Indah bisa mendapatkan pemeriksaanMRI. Kalau memungkinkan, biarkan Indah tetap dirawat di ruang ICU seminggu ini?Masalah biaya, saya yang bertanggung jawab.”Mendengar penjelasan dari Zara, Dokter pun menjawab, “Baik,saya dan team akan melakukan pemantauan berkala atas pasien Indah dan tetapakan kami beri waktu satu minggu di ruang ICU.”“Uhm, satu lagi Dokter. Apa bisa saudara saya, tidakmenerima kunjungan dari siapa pun, selain saya?” tanya Zara penuh harap.“Mengenai pembatasan orang yang menjenguk pasien, nantidikoordinasikan saja dengan kepala perawat,” jawab Dokter.Mendengar jawaban dari dokter, Zara undur diri dan langsungmencari kepala perawat.Setelah duduk di hadapan kepala perawat, Zara memintapadanya agar Indah tidak boleh dijenguk oleh siapa pun, kecuali dirinya. Namun, kepala perawat itu balik bertanya pada Zara. “MaafIbu, kalau suam
“Tolong! Perutku sakit! Tolong...!”Dua orang perawat dan satu dokter yang berjaga di ruanganICU terkejut atas teriakan Indah yang awalnya diprediksi tidak punya harapanhidup.Bersamaan dengan jeritan keras Indah yang sebenarnya adalahjiwa Elvira, terdengar pula bunyi peringatan pada layar monitor yang memantaudenyut jantung. Monitor itu secara tiba-tiba datar dengan bunyi panjang dangaris datar lurus hingga batas nol. Padahal gadis cantik yang kini cacat itu telah melewati masakritis dengan denyut jantung yang kian berangsur membaik. Melihat monitor perekam jantung dan organ tubuh Elvira yangdipantau menunjukkan garis datar tanpa irama sama sekali, membuat Maharani yangmemandangi wajah putrinya memucat, berteriak histeris.“Dokter! Tolong putri saya! Tolong...! Ada apa dengan putrisaya? Tolong selamatkan nyawanya dokter!”Dengan sigap seorang dokter menghampiri Elvira danmemberikan pertolongan dengan alat kejut jantung yang dilakukan berulang kali. Namun monitor pada sis
Bersamaan dengan Indah yang dilarikan ke rumah sakit, datanglagi mobil Ambulance lain yang membawa seorang wanita dalam kondisimengenaskan. Kaki dan tangannya terpisah dari tubuhnya dengan kondisiwajah hampir tak dapat dikenali. Ialah Elvira, yang ternyata masih dalamkondisi sadar meski mengalami kecelakaan parah.“Ibu orang tua dari pasien Elvira?” tanya suster jagatersebut ketika melihat seorang wanita paruh baya menangisi pasien kecelakaantragis barusan.“Benar, saya Ibunya. Tolong izinkan saya melihat putrisaya,” pinta Maharani mengiba.“Silakan Ibu...,” jawab perawat yang berjaga diluar sebelahruang ICU.“Suster, tunggu! Kenapa ibu ini bisa melihat pasien didalam? Sedangkan saya nggak bisa melihat keluarga saya?” tanya Zara dengan matasembab.“Sabar Ibu, kondisi putrinya sudah bisa melewati masakritis. Untuk pasien Indah, kondisinya masih koma. Harap Ibu bersabar,” ungkapperawat yang berjalan menuju ruang ICU.Mendengar keterangan dari perawat tersebut, Zara terkulai
“Indah! Tidakkkkk! Ya Allah! Bangun Indah! Indahhhhh!”Zara, teman dekat Indah berteriak saat melihattubuh Indah tergeletak berada di depan tangga darurat lantai 2. Ia memeluktubuh sahabatnya yang masih terlihat napasnya, pelan.“Cepat hubungi ambulans Pak! Tolong! Cepat Pak, hikss....,” tangis Zarameraung-raung dengan terus memeluk tubuh sahabatnya yang dalam keadaan taksadarkan diri atau koma.Disaat ia menangis, dilihatnya seorang wanita diam berjongkok memandang ke arahZara dan terlihat dua orang pria yang tak lain Dimas dan seorang satpammenuruni tangga darurat menuju tempat Zara bersimpuh memangku tubuh Indah yangberlumuran darah pada bagian kepalanya.Zara yang berfokus pada diri Indah hanya mampu menangis dan berusahamenyadarkan sahabatnya dengan kata-kata yang menyayat hati bagi orang yangmendengarnya.“Indah..., bangun sayang. Indah jangan tinggalkan aku seperti ini. Kenapa kamuke kantor ini sendirian? Siapa yang melakukan ini padamu, Indah...., bangunsayang..., i
“Baru selama lima tahun diberi kekuasaan atas perusahaan inisaja, Dimas sudah mampu mendoktrin beberapa staf hingga satpam harus tundukpadanya. Aku tak akan segan untuk mencari akar dari masalah ini dan mencabutnyahingga tuntas!”Indah, wanita hamil 8 bulan begitu kesal. Pasalnya, diperusahaan ayahnya sendiri yang kini dipimpin oleh sang suami—Dimas, iadihalang-halangi untuk bertemu suaminya. Beruntung, seorang satpam masih mau mendengarkan titahnya.Ia jadi curiga, ada sesuatu yang disembunyikan Dimas disini.Sesampai di depan ruang kerja Dimas, Indah langsung meraih hendel pintu danmembukanya. Ceklek! Ceklek!Pintu ruang kerja Dimas tak dapat dibuka. Indah tampakmengamati beberapa ruang yang kosong di lantai empat dan bertanya pada satpamyang menemaninya, “Kenapa di lantai empat ini beberapa ruangan dikosongkan?Kemana beberapa staf yang ada di sini? Di mana ruang kerja Rara?”“Lapor Bu! Di lantai empat hanya digunakan sebagai tempatrapat dan hanya ada ruang kerja bapak.