JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (6)
-------------------------- o0o --------------------------
Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "W*'alaikumussalaam, Nak."
Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?"
"Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?"
"Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
"O, ya, sudah. Kètèl sama gelasnya ada di dapur," balas Emak Sari seraya menunjuk ruangan belakang. "Kalo mau bikin kopi, airnya ada di termos. Baru pagi tadi naheur, Nak."
"Iya, Ambu," timpal Lastri. "Bapak mau ngopi?" tanyanya kemudian pada Basri yang sudah duduk di atas hamparan tikar pandan di ruang tengah. Laki-laki itu mengangguk, lantas menjawab, "Bikin saja, Bu. Sekalian juga buat Abah … eh, Abah ke mana, Mak? Sisinarieun gak kelihatan?"
Wanita tua itu menjawab usai Lastri pamit ke dapur, "Bapakmu lagi pergi ke luar, Nak. Biasalah, mungkin ke kebon nyari buah pisang buat caneut."
"Oohhh," gumam Basri sambil manggut-manggut. Dia melirik-lirik sebentar, melihat ibunya sedari masuk tadi tidak lepas memandanginya. "Ada apa, Mak?" tanya laki-laki kerempeng itu tiba-tiba merasa kurang enak hati. Sebelum menjawab, Emak Sari melongok dulu ke arah dapur. Lalu berucap, "Kamu ke mana saja selama seminggu ini, Nak? Gak ada kabar sama sekali, bikin istrimu itu bingung. Sampai-sampai anak-anakmu dititipin di sini."
Basri tidak berani menatap balik sorot mata ibunya. Dia menjawab sambil mengalihkan arah pandangan. "Abas nyari kerjaan, Mak, ke kota," katanya memberi alasan. "Tadinya, sih, paling sehari dua hari pergi, eh … tahunya malah seminggu baru balik lagi."
"Terus?" Mata tua itu seperti tengah menyelidik.
Jawab laki-laki kerempeng itu kembali, "Yaa … terus ... ketemu temen lama, diajak kerja selama seminggu itu. Begitu, Mak. Baru kemaren petang Abas pulang lagi."
Emak Sari menarik napas panjang. Beberapa saat kemudian menimpali penuturan anaknya tadi, "Yaa … minimal ngasih kabar atuh ke rumah. Karunya si Elas sampe nyari-nyari kamu ke sini, lho, Nak. Kasihan dia."
"Iya, Mak," balas Basri sambil menunduk. "Abas sudah jelasin, kok, sama Lastri dan minta maaf. Makanya kami datang ke sini juga, mau sekalian ngejemput Iyan dan Iyam pulang."
Sosok wanita tersebut terdiam beberapa saat. Menarik napas, memandangi anak laki-laki semata wayangnya, kemudian berkata, "Lagian, kenapa, sih, kalian itu gak tinggal di sini saja sama Emak dan bapakmu. Eh, ini … malah milih ngontrak jauh-jauh di Cijèngkol sana. Kalo kalian tinggal di sini, 'kan, gak usah repot-repot kayak kemaren-kemaren itu, lho, Nak. Ditinggal kamu pergi lama juga, Elas dan cucu-cucu Emak, ada yang ikut ngejagain."
Basri hanya diam mendengarkan.
Imbuh Emak Sari, "Padahal kalo mau mah, tuh itu … ikut ngurus kebon sama sawah yang ada di girang itu bareng bapakmu, Nak."
Percakapan langsung terhenti begitu Lastri muncul dari dapur membawakan segelas kopi dan beberapa gelas teh manis, bersama Aryan dan Maryam. Kedua bocah itu berseru riang waktu melihat sosok bapaknya terduduk di ruang tengah tersebut.
"Bapaaakkk!" teriak keduanya lantas menghambur peluk penuh kerinduan. "Bapak ke mana waè, sih? Kamari Iyan nunggu-nunggu Bapak gak pulang-pulang," ungkap Aryan si Anak Sulung berebut dekap manja bersama adik perempuannya. Ditimpali Maryam di antara gelayut manja, "Iya, Bapak mah perginya lama pisan, ih."
Basri memeluk mereka serta menghujaninya dengan ciuman hangat, lalu menjawab lirih, "Iya, maafin Bapak, ya, Anak-anak. Bapak gak ngasih kabar sama kalian berdua."
Emak Sari dan Lastri terenyuh melihat mereka bertiga saling berpelukan. Teringat akan beberapa waktu berlalu, datang ke rumah itu bersama anak-anak dengan perasaan tidak menentu menanyakan keberadaan Basri. "Memangnya ke mana suamimu itu, Nak?" tanya sosok wanita tua tersebut miris seraya memperhatikan raut wajah menantunya, terlihat murung dan gelisah.
"Entahlah, Ambu. Elas sendiri gak tahu," jawab Lastri. Sejujurnya dia merasa malu harus menitipkan Aryan dan Maryam di sana karena sudah tidak bisa memberi mereka makan. Uang tidak punya, setok beras sudah habis, ditambah lagi utang ke warung Bariah kian menumpuk.
"Tinggal saja di sini sampai Basri nanti pulang, Nak," pinta Emak Sari memahami bahwa kondisi perekonomian rumah tangga anak-menantunya ini sedang tidak baik. Namu Lastri menolak walaupun digelayuti perasaan malu terhadap mertuanya tersebut. "Terima kasih, Ambu. Elas sendiri pun gak tahu, bakal berapa lama bapaknya anak-anak itu pergi. Enggak biasanya, sih, begini. Tapi khawatir kalo nanti Bapak ngedadak pulang, rumah dalam keadaan kosong."
Tawaran Emak Sari untuk membawa perbekalan bahan makanan pun, juga terpaksa Lastri tolak. Perempuan itu paham bahwa kondisi hidup mertuanya itu pun tidak lebih baik dari mereka.
"Elas ngerti dan sebenarnya gak mau ngerepotin Abah dan Ambu dengan kehadiran anak-anak di sini, tapi …." Raut wajah Lastri kian muram. " … Elas bingung harus bagaimana lagi, Ambu."
Dengan berat hati, terpaksa Aryan dan Maryam ditinggal untuk sementara waktu di kediaman kakek-neneknya. Lastri kembali pulang ke rumah kontrakan, menaiki angkutan ojek dengan sisa terakhir uang yang ada, sendirian.
"Kalian belum pada ngawadang, 'kan?" tanya Emak Sari beberapa saat usai bercakap-cakap ringan dengan anak-menantunya tadi. Basri menjawab seraya melirik pada Lastri, "Kami sudah makan pagi tadi, kok, Mak."
Timpal wanita tua tersebut, "Itu, 'kan, tadi pagi, Nak. Mumuluk. Sekarang sudah hampir tengah hari. Kita makan bareng, ya? Kebetulan, kemarin si Abah meuncit manila3 kolot."
Demi menjaga hati orang tua tersebut tidak merasa kecewa, Basri dan Lastri mengiakan saja ajakannya. Kemudian bersama-sama, semuanya berkumpul menghadapi hidangan yang menggugah selera itu.
"Huueekkk!"
Semua mata menoleh ke arah Basri penuh keheranan. "Kenapa, Pak?" tanya Lastri lebih awal mempertanyakan. "Bapak masuk angin lagi?"
"Kamu sakit, Nak?" Emak Sari turut bertanya.
Basri menggeleng pelan dengan mata terpejam. "Enggak. Aku baik-baik saja, kok," jawabnya seraya meletakan potongan lauk yang tadi sudah siap dia santap ke dalam piringnya. "K-kayaknya … daging ini masih bau amis, Mak."
Wanita tua itu mengernyit heran.
"Kamu ini bagaimana, sih, Nak," ucap Emak Sari seraya membaui aroma olahannya. "Gak bau anyir, kok. Iya, 'kan, Nak Elas?" Dia meminta pendapat menantunya. Dijawab Lastri sembari melakukan hal serupa sebagaimana ibu mertuanya tadi, "Iya, Ambu. Biasa saja. Malah enak, kok. Anak-anak saja pada lahap, tuh."
Aryan dan Maryam terlihat asyik menikmati makan siang mereka.
"Maafin Abas, Mak, tapi … Abas gak suka baunya," ungkap Basri memberi alasan. Setengah menunduk, mata laki-laki ini liar melirik-lirik ke hampir setiap sudut ruangan rumah.
Emak Sari cemberut dan menggerutu, "Aneh kamu ini, Nak. Sejak kecil, kamu itu selalu suka masakan Emak. Daging manila ini lauk kegemaran kamu juga, lho."
Basri tidak berani mengangkat wajah. Masih dalam posisi setengah menunduk, dia berusaha menjawab ucapan ibunya. "Iya, Abas tahu, Mak. Tapi sekarang Abas gak tahan sama bau amisnya, Mak," ujar laki-laki kerempeng itu kemudian. Lantas dia bangkit dari duduk silanya.
"Mau ke mana, Pak?" tanya Lastri cepat.
Jawab Basri di tengah langkahnya menuju dapur, "Ngambil garam, Bu."
"Garam? Buat apa, Pak?"
Laki-laki itu tidak menjawab. Namun samar-samar dari arah dapur, terdengar suara-suara Basri seperti sedang menggerutu.
"Sudah. Biarkan saja. Anak Ambu itu kalo ngambek makan, memang seperti itu, Nak," ungkap Emak Sari pada menantunya. "Paling-paling dia mau bikin tutug uyah4."
Lastri manggut-manggut, kemudian lanjut menikmati acara ngawadang5 dengan lahap.
Apa sebenarnya yang terjadi? Di balik ketidaktahuan Emak Sari, Lastri, dan kedua anak-anak tersebut, Basri merasakan adanya ketidakberesan tatkala hendak menikmati olahan ibunya tadi. Tiba-tiba saja, aroma busuk menyeruak masuk ke dalam ruangan tengah. Menyengat dan menyesakkan dada hingga dia mual dan hampir muntah.
'Jahanam!' umpat laki-laki itu mengutuk. 'Makhluk sialan itu datang kembali di saat aku mau melahap makanan lezat ini!'
Untuk menghindari kecurigaan ibu dan keluarganya, Basri berusaha bersikap tenang. Berpura-pura duduk bersila menghadapi hidangan dengan kepala tertunduk. Sementara matanya mencuri-curi pandang ke samping kiri-kanan serta depan, hendak memastikan kehadiran sosok astral yang dimaksud tadi.
Benar saja. Tidak seberapa jauh di ambang pintu menuju luar sana, tampak berdiri kaku sesosok makhluk berkain putih kumal dan berikat lima simpul dari ujung kaki hingga atas kepala, menatap seram ke arah Basri. Bagian wajahnya itulah satu-satunya yang tidak turut terbungkus dan tertutupi, dengan kondisi rusak mengerikan tidak tentu bentuk. Laksana sisa daging membusuk dipenuhi kilapan cairan merah serta lelehan nanah menjijikkan, dengan kedua bola mata hampa terlihat hampir tanggal dari ceruk kelopaknya. Bau bangkai, begitulah aroma khas yang kerap dihadirkan setiap kali wujudnya tertampak.
Basri bergegas ke dapur untuk menghindari pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan ibu dan istrinya. Di sana makhluk terkutuk itu mengikuti langkah.
"Baiklah, Jahanam!" sentak laki-laki tersebut setengah menahan geram yang mengentak seisi dada. "Kamu memang tidak akan pernah membiarkan saya menikmati hidup saya ini, bukan? Gak masalah, Setan! Saya bisa terima konsekuensinya."
"Ggrrhhh!" Makhluk itu menggeram.
"Setan sialan!" umpat Basri kembali marah-marah. "Saya tahu, kamu akan selalu datang menghancurkan selera makan saya, 'kan? Itu artinya, kamu tidak menghendaki saya untuk bersenang-senang. Lihat sekarang …." Dia mencari-cari wadah bumbu garam, lantas menunjukkannya pada makhluk mengerikan tersebut begitu didapat. "Ini yang selalu kamu mau itu, ya? He-he. Cukup dengan ini saya menikmati selera makan dan hidup saya, 'kan? Baik. Gak masalah! Sekarang enyahlah dari sini, sebelum saya taburi muka busukmu itu dengan garam ini, Jahanam!"
"Hik-hik!" Makhluk itu tertawa-tawa. Kemudian perlahan-lahan menghilang dari hadapan Basri.
"Ya, Tuhan …." desah laki-laki itu seraya mengusap-usap kepala. Kesal, marah, muak, dan rasa sedih bercampur menjadi satu. "Di satu sisi, aku akan mendapatkan impianku. Namun di sisi lain, kenikmatanku pun mulai dikurangi. Apakah ini konsekuensi perjanjian kerja sama dengan setan itu, Tuhan?"
Di saat Basri tengah asyik merenung, sekonyong-konyong Lastri muncul mengejutkan. "Pak, lagi ngapain di dapur?" tanya perempuan itu dengan mimik keheranan.
Lekas-lekas lelaki itu mengulas senyumnya, lantas menjawab, "Eh, ini … nyari-nyari tempat garam, Bu." Dia memperlihatkan wadah bumbu asin itu dalam genggamannya.
"Kirain lagi apaan," ujar Lastri menarik napas lega. "Lama amat, sih, nyarinya?"
"Iya, Bu, soalnya aku, 'kan, udah lama gak tinggal di sini. Jadi agak lupa dimana biasanya Emak naruh tempat garam ini. He-he."
"Terus, tadi aku denger Bapak kayak lagi ngedumel begitu."
"Oohh, enggak. Mungkin tadi aku sambil nyanyi-nyanyi dikit, Bu. He-he," jawab Basri membual.
"Nyanyi? Sejak kapan Bapak suka nembang?"
'Ah, banyak tanya juga perempuan ini! Lama-lama, aku khawatir dia akan mencurigaiku ….' gumam Basri sambil memutar otak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pancingan istrinya tersebut.
"Sudahlah," ujar Basri mencoba mengalihkan pembicaraan. "Kita lanjut makan lagi, yuk, Bu."
"Dengan garam?"
"Iyalah. Dengan apalagi? Ibu lihat sendiri, 'kan, tadi? Aku gak suka sama bau anyir dagingnya, Bu."
"Hhmmm."
Terbukti manjur. Lastri tidak lagi bertanya-tanya. Kemudian mereka melanjutkan kembali makan-makan bersama Emak Sari dan anak-anak, Aryan serta Maryam. Tidak ada obrolan lagi. Semua menikmati hidangan dengan lahap hingga suapan terakhir, terkecuali Basri sendiri.
"Bapak, kok, belum pulang juga, ya, Mak?" ucap laki-laki sewaktu bersiap-siap hendak pulang.
Emak Sari mendengkus. "Entahlah, Nak. Akhir-akhir ini bapakmu selalu sibuk dengan warga."
"Lho, kata Emak tadi pergi ke kebon?"
"Ya, mungkin saja begitu, Nak," jawab sosok tua tersebut. " … atau bisa juga bersama-sama warga menyiangi kebun di girang6 sana."
"Ooohh."
"Makanya, daripada kamu nyari kerjaan di kota, mendingan ikut bapakmu bantu-bantu ngolah kebun dan sawah saja, Nak. Kasihan, istri dan anak-anakmu kalo sering ditinggalin lama." Emak Sari menoleh pada Lastri dan kedua cucunya.
Basri tersenyum kecut.
'Hhmmm, lebih enak yang sekarang, Mak. Tidak perlu capek-capek ngeluarin keringat segala. Cukup mengadu nasib, uang pun dengan mudah kudapatkan. He-he.'
"Iya, Mak. Nanti Abas pikirin, deh," ujar Basri sambil menggaruk-garuk kepala. "Sekarang Abas pamit mau pulang, ya, Mak. Titip salam buat Bapak kalo datang nanti."
"Apa gak sholat dulu di sini, Nak? Sudah masuk waktu Dzuhur, lho," kata Emak Sari mengingatkan.
Mendadak wajah laki-laki itu terlihat dingin dan tergagap-gagap berucap, "S-sholat? Eh, i-iya. Nanti saja di rumah, Mak. Lagian gak segitu lama, kok, di perjalanan. Sesampai di sana, masih ada waktu buat s-sholat."
Sebelum pergi, Emak Sari sengaja membekali mereka sedikit bahan-bahan makanan. Dia khawatir, keluarga kecil itu tidak memiliki uang untuk berbelanja. Semula Basri hendak menolak, bahkan akan memberi ibunya uang, tapi benaknya segera bekerja. 'Untuk sementara, biarlah Emak masih menganggapku serba kekurangan. Itu lebih baik, agar tidak sampai menimbulkan kecurigaan perihal aku yang sekarang ….'
"Sengaja Emak bekelin juga sisa masakan daging manila tadi buat temen makan kalian di rumah nanti, ya."
Daging itu lagi, pikir Basri mendadak merasa mual. Kemudian samar-samar gendang telinganya seperti mendengar suara kekehan khas.
"Hik-hik."
'Jahanam!' rutuk laki-laki tersebut geram.
BERSAMBUNG
----------------------
1. Sarapan2. Menyembelih3. Sejenis unggas4. Nasi yang djcampur sedikit garam5. Makan siang6. PelosokJIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (7)-------------------------- o0o --------------------------Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu."Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Han
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (10) --------------------- o0o --------------------- Basri dan kedua anaknya, Aryan dan Maryam, serempak mempercepat langkah sepulang dari musala. Mereka berlari-lari kecil begitu melihat kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita. “Lho ... kok, lampu depan gak dinyalain, Pak?” tanya Aryan seraya menengok ke arah Basri yang berlari di belakang. “Apa Ibu lupa nyalain lampu?” Bukan hanya lampu depan, nyatanya begitu tiba di beranda rumah, hal yang sama pun terjadi di dalamnya. “Bapak sendiri gak tahu, Yan,” jawab lelaki tersebut sembari mengintip celah kain gorden jendela. Pekat menggulita. “Mungkin KWH-nya ngejepret atau Ibu ketiduran,” imbuhnya kembali was-was. Segera memeriksa meteran listrik yang berada tepat di samping atas pintu akses utama keluar-masuk rumah. Normal. Masih dalam kondisi semest
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (11) --------------------- o0o --------------------- Alunan musik dangdut menggema hingar memenuhi ruangan temaram dengan cahaya warna-warni. Basri hanya duduk-duduk menatap layar televisi berukuran besar, ikut berdendang pelan sambil membaca rangkaian lirik lagu yang tersuguh. Sementara dua temannya asyik bernyanyi mengikuti ketukan irama, ditemani dua perempuan pemandu karaoke berpakaian minim dan ketat. Sesekali tangan-tangan mereka bergerilya menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif masing-masing, lantas disambut cekikik nakal dari keempatnya. Belasan lagu sudah mereka lewati, tapi hanya beberapa yang benar-benar diikuti dengan saksama. Sisanya bercampur aktivitas lain sambil menikmati sajian minuman khas beraroma menyengat. Sesaat Basri menatap empat sosok di sampingnya sembari memijit-mijit kening. Sedikit te
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (12) --------------------- o0o --------------------- Menjelang senja hari di sebuah warung makan di pinggiran kota, Basri dan kedua temannya, Juned dan Cemong, duduk-duduk santai usai menikmati santapan makan malam. Ketiga laki-laki tersebut asyik kemasuk memainkan kepulan asap rokok dari mulut sambil berbincang-bincang ringan. “Jadi elu yakin bakal pindah operasi dari kota ini, Bas? Mulai kapan?” tanya Juned di antara bubung asap nikotin terembus dari kedua lubang hidungnya. Yang ditanya celingukan sesaat memperhatikan ruangan sekitar tempat makan, terutama pada beberapa sosok pengunjung lain di dalam sana. Jawab Basri kemudian dengan suara pelan, ”Mungkin secepatnya, Ned.” Dia mengambil kembali sebatang rokok baru begitu yang awal tadi sudah nyaris memendek panas terjepit di jemari. “Keberadaan gua di kota ini
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (13) --------------------- o0o --------------------- Hitam .... Sekeliling memandang semuanya berwarna sama. Pekat membutakan hingga tidak satu pun mampu terlihat, kecuali rasa dingin di sepanjang jejak langkah. Terus bergerak menyusuri bisikan hati, walau tidak tahu ke mana kelak akan berlabuh. Sosok itu tampak kian bingung di antara kehati-hatiannya. Merasa tersesat, tapi yakin bahwa hanya ada satu pilihan untuk memecah kebuntuan, yakni mengayun kaki ke depan secara terus menerus. Samar-samar suara isak pilu terdengar lirih menuntun benak. Di sana, entah di mana letak tepatnya. Masih jauh, tapi terasa kian mendekat. Lantas perlahan-lahan sosok itu pun meraba-raba melalui keyakinan diri, sumber itulah langkah tersebut akan berakhir. “Ayah ....” Sosok tersebut tercekat. Memutar badan
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (14)--------------------- o0o ---------------------Tiga sosok lelaki berjalan perlahan-lahan seraya melihat-lihat keadaan sekeliling perumahan yang dilalui. Sebentar-sebentar mereka berbisik satu dengan lainnya ketika melewati rumah demi rumah, sampai kemudian berhenti persis di depan sebuah warung di Kampung Cijengkol.“Cari siapa, Pak?” tanya seorang wanita tua sekonyong-konyong keluar dari dalam warung. Sosok ini tidak lain adalah Bariah.Salah seorang di antara lelaki tadi menoleh ke samping. “Bagaimana,
BUAH CINTA BERDARAH Written by David Khanz ---------- o0o ---------- Unti menyeka air mata yang terus mengalir membasahi pipi. Sesekali, isak tangis gadis cantik itu terdengar di antara desiran bayu yang bertiup, membelai lembut panjang rambutnya yang tergerai hingga panggul. Dengan bola mata indah berkaca-kaca, menatap hampa jauh ke depan tanpa tujuan. Seakan tengah berpikir untuk mencari tambatan, dari gelayut perih dalam hati yang masih terasa. Perlahan Unti meraih sisa kain penutup tubuh yang berserak di atas rerumputan. Sebagian sudah koyak direnggut paksa oleh laki-laki bergajul bernama Uwok, sesaat sebelum gadis itu hilang kesadaran dan juga kesucian. Ya, laki-laki durjana itu telah merampas mahkota kebanggaan yang seharusnya Unti persembahkan untuk kekasih pujaan hati, Ocong. Namun apalah daya, kini semuanya telah musnah berganti nestapa. Uwok tiba-tiba datang menghancurkan impian yang selama ini menjadi bunga-bunga kehidupan Unti dan Ocong yang penuh cinta. "Demi langit
JIMAT TALI MAYAT(Cerpen version)Written by David Khanz---------- o0o ----------Saat kutiba di rumah pagi itu, Kesih sudah terlihat bugar. Wajah berseri, segar, dengan rambut basah beraroma wangi."Udah bangun juga, Bang?" tanya perempuan itu dengan balutan handuk masih melilit di setengah badan. "Kok, udah rapih?"Kutatap Kesih tajam. "Tumben kamu juga udah mandi, Dek? Mau ke mana sepagi ini?"Dia tersenyum. Menghampiriku dan bergelayut manja. "Abang ini gimana, sih? Lupa semalaman kita abis ngapain?" katanya genit. Kemudian mengendus tubuhku sesaat. "Abang gak mandi? Udah rapi, kok, masih bau asem?"Semalam? Kita? Aku dan dia? Apa yang kulakukan sepanjang malam bersamanya? Dari kemarin petang tak ada di rumah. Baru pagi ini pulang."Kesih ... kamu?" Kuperhatikan leher perempuan itu penuh bercak merah. Seperti bekas gigitan. Dia mencubit hidung ini, diiringi senyum semringah nan menggoda. Kemudian ujarnya, "Ah, Abang ini paling bisa, deh, bikin aku klepek-klepek. Permainan Abang s
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 31-------------------- o0o --------------------Rasa kecewa karena telah dikhianati oleh kawan sendiri, membuat batin Basri merasa sakit laksana ditancapi ribuan jarum berkarat di paru-paru. Sakit dan akan terus terasa sakit setiap kali menarik nafas. Tidak menyangka bahwa perjalanan hidupnya akan sepahit ini. Kemarin merasa jauh lebih bangga karena genggaman harta dengan mudah di dapat, hari ini justru berbalik perih seperti tengah meregang sekarat.Ingatan akan sosok terkasih di rumah kian membayangi, akan tetapi entah apa yang akan dijawab jika kondisi dirinya seperti ini. Basri enggan kembali sebelum dapat mengembalikan kejayaannya seperti semula.‘Aku harus mendapatkan jimat itu kembali. Apa pun caranya,’ ujarnya bertekad. Karena hanya dengan benda dan caranya selama itulah, kehidupan keluarga akan terus terjamin. ‘Aku tidak mau hidup miskin lagi. Menjadi bahan gunjingan dan hinaan orang-orang sekitar. Bahkan dari pandangan sebelah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 30-------------------- o0o --------------------Di waktu siang hari, Mbah Jarwo pontang-panting keluar-masuk rumah mencari-cari istrinya, Emak Sari. Di dapur tidak ditemukan, di kamar dalam apalagi. Gurat gusar seketika tertampak dari raut wajah tuanya. “Ke mana istriku? Enggak biasanya dia menghilang begitu saja dari rumah,” gumam lelaki tua tersebut sibuk bertanya-tanya sendiri. “Apakah dia ke kebun? Sawah? Ah, rasanya enggak mungkin. Sudah lama istriku itu gak pernah lagi ke sana.”“ ... Atau mungkinkah dia pergi karena perselisihannya denganku tempo hari? Ah, mengapa harus pergi? Tadi pagi dia bersikap biasa-biasa saja. Terus ke mana, dong?”Hampir seharian itu Mbah Jarwo menunggu di depan rumah. Berharap Emak Sari muncul atau pulang. Hingga kemudian deru kendaraan bermotor mengalihkan fokus lelaki tersebut pada asal sumber suara yang ada.Benar saja, Emak Sari pulang ke rumah menaiki kendaraan ojek kampung. Begitu turun, langsung di
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 29-------------------- o0o --------------------Basri menggeliat layaknya cacing kepanasan. Meluruskan sedikit persendian serta urat di tubuhnya yang terasa kaku. Sejenak dia menguap lebar, lantas perlahan-lahan membuka kelopak mata yang masih dirasa berat.‘Sudah pagikah atau ini siang hari?’ Bertanya lelaki bertubuh kurus kering itu begitu merasakan silau menusuk bola mata dari cahaya terang melalui singkapan jendela terbuka.Masih dengan sisa kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, tangannya bergerak-gerak ke samping hendak menyentuh sosok perempuan semalam. Lilis. Kosong. Tidak tersentuh apa pun di sana, terkecuali sprei putih dan selimut yang masih acak-acakan disertai bantal teronggok kesepian.“Lis?”Basri celingukan memutari sudut kamar. Sama. Tidak tampak siapa pun di dalam sana, terkecuali dirinya sendiri. Dengan kening berkerut, lelaki itu bangkit, menyingkap dekapan selimut tebal yang menutupi sekujur tubuh polosnya.“Lis?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 28---------- o0o ----------“Kita makan dulu ya, Kang,” ujar Lilis sembari menyiapkan pesanan makanan di atas meja kamar. “Habis itu, kita terusin lagi ngobrol-ngobrolnya.”Basri menarik napas dalam-dalam. Rasa penasaran yang sejak tadi tersimpan, untuk sementara terpaksa harus kembali dia jaga. Lantas melirik ke atas meja dimana teronggok bungkusan makanan yang sudah siap dinikmati. ‘Huh, sialan!’ rutuk lelaki itu begitu mengetahui, gerangan menu apa yang tersaji di sana. Ayam goreng. ‘Gua lupa ngasih tahu Lilis, kalo gua gak boleh makan makanan enak-enak.’ Sesaat dia mengelus perut. Lagipula saat itu Basri tidak terlalu merasa lapar. Sajian khusus di bibir jalan menuju tempat kediaman Ki Jarok tadi, rasanya masih cukup mengganjalnya hingga kini.Burung hantu?
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 27---------- o0o ----------Rintik hujan masih turun mengepul di udara. Memberi nuansa dingin menyelimuti di sepanjang langkah Basri menuruni terjal jalanan tanah dari lereng Gunung Halimun. Langit sebelah barat kian mengelabu di antara bentangan sempurna sekumpulan awan di sana menutupi sinar mentari penutup hari. Sejenak lelaki itu melirik jam di tangan. Telah menunjukkan waktu hampir pukul lima petang.‘Sialan,’ rutuk Basri memaki-maki sendiri seraya membetulkan letak ransel di punggung. ‘Kalo sampai kemalaman kayak begini, lebih baik aku menunda kepulanganku ke rumah hingga besok hari saja. Sangat riskan rasanya kalo memaksakan pulang selarut sekarang. Huh! Mana hapeku mati lagi.’Jejak sepatunya dipijak kuat-kuat agar tidak sampai jatuh terpeleset di atas jalanan licin. Sesekali matanya
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian 26 ---------- o0o ---------- “Apa?!” Mata tua Mbah Jarwo kembali membelalak kaget usai mendengar penuturan dari Sarkim perihal Asih. Lelaki muda tersebut menatap tajam sosok tetua di depannya dengan perasaan takut. “Iya, Mbah, Ceu Asih pergi dari rumah Juragan Juanda. Dia gak lagi terlihat di sana sejak pagi kemarin,” tutur kembali Sarkim mengulang ceritanya beberapa saat barusan. Mbah Jarwo mendengkus. Ada gurat kesal tertampak dari bias wajah tua tersebut. Lantas berucap seraya entakkan kaki ke tanah, “Aneh ... kenapa si Juanda gak ngasih tahu saya? Biasanya tiap kali ada sesuatu, dia akan segera memanggil buat datang ke rumahnya.” Berkali-kali dia menggeleng seakan belum sepenuhnya memercayai apa yang baru saja diketahui. “Terus ... dari mana kamu tahu kalau si Asih kabur?” “Bukan kabur, Mbah. Tapi
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian 25----------------- o0o -----------------Entah sudah yang keberapa kali Basri dipinta untuk terus menuruti permintaan Ratu Galimaya. Bergumul memenuhi hasrat gila perempuan cantik tersebut secara berulang-ulang semalaman penuh. Hampir seluruh persendian lelaki bertubuh kurus itu seperti remuk redam, terkuras habis semua tenaga yang ada, hingga terkapar lelah di atas pembaringan empuk besar beraroma wangi bebungaan. Anehnya, walaupun dalam hati berusaha untuk menolak, tapi entakkan syahwat itu kembali muncul begitu cumbu itu kembali menyentuh area pribadinya.Basri tidak sadar sepenuhnya. Dalam penglihatan lelaki tersebut, Ratu Galimaya adalah istri dia sendiri, Lastri. Otaknya sudah dibekukan sejak meminum isi cawan antik yang diberikan perempuan itu tadi. Bahkan baru saja beberapa saat lalu menuntaskan pergumulan hebat di atas pe