“Pagi Suster. Saya keluarga pasien bernama Indah. Bagaimana perkembangan saudara saya?” tanya Zara sebelum meminta izin masuk keruang ICU.
“Pagi Ibu, kebetulan sekali Ibu sudah datang. Ada yang mau saya sampaikan perihal pasien Indah,” jawab perawat jaga.
“Dia baik-baik saja kan, Suster?” tanya Zara cemas.
“Sejauh ini, pemeriksaan mengenai kondisi fisiknya baik. Hanya saja, saat akan menyusui bayinya, ibu Indah agak ragu dan tampak bingung. Kemungkinan besar hal itu disebabkan oleh trauma pada benturan saat ia terjatuh, seperti yang ia sampaikan,” jawab perawat tersebut.
“Iya Suster. Sepertinya cedera kepalanya yang buat saudara saya sedikit mengalami amnesia. Tapi, kalau dia sudah mengingat jatuh dari tangga, kemungkinan besar dia akan mengingat kembali semua peristiwa yang terjadi,” ujar Zara bernapas lega.
“Baiklah Bu, kemungkinan besar hari ini pasien akan kita pindahkan ke ruang perawatan VIP A," jelas perawat tersebut.
Zara menganggukkan kepala dan berucap. “Baik suster, saya setuju kepindahan itu. Tapi, saya minta agar tidak bisa dijenguk oleh siapa pun, kecuali saya. Tolong koordinasikan pula hal ini dengan semua perawat. Saya rasa kepala perawat telah memberitahukan alasan."
“Baik Ibu, kami paham dengan semua yang sudah ibu sampaikan pada atasan kami," jawab perawat jaga di ruang ICU.
Setelah Zara menyetujui apa yang jadi pertimbangan pihak rumah sakit. Maka Indah pun, pindah ke ruang VIP A.
Sesampai di ruang VIP A, Zara yang melihat Indah tampak terdiam dan tak bereaksi sama sekali, menghampiri dan memberikan album foto yang di bawanya. “Indah, aku bawa beberapa album foto milikmu. Semoga kamu bisa mengingat kenangan indah yang ada di album ini.”
Elvira dalam raga Indah mengambil album foto yang diberikan Zara. Ia membuka album foto tersebut satu persatu didampingi Zara yang duduk di sebelahnya pada tempat tidur rumah sakit.
“Lihat! Ini foto kedua orang tuamu, sewaktu kamu wisuda. Di samping ini, foto aku yang ikut foto bersama kedua orang tuamu,” ujar Zara menunjuk satu persatu foto tersebut dan sesekali melihat ke arah Indah.
Tampak Elvira dalam raga Indah mengernyitkan dahinya. “Zara, siapa nama kedua orang tuaku?” tanya Elvira dalam raga Indah dengan wajah sedih.
Zara dengan hati sedih mengatakan nama kedua orang tua Indah. “Ayahmu bernama Singgih dan Ibumu bernama Intan.”
Setelah itu, Zara kembali memberitahu satu persatu foto yang ada di dalam album tersebut berikut momen saat Indira berulang tahun ke empat tahun saat berfoto bersama Dimas.
“Ini foto Indira putrimu waktu ulang tahun ke empat, bulan lalu,” tunjuk Zara pada wajah bocah mungil dengan senyum lebarnya.
“Ini lelaki laknat yang sudah selingkuh dengan staf di kantor Indah?” tanya Elvira dalam raga Indah dengan wajah menegang. Terngiang-ngiang suara Indah di telinganya yang meminta untuk menjaga kedua anaknya.
“Ya benar, kamu sedikit-dikit sudah teringat bagaimana lelaki itu mengkhianati kamu. Bersabarlah, kita akan balas semua rasa sakit dan kejahatan mereka sama kamu, Indah,” tutur Zara mengelus tangan Elvira dalam raga Indah yang menatap wajah Dimas dengan aura kebencian.
Kemudian, tiba-tiba saja Indah dengan canggung berkata, “Zara, bisa aku bicara dan vidio call dengan putriku?”
“Oh iya, aku sampai lupa. Aku buat rekaman Indira untukmu,” jawab Zara meraih ponselnya dan membuka rekaman tersebut.
Usai melihat rekaman video tersebut, Elvira menangis dan berujar, “Sayang..., kelak tidak ada seorang pun yang akan mencelakai kamu seperti orang mencelakai mamamu. Aku berjanji akan membalas semua rasa sedih kamu dan mamamu pada semua orang yang menyakiti. Aku akan pulang dan membalaskan semuanya!”
Upaya Zara membawa kembali ingatan Indah ternyata berhasil bagi Elvira.
Niatnya semakin bulat untuk membalaskan rasa sakit Indah yang telah bertukar raga dengannya.
Karena itu, ia dan Zara berupaya untuk melihat reaksi dan tindakan Dimas atas lolosnya Indah dari maut.
Sekitar pukul satu siang ponsel Zara berdering ketika ia di rumah sakit. Indah yang mendengar dering ponsel Zara memandang ke arah sahabatnya. Seketika Zara meletakkan jemari telunjuknya ke bibir dan berkata. “Ssstt..., Dimas telepon.”
“Nyalakan speakernya. Aku mau dengar,” pinta Indah.
“Halo, Mas ....”
“Zara, bagaimana perkembangan Indah? Dia masih koma, kan?” tanya Dimas seolah ingin memastikan kalau Indah masih terbaring koma. Hingga membuat kedua wanita cantik yang kini saling menatap menganggukkan kepalanya.
“Iya, dia masih koma. Aku masih jaga dia di sini,” jawab Zara tetap menatap Indah yang tampak antusias mendengar suara dari speaker ponsel Zara.
“Uhm ... Zara, kira-kira apa aku bisa tinggalkan Indah dua sampai tiga hari ini? Aku ada rapat di luar kota. Kalau dia sudah sadar, tolong kabari aku,” pinta Dimas dalam sambungan telepon.
“Ok! Nggak jadi masalah. Aku akan selalu jaga dia dan kalau Indah sudah bangun dari tidur panjangnya, aku kabari,” jawab Zara.
“Terima kasih banyak, Zara. Aku nggak akan melupakan kebaikan kamu. Sekali lagi terima kasih,” ujar Dimas dalam intonasi bahagia dan menutup sambungan telepon.
Setelah itu, Zara berucap, “Kamu dengarkan Indah. Kira-kira apa ada otaknya mikir tentang kamu?”
Dengan menarik napas panjang, Elvira dalam raga Indah menjawab, “Ya, aku sudah tahu, lelaki brengsek itu nggak ada mikir tentang aku. Jadi, aku juga sudah buat rencana untuk membalas bajingan itu! Dia pikir, bisa hidup tenang setelah melakukan kejahatannya selama ini?”
Elvira yang bertemu hanya beberapa menit dengan Indah yang menceritakan kejahatan suami dan wanita selingkuhannya di ruang ICU, kembali mengingat rentetan peristiwa dua hari sebelum Indah meregang nyawa, saat wanita lembut itu bercerita dan bertukar raga padanya. * Dua hari sebelumnya* Dering ponsel Dimas terdengar hingga ke ruang keluarga. Indah yang tahu Dimas suaminya masih membersihkan diri, langsung berjalan menuju kamar. Sesampai di kamar, kembali ponsel Dimas berdering, saat jam menunjukkan pukul tujuh pagi. Indah berjalan mendekati ponsel yang kembali berdering di nakas tempat tidur mereka seraya bermonolog. “Siapa sih..., pagi-pagi sudah telepon?” Indah meraih ponsel tersebut dan melihat nama Angel pada bagian layar telepon. Baru saja, Indah akan menjawab panggilan telepon tersebut, suara manja wanita bernama Angel di ujung telepon seketika mengejutkan dirinya. “Mas..., ingat jangan sampai terlambat. Hari ini aku jadi ke dokter dan kita dapat antrean nomor dua...,
Usai sang suami pergi ke kantor, Indah keluar kamar menemui putri cantiknya yang telah menunggu di meja makan. “Indi ... Hari ini diantar Pak Iksan ke sekolah, ya...,” ujar Indah duduk pada kursi makan di sebelah putrinya dan langsung menyuapi bocah cantik itu. “Nggak mau ... Indi mau papa yang antal,” rajuk anak perempuan berusia empat tahun dalam intonasi cadel. “Ya udah..., ayo makan dulu,” pinta Indah yang menyadari, kalau Dimas lupa berpamitan pada putrinya. Indira pun, menikmati sarapannya usai mendengar ucapan Indah tanpa mengetahui secara pasti, kalau sang papa telah pergi keluar rumah tanpa mencarinya di meja makan. Pada suapan terakhir, bocah cantik bermata bulat bening itu pun, bertanya pada Indah. “Maa, apa papa sakit? Kenapa papa nggak salapan baleng Indi?” ucapnya sembari mengunyah makanan terakhirnya. “Sayang, kalau makan nggak boleh sembari ngomong. Habiskan dulu makanannya," nasihat Indah tanpa menjawab pertanyaan Indi. Indira adalah anak perempuan berusi
Sebuah mobil Mini Cooper berwarna merah metalik masuk ke halaman sekolah taman kanak-kanak. Wanita cantik berambut panjang coklat tua keluar dari dalam mobil dan berbicara dalam sambungan telepon. Sesaat kemudian, dengan langkah panjang wanita cantik itu berjalan menuju ke arah kantin sekolah tersebut. Indah bangun dari tempat duduknya dan memandang lurus kearah wanita cantik yang kian mendekatinya dengan wajah sedih dan terlihat gelisah. Namun, ketika Zara sahabatnya tepat berada di hadapannya, Indah langsung memeluk tubuh sahabatnya dan menangis. “Ra ... Aku takut. Aku takut Raa...,” isaknya dalam pelukan sahabatnya."Indah ... Nggak ada yang perlu kamu takutkan. Bisa jadi, perempuan itu memang sahabatnya yang secara tak sengaja bertemu di Mal. Bukankah, kamu juga belum mendengar secara lengkap cerita Indi. Ayolah..., jangan cengeng seperti itu.” Diseka dengan lembut sisa air mata yang masih membasahi pipi putih bersih sahabatnya. Kemudian, Zara mengajak Indah menuju mobil yang t
Pada sebuah kamar apartemen nomor 12B terdengar desahan yang kian begitu berat diikuti dengan jeritan nikmat dari seorang wanita. Sampai akhirnya, mereka berdua terkapar dalam buliran dosa yang membasahi sekujur tubuh mereka. “Sayang..., cepat bersihkan dirimu kita ke dokter kandungan. Aku rasa, nomor antrean di dokter itu sudah pada antrean terakhir, "pinta Dimas masih telentang tanpa selembar kain menutupi tubuhnya. “Mas ... Apa minta jadwal ulang aja? Aku masih pengen...,” rajuk Angel manja memeluk tubuh Dimas yang penuh keringat. “Angel..., aku ada meeting jam 3 nanti. Aku ingin segera tahu berapa bulan kamu hamil. Lagi pula, aku tidak bisa terus berbohong dengan Indah untuk keluar rumah,” ujar Dimas melepas pelukan Angel dan beranjak dari ranjang kenikmatan mereka. “Mas, ayolah...,” pinta Angel ikut beranjak dari tempat tidur mengikuti langkah Dimas menuju kamar mandi. Di kamar mandi itu, mereka kembali menggila. Dimas tidak mampu menolak pesona liarnya seorang Angel. H
Indah dan putrinya di antar oleh Zara sampai halaman rumah. Saat itu jam menunjukkan pukul 3 sore. Indi yang tertidur di dalam mobil di gendong oleh Sri, pembantu rumah tangga Indah lainnya. Di rumah mewah nan cukup besar peninggalan keluarga almarhum orang tua Indah mempekerjakan dua orang pembantu, satu orang tukang kebun dan satu orang sopir. Selama ini, masalah pengeluaran rumah tangga Dimas dan Indah menjadi tanggung jawab Indah. Hal itu dikarenakan Dimas mempunyai adik yang harus dibiayai baik untuk sekolah, kuliah dan biaya hidup mereka termasuk kebutuhan sang ibu mertua. “Ibu, tadi pak Dimas sempat telepon ke rumah menanyakan Ibu,” lapor Iis saat Indah telah berada di dalam kamar. “Ya, terima kasih Is, apa ada pesan dari bapak?” tanya Indah sembari duduk di tepi tempat tidurnya. “Nggak ada Bu,” jawab Iis pembantu berusia dua puluhtahun dan telah bekerja selama dua tahun. Indah menganggukkan kepala dan merebahkan tubuhnya, disaat Iis minta izin keluar dari kamar sang majik
Indah menutupi wajahnya dan menangis sesenggukan sembari berkata-kata, seolah tidak percaya dengan pengakuan Angel yang telah di dengar. “Tidak ... Perempuan nakal itu pasti berbohong! Tidak mungkin mas Dimas akan berlaku hina seperti itu. Pasti perempuan nakal itu yang merayu suamiku, hikss...” Sri yang main masuk ke kamar Indah untuk membawakan makanan ke kamar, mundur perlahan dari kamar Indah. Pembantu rumah tangga yang membawa baki makanan itu kini berdiri persis pada dinding sebelah pintu masuk kamar Indah. ‘Kenapa Ibu Indah menangis? Apa pak Dimas ketahuan selingkuh ya?’ bisik hati Sri masih mendengar isak tangis Indah dan berdiri pada tempat yang sama. Lima menit kemudian, Indah yang telah melepaskan emosi dan rasa sedihnya dalam bentuk tangisan, meraih ponselnya dan menghubungi Rara, kala jam menunjukkan pukul sebelas siang. “Selamat siang Ibu, apa kabar? Maaf Buu, belum sempat balas pesan Ibu dini hari itu. Hmmm...,masalah foto itu, benar itu foto Angel, bagian accountin
Dimas melangkah panjang menuju tempat Indah berdiri dengan tatapan tajam. Sementara itu, Indah menanti sang suami untuk melakukan pembelaan atas apa yang dituduh olehnya. “Kamu sama sekali nggak memberikan muka sama aku, dikantor! Begitu cara kamu berterima kasih sama aku yang udah menjalankan perusahaan itu?!” ungkap kekecewaan Dimas dengan menatap lekat wajah Indah yang berdiri menantang tatapannya. Dengan tersenyum miring Indah bertepuk tangan dan membalas ucapan Dimas serta menuduh suaminya dalam emosi yang sudah tak terbendung. “Hey! Bukannya situ yang nggak punya rasa terima kasih? Asal kamu tahu. Kamu di gaji besar diperusahaan itu. Jadi, sudah selayaknya kamu bekerja dengan baik! Bukannya malah selingkuh. Beritahu gundikmu. Kalau kamu bukan pemilik perusahaan itu!” “Apa? Selingkuh? Jangan fitnah dan mengada-ada kamu!” bantah Dimas menelan salivanya dengan mata menyala menatap lekat Indah atas tuduhan yang disangkalnya. “Fitnah...? Hahahahaha..., jangan belaga sok kaget s
Elvira yang telah mengingat rentetan peristiwa yang terjadi pada Indah, akhirnya bertekad untuk membalaskan rasa sakit wanita yang telah berganti raga dengannya. karena itu, ia dan Zara berupaya untuk melihat reaksi dan tindakan Dimas atas lolosnya Indah dari maut. Walaupun, sebenarnya hanya Elvira sendiri yang tahu semua kejadian di ruang ICU. Bahkan, Zara sahabat Indah pun, berpikir kalau Indah dalam jiwa Elvira terguncang hingga sebagian memori atad dirinya terlupakan. Sampai akhirnya, Dimas yang tak mengunjungi Indah menghubungi Zara sahabat Indah. Sekitar pukul satu siang ponsel Zara berdering ketika ia di rumah sakit. Indah dalam jiwa Elvira yang mendengar dering ponsel Zara memandang ke arah sahabatnya. Seketika Zara meletakkan jemari telunjuknya ke bibir dan berkata. “Ssstt..., Dimas telepon.” “Nyalakan speaker nya. Aku mau dengar,” pinta Indah. “Halo, Mas ....” “Zara, bagaimana perkembangan Indah? Dia masih koma, kan?” tanya Dimas seolah ingin memastikan kalau Indah da
Setelah itu, mereka bertiga melanjutkan makan bersama. Mereka berbicara tentang masa SMA dan kuliah. Jelas hal itu membuat Indah dalam jiwa Elvira tidak bisa mengikuti alur perbincangan mereka. Usai makan, Zara berpamitan pada Indah dan Sean.“Indah, Sean, aku pamit duluan. Kalian Ngobrol aja masalah hari H kalian,” ujar Zara.“Santai aja, Ra. Juga aku kan harus melewati masa Idah,” tutur Indah tersenyum malu.“Lumayan, ada waktu 3 bulan untuk pacaran. Ya, nggak Sean?” senyum mengembang Zara seraya beranjak dari kursinya.“Ra! Biar nanti aku yang bayar,” ujar Sean ikut berdiri memandang ke arah Zara.Zara yang melihat raut bahagia pada wajah Sean, langsung menjawab, “Iyalah, kamu yang bayar. Apalagi aku tadi sempat jadi obat nyamuk kalian."“Obat nyamuk? Maksudnya?” tanya Indah bingung.“Udahlah, malas dibahas. Emang aku nggak tahu kalau tanganmu dibawah meja dipegang sama Sean....”“Hahahahaha ... Anjay! Liat aja.” Ujar Sean dan Indah bersamaan.“Byee, pasangan yang sedang berbahagia
Dua minggu kemudian, Jaya pengacara Indah ke rumah untuk membawakan hasil sidang putusan perceraian. Dimana, pada putusan tersebut, disebutkan status janda yang kini disandang Indah tanpa ia mengikuti sidang lanjutan, sesuai dengan arahan Jaya selaku pengacaranya.Walaupun, pihak Dimas mengajukan gugatan harta gono gini setelah gugatan cerai. Namun, itu tidak membuat Indah gentar. Memang, untuk sidang pembagian harta gono gini, dilakukan usai terjadinya ketok palu keputusan cerai.“Selamat Indah, akhirnya keputusan kamu untuk melempar lelaki jahat itu berhasil,” ucap Jaya menyalami Indah dengan menyerahkan berkas keputusan perceraian tersebut.“Terima kasih, Om. Akhirnya selesai sudah satu masalah,” jawab Indah memandang Jaya dengan wajah penuh bahagia.Indah membaca surat keputusan perceraian tersebut dan bergumam dalam hatinya, ‘Indah, aku sudah menceraikankamu dari lelaki brengsek itu. Semoga kamu tenang di alam baka....’“Indah, mengenai gugatan harta gono gini yang diminta, akan
Sementara itu, di rumah kontrakan Dimas. Terlihat, Mardiah tengah mengajari putranya untuk membiasakan diri memakai kaki palsu yang telah dibeli olehnya. Namun, beberapa kali terdengar keluh kesah Dimas atas kondisi dirinya dengan berteriak saat teringat kakinya diamputasi dan harus menggunakan kaki palsu untuk berjalan.“Sial! Semua gara-gara Indah! Harusnya sudah sejak lama aku bunuh saja dia! Aku dan Angel kehilangan masa depan karena dia! Keparat!” teriak Dimas mencoba melangkah dengan kaki palsu usai selama seminggu di rumah sakit dan sudah satu minggu ini lelaki itu mencoba kaki palsunya.“Dimas, sudah jangan teriak seperti itu. Nggak ada yang bisa membalikkan keadaan. Justru akan membuat teras semakin berat. Ibu mau, besok kamu kuat dan bisa berjalan menuju pengadilan! Ibu mau kita permalukan Indah dengan lelaki yang kini selalu bersamanya,” tutur Mardiah menepuk-nepuk bahu putranya.“Bu, jangan paksa saya ke pengadilan lagi. Biarkan saja cerai. Saya terima semua apa yang jadi
Sore hari, usai Indira ditemukan dan Dimas mengalami kecelakaan, Indah menghubungi Dinda adik kandung Dimas yang tinggal dan ditampung di rumahnya. Selama ini hanya Indah saja yang dibiayai,kuliahnya oleh Indah.Karena, saat itu hanya Dinda diantara ketiga adik perempuan Dimas yang mendukungnya dan memberikan bukti-bukti pernikahan Dimas dengan Angel.Maka dari itu dengan mudah Indah bisa mengajukan gugatan cerai. Sebagai timbal baliknya, Indah berkomitmen membantu kebutuhan Dinda hingga tamat kuliah.“Halo Din, Kak Indah mau kasih tahu. Kalau Kak Dimas kecelakaan. Infonya, dibawa ke Rumah Sakit Ananda. Kalau gimana kamu hubungi ibumu, biar nggak disalahkan,” ucap Indah memberitahukan kondisi Dimas tanpa membeberkan masalah yang terjadi sebelumnya.“Ya Allah, kenapa bisa kecelakaan seperti itu, Kak? Apa Kak Indah yang dihubungi polisi?” tanyanya.“Iya, untuk penyebab kecelakaannya, nanti kamu tanya polisi. Sekarang, aku lagi ada urusan. Jadi lebih baik secepatnya kamu beritahu ibumu,”
Sementara itu, Sean yang memegang ponsel Indah terus berkomunikasi lewat pesan singkat dengan Dimas. Ia juga berkomunikasi dengan Indah. Sean sangat bahagia mendengar, saat Indira berada di rumah kosong tersebut.Namun, saat mendengar kondisi anak perempuan berusia 5 tahun diikat tangan, kaki dan disumpal mulutnya dengan handuk kecil, membuat emosi Sean memuncak.Sean pun, menghubungi Indah untuk memastikan kondisi kesehatan Indira.“Indah, tolong secepatnya Indira bawa ke rumah sakit. Minta juga bagian tumbuh kembang anak dan psikologi untuk mendampinginya.”“Iya Sean, kami sedang menuju ke rumah sakit. Tolong kamu berhati-hati menghadapi lelaki jahat itu. Barusan, polisi juga sudah berkoordinasi menuju lokasi tempat pertemuan. Jadi, tolong buat lelaki itu menunggu. Beritahu saja dia, kalau kamu terjebak macet.”“Ya Indah, kamu tenang aja. Aku lelaki yang bisa jaga diriku. Saat ini aku sangat emosi atas tindakan Dimas. Lelaki itu sama sekali tidak berpikir atas dampak putrinya. Akan
Sekitar 20 menit kemudian, pihak kepolisian terdekat sampai ke rumah tersebut. Lalu, seorang warga yang tahu pemilik dari rumah tersebut, telah menghubungi pemilik rumah kosong yang disewa oleh sahabat Angel.Maka, pemilik rumah yang bernama Retno, membuka pintu pagar tersebut didampingi oleh polisi, RT dan Indah yang pikiran dan perasaannya kacau balau. Apalagi ketika ia memanggil putrinya, tidak dijawaban sama sekali.Dalam hati Indah terus berdoa atas seorang anak perempuan yang dititipkan oleh almarhum Indah padanya.‘Ya Allah, kasihanilah Indira. Hamba ingin merawat anak perempuan itu hingga dewasa. Berikan hamba waktu untuk menebus kesalahan hamba dengan merawat anak malang itu. Izinkan ya Allah ... Amiin’Ceklek!“Indira....!” teriak Indah memanggil putrinya dalam ruangan gelap gulita.Cetek!Lampu ruang tamu pada rumah tersebut terang. Lalu, mereka merangsek masuk ke ruangan lain seraya memanggil nama Indira. “Indira...! Indira...! Mama kamu ada di sini sayang...,” panggil po
Usai membaca pesan singkat Dimas, mereka langsung berdiskusi. “Indah, kalau sampai Dimas keluar dari tempat yang dikatakan sopir tadi. Apa Indira juga dibawa sama dia? Kira-kira apa reaksi Indira saat bertemu kamu di taman?”“Maksud kamu?” tanya Indah yang tak mengerti jalan pemikiran Sean.“Indah, menurut aku. Sangat tidak mungkin Dimas bawa Indira ke taman setelah lebih dari enam jam di ajak bersama dirinya. Pasti anak itu menangis terus dan dia akan teriak kalau bertemu kamu. Sedangkan di taman kota banyak orang,” ujar Sean memberikan argumentasinya.“Ya Allah, sekarang aku harus gimana? Berarti putriku ditinggak di rumah kosong itu?!” seru Indah dengan wajah tegang.“Indah, tenang. Tolong tenang. Biar kita bisa berpikir,” pinta Sean.“Sean, gimana putriku? Dia takut kegelapan. Sekarang dia pasti sendirian di rumah kosong itu,” tangis Indah kala membayangkan kejadian yang menimpa putrinya.Sean yang mendengar tangis Indah memacu otaknya untuk memikirkan langkah jitu bagi masalah ya
Sekitar pukul 4 sore, Indah dan Sean sampai di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) khusus wanita. Mereka menemui kepala LAPAS dan berbicara mengenai masalah yang terjadi dalam keluarga Indah. Kemudian, seorang sipir mengantarkan Indah dan Sean ke sebuah ruangan pertemuan yang biasa digunakan narapidana dan keluarganya.“Silakan ditunggu, nanti akan saya bawa ibu Angel ke ruangan ini,” ujar seorang sipir.“Pak, boleh saya minta tolong?” tanya Indah pada sipir yang akan memanggil Angel.“Minta tolong apa ya Bu?” tanya sipir tersebut menghentikan langkahnya untuk ke sel tahanan.“Begini Pak, kalau Angel sampai tanya siapa yang akan bertemu dengannya, katakan saja, keluarganya yang bernama Dina. Soalnya, dia pasti akan menolak kalau tahu saya yang akan bertemu dengannya,” pinta Indah.Lelaki besar tinggi bagian sipir dengan pakaian seragamnya yang paham atas hal yang dimaksud Indah, menganggukkan kepala dan berucap. “Baik Bu. Saya paham. Permisi...”“Terima kasih Pak,” jawab Indah.Sementara,
Indah langsung mencari putrinya ke rumah Mardiah, ibunda Dimas. Namun, saat ke rumah tersebut Mardiah telah menjual rumahnya. Jalan satu-satunya Indah membuka blokir telepon Dimas dengan tujuan ia bisa menghubunginya. Namun, saat ia menghubungi Dimas, lelaki itu tidak menjawab panggilannya. Setelah itu, Indah mencoba untuk mengirimkan pesan.[Pesan keluar Indah : Dimana kamu?]Namun, pesan itu hanya dibaca saja dan tak dijawabnya, hingga membuat emosi Indah tersulut dan mengancam Dimas dengan kata-kata kasar. Dimana kekasaran yang dimiliki Indah saat ini adalah milik dari jiwa asli Elvira. Sebab selama ini, Indah bukanlah karakter yang mudah berkata kasar. Maka, dalam keadaan murka Indah mengirimkan pesannya kembali.[Pesan Indah : Jangan panggil gue Indah! Kalau kagak bisa buat lo masuk penjara. Pokoknya kalau sampai terjadi sesuatu sama Indira, tamat hidup lo. BAJING-AN!]Dalam kekacauan hati dan pikirannya, Indah menghubungi Sean, karena ia tidak ingin mengganggu Zara yang tengah