JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (1)
------------------------ o0o ------------------------
Rintik hujan masih mewarnai pekatnya alam disertai embusan dingin udara malam itu. Sunyi tanpa menyisakan pekikan kecil jangkrik-jangkrik yang biasa menembang lirih bersahutan di antara rimbunan rerumputan hijau segar. Nyaris tidak tampak adanya tanda-tanda kehidupan di Kampung Sirnagalih pada saat yang sama, sebagaimana keadaan serupa di area pemakaman umum arah timur dari pemukiman warga setempat.
Malam Jumat Kliwon di ambang pertengahan malam tepatnya, di saat hampir semua orang terlelap dalam buaian alam tidur, sayup-sayup terdengar langkah seseorang menjejak tanah yang becek dan licin. Percikan air seketika menciprat begitu kaki-kaki kekar itu mengenjak terburu-buru menuju suatu tempat. Beberapa kali berhenti, lantas melanjutkan perjalanan dengan langkah terseok-seok.
Sosok tersebut adalah seorang laki-laki bertubuh kerempeng. Gelap hampir tidak terlihat wujudnya dalam kepekatan, senada dengan warna kulit yang dia miliki. Menenteng sebuah lentera tak menyala, terayun-ayun goyah mengait di jemari tangan kanan. Sesekali menoleh ke belakang, beralih ke samping kiri dan kanan, kemudian memperhatikan arah depan disertai sorot mata tajam dan lenguh napas tersendat-sendat. Bukan karena lelah, akan tetapi seperti tengah mengkhawatirkan sesuatu.
"Akhirnya, susah payah aku berjalan di tengah malam buta begini, sekarang sudah tiba di tempat tujuan," gumam sosok laki-laki itu diiringi seringainya yang dingin. "Mudah-mudahan saja rencanaku ini berhasil sampai tuntas nanti, dan tak menemukan gangguan apapun."
Langkahnya mulai memasuki sebuah hamparan area datar dan luas. Nyaris tidak ada pepohonan apapun di tengah-tengahnya, terkecuali tumbuh-tumbuhan pendek penghias longgok tanah berbentuk persegi empat memanjang, berderet rapi dilengkapi dengan ragam nisan sebagai tanda pengenal. Jelas sudah, itu adalah sebuah kompleks pemakaman umum.
Tanpa ragu-ragu, sosok itu terus mengayun langkah melewati jajaran makam-makam sambil menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatan ke depan atau tepatnya pada sasaran yang akan dia tuju.
"Itu dia kuburannya," desis laki-laki tersebut disertai kekehannya begitu mengenali salah satu kuburan di kejauhan sana. Masih tampak baru berhadap-hadapan dengan sebuah saung kecil seadanya dan gundukan tanah menyembul. Belum bertembok apalagi dilapisi marmer. "Baguslah," imbuhnya kembali dengan nada semringah, "setelah kuintai beberapa malam lalu, sekarang tak ada seorang pun yang menunggui dan mengaji di sana. He-he."
Sosok kerempeng itu mempercepat langkahnya agar lekas mendekat. Lantas menaruh lentera di pinggir makam yang dimaksud dan berjongkok. "Maafkan aku, Kesih. Malam ini tidur panjangmu akan sedikit terganggu," ujarnya sambil meraba-raba permukaan kuburan yang terasa basah. "Ini malah lebih baik. Dengan begitu, tak akan terlalu lama buatku untuk segera menuntaskan pekerjaan ini secepatnya. He-he. Terima kasih, Hujan."
Sejenak laki-laki kurus itu terdiam membeku pada posisi duduk bersila; merapatkan kedua telapak tangan di dada, memejamkan mata rapat-rapat, kemudian mulai merapal kalimat-kalimat tertentu dengan bahasa yang aneh dan tidak dipahami. Setelah itu, dengan tubuh gemetar terselip rasa takut, dia mulai menggaruk-garukan cakarnya pada permukaan tanah kuburan dengan sekuat tenaga. Begitu seterusnya tiada henti dan tanpa bantuan alat apapun.
"Harus kaukerjakan dengan kedua tanganmu sendiri, Basri," ucap seorang tetua yang dia kenali dan membantunya mengurus prosesi ritual tersebut, beberapa waktu lalu sebelum malam itu. "Jangan menggunakan alat apapun, termasuk saat kau mengambil tali mayatnya. Ingat itu!"
"Bahkan untuk hal terakhir tadi, harus dengan tanganku juga, Ki?" tanya laki-laki kerempeng bernama Basri tadi terkejut.
"Ya."
"Lalu?" tanya Basri was-was.
Sosok di depannya itu tidak serta-merta menjawab, malah asyik mengekeh sendiri sembari mengusap-usap janggut putih panjangnya.
"Hik-hik!"
Basri merutuk sendiri sambil terengah-engah kelelahan, lantas menghentikan sesaat penggaliannya untuk mengambil napas panjang, "Dukun jahanam! Apa harus sesulit ini Ki Jarok menyuruhku menggali kuburan Kesih? Belum pula nanti! Sialan!"
Laki-laki itu kembali menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya melalui mulut. Begitu dia lakukan hingga beberapa kali untuk mengurangi rasa letih. Setelah itu lanjut menggali kuburan tadi dengan cakar jemari. Kali ini lebih kuat dan cepat bagai kesetanan.
'Aku harus cepat-cepat menyelesaikan kerjaan ini sebelum mendekati waktu janari nanti,' membatin Basri dengan bias rasa takut, diam-diam mulai menjalari kisi-kisi hatinya. Sementara ceruk makam sudah mulai terbentuk. Hampir setengahnya digali. Meninggalkan timbunan baru di sekeliling samping kuburan.
Bukan hal mudah, memang, menggali kembali gundukan makam yang sudah berusia hampir sepekan. Tanah padat disertai kerikil dan batu-batu besar, itu yang acap kali menyulitkan Basri lekas mencapai dasar kuburan. Rasa perih tidak lagi dipedulikan, menghunjam ujung kuku dan ruas jemari yang terluka. Entah tergores atau terkoyak. Laki-laki itu sendiri tidak dapat memastikannya di bawah bayang-bayang kegelapan. Namun yang tertentu, resapan deras air hujan sebelumnya benar-benar membantu menggemburkan.
Beberapa waktu kemudian ….
Trak!
Ujung kuku Basri seperti menyentuh sesuatu. Cepat-cepat dia kembali mencakari tanah, hingga benda yang tadi perlahan-lahan menampakkan bentuknya. Seperti batang-batang bambu yang berderet miring, memanjang tertancap ke bawah.
Tubuh laki-laki tersebut mendadak gemetar hebat disertai wajah memucat pasi. Basri tahu bahwa dia kini telah sampai di dasar kuburan. Tinggal beberapa langkah lagi. Sosok kaku di balik dinding bambu di dalam sana tersebut, pasti saat ini tengah menunggu.
Basri tersurut ke belakang. Bukan malah menjauh, tapi kini tertahan dinding tanah kuburan. Seketika darahnya seperti berhenti memenuhi batok kepala. Dingin disertai keringat deras membanjiri sekujur badan.
"Kesih …." desis sosok kerempeng itu terpatah-patah, lantas jatuh terduduk tepat di depan jajaran bambu-bambu penghalang tadi. Sejujurnya dia ingin berlari sejauh mungkin, mengurungkan niat semula untuk memenuhi permintaan Ki Jarok sebagai salah satu syarat impian Basri sendiri. Sudah bisa dibayangkan, bagaimana kondisi tubuh kaku itu tergolek kini. Lima hari sudah tertanam dalam-dalam di sana. Tentu sudah tidak lagi secantik Sukaesih pada saat masih hidup.
Kecamuk pun riuh melanda segenap lorong hati dan pikiran Basri. Sudah sejauh ini melangkah, cukupkah perjalanan gilanya itu diakhiri sebelum tuntas? "Tidak! Aku harus berani melakukannya!" ucapnya menguatkan tekad. "Harus dituntaskan! Hidupku harus berubah!"
Perlahan-lahan dia memejamkan mata diiiringi napas memburu menyesakkan. Lalu menjejakkan tungkai kaki ke dasar kuburan untuk membantunya berdiri, menggeser punggung ke atas sambil bersandar kuat-kuat. Basri bermaksud mengambil lampu lentera kecilnya di atas. Di saat itulah, keheningan mendadak berubah kian mencekam.
"Aauuummm …."
Suara lirih lolongan anjing tiba-tiba bergema memecah kesunyian malam. Mengalun panjang dari kejauhan, seperti hendak meruntuhkan nyali seketika. Basri sempat tersurut dilanda kejut dan memaki, "Bedebah laknat! Hampir saja jantungku rontok!" Dia mengusap-usap dada sejenak. 'Tak bisakah makhluk jahanam itu diam dulu sampai aku beres dan pergi dari sini? Keparat! Bisa-bisa warga sekitar sana terbangun dan memergokiku! Anjing!'
Basri mulai berjongkok lagi. Mengambil pemantik api dari saku celananya yang kotor berlumpur. Lalu menyalakan lampu lentera itu untuk membantu menerangi kondisi gelap di dasar liang makam. Lumayan sedikit terang walaupun remang-remang. Setidaknya kini sudah mampu melihat jajaran dinding bambu tadi. Tinggal menggali lagi, lantas menarik satu persatu bekas penahan timbunan atas tanah tersebut.
Beberapa kali Basri menghentikan penggalian. Samar-samar dia mendengar suara-suara aneh. Sekilas seperti sebuah rintihan kecil meremangkan bulu tengkuk. 'Ah, mungkin suara lolongan anjing keparat itu,' katanya membatin. Berusaha untuk tetap tenang walaupun rasa takut itu masih tersisa besar.
' … atau mungkin juga suara tadi itu rintihan dari sosok di balik ….' Laki-laki itu melirik pelan-pelan pada jajaran bambu di sampingnya. Otak manusia ini mulai membayangkan hal-hal aneh. Tangan menjulur ke luar, mata mayat terbuka, atau bisa saja malah sudah berwujud utuh berdiri di belakang. "Ah, setan! Tidak ada siapa-siapa di sini," gumam Basri begitu usai memutar kepala. "Hhmmm, bagaimana mungkin orang mati bisa hidup lagi. Mustahil. Uuhhh!" Dia menepuk tengkuk spontan. Tiba-tiba saja merasa seperti ada hawa dingin mengusap lembut bagian belakang lehernya tersebut. "S-siapa?" Kosong. Basri mengangkat lentera sedikit ke atas permukaan liang makam. Tetap tidak ada siapapun.
Laki-laki itu segera melanjutkan pekerjaannya. Sampai kemudian berdiri meluruskan pinggang, lantas menatap deretan bambu-bambu penahan tersebut dengan saksama. Tinggal mengangkatnya satu per satu.
Jantung Basri berdetak kencang kembali. Rasa takut yang sejak tadi ditahan kini mulai menggila. 'Sial! Mengapa harus dengan cara seperti ini, sih? Aku ….' Tidak ada pilihan lain. Waktu semakin menyempit. Mau tidak mau laki-laki itu harus mengenyampingkan bayangan seram akan sosok di dalam sana. Kalau tidak, sia-sialah apa yang dia lakukan sejak tadi.
Sambil menenteng lampu lentera, perlahan-lahan Basri menarik gemetar satu persatu batang bambu-bambu tersebut. Begitu terkuak, aroma busuk pun mulai menyengat.
"Huueekkk!"
Seketika Basri mundur menjauh seraya menutup hidung. Rasa mual pun langsung mengentak-entak seisi lambung, disertai kepala pusing dan sesak napas.
"Huueekkk!"
Kali ini laki-laki tersebut benar-benar memuntahkan makanan yang dia santap tadi petang. Telinga pun ikut berdenging hebat menusuk-nusuk seisi kepala.
"Sial! Cuih! Busuk sekali mayat perawan ini!" gerutu Basri usai menumpahkan muntahan terakhirnya. Dia sampai meludah beberapa kali, seraya membuang sisa-sisa isi lambung yang menyelip di antara gigi.
Kali ini, sebelum melanjutkan ritual terakhirnya, Basri menengadah dan menarik napas banyak-banyak. Kemudian tanpa menunggu lama segera mencabuti semua batang bambu-bambu itu hingga habis. Rehat sejenak untuk membuang napas, menghirup panjang, menahan, lalu kembali berjongkok memeriksa kondisi mayat Kesih dibantu cahaya lentera.
Sosok mati itu tergolek kaku dalam posisi menyamping ke arah dinding tanah. Diganjal bulatan besar tanah sebagai pengganjal untuk menahan jasadnya agar tidak terbalik telentang. Tidak jelas bagaimana kondisi wajah mayat perawan itu. Basri tidak terlalu ingin melihatnya lebih lama. Namun saat dicoba disentuh, terasa seperti meraba onggokan daging bengkak dan gampang sekali ditarik lepas.
"Astagaaa!" seru Basri kaget dan langsung menarik kembali tangannya menjauh. Dia segera bangkit untuk membuang napas, menghirup kembali, lantas berjongkok lebih dekat. 'Tali pengikat di bagian leher itu yang dipinta Ki Jarok,' gumamnya dengan perasaan takut luar biasa. Ada rasa ragu untuk mengambilnya. Mengerikan sekali jika tiba-tiba saja mayat itu berbalik badan, menatapnya geram, kemudian bangkit untuk ….
"Tarik dan ambil tali mayat itu di bagian lehernya dengan gigimu," titah Ki Jarok memberi perintah. Basri terkejut bukan kepalang. Tanya laki-laki kerempeng itu kemudian, "D-dengan gigi saya, Ki?"
"Ya, dengan gigimu!" jawab tetua itu tegas. "Kenapa? Kaukeberatan, Anak Muda?"
Balas Basri ketakutan, "B-bukan i-itu m-maksud saya, Ki, tapi … apakah tak ada cara lain? Misalnya dengan kedua tang—"
"Tidak!" tukas Ki Jarok keras menggetarkan. " … dan jangan coba-coba menipuku, Basri! Aku pasti tahu!"
"I-iya, Ki. Maaf," ujar laki-laki itu tertunduk layu. Mata tua dukun tersebut seperti menyala-nyala setiap kali menyentak. Mengerikan. "Saya akan lakukan sesuai dengan apa yang telah Aki perintahkan."
"Hik-hik! Bagus … bagus sekali, Anak Muda."
Manusia gila, pikir Basri, sebentar marah-marah, sebentar kemudian terkekeh-kekeh.
Tutur Ki Jarok kembali menjelaskan tentang sosok Kesih, " … saya dengar, Kesih itu masih perawan. He-he. Lebih bagusnya lagi, dia mati dengan cara tidak wajar. Bunuh diri, kalau tak salah saya dapatkan kabarnya."
Sukaesih nama lengkap gadis tersebut. Seorang kembang Kampung Sirnagalih yang terkenal akan kecantikannya hingga ke beberapa kedusunan di seberang. Anak semata wayang seorang juragan tanah kaya raya di daerah tersebut, bernama Juanda Wiratadiredja. Kesih yang memiliki paras jelita warisan dari Sumirah ibunya, tersiar kabar hendak dijodohkan dengan seorang pemuda hartawan, anak dari kepala desa sebelah. Gadis itu menolak karena perangai calon suaminya seorang yang hobi mabuk-mabukan dan suka main perempuan.
"Sukaesih memilih mati, sehari jelang pernikahan mereka," imbuh Ki Jarok sembari memejamkan mata, seperti tengah menerawang saat-saat kejadian nahas tersebut. "Dia menggantung diri di kamarnya," kata tetua itu menutup cerita.
Basri mengingat betul pesan-pesan yang disampaikan oleh dukun tua itu. " … kebetulan kaudatang di waktu yang tepat, Anak Muda. Memintaku untuk mewujudkan impian hidupmu yang fakir. Ada gunanya juga kematian tragis perawan yang malang itu. Hik-hik hik-hik."
Berguna? Tentu saja. Basri lelah terkurung dalam kehidupannya yang morat-marit. Sementara nasib Sukaesih justru tidak seberuntung kecantikan paras yang dia miliki.
'Mengenaskan sekali jalan hidupmu, Kesih,' gumam Basri sembari menatap jasad perawan tersebut. Kemudian sebelum laki-laki itu menuntaskan tugas, terlebih dahulu merapal kembali beberapa bait kalimat khusus. Semacam mantra pemberian dari Ki Jarok. Setelahnya, perlahan-lahan sambil menahan napas, Basri membungkuk ke dalam ceruk makam Kesih. Mendekatkan kepala ke arah leher mayat dengan debar dada kian menggemuruh. Ragu tapi berkeras hati sudah kepalang basah. Kalaupun bakal menghadapi kejadian tidak terduga, biarlah. Mungkin resiko fatal terakhir adalah nyawanya sendiri.
Krek!
Gigi Basri berhasil menggigit utas tali pengikat kain kafan di bagian leher. Tinggal menarik sekali dengan cepat, ritual pun usai. Naik kembali ke atas, lalu pergi menemui Ki Jarok sebelum ada yang memergokinya nanti. Namun gerakan mundur kepala laki-laki itu tertahan. Gigitannya hampir saja terlepas, akan tetapi tali pengikat mayat itu malah makin sulit ditarik. Ada apa gerangan?
"Eemmpphhh!" Basri masih berusaha menahan napas sambil menarik-narik tali tersebut. Tetap saja bergeming. Sementara dadanya kian menyesak sakit.
"Hah! Astagaaa!" seru laki-laki itu terkejut luar biasa. Tarikan giginya malah turut membalikkan badan Sukaesih hingga jatuh telentang. Spontan dia melepas utas mayat tersebut seraya beringsut menjauh.
"Aaahhh!" Tidak sadar Basri berteriak dengan raut wajah memucat pasi.
Di terangi cahaya remang lentera, terlihat samar wajah Kesih yang tertutupi kapas putih. Sebagian sudah terlepas hingga tampak sekali bagaimana kondisi mayat tersebut kini. Membengkak putih pasi, dengan bola mata menonjol seperti hendak mencelat jauh dari dalam rongganya. Tidak lagi berwarna hitam atau coklat sebagaimana umumnya mata manusia hidup, melainkan memudar senada dengan corak keseluruhan bulatan tersebut. Sementara di bagian seputar pipi tampak menggelembung besar seperti bersiap-siap pecah masai. Mengerikan sekali. Jauh berbeda dengan kejelitaan yang tersiar semasa hidupnya.
"Hooeekkk!"
Kembali Basri mengalami mual-mual hebat saat terlupa mengambil sisa napas akibat dera sesak tiada terkira. Disusul seisi kepalanya terasa seakan-akan hendak meledak dahsyat.
'Busuk sekali dia!' rutuk laki-laki tersebut seraya memegangi perut dan lehernya.
Sekarang bagaimana? Mayat itu sudah terlanjur berubah posisi. Menghadap ke atas. Ingin rasanya Basri menyelesaikan pekerjaan dia itu dengan menarik sisa tali pengikat kain kafan di leher mayat tersebut dengan tangan. Namun dia ingat pesan Ki Jarok yang mengatakan harus mengambilnya dengan gigi dan dia akan tahu jika berlaku curang. 'Bisa saja kubohongi dukun sialan itu, tapi percuma kalau pekerjaanku malam ini malah akan berakhir sia-sia. Huh, jahanam!' Laki-laki kerempeng itu tidak berhenti menggerutu.
Masih dengan gemetar hebat akibat menahan rasa takut, perlahan-lahan Basri kembali maju dibantu penerangan lentera mendekati leher jasad Kesih yang mulai membusuk. Dia pejamkan mata serta menahan napas sekuat tenaga, mencari-cari ujung tali mayat yang lembab bercampur aroma bangkai dengan mulut. Benar-benar itu sebuah siksaan yang tiada tara. Melawan ketakutan dan bayangan mengerikan perihal jasad tersebut, dengan keinginannya untuk segera menuntaskan ritual ini malam itu juga.
"Jangan, Kang …."
"Astaga!" seru Basri terkejut seraya mencelat kembali ke belakang. Napasnya kian memburu, bersimbah keringat dingin, dan wajah kian memucat laksana tak berdarah. Lentera di tangan pun tidak sadar dia lempar ke sudut kuburan. Pecah berantakan menyulut sisa sumbu yang masih panjang dan basah oleh minyak tanah, lantas menyulut api lebih besar menerangi ceruk kuburan. Kobaran api segera membubung tinggi hingga permukaan makam. "M-mayat i-tu b-berbicara," desis Basri tergagap-gagap sambil menatap golek jasad tersebut beberapa saat. Namun kemudian tersadar, posisi jenazah Kesih masih seperti tadi. Diam tak bergerak sedikit pun. ' … atau itu cuma halusinasiku saja? Ya, Tuhan!' Dia menelan ludah beberapa kali. Mendadak kering hingga tiada setetes pun mengaliri tenggorokannya yang turut kerontang.
'Gawat! Nyala api ini bisa menimbulkan kecurigaan warga setempat,' membatin Basri begitu melirik kobaran sumbu lentera di sudut kuburan. 'Aku harus cepat-cepat menarik lepas tali mayat sialan itu sesegera mungkin. Apapun yang terjadi, ini memang harus dituntaskan.'
"Aahhh, peduli setan dengan semua itu!"
Laki-laki itu kembali mendekati titik sasaran secara membabi buta. Dia nekat mengakhiri ritual tersebut dengan membuang jauh-jauh rasa takut yang menghantui tadi. Sekuat tenaga menggigit ujung tali kain kafan dan menarik kuat-kuat hingga posisi kepala mayat Kesih ikut bergeser.
"Jangan, Kang. Aku mohon …."
Suara itu kembali terdengar. Membisiki gendang telinga Basri yang tengah kesetanan.
"Enyah kau mayat jahanam! Biarkan aku mengambil sedikit saja milikmu yang tidak berguna bagimu ini!" ujar Basri menggeram marah. "Biarkan aku mewujudkan impian hidupku menjadi orang kaya raya! Lepaskan!"
"Jangan, Kang."
"Lepaskan!" teriak laki-laki tersebut murka di antara gigitannya, lantas segera melayangkan tinju keras-keras menghantam batok kepala mayat Kesih.
Krak!
Terdengar patahan tulang berderak begitu kepalan tangan Basri mengenai sasaran. Seketika kepala mayat itu pun berubah miring dengan sisa kapas terlepas memperlihatkan sosok aslinya kini.
"Haram jadah!" teriak Basri terengah-engah usai berhasil menarik lepas tali mayat tersebut, lantas berdiri angkuh serta menambah hantamannya dengan ayunan kaki ke bagian yang sama seperti tadi.
Krek!
Kali ini kepala mayat Kesih benar-benar dibuat tidak menentu. Wajahnya nyaris menelungkup, mencium dasar ceruk kuburan, sementara bagian dada ke bawah tetap menghadap ke atas.
"Rasakan! Itu akibatnya kalau melawanku, Mayat sialan! He-he," ujar Basri diiringi kekehannya yang memuakkan. Seakan merasa senang kini, karena sudah berhasil memiliki benda persyaratan yang dipinta Ki Jarok.
Tanpa membuang lebih waktu lama, laki-laki kerempeng itu pun segera menaiki permukaan makam. Berlari sekencang-kencangnya meninggalkan kuburan Kesih yang porak-peranda. Sementara nyala api masih mengalun dari bawah disertai kepulan asap hitam membubung tinggi.
Basri tahu, sangat riskan sekali jika menggunakan jalanan umum seperti biasa. Khawatir bertemu warga setempat yang tengah meronda. Maka dia pun mengambil jalan pintas. Menyusuri area kebun dan pematang sawah dalam kondisi gelap gulita. Tidak sekali, laki-laki ini terjerembap meniduri tanah licin dan becek hingga pakaian yang dikenakan pun nyaris tidak berupa. Satu hal baginya adalah menjaga agar tali kain kafan itu jangan sampai terlepas dari gigitan. Sebisa mungkin harus diberikan kepada Ki Jarok langsung melalui mulutnya.
"Hhooaaakkk!" Basri menahan entakkan mual yang kembali menghantam dada, akibat bau busuk dari tali tersebut. Syukurlah kali ini tidak lagi disertai muntahan hebat seperti sebelumnya. Mungkin karena isi lambung laki-laki itu sudah terkuras kosong melompong. Maka secepat itu pula, langkah kakinya diayun laksana putaran angin puting beliung.
Entahlah, disepanjang langkah, bayangan-bayangan aneh hampir selalu dia lihat seperti mengikuti. Berwujud aneh dan aromanya pun mirip dengan bau utas yang tengah digigit. Berusaha menghalangi menakut-nakuti. Bahkan di antaranya sengaja menutup jalan yang akan dilalui.
Basri tidak mau memedulikannya. Dia terpaksa memutar haluan. Menghindar dan memilih arah lain, walaupun dirasa pelarian dia kali ini bertambah jauh dari tujuan.
Tok! Tok! Tok!
"Ki, buka pintu! Ini aku, Basri, datang!" teriak Basri terhuyung-huyung begitu tiba di depan pintu sebuah gubuk tua dan nyaris gelap di sepenjuru tempat.
Tidak berapa lama pintu terkuak. Sesosok tua berjanggut putih panjang muncul dari dalam. Mengenakan ikat kepala berwarna hitam untuk menahan gerai rambutnya yang awut-awutan. Dia menatap Basri beberapa saat, kemudian terkekeh-kekeh sendiri di balik keremangan cahaya kecil di belakang, serta kepulan asap putih berbau khas pedupaan.
"Hooeeekkk!"
"Akhirnya kaukembali juga, Anak Muda. Hik-hik," kata sosok yang tidak lain adalah dukun terkenal setempat bernama Ki Jarok. "Aku sudah menunggumu dari … eh, apa yang terjadi padamu?" Dia segera menahan gerak tubuh Basri yang hendak terjatuh. Lantas secepat kilat menyambar tali yang tergigit sebelum laki-laki itu benar-benar terhempas ke tanah. 'Sialan! Dia jatuh pingsan di sini! Aarrghh, menambah kerjaanku saja kau, Anak Muda!' gerutu Ki Jarok sambil menarik masuk ke dalam.
Perlahan-lahan dia menempatkan tubuh Basri di atas sebuah dipan bambu beralaskan tikar daun pandan. Meneliti sejenak pakaian kotor yang dikenakan laki-laki tersebut, lantas dengan senyum tersungging menakutkan, Ki Jarok bergumam, 'Baguslah, ada baiknya dia tidak mengetahui apa yang akan kulakukan selanjutnya pada dia. Hik-hik.'
Kemudian perlahan-lahan sosok tua itu mulai menanggalkan seluruh pakaian Basri.
"Hik-hik."
BERSAMBUNG
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (2)------------------------ o0o ------------------------Dua hari pada keesokan petangnya, Basri baru kembali pulang ke rumah, disambut Lastri istrinya sambil terisak-isak berkata, "Ke mana saja kamu selama seminggu ini, Pak? Aku mencari-carimu sampai ke rumah orang tuamu. Tapi Abah sama Ambu pun tidak tahu keberadaan kamu. Anak-anak juga, mereka terus-terusan pada nanyain kapan Bapak pulang."Basri memeluk istrinya seraya tersenyum-senyum penuh makna. "Maafin aku, Bu. Aku—""Enak banget kamu pulang-pulang minta maaf sambil senyum-senyum begitu," tukas Lastri marah dan berusaha melepas dekapan suaminya. "Kamu gak tahu bagaimana aku repotnya ngurus anak-anak selama beberapa hari lalu tanpa ada kabar sedikit pun darimu. Apa, sih, yang kamu lakuin, Pak?""Iya, aku tahu aku salah, Bu," balas Basri tetap tenang. "Aku pergi juga buat kalian, kok. Habis nyari kerjaan.""Tapi
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (3)--------------------- o0o ---------------------Dua hari setelah ketibaan Basri lalu, suasana di rumah keluarga itu mulai dirasa berubah. Bau busuk menyengat sering tiba-tiba menyeruak memualkan di sekitar ruangan. Gangguan-gangguan kecil kerap diterima Lastri saat hendak menunaikan kewajiban beribadahnya. Entah berupa aliran air mendadak kering ketika bermaksud berwudu atau juga kain mukena sulit ditemukan waktu akan digunakan."Eh, kenapa tanya aku, Bu?" jawab Basri tatkala ditanyai istrinya. "Aku, 'kan, gak pernah pake mukena. Mungkin kamunya saja yang lupa naroh, Bu."Lastri menggaruk-garuk kepalanya, pusing. Berusaha mengingat keras terakhir kali menaruh mukenanya sehabis salat Asar tadi. "Aku biasanya ngegantungin mukena di belakang pintu kamar, Pak," ujar perempuan itu meyakinkan. "Tapi kenapa sekarang pas mau make buat salat Magrib gak ada di sana? Aneh banget." Pikirnya lagi, di rum
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (4)-------------------------- o0o --------------------------Seorang lelaki berlari-lari panik menyusuri jalanan tanah perkampungan yang masih becek. Napasnya terengah-engah disertai bias raut wajah pucat seperti ketakutan. "Tolooonnggg!" teriak sosok yang masih terlihat muda itu disepanjang langkah. Dia berusaha mencari-cari seseorang di sekitarnya. Namun waktu sepagi itu jalanan masih tampak lengang. Belum banyak orang berlalu-lalang untuk memulai beraktivitas."Ada apa, Sarkim?" Seseorang akhirnya menghampiri begitu mendengar teriakan lelaki muda tadi. Dia pun menoleh lega, lantas segera mendekat. "Ada apa? Sepagi ini kamu teriak-teriak minta tolong?" Imbuh sosok tadi kembali bertanya.Sarkim, begitu laki-laki muda itu dipanggil, berhenti seraya mengatur napas. Tidak lantas menjawab, tapi menunjuk-nunjuk sebuah arah di belakangnya tadi. "M-akam Sukaesih … m-makam Sukaesih, Pak," katan
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (5)-------------------------- o0o --------------------------Juragan Juanda duduk berdampingan dengan Kepala Kampung Mbah Jarwo di hadapan para tetamu undangannya di sebuah gubuk sederhana. Tempat yang sengaja dibangun di sebuah lahan perkebunan miliknya, tidak berapa jauh dari kediaman mewah orang terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut."Terima kasih saya haturkan kepada Bapak-bapak yang telah berkenan menerima undangan saya untuk turut hadir di sini," ujar laki-laki perlente itu mulai membuka percakapan. Sejenak dia melirik dan menepuk lengan tetua kampung di sampingnya, lantas lanjut berkata, "Terutama kepada yang saya hormati Mbah Jarwo atas bantuannya yang sangat berharga."Juragan Juanda berhenti sesaat sambil menundukkan kepala. Tampak sekali raut sedih menghiasi wajahnya yang masih terlihat gagah di usia menjelang senja."Mengenai kejadian semalam yang menimpa kuburan almarhumah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (6)-------------------------- o0o --------------------------Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut."Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "Wa'alaikumussalaam, Nak."Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?""Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?""Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (7)-------------------------- o0o --------------------------Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu."Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Han
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
BUAH CINTA BERDARAH Written by David Khanz ---------- o0o ---------- Unti menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Sesekali, isak tangis gadis cantik itu terdengar di antara desiran bayu yang bertiup, membelai lembut panjang rambutnya yang tergerai hingga panggul. Dengan bola mata indah berkaca-kaca, menatap hampa jauh ke depan tanpa tujuan. Seakan tengah berpikir untuk mencari tambatan, dari gelayut perih dalam hati yang masih terasa. Perlahan Unti meraih sisa kain penutup tubuh yang berserak di atas rerumputan. Sebagian sudah koyak direnggut paksa oleh laki-laki bergajul bernama Uwok, sesaat sebelum gadis itu hilang kesadaran dan juga kesucian. Ya, laki-laki durjana itu telah merampas mahkota kebanggaan yang seharusnya Unti persembahkan untuk kekasih pujaan hati, Ocong. Namun apalah daya, kini semuanya telah musnah berganti nestapa. Uwok tiba-tiba datang menghancurkan impian yang selama ini menjadi bunga-bunga kehidupan Unti dan Ocong yang penuh cinta. "Demi langit
JIMAT TALI MAYAT(Cerpen version)Written by David Khanz---------- o0o ----------Saat kutiba di rumah pagi itu, Kesih sudah terlihat bugar. Wajah berseri, segar, dengan rambut basah beraroma wangi."Udah bangun juga, Bang?" tanya perempuan itu dengan balutan handuk masih melilit di setengah badan. "Kok, udah rapih?"Kutatap Kesih tajam. "Tumben kamu juga udah mandi, Dek? Mau ke mana sepagi ini?"Dia tersenyum. Menghampiriku dan bergelayut manja. "Abang ini gimana, sih? Lupa semalaman kita abis ngapain?" katanya genit. Kemudian mengendus tubuhku sesaat. "Abang gak mandi? Udah rapi, kok, masih bau asem?"Semalam? Kita? Aku dan dia? Apa yang kulakukan sepanjang malam bersamanya? Dari kemarin petang tak ada di rumah. Baru pagi ini pulang."Kesih ... kamu?" Kuperhatikan leher perempuan itu penuh bercak merah. Seperti bekas gigitan. Dia mencubit hidung ini, diiringi senyum semringah nan menggoda. Kemudian ujarnya, "Ah, Abang ini paling bisa, deh, bikin aku klepek-klepek. Permainan Abang s
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 31-------------------- o0o --------------------Rasa kecewa karena telah dikhianati oleh kawan sendiri, membuat batin Basri merasa sakit laksana ditancapi ribuan jarum berkarat di paru-paru. Sakit dan akan terus terasa sakit setiap kali menarik nafas. Tidak menyangka bahwa perjalanan hidupnya akan sepahit ini. Kemarin merasa jauh lebih bangga karena genggaman harta dengan mudah di dapat, hari ini justru berbalik perih seperti tengah meregang sekarat.Ingatan akan sosok terkasih di rumah kian membayangi, akan tetapi entah apa yang akan dijawab jika kondisi dirinya seperti ini. Basri enggan kembali sebelum dapat mengembalikan kejayaannya seperti semula.‘Aku harus mendapatkan jimat itu kembali. Apa pun caranya,’ ujarnya bertekad. Karena hanya dengan benda dan caranya selama itulah, kehidupan keluarga akan terus terjamin. ‘Aku tidak mau hidup miskin lagi. Menjadi bahan gunjingan dan hinaan orang-orang sekitar. Bahkan dari pandangan sebelah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 30-------------------- o0o --------------------Di waktu siang hari, Mbah Jarwo pontang-panting keluar-masuk rumah mencari-cari istrinya, Emak Sari. Di dapur tidak ditemukan, di kamar dalam apalagi. Gurat gusar seketika tertampak dari raut wajah tuanya. “Ke mana istriku? Enggak biasanya dia menghilang begitu saja dari rumah,” gumam lelaki tua tersebut sibuk bertanya-tanya sendiri. “Apakah dia ke kebun? Sawah? Ah, rasanya enggak mungkin. Sudah lama istriku itu gak pernah lagi ke sana.”“ ... Atau mungkinkah dia pergi karena perselisihannya denganku tempo hari? Ah, mengapa harus pergi? Tadi pagi dia bersikap biasa-biasa saja. Terus ke mana, dong?”Hampir seharian itu Mbah Jarwo menunggu di depan rumah. Berharap Emak Sari muncul atau pulang. Hingga kemudian deru kendaraan bermotor mengalihkan fokus lelaki tersebut pada asal sumber suara yang ada.Benar saja, Emak Sari pulang ke rumah menaiki kendaraan ojek kampung. Begitu turun, langsung di
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 29-------------------- o0o --------------------Basri menggeliat layaknya cacing kepanasan. Meluruskan sedikit persendian serta urat di tubuhnya yang terasa kaku. Sejenak dia menguap lebar, lantas perlahan-lahan membuka kelopak mata yang masih dirasa berat.‘Sudah pagikah atau ini siang hari?’ Bertanya lelaki bertubuh kurus kering itu begitu merasakan silau menusuk bola mata dari cahaya terang melalui singkapan jendela terbuka.Masih dengan sisa kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, tangannya bergerak-gerak ke samping hendak menyentuh sosok perempuan semalam. Lilis. Kosong. Tidak tersentuh apa pun di sana, terkecuali sprei putih dan selimut yang masih acak-acakan disertai bantal teronggok kesepian.“Lis?”Basri celingukan memutari sudut kamar. Sama. Tidak tampak siapa pun di dalam sana, terkecuali dirinya sendiri. Dengan kening berkerut, lelaki itu bangkit, menyingkap dekapan selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh polosnya.“Lis?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 28---------- o0o ----------“Kita makan dulu ya, Kang,” ujar Lilis sembari menyiapkan pesanan makanan di atas meja kamar. “Habis itu, kita terusin lagi ngobrol-ngobrolnya.”Basri menarik napas dalam-dalam. Rasa penasaran yang sejak tadi tersimpan, untuk sementara terpaksa harus kembali dia jaga. Lantas melirik ke atas meja dimana teronggok bungkusan makanan yang sudah siap dinikmati. ‘Huh, sialan!’ rutuk lelaki itu begitu mengetahui, gerangan menu apa yang tersaji di sana. Ayam goreng. ‘Gua lupa ngasih tahu Lilis, kalo gua gak boleh makan makanan enak-enak.’ Sesaat dia mengelus perut. Lagipula saat itu Basri tidak terlalu merasa lapar. Sajian khusus di bibir jalan menuju tempat kediaman Ki Jarok tadi, rasanya masih cukup mengganjalnya hingga kini.Burung hantu?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 27---------- o0o ----------Rintik hujan masih turun mengepul di udara. Memberi nuansa dingin menyelimuti di sepanjang langkah Basri menuruni terjal jalanan tanah dari lereng Gunung Halimun. Langit sebelah barat kian mengelabu di antara bentangan sempurna sekumpulan awan di sana menutupi sinar mentari penutup hari. Sejenak lelaki itu melirik jam di tangan. Telah menunjukkan waktu hampir pukul lima petang.‘Sialan,’ rutuk Basri memaki-maki sendiri seraya membetulkan letak ransel di punggung. ‘Kalo sampai kemalaman kayak begini, lebih baik aku menunda kepulanganku ke rumah hingga besok hari saja. Sangat riskan rasanya kalo memaksakan pulang selarut sekarang. Huh! Mana hapeku mati lagi.’Jejak sepatunya dipijak kuat-kuat agar tidak sampai jatuh terpeleset di atas jalanan licin. Sesekali matanya
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian 26 ---------- o0o ---------- “Apa?!” Mata tua Mbah Jarwo kembali membelalak kaget usai mendengar penuturan dari Sarkim perihal Asih. Lelaki muda tersebut menatap tajam sosok tetua di depannya dengan perasaan takut. “Iya, Mbah, Ceu Asih pergi dari rumah Juragan Juanda. Dia gak lagi terlihat di sana sejak pagi kemarin,” tutur kembali Sarkim mengulang ceritanya beberapa saat barusan. Mbah Jarwo mendengkus. Ada gurat kesal tertampak dari bias wajah tua tersebut. Lantas berucap seraya entakkan kaki ke tanah, “Aneh ... kenapa si Juanda gak ngasih tahu saya? Biasanya tiap kali ada sesuatu, dia akan segera memanggil buat datang ke rumahnya.” Berkali-kali dia menggeleng seakan belum sepenuhnya memercayai apa yang baru saja diketahui. “Terus ... dari mana kamu tahu kalau si Asih kabur?” “Bukan kabur, Mbah. Tapi
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 25----------------- o0o -----------------Entah sudah yang keberapa kali Basri dipinta untuk terus menuruti permintaan Ratu Galimaya. Bergumul memenuhi hasrat gila perempuan cantik tersebut secara berulang-ulang semalaman penuh. Hampir seluruh persendian lelaki bertubuh kurus itu seperti remuk redam, terkuras habis semua tenaga yang ada, hingga terkapar lelah di atas pembaringan empuk besar beraroma wangi bebungaan. Anehnya, walaupun dalam hati berusaha untuk menolak, tapi entakkan syahwat itu kembali muncul begitu cumbu itu kembali menyentuh area pribadinya.Basri tidak sadar sepenuhnya. Dalam penglihatan lelaki tersebut, Ratu Galimaya adalah istri dia sendiri, Lastri. Otaknya sudah dibekukan sejak meminum isi cawan antik yang diberikan perempuan itu tadi. Bahkan baru saja beberapa saat lalu menuntaskan pergumulan hebat di atas pe